Aku mengenalnya beberapa bulan
yang lalu. Disebuah sabtu siang yang kuiisi hanya dengan bermalas-malasan dan
tumpukan buku untuk dibaca. Kudengar pintu depan rumah ada yang mengetuk.
Enggan aku berjalan untuk membukanya dan bersiap memasang muka masam atas
siapapun yang menganggu waktu “hibernasi-ku”. Beberapa menit kemudian aku
melihat seorang ibu mungkin lebih tepat dipanggil nenek yang kuperkirakan
usianya sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahunan, entahlah aku sulit untuk
memperkirakan usia para manula, karena bagiku mereka tampak sama dengan rambut
putih di kepala dan kerutan di sana sini. Tubuhnya tidak terlalu gemuk ataupun
kurus, cukup proposional, dengan kulit kuning langsat, mengenakan daster batik
parang berwarna merah darah dengan rambut putihnya yang dicepol rapi
kebelakang.
“Hai... saya bu Astuti, yang
tinggal di sebelah, baru pindah dua minggu yang lalu, ibu liat tiap hari mbak
berangkat pagi pulang malam, cuman sabtu minggu aja keliatan di rumah, makanya
ibu baru sekarang kesini. Tadi juga kebetulan ibu lagi bikin puding coklat,
nih...”
Dia bicara seakan tanpa titik,
dalam dua tiga kali hitungan nafas, sepasang tangan keriputnya menyodorkan
puding coklat yang tampak sangat menggiurkan diatas piring oval berwarna hijau
terang. Sesaat otakku mencoba menganalisa. Dia sudah dua minggu tinggal di
rumah sebelah yang selama aku tinggal dua tahun disini tampak kosong. Aku ingat
beberapa waktu lalu ada truk yang berlalu lalang membawa barang-barang berhenti
di depan rumah kosong itu. Dia tahu aku bekerja tiap hari kecuali sabtu minggu,
dan dengan penuh keyakinan dia datang ke rumahku membawa sepiring puding
“perkenalan”. Aku bukan tipe yang suka berbasa-basi dengan tetangga, ruang
lingkup bersosialisasiku selama ini hanya lingkungan kantor, beberapa bekas
teman sekolah dan satu dua orang di lingkunganku ini yang kukenal sebatas
kebutuhan admininstrasi, pembuatan ktp dan sejenisnya. Ada perasaan jengah
menghadapinya. Selain rentang usia diantara kita, aku juga tidak yakin
bagaimana menyikapi “kebaikannya”.
“Kalau lagi sibuk, ga apa-apa ibu
cuman nganter ini aja kok..”
Entah mengapa dia seperti membaca
kegalauan pikiranku. Tapi binar sepasang matanya dan senyum tulus yang tergambar
di antara kerut merut wajahnya seakan menghipnotisku, lalu justru kalimat ini
yang keluar.
“Enggak kok bu, silahkan masuk
mungkin kita bisa ngobrol”
Yah, begitulah. Sesederhana itu
perkenalan kami. Dan dengan riang dia langsung melangkah masuk lalu duduk
nyaman di sofa tamuku. Singkat cerita, dalam sepuluh menit awal mengobrol, aku
menyukainya. Entah apa yang membuatnya begitu menarik. Cara bicaranya yang
selalu melibatkan tangan dan gerakan mata diselingi tawa renyahnya, cerita-ceritanya
yang seru atau mungkin aku sedang merasa
kesepian saat itu.
“Kamu tinggal sendiri?”
Dia bertanya tiba-tiba sesaat
setelah menyelesaikan cerita tentang awal mula hobi memasaknya. Aku mengangguk
sambil menyuapkan sepotong puding coklat (yang ternyata memang benar-benar
enak) ke dalam mulutku.
“Bu Astuti tinggal dengan siapa?”
Aku mengajukan pertanyaan
balasan.
“Sama... ibu juga tinggal
sendiri..” senyumnya kembali merekah.
Dari situlah semua berawal.
Mungkin karena kami dua orang wanita yang tinggal sendiri dengan rumah yang
saling bersebelahan, membuatku kami jadi begitu cepat akrab. Sabtu minggu yang
biasanya kuhabiskan untuk membaca ataupun bercocok tanam sendiri, sekarang
selalu ditemani oleh bu Astuti. Usianya yang pasti sudah dua kali lipat umurku
bisa membuatku selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya. Mungkin aku
mendambakan sosok seorang ibu yang meninggal beberapa tahun yang lalu, atau
mungkin koleksi buku-bukunya yang selalu bisa memuaskan hasrat membacaku,
disamping hobi memasaknya yang membuatku selalu punya kesempatan mencicipi
resep-resep istimewanya. Sayang, kemampuan memasaknya tidak pernah berhasil
ditularkannya padaku. Disamping gosong atau justru kurang matang, soal rasa
selalu hasilnya jauh berbeda dengan apa yang dimasak oleh bu Astuti. Dan setiap
kali dia mencicipi masakan atau kue buatanku, mimik wajahnya memasang raut
seakan-akan sedang menikmati, tapi beberapa detik kemudian dia akan bilang,
..”mungkin sebaiknya ibu aja yang bikin..” kami berdua tertawa terbahak-bahak
menertawakan kegagalanku, lalu bu Astuti akan buru-buru ke kamar mandi sambil
berteriak “ibu pipis di celana lagi”...aku tak bisa lagi menahan gelak,
tertawa-tawa sambil memegangi perutku yang terasa kejang karena tawa yang
berlebihan.
Aku selalu merindukan waktu untuk
ngobrol berdua dengannya. Walaupun masa kita berbeda tapi bu Astuti selalu bisa
menjadi pendengar yang menyenangkan, tentang apa saja, mulai dari gosip kantor
si anu yang berselingkuh dengan si itu, boss baru yang menyebalkan, rekan kerja
yang sirik atau apapun itu, aku selalu merasa tak sabar untuk berbagi cerita
dengannya. Pun aