Minggu, 20 Desember 2015

BU ASTUTI




Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Disebuah sabtu siang yang kuiisi hanya dengan bermalas-malasan dan tumpukan buku untuk dibaca. Kudengar pintu depan rumah ada yang mengetuk. Enggan aku berjalan untuk membukanya dan bersiap memasang muka masam atas siapapun yang menganggu waktu “hibernasi-ku”. Beberapa menit kemudian aku melihat seorang ibu mungkin lebih tepat dipanggil nenek yang kuperkirakan usianya sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahunan, entahlah aku sulit untuk memperkirakan usia para manula, karena bagiku mereka tampak sama dengan rambut putih di kepala dan kerutan di sana sini. Tubuhnya tidak terlalu gemuk ataupun kurus, cukup proposional, dengan kulit kuning langsat, mengenakan daster batik parang berwarna merah darah dengan rambut putihnya yang dicepol rapi kebelakang.
“Hai... saya bu Astuti, yang tinggal di sebelah, baru pindah dua minggu yang lalu, ibu liat tiap hari mbak berangkat pagi pulang malam, cuman sabtu minggu aja keliatan di rumah, makanya ibu baru sekarang kesini. Tadi juga kebetulan ibu lagi bikin puding coklat, nih...”
Dia bicara seakan tanpa titik, dalam dua tiga kali hitungan nafas, sepasang tangan keriputnya menyodorkan puding coklat yang tampak sangat menggiurkan diatas piring oval berwarna hijau terang. Sesaat otakku mencoba menganalisa. Dia sudah dua minggu tinggal di rumah sebelah yang selama aku tinggal dua tahun disini tampak kosong. Aku ingat beberapa waktu lalu ada truk yang berlalu lalang membawa barang-barang berhenti di depan rumah kosong itu. Dia tahu aku bekerja tiap hari kecuali sabtu minggu, dan dengan penuh keyakinan dia datang ke rumahku membawa sepiring puding “perkenalan”. Aku bukan tipe yang suka berbasa-basi dengan tetangga, ruang lingkup bersosialisasiku selama ini hanya lingkungan kantor, beberapa bekas teman sekolah dan satu dua orang di lingkunganku ini yang kukenal sebatas kebutuhan admininstrasi, pembuatan ktp dan sejenisnya. Ada perasaan jengah menghadapinya. Selain rentang usia diantara kita, aku juga tidak yakin bagaimana menyikapi “kebaikannya”.
“Kalau lagi sibuk, ga apa-apa ibu cuman nganter ini aja kok..”
Entah mengapa dia seperti membaca kegalauan pikiranku. Tapi binar sepasang matanya dan senyum tulus yang tergambar di antara kerut merut wajahnya seakan menghipnotisku, lalu justru kalimat ini yang keluar.
“Enggak kok bu, silahkan masuk mungkin kita bisa ngobrol”
Yah, begitulah. Sesederhana itu perkenalan kami. Dan dengan riang dia langsung melangkah masuk lalu duduk nyaman di sofa tamuku. Singkat cerita, dalam sepuluh menit awal mengobrol, aku menyukainya. Entah apa yang membuatnya begitu menarik. Cara bicaranya yang selalu melibatkan tangan dan gerakan mata diselingi tawa renyahnya, cerita-ceritanya yang seru  atau mungkin aku sedang merasa kesepian saat itu.
“Kamu tinggal sendiri?”
Dia bertanya tiba-tiba sesaat setelah menyelesaikan cerita tentang awal mula hobi memasaknya. Aku mengangguk sambil menyuapkan sepotong puding coklat (yang ternyata memang benar-benar enak) ke dalam mulutku.
“Bu Astuti tinggal dengan siapa?”
Aku mengajukan pertanyaan balasan.
“Sama... ibu juga tinggal sendiri..” senyumnya kembali merekah.
Dari situlah semua berawal. Mungkin karena kami dua orang wanita yang tinggal sendiri dengan rumah yang saling bersebelahan, membuatku kami jadi begitu cepat akrab. Sabtu minggu yang biasanya kuhabiskan untuk membaca ataupun bercocok tanam sendiri, sekarang selalu ditemani oleh bu Astuti. Usianya yang pasti sudah dua kali lipat umurku bisa membuatku selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya. Mungkin aku mendambakan sosok seorang ibu yang meninggal beberapa tahun yang lalu, atau mungkin koleksi buku-bukunya yang selalu bisa memuaskan hasrat membacaku, disamping hobi memasaknya yang membuatku selalu punya kesempatan mencicipi resep-resep istimewanya. Sayang, kemampuan memasaknya tidak pernah berhasil ditularkannya padaku. Disamping gosong atau justru kurang matang, soal rasa selalu hasilnya jauh berbeda dengan apa yang dimasak oleh bu Astuti. Dan setiap kali dia mencicipi masakan atau kue buatanku, mimik wajahnya memasang raut seakan-akan sedang menikmati, tapi beberapa detik kemudian dia akan bilang, ..”mungkin sebaiknya ibu aja yang bikin..” kami berdua tertawa terbahak-bahak menertawakan kegagalanku, lalu bu Astuti akan buru-buru ke kamar mandi sambil berteriak “ibu pipis di celana lagi”...aku tak bisa lagi menahan gelak, tertawa-tawa sambil memegangi perutku yang terasa kejang karena tawa yang berlebihan.
Aku selalu merindukan waktu untuk ngobrol berdua dengannya. Walaupun masa kita berbeda tapi bu Astuti selalu bisa menjadi pendengar yang menyenangkan, tentang apa saja, mulai dari gosip kantor si anu yang berselingkuh dengan si itu, boss baru yang menyebalkan, rekan kerja yang sirik atau apapun itu, aku selalu merasa tak sabar untuk berbagi cerita dengannya. Pun aku pun belum pernah merasa bosan mendengarkannya bercerita tentang segala hal di lingkungan kami ataupun tentang masa lalu nya.
Sore itu kami duduk diberanda rumah mungilnya yang asri sambil menikmati pisang goreng keju hangat, bahkan cemilan sesederhana itu bisa terasa sangat istimewa saat bu Astuti yang membuatnya.
“kamu belum juga punya pacar?”
Aku hanya menggeleng, sambil mengusap remah-remah keju di sekitar mulutku.
“pernah patah hati?”
Kali ini aku memasang senyum terpaksa.
“saya masih cukup bahagia sendiri, bu..”
Gumamku sambil memandangi anggrek ungu tua yang menempel indah di pohon mangga.
“ibu sudah menikah sebanyak empat kali..”
Kalimatnya diiringi tawa terkekeh-kekeh khasnya.
Aku terbelalak memandanginya  tak percaya, tanpa bisa memahami arti tawanya. Aku kuatir sikapku justru terkesan tidak sopan, tapi bu Astuti malah semakin tertawa, mungkin melihat raut wajahku yang benar-benar terkejut saat itu. Bagiku pernikahan adalah hal sakral, sesuatu yang butuh perjuangan besar untuk sampai kesana, jadi semuanya benar-benar harus dipersiapkan secara mental maupun materi, dan ibu tua di depanku ini mengatakan sudah menikah empat kali seakan-akan hal itu adalah permainan berulang yang bisa dilakukan sewaktu-waktu. Baru kusadari aku belum banyak mengenalnya. Selama ini bu Astuti memang banyak bercerita tentang masa lalu nya, tapi itu selalu hanya tentang orang lain atau pengalaman unik yang pernah dialaminya, bukan menyangkut tentang kehidupan pribadinya. Dan aku tak pernah berusaha mencari tahu mengenai hal itu. Biarpun pertanyaan mengapa wanita setua dirinya tinggal sendiri, dimana suami dan anak-anaknya, apa yang membuatnya memilih tinggal sendiri, banyak menggantung di kepalaku. Sosoknya selalu menampilkan wanita tua bahagia yang sangat menikmati sisa hidup. Senyum selalu menghiasi wajahnya yang tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan yang telah dimakan usia.
“Seringkali hidup tentang membuat kesalahan untuk kemudian belajar menjadi benar..”
Matanya menerawang kosong.
“terkadang kita mengkhawatirkan banyak hal yang tak perlu. Akhirnya malah membuat kita takut untuk memulai sesuatu yang baru..”
Kalimatnya seakan menyindirku.
“hidup bukan hanya sekedar menjadi sempurna, tapi lebih banyak tentang proses perjalanan dalam mencari kesempurnaan itu sendiri..”
“saya bukan seorang perfeksionis, bu..” keluhku, mulai kesal. Topik mengenai jodoh selalu bisa membuatku merasa jadi orang yang kurang beruntung.
“ini bukan tentang jodoh ataupun pernikahan, sayang.. ini tentang segala hal mengenai kehidupan. Kalaupun kamu yakin dengan pilihanmu bahkan untuk hidup sendiri, tak ada yang salah dengan itu. Jangan pakai ukuran orang lain untuk mengukur kebahagiaanmu. Yang terpenting selalu yakinlah bahwa apa yang menjadi pilihanmu adalah yang terbaik, karena kadang benar salah adalah tentang keberanianmu mengambil resiko atas pilihan itu sendiri.
Aku menghela nafas. Kalimat-kalimatnya terasa begitu rumit. Tapi aku belum mampu menyanggahnya. Kutunggu dia melanjutkan.
“apa selama ini ibu bahagia?” entah kenapa tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulutku, dan terlambat untuk menyesalinya. Untuk apa aku menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu? Gerutuku. Mungkin sebenarnya pertanyaan itu aku ajukan pada diri sendiri.
“Bahagia atau ketidakbahagiaan, rasa sedih dan gembira, itu dua hal yang saling mengisi.. tak mungkin terpisahkan, dan sesungguhnya kita tidak berhak untuk memiih diantara keduanya. Mereka seperti dua hal yang saling mengisi satu sama lain, yang hadirnya hanya menunggu untuk kau rasakan...”
Kuhela nafas, entah kenapa sesaat aku merasa sesak. Kalimatnya terdengar indah, walaupun aku belum bisa memahami sepenuhnya.
“Banyak hal yang sudah ibu lalui selama umur ibu ini. Dulu sewaktu ibu masih muda, seringkali ibu mencoba menganalisa setiap kejadian besar yang ibu alami. Beberapa hal terasa menyakitkan lalu ibu berpikir ini itu dan kata –seandainya- menjadi penyelamat sementara untuk meringankan perasaan. Tapi semakin kesini ibu semakin menyadari bahwa hidup adalah tentang belajar menerima segala keadaan yang dihadapkan pada kita, dan keikhlasan selalu menjadi kunci untuk setiap sesak dalam hati karena kondisi yang terasa menyakiti. Bukankah hidup ini hanya tentang –menunggu mati-? Yaa.. cuman itu. Tapi yang terpenting bagaimana kita bisa mengisi waktu kita yang sedikit ini dengan menjadi berguna buat orang lain, karena itu yang bisa membuat kita benar-benar merasakan kehidupan, bahwa keberadaan kita di dunia ini punya arti. Mungkin itu filosofi hidup yang pada akhirnya ibu temukan di sisa umur ibu ini..”
Aku tercenung. Bukan hanya kali ini aku mendapatkan pencerahan-pencerahan dari bu Astuti, tapi apa yang baru dikatakannya sungguh mampu membuatku merinding dan merasa begitu kecil.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kubaca nama yang tampil di layar.
“Dari kantor..” keluhku.
“Sepertinya saya harus lembur hari ini” kugaruk kepala yang tidak terasa gatal.
“Pergilah... buat dirimu berarti..” bu Astuti tersenyum.
Aku segera beranjak, dan tak lupa mengucapkan terimakasih. Kupandangi lekat wajahnya sekali lagi, aku merasa beruntung telah mengenalnya. Tak pernah kukira bahwa itu terakhir kalinya aku melihat sosoknya yang sehat.
Keesokan paginya, saat aku bersiap untuk mandi, sebuah telepon mengabarkan bahwa bu Astuti masuk rumah sakit. Seorang penabrak lari meninggalkannya di tengah jalan. Tubuhku bergetar menerima berita itu. Tak terbayangkan seseorang yang baru kemaren sore ngobrol dan tertawa bersamaku, saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya.
Segera kutelepon kantor awalnya untuk mohon ijin datang terlambat hari ini, lalu aku teringat bahwa bu Astuti tinggal sendiri, siapa yang akan mengurusnya di rumah sakit. Maka kuputuskan untuk mengambil hak cutiku beberapa hari. Tanpa terasa airmataku menetes membayangkan kondisi bu Astuti saat ini.
***
Kubuka perlahan pintu ruangan serba putih itu. Disana terbaring sosok yang sangat kukenal dengan beberapa selang infus menempel di tubuhnya.
Aku tak mampu menahan airmata. Perasaan sedih yang tak mampu aku jelaskan. Entah mengapa tiba-tiba aku membayangkan akulah yang terbaring disana, dalam sepi, sendiri, tak ada yang menemani saat mengalami hal buruk dalam hidup. Sampai didekatnya, aku tak mampu berkata-kata. Airmataku masih deras mengalir.
Kupegang tangan keriputnya, terasa dingin. Matanya perlahan terbuka, dia tersenyum saat melihatku, lalu tangan kirinya menggapai memintaku untuk memeluknya. Kupeluk dia, sambil terus terisak-isak.
“Terima kasih....” bisiknya.
Kuangkat kepalaku menatap matanya, berusaha mencari makna atas kata itu.
“Makasih sudah nemenin ibu selama ini..”
“Jadilah kuat, jangan pernah takut untuk menjadi dirimu sendiri..” sejenak dia berhenti, mengatur nafasnya yang terasa berat.
“Ibu punya dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Tapi kehidupan telah membuat ibu harus terpisah dengan mereka. Nanti kalau ibu meninggal, ibu minta tolong dikuburkan di pemakaman dekat rumah kita yaa..”
Aku masih tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, bahkan untuk bertanya dimana anak-anaknya sekarang. Yang aku tahu, aku masih sangat berharap ini hanya sekedar mimpi yang akan berakhir saat aku terbangun. Aku masih belum bisa membayangkan hari-hariku tanpa kehadirannya, tanpa cerita-ceritanya, tanpa masakan-masakannya, tanpa filosofi-filosofinya yang seringkali terdengar rumit tapi begitu indah untuk didengarkan.
Lalu kurasakan nafasnya mulai tersengal, tinggal satu satu. Dan kusadari detak jantungnya semakin melemah. Kekosongan melingkupiku, kehampaan yang tak tergambarkan. Seseorang telah meninggalkanku. Hidup hanya menunggu mati...kalimat itu memenuhi otakku.
***
Tanah merah itu penuh bertabur bunga. Ratusan orang telah mengantarnya di peristirahatan terakhir. Aku baru menyadari bahwa bu Astuti begitu populer di lingkungan kami. Banyak kebaikan yang telah ditebarkannya dalam waktunya yang belum terlalu lama sebagai pendatang baru. Banyak airmata yang terurai, cerita-cerita tentang sosoknya. Tapi pada akhirnya semua orang harus belajar tentang keikhlasan untuk melepasnya menghadap Sang Maha.
Selamat Jalan Bu Astuti, doaku menyertaimu..

Minggu, 01 November 2015

E L E G I




Wanita itu memandangi foto-foto yang terserak di atas meja. Hatinya terasa sakit. Dadanya naik turun menahan emosi. Nafasnya kadang tersengal, karena detak jantungnya yang berdentam-dentam seakan memaksa keluar. Dipandanginya lekat dua sosok yang ada di foto-foto tersebut. Seorang wanita muda dan sesosok laki-laki yang sangat dikenalnya. Laki-laki yang masih menyandang status sebagai suaminya, ayah dari dua anak laki-lakinya yang sekarang telah beranjak remaja. Sebuah luka harus dirasakannya lagi, entahlah.. apa mungkin luka-luka yang dulu telah  mampu mengering seiring waktu. Sejenak dipejamkan matanya, lalu bersandar ke sofa. Berbagai peristiwa kembali berkelebat di benaknya. Mengantarkan kembali rasa sakit yang baru. Mana yang lebih baik; mengetahui sesuatu yang pasti terasa menyakiti hati, atau berlindung dalam ketidaktahuan? Benarkah kejujuran atas sebuah kenyataan akan selalu membawa kebaikan? Atau justru kepura-puraan untuk menjaga kesempurnaan adalah yang terbaik? Airmata mulai membanjiri pipinya, tubuhnya terasa begitu lelah dan lemah.
Tahun depan pernikahannya sampai pada titik dua puluh tahun, sungguh bukan angka yang sedikit untuk menyimpan begitu banyak peristiwa. Si sulung baru saja menjadi mahasiswa sebuah universitas di luar kota, dan si bungsu telah memasuki tahun kedua Sekolah Menengah Atas. Tak lama lagi rumah akan semakin sepi tanpa kehadiran keduanya, bila si bungsu memilih untuk mengikuti jejak kakaknya, keluar kota untuk mencari ilmu. Sungguh hidup ini begitu indah seandainya segala hal berjalan seperti yang dipercayai banyak orang saat menilai keluarga kecilnya. Tiga tahun pertama pernikahan, dia harus mendapati kenyataan bahwa suaminya dekat dengan seorang rekan kerjanya. Tanpa sengaja dia menemukan beberapa pesan mesra yang saling dikirim oleh keduanya. Dia marah sejadi-jadinya, tak ada hal lain yang dipikirkannya selain, bercerai... sebulan dia meninggalkan rumah, pulang ke rumah orang tuanya sambil membawa si sulung yang masih berusia dua tahun. Lalu suaminya datang menjemput, meminta maaf, berjanji tak akan mengulang lagi. Hatinya masih sakit, teramat sakit sampai tak lagi bisa merasa dan mengingat apa yang menyebabkan dia akhirnya sudi kembali ke rumah. Satu hal yang lekat dalam ingatannya hanyalah sepasang mata si sulung yang mampu menenangkannya.
Lalu dunia mulai kembali berputar seperti adanya. Dua tahun kemudian dia hamil si bungsu. Hidupnya cukup sempurna untuk beberapa saat. Suaminya kembali menjadi laki-laki yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu saat mereka masih berpacaran. Karirnya sendiri juga semakin menanjak. Apa yang lebih indah dari sebuah keluarga yang cukup materi dan cinta? Semua pada tempatnya, baginya tak ada yang lebih sempurna menjadi seorang istri, ibu sekaligus wanita karir. Tapi, dunia seringkali tak sesederhana dongeng pengantar tidur yang selalu berakhir dengan kalimat “akhirnya mereka bahagia selama-lamanya”. Mimpi keluarga sempurnanya berakhir saat kembali dia mendapati suaminya dekat dengan wanita lain. Dunianya kembali kehilangan keseimbangan. Kata “cerai” terbersit lagi dalam benaknya. Tapi entah, emosi tak lagi menguasai seperti saat pertama badai itu datang. Butuh waktu berbulan-bulan untuk kemudian dia memutuskan, setiap kali rasa sakit itu menderanya, dia akan pergi ke kamar anak-anaknya, memandangi wajah mereka saat tertidur, lalu melepaskan rasa sakit itu melalui deraian airmata, sambil menahan isak khawatir hal itu akan membangunkan anak-anaknya, dia tak akan membiarkan mereka tahu kesedihannya.
Setiap kali ego-nya menuntut keberanian memilih untuk sendiri setiap kali itu pula pertanyaan tentang arti “bahagia” menghantuinya. Secara financial dia cukup bisa menghidupi dirinya sendiri dan kedua anaknya, tapi benarkah bahagia bisa begitu sederhana dengan kecukupan materi? Bagaimanapun anak-anaknya masih butuh sosok seorang ayah, sebisa mungkin dia akan menjaga itu, berapapun “harga” yang harus dibayarnya. Lalu bagaimana dengan rasa sakit hatinya? Tanyanya pada diri sendiri; rasa sakit akan terkikis seiring waktu, kalimat itu yang diulang-ulangnya untuk meyakinkan diri sendiri. Wanita itu memilih untuk berhenti dari pekerjaan, melupakan karirnya, dan mengatakan pada sang suami, mungkin kau butuh lebih banyak waktuku agar tak lagi mencari wanita lain. Itu sebuah pilihan, hal itu sangat dipahaminya, bukan benar salah atau baik buruk, ini lebih tentang keberaniannya menghadapi konsekuensi atas piilihannya sendiri.
Sebuah lubang besar menganga dalam hatinya, berisikan kekosongan, itu yang dirasakannya kemudian. Sungguh ternyata kehampaan jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit itu sendiri. Tahun-tahun berlalu dengan cepatnya, mengajarinya cara bertahan dan belajar untuk jadi lebih kuat. Cinta? Dia bahkan lupa tentang apa itu, selain rasa yang mampu membuatnya berani mengambil resiko apapun demi kebahagiaan anak-anaknya. Menjadi ibu rumah tangga tak membuatnya buta dan tuli atas sepak terjang suaminya diluar sana, dia tak lagi berusaha pura-pura tak tahu atau tak mau tahu, dia memilih untuk menghadapi itu, toh suaminya juga tak punya cukup alasan untuk menceraikannya. Pernah dia bertanya: apakah kau masih mencintaiku? suaminya tersenyum lalu mengangguk, dia tak tahu apakah benar ini tentang rasa cinta atau kasihan atau sekedar tak punya pilihan, karena dia adalah ibu terbaik bagi anak-anaknya? Tapi, masih pentingkah hal itu? Bukankah kenyataan bahwa mereka masih saling terikatkan dalam pernikahan cukup membuktikan mereka masih saling membutuhkan satu sama lain?
Seiring waktu dia tahu, bahwa ini bukan lagi tentang dirinya sendiri, bukan tentang hati dan perasaannya, bukan tentang keinginan dan hasratnya, ini lebih tentang keikhlasannya menerima kenyataan tentang suaminya yang  tak pernah merasa cukup dengan seorang wanita; sekuat apapun dia berusaha mengikatnya, sebesar apapun rasa cintanya.
Dentang jam mengusiknya, sudah jam sembilan malam, tergesa dia memberesi serakan foto-foto di atas meja, dihapusnya airmata yang masih tersisa disudut mata, sebentar lagi si bungsu sampai rumah dari les gitar nya, dia tak ingin kekacauan ini diketahui anaknya. Tak lama terdengar suara motor si bungsu memasuki garasi. Wanita itu berusaha berdiri, tapi entah mengapa tubuhnya terasa begitu lemah. Lalu dia pun segera meraih remote televisi untuk berpura-pura asyik menikmati sebuah film drama.
“Belum tidur, Ma?” suara si bungsu terasa begitu menetramkannya.
Wanita itu hanya menggeleng.
“Mama habis nangis?” sepasang mata itu memandanginya lekat.
“Ini gara-gara nonton film, ceritanya sedih banget...”
Dia berharap jawabannya cukup membuat si bungsu puas lalu beranjak ke kamar, tapi ternyata si bungsu malah duduk bersandar ke sofa sambil memegangi tangannya erat.
“Aku tadi liat papa, ma..” suara si bungsu terdengar semacam bisikan.
“...dengan seorang wanita..” kembali lirih.
Dia hanya diam, menunggu kalimat selanjutnya, tapi hanya suara-suara dari televisi yang terdengar.
Si bungsu menghela nafas, terdengar berat.
“Mama sudah tau tentang ini kan?”..
Mereka saling memandang, berusaha mencari kebenaran yang tersimpan.
Wanita itu mengangguk, tak tau harus mengatakan apa.
Lalu sebulir airmata meleleh tanpa bisa ditahannya lagi, seakan dia sedang dihakimi atas ketegarannya oleh anaknya sendiri.
“kenapa mama diam aja? Papa sudah mengkhianati mama...” suara si bungsu tercekat.
“pernikahan bukan hanya sekedar tentang kesetiaan..” suara wanita itu terdengar begitu jauh dan dalam, seakan kalimat itu ingin ditelannya sendiri.
“kita tak bisa mengikat perasaan seseorang hanya karena sebuah surat pernikahan, itu yang mama pelajari selama ini..”
“selama papa mu masih bertanggung jawab atas kehidupan kalian sebagai anak-anaknya, itu sudah lebih dari cukup, bukan waktunya untuk mempertanyakan tentang kesetiaan setelah sekian tahun kita hidup bahagia seperti ini..”
“apa yang kamu ingin mama lakukan? Melabrak wanita itu? Berteriak-teriak marah pada papa mu, menghancurkan kebahagiaan kita selama ini hanya karena emosi sesaat? Yang mama tahu pada akhirnya papa mu akan kembali kesini, ke rumahnya..”
“Bagaimana kalau papa memilih untuk tak kembali..?”
Suara-suara dari televisi kembali menguasai.
“itu saatnya kita saling menguatkan...” suara wanita itu terdengar begitu yakin.
Tiba-tiba si bungsu memeluknya, terdengar isak yang tertahan.
“anak laki-laki ga boleh nangis..” pelan dilepasnya pelukan si bungsu, lalu memandang lekat wajah anaknya itu. Dirasakannya sebuah kekuatan baru mengaliri jiwanya. Entah bagaimana cinta selalu bisa menjadi penawar atas sakit yang disebabkan oleh cinta itu sendiri.
“Tidur sana...” wanita itu tersenyum lembut.
“semua akan baik-baik saja, percayalah...” dibelainya lembut rambut si bungsu.
Dentang jam kembali mengisi jeda diantara keduanya. Waktu akan mengajari banyak hal. Tentang rasa sakit, kesembuhan, ketegaran, keikhlasan, segala rasa yang tak terdefinisikan. Tentang kehilangan dan penemuan. Tentang harapan dan kenyataan. Tentang belajar menjadi “benar”

-Tamat-

Rabu, 22 April 2015

Eu Te Amo




Rua Finte Quatro Horas. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. 16.00 waktu di Curitiba, Brazil. Udara tidak terlalu dingin, hanya sekitar empat belas derajat celcius. Aku cukup mengenakan sweater dan celana jeans legging untuk menahan dingin. Inverno kali ini tidak terlalu menggigit, Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Deretan toko-toko kecil dan cafe yang berderet rapi di sepanjang jalan ini selalu membuatku ingin menikmatinya, setiap saat. Sesuai dengan namanya Rua Finte Quatro Horas, jalan kecil ini tak pernah mati, buka selama dua puluh empat jam.
Aku memilih sebuah cafe yang letaknya bersebelahan dengan toko kecil yang menjual suvenir. Memesan secangkir cafe de latte, sambil mengamati para pejalan kaki yang berlalu lalang. Mereka selalu tampak modis dalam balutan baju hangat.
Kusesap minumanku, rasa hangat menjalari tenggorokan. Berusaha meredakan debar jantungku sendiri, mencoba menganalisa kembali rencanaku disini, menimbang dalam kegamangan, melalui potongan-potongan memori yang terangkai dalam sekian waktu.
Yah, waktu mungkin akan mampu mengajari kita akan banyak hal terutama tentang perasaan, itu yang selalu aku pahami. Bahwa seperti segala kebendaan yang memiliki “masa berlaku” demikian juga tentang rasa “cinta” pada seseorang lawan jenis, ada pada saatnya memudar seiring waktu, karena terkikis oleh logika dan keadaan yang tak mendukungnya untuk dijaga dan dipelihara. Berbeda dengan “pernikahan” yang telah diikatkan dalam sebuah janji sakral, perasaan yang ada didalamnya akan terkondisikan untuk selalu ada pada “tempatnya”.

“Oi tudo bem?” sebuah suara berat dari arah belakang, cukup mengejutkanku.

Aku menoleh cepat, dan kini kulihat sosoknya dengan jelas, rambut ikalnya sedikit lebih panjang dari yang ada dalam ingatanku, sepasang mata coklatnya terbingkai dalam kacamata. Dia masih tampak selalu mempesona, seperti terakhir aku bertemu lima tahun yang lalu. Fernando, seseorang dari masa laluku yang kini harus kuhadapi kembali keberadaannya.
Aku berdiri, dan dia langsung memelukku erat, lalu mendaratkan ciuman hangat ke pipiku, darahku berdesir. Kulepaskan pelukannya dengan sedikit jengah, ini bukan saatnya tenggelam dalam romantisme, ingatku pada diri sendiri.

“Kamu tampak kurus...” dia mengatakan itu sambil menatapku lekat-lekat.

Aku berusaha tersenyum, pura-pura sibuk mengatur kembali dudukku sekedar menghindari tatapannya, degup jantung yang tak beraturan sedikit membuat dadaku sesak. Kutarik nafas panjang untuk menenangkan diri.

“Are you ok?” tanyanya lagi,

Aku terpaku untuk beberapa saat, berusaha menimbang kembali rencana awalku, tapi sudah terlambat untuk membatalkan semua dan menutupi lagi rahasia besarku selama ini. Fernando masih menunggu reaksiku. Dia bersiap mengatakan sesuatu saat kukeluarkan sebuah foto dari dalam tas, kusodorkan begitu saja ke hadapannya.
Dia menatapku tak mengerti, lalu pandangannya beralih pada foto yang tergeletak di meja.

“Namanya Angela, umurnya empat tahun....” kuatur nafasku, sebelum mengucapkan ini, berusaha mencari rangkaian kalimat awal yang seharusnya aku susun sebelum mengatakan kata-kata yang mungkin akan merubah banyak hal antara aku dan Fernando. Kutarik nafas panjng.

“...Dia anakmu..” suaraku terdengar lirih, hanya semacam bisikan diantara keramaian cafe. Tapi aku yakin, Fernando cukup jelas mendengarnya.

Sesaat sepi menyelimuti. Fernando tampak tertegun, lalu tertawa terbahak-bahak. Tawanya cukup keras sampai mampu menarik perhatian beberapa pejalan kaki yang melewati kami. Aku hanya diam, menunggu reaksi selanjutnya. Ini pasti akan menyakitinya.
Tawanya terhenti, diraihnya foto itu, lalu memandangnya lekat2.

“It’s just a joke, right...?” tanyanya masih tak percaya.

Aku menggeleng kuat-kuat, kepalaku terasa berdenyut, lalu buliran air mata mulai meleleh, mengalir dengan derasnya, ketegaran yang berusaha kubangun dari awal aku menginjakkan kaki ke kota ini telah runtuh, aku sudah tak mampu menahan beban rahasia yang selama bertahun-tahun ini berhasil aku simpan sendiri.

*******

Kami saling jatuh cinta.

Itu kalimat sederhana yang mungkin bisa merangkum cerita panjang antara aku dan Fernando. Kami bertemu pertama kali saat aku menjadi salah satu mahasiswa yang mendapat bea siswa belajar keluar negri, tidak lama hanya beberapa bulan. Fernando adalah seorang pendamping, yang banyak membantu dalam prosesku belajar memahami Brazil. Dia pernah dikirim ke Thailand beberapa lama, sehingga sedikit banyak paham adat budaya bangsa-bangsa Asia.
Dua tahun setelah aku kembali ke Indonesia, ternyata Fernando menyusulku ke Indonesia dan memutuskan untuk tinggal setahun disini. Alasannya dia jatuh cinta pada budaya Timur, dan ingin belajar bahasa Indonesia. Itulah saat kami menjadi semakin dekat.
Awalnya aku tidak pernah mau menganggap serius hubungan ini. Aku termasuk tipe konvensional yang tidak suka berpikir rumit mengenai sebuah hubungan. Fernando bagiku tak lebih dari seorang sahabat, seseorang yang selalu enak diajak ngobrol dan aku merasa nyaman di dekatnya. Ungkapannya berkali-kali “Eu te amo...” bagiku saat itu hanyalah bentuk dari keter-obesi-annya pada Indonesia. Aku selalu menganggap bahwa cinta hanyalah salah satu efek hormon dalam tubuh yang membuat kita jadi irrasional lalu setelah beberapa tahun akan hilang dengan sendirinya.

Setelah setahun berlalu Fernando tinggal di Indonesia, ternyata dia masih merasa belum puas. Beberapa kali dia mengungkapkan ingin tinggal dan bekerja di negri yang rumit ini. Dan aku hanya tertawa mendengarnya, pasti kelogisannya mulai mengalami pergeseran akibat nasi padang yang jadi menu favoritnya, itu yang selalu aku katakan setiap kali dia menyampaikan hal itu. Lalu dia tertawa keras sambil memelukku, tak peduli kalaupun kita sedang berada di keramaian dan tempat umum, walaupun sudah kukatakan berulang kali padanya bahwa pelukan-pelukan semacam itu bukanlah hal yang bisa dianggap wajar di Indonesia, tapi seringkali dia malah menggodaku dengan memelukku lebih erat.

Aku mulai menyukainya.
Mulai merasa tergantung atas keberadaannya. Mulai sering merasa rindu saat tak bertemu. Mulai merasa takut kehilangan. Mulai sering bertanya-tanya kapan dia akan kembali ke Brazil. Cinta selalu memiliki sisi “tidak nyaman” itu yang aku pelajari.
Hatiku mulai terasa berdebar saat dia mengatakan “Eu te amo...” aku memiliki harapan besar pada kalimat itu, harapan bahwa Fernando tidak akan pernah kembali ke negaranya.

Senja itu kami duduk berdampingan di sisi sebuah pantai, menikmati desir angin laut sambil memainkan pasir disela-sela jari kaki. Langit mulai gelap, rona merah jingga telah lenyap sesaat yang lalu.

“Aku harus pulang..” Fernando tiba-tiba mengatakan itu, kalimat pendek yang terasa menyesakkan.
Akhirnya saat ini tiba, bathinku.

Eu te amo.. apakah kita terlalu muda untuk menikah?” dia mengatakan itu sambil memandang lekat pada mataku.

Kuhela nafas, mencoba tetap bisa berpikir rasional dengan apa yang baru dikatakannya.
Usiaku belum genap dua puluh satu tahun, dan dia hanya dua tahun lebih tua dariku. Ada banyak mimpi yang masih ingin kuraih, dan aku tidak siap dengan segala kerumitan hubungan beda agama, antar negara dan jarak yang terbentang jauh diantara kita. Jika pun memang cinta kita berdua nyata, itu belum cukup mampu meyakinkan diriku mengambil keputusan besar menyangkut pernikahan. Aku takut apa yang aku dan Fernando rasakan hanyalah perasaan sesaat, yang membuat kita mabuk sementara waktu dan tidak mampu berpikir rasional. Mungkin cinta ini memang benar adanya, tapi belum saatnya mengikatkan pada sebuah hubungan sakral yang bernama pernikahan, dengan segala hal yang harus kita tanggung dan selesaikan. Aku ragu... dan merasa “takut”.

“Aku mencintaimu, Nadya...apa itu belum cukup?”

“Hidup seringkali tidak cukup hanya dengan sekedar cinta...ada banyak hal dan orang-orang disekitar kita, kamu tahu itu kan? Aku merasa belum siap...”

“Butuh waktu berapa lama lagi agar kamu yakin dan siap?”

Aku hanya diam. Karena memang tak tahu harus menjawab apa.
Lalu dia merengkuhku dalam pelukannya, dan aku mulai menangis, entah karena apa, mungkin karena cinta terkadang terasa menyakitkan.

Dan begitulah akhirnya, Fernando kembali ke negaranya, kami masih sangat sering berkomunikasi, dia masih sering menanyakan kesiapan akan pernikahan, tapi aku masih saja belum menemukan jawaban yang tepat. Sampai beberapa tahun kemudian, dia mengatakan sedang dekat dengan seseorang, Alexandra, seorang gadis rekan kerjanya. Ibunya orang Filipina dan ayahnya orang Brazil, bisa dibayangkan kecantikan yang dimiliki gadis blasteran itu. Tak lama kemudian mereka menikah. Aku tak tahu tentang perasaanku sendiri saat Fernando mengabarkan pernikahannya, yang aku ingat selama dua hari aku hanya ingin mengurung diri dalam kamar, membasahi bantalku dengan air mata.

Tahun-tahun berlalu dengan cepatnya, karirku disebuah majalah wanita yang lumayan terkenal melesat cepat. Aku sering melakukan perjalanan-perjalanan keluar kota dan keluar negri, sampai aku lupa tentang cinta dan pernikahan, aku merasa begitu nyaman dengan kesendirian. Cukup bahagia menjani hari-hariku dengan jadwal yang padat dan agenda pertemuan disana-sini, bertemu dan mengenal banyak orang sebatas pekerjaan. Hubunganku dengan Fernando masih cukup baik, walapun hanya sekedar saling kirim email dan sewaktu-waktu menelepon. Pernikahannya tampak bahagia itu yang kulihat dari foto-fotonya di facebook, hanya saja mereka belum dikaruniai anak sampai sekian tahun pernikahan.


**********

Tanpa terasa usiaku telah sampai pada titik tiga puluh dua. Aku ingat tepat di hari ulang tahunku saat itu, sebuah pesan masuk ke ponselku.

“Happy B’day...bisa kita ketemu? Aku di Indonesia..Fernando”

Aku tertegun sejenak, lalu melompat kegirangan. Sesaat berusaha meyakinkan diri bahwa ini bukan sekedar mimpi.
Akhirnya setelah sekian tahun terpisah, kami bertemu kembali. Kurasakan kerinduan yang selama ini kusimpan rapat-rapat dalam hati. Fernando terlihat semakin mempesona dalam kedewasaan. Senyumnya, cara bicaranya, tatapan sepasang mata teduhnya, masih sama seperti yang terangkum dalam ingatanku. Tak dapat kupungkiri, bahwa ternyata cinta tak bisa dikubur begitu saja oleh waktu.
Kami menghabiskan banyak waktu berdua. Aku sengaja mengambil cuti selama beberapa hari, tak ingin melepaskan kesempatan untuk menikmati hari bersama Fernando, mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan nostalgia; pantai, warung makan padang langganan, taman kota, dan toko buku. Kami seperti terlempar kembali ke masa lalu, menjadi sepasang kekasih yang baru mabuk asmara.
Lalu hal itu terjadi...begitu saja. Mungkin karena kerinduan yang tak terbendung, mungkin aku terbius oleh pesonanya, atau mungkin itu hanyalah sekedar nafsu belaka. Aku tak mau semua terdengar sebagai pembenaran, tapi aku meyakini apa yang aku lakukan sepenuhnya karena “cinta”.

“Kenapa kita tidak menikah?’
Tanyanya tiba-tiba setelah beberapa malam kita habiskan bersama.

Aku pura-pura tidak memperhatikan apa yang dia katakan, sambil tetap menekuri nasi goreng yang menjadi sarapan kami pagi itu.

“Kenapa kita tidak menikah?’ ulangnya lagi, memastikan bahwa aku mendengarkan.

Kugenggam erat sendok dan garpu , berusaha menenangkan diri.

“Kamu tau kalau itu pertanyaan konyol?” aku balik bertanya.

“Aku mencintaimu, Nadya” kalimatnya terdengar jelas.

“Lalu apa? Kamu sadar apa yang sedang kamu jalani? Kenapa harus memperumit semua ini? Tak bisakah kita menyederhanakan semua yang sudah kita lalui kemarin sebatas interaksi fisik semata? Kebutuhan atas nafsu?”
Nada suaraku mulai meninggi. Kubanting sendok dan garpu yang kupegang, menimbulkan suara nyaring saat membentur piring dan meja makan.

Fernando tampak terkejut dengan reaksiku. Dia berdiri, berjalan ke arahku berusaha memeluk, tapi aku menghindar dan berjalan cepat ke kamar mandi, menguncinya dari dalam, lalu mulai menangis. Aku tahu airmata tak pernah menyelesaikan apapun, tapi aku butuh melegakan sesak yang terasa memenuhi dada.
Entah berapa lama aku mengunci diri, setelah merasa cukup tenang, aku keluar dan mendapati Fernando duduk di lantai persis di depan kamar mandi. Saat menyadari pintunya terbuka, dia langsung berdiri dan memelukku, aku tak mampu menghindar lagi, merasa begitu lelah dan tak punya tenaga untuk menolaknya.

“Ma’af...” bisiknya.

Lalu aku mulai terisak lagi di dadanya.

“Aku tak ingin melukai siapapun atas keberadaanku..” kataku disela sedu sedan.

“Aku tau...” kata Fernando, sambil mengelus pelan punggungku.
Kulepas perlahan pelukannya, saat kami berhadapan, kutatap lekat sepasang matanya.

“Eu Te Amo...” kataku dengan penuh keyakinan.

“Tak ada yang akan berubah diantara kita, kembalilah ke Brazil..tapi, lusa saat dirimu berangkat, aku tak akan sanggup mengantarmu ke bandara..” Kuusap airmata yang kembali meleleh di pipi.
“Aku akan baik-baik saja..” suaraku terdengar bergetar saat mengatakan kalimat itu, menunjukkan ketidakyakinanku.

Setelah Fernando kembali ke negaranya, tak pernah sekalipun kujawab telepon darinya, semua e-mail yang dikirimkannya langsung kuhapus tanpa membacanya terlebih dahulu, aku berusaha mengakhiri siksaan atas perasaan cinta dan rindu yang menjeratku kembali, cukup sudah... tapi ternyata hidup seringkali tak sesederhana itu. Dua bulan setelah kepergian Fernando, aku mendapati dua garis merah tercetak jelas pada testpack yang iseng aku beli karena merasakan perubahan pada tubuhku. Sesaat dunia terasa berhenti berputar, aku merasa begitu gamang, mungkin ini sebuah hukuman dari Tuhan atas hubungan terlarang, atau mungkin sebuah anugrah untuk mengingatkan betapa cinta bisa mewujudkan benih yang harus aku terima sebagai pertanggungjawaban.

Sebuah babak baru dalam hidupku harus kumulai. Tekadku bulat untuk terus menjaga sesuatu yang tumbuh dalam perutku. Kuawali dengan pengunduran diri dari majalah tempatku bekerja, tabunganku cukup untuk membeli sebuah rumah kecil di pinggir kota, dan menyambung hidup sebagai penulis lepas. Tapi yang terberat adalah saat harus menceritakan niatku pada kedua orangtuaku. Aib adalah tetap aib. Kami bangsa Timur yang sangat menjunjung norma dan tata krama, orangtua mana yang sanggup menerima anak gadisnya hamil tanpa suami?
Masih kuingat wajah ayah yang mengeras saat kukatakan aku hamil dan tak punya niatan sama sekali untuk menggugurkannya. Aku bahkan tak menangis, saat kukatakan aku tak butuh laki-laki untuk menjadi ayahnya, aku ingin membesarkannya sendiri.

“Terserah...itu pilihanmu, tapi jangan pernah kembali ke rumah ini, kamu harus tau besarnya tanggung jawab atas kesalahan yang telah kau buat...” kalimat ayah terasa menusuk, lalu dia pergi meninggalkanku di ruang tamu, bersama ibu yang berderai airmata.

“Dia sudah cukup angkuh untuk mengatasi hidupnya, tinggalkan dia sendiri, Bu...!” teriaknya kemudian dari dalam kamar.

Lalu aku mulai menangis, saat ibu meninggalkanku sendiri di ruangan itu. Rumah besar dengan pilar-pilar kayu jati tempatku menghabiskan masa kecil, menjadi saksi tekad bulatku untuk menghimpun keberanian atas segala yang akan aku hadapi ke depannya nanti.


******


Kembali aku terlempar ke masa kini, menemukan Fernando yang tampak diam terpekur menatap foto Angela – anaknya.
“Apa yang kau harapkan dari semua ini…” kalimatnya terasa menyakiti hatiku.

Kuhela nafas, berusaha kembali meredakan kegaduhan dalam dadaku sendiri. Entah..aku juga tak tau harus menjawab apa. Setelah segala kekuatan yang kumiliki untuk menjalani semua ini –sendiri - mengapa tiba-tiba saja aku merasa begitu lemah saat berhadapan dengannya.

“Aku menginap disekitaran Centro, pikirkan dulu masalah ini…” kuambil jeda untuk menghirup banyak oksigen karena kepalaku mulai terasa berdenyut hebat. Kukeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari tas lalu menuliskan nama sebuah hotel. Kuserahkan pada Fernando, sambil mulai beranjak untuk pergi.

“Kamu pikir bisa datang dan pergi, sambil meninggalkan beban begitu saja?” Fernando mengatakan itu sambil memegang erat tanganku. Sepasang matanya menunjukkan kemarahan.

“Aku tak pernah pergi darimu, aku hanya memintamu untuk meninggalkan aku… itu dua hal yang berbeda.  Semua yang harus kujalani adalah pilihanku dan aku siap dengan segala konsekuensinya, aku tidak sedang menuntut perasaan bersalahmu atas sebuah tanggung jawab…” aku tak mampu meneruskan kalimat, sekelilingku tiba-tiba terasa berputar, terpaksa aku kembali duduk, kulepas tangannya lalu meraih coffee de latte yang masih tersisa separuh.

“Apa yang kau inginkan Nadya?” matanya menatapku tajam.

Aku terdiam, berharap bisa melalui fase ini, tapi inilah saatnya..kalimat yang telah kuulang berkali-kali dalam benak, menatanya sedemikian rupa agar tak terdengar tragis dan menimbulkan rasa iba dari orang lain. Ya, aku tak perlu belas kasihan dari orang lain, aku ingin selalu merasa kuat , menghadapi banyak hal sendiri, mengatasi setiap permasalahan dan menyembunyikan sakit ini.

“Bulan depan aku harus mulai menjalani  khemotherapy... aku tak tahu pada siapa aku harus menitipkan Angela, kalau seandainya…” Kutahan kalimatku, berusaha sekuat tenaga agar luapan airmata tak jatuh.

Fernando tampak terkesiap. Mulutnya seakan mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar dari sana. Untuk beberapa saat, keheningan menggantung diantara kami.

“Aku tak pernah berniat untuk mengacaukan keadaan… aku ingin semua tetap pada tempatnya dan merahasiakan semua, tapi keadaan ini yang mendorongku untuk memberitahukanmu. Aku tak ingin menyakiti siapapun atas keberadaanku dan Angela. Wanita mana yang bisa menerima anak dari suaminya dengan wanita lain? Aku sudah mempertimbangkan hal itu, berusaha mencari jalan keluar yang bisa cukup bijak menyelesaikan ini, tapi tiba-tiba aku merasa begitu takut… bagaimana dengan Angela seandainya aku tak cukup kuat menghadapi sakit ini..?” aku mulai menangis, kuseka air mataku dengan punggung tangan.

“Tolong pikirkan saja dulu…hubungi aku kalau kau sudah merasa siap..” aku segera berdiri dan berjalan cepat meninggalkan Fernando yang diam memandangi foto Angela sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.

********
Aku turun dari onibus yang mengantarku ke Centro,  masih harus berjalan beberapa meter menuju hotel, melewati café-café  yang menata kursinya  sepanjang sisi jalan, museum dan toko-toko bunga. Kunikmati sepanjang perjalanan, lalu memutuskan berhenti sejenak, saat kulihat seseorang berkulit hitam sedang memainkan saxophone dengan indah,  tak jauh dari sebuah bangku taman. Kukeluarkan selembar Real melemparkannya kedalam kotak kecil didepan sang pengamen lalu duduk menikmati alunan musik jalanan.

Beberapa  orang wanita Gypsi  tiba-tiba lewat, sejenak mengalihkan perhatianku .  Mereka sedang tertawa-tawa bahagia, dengan pakaian menyolok dan gemerincing perhiasan, tampak begitu cantik dengan aura kebebasannya. Mungkinkah seperti itu definisi “kebahagiaan”? melekat pada makna “kebebasan”? sungguh alangkah sederhananya .. tak terasa airmata menetes ke pipiku. Aku sudah terlalu banyak menangis hari ini, bathinku. Dan ternyata itu tak membuatku merasa lebih baik.

Senja mulai menyergap, titik-titik air langit jatuh perlahan, lampu kuning menyala sepanjang jalan, aku berdiri lalu berjalan pelan, ingin menikmati setiap tetes hujan, tak peduli kepala dan tubuhku yang mulai basah. Kubiarkan airmata yang deras mengalir seiring air hujan yang membasahi wajah. Mengapa ini mulai terasa semakin berat? Seandainya aku tahu bahwa segala hal akan berjalan begitu rumit, mungkin aku akan berusaha mencegah perasaan “cinta” itu menguasai. Tapi bisakah kita menghindar? Pertanyaan yang sampai kini bergema di benakku.  Aku percaya bahwa Tuhan selalu punya rencana-rencana, aku sadar akan keterbatasanku sebagai manusia, bahwa setiap detail dalam kehidupan sebenarnya telah digariskan, dan tugas kita di dunia memaknai setiap prosesnya, belajar menjadi kuat, sabar dan ikhlas.
Aku terus berjalan, hujan semakin deras… kepalaku mulai terasa berdenyut hebat, dunia seakan berputar, aku masih memaksakan berjalan, lalu kegelapan menyergap…

-Tamat-

Translate:
Eu Te Amo          : aku mencintaimu
Rua Finte Quatro horas : jalan dua puluh empat jam
Inverno                                : musim dingin
Coffe de latte    : sejenis kopi yang dicampur susu
Oi tudo bem       : hai, apa kabar
Centro                  : pusat kota

Note : cerita ini hanya fiktif belaka. Beberapa tempat memang benar adanya di sebuah kota bernama Curitiba, Brazil. Pemilihan tempat  untuk memperkuat sisi cerita bahwa cinta seringkali tak mengenal tempat dan waktu.
Terimakasih buat yang telah menyempatkan membaca, soal ending..mohon maaf bila tak sesusai dengan harapan, silahkan berimajinasi untuk penyelesaian cerita.

Backsound : “Inspiration” (Gypsi King) dan “Gagal Bersembunyi” (The Rain)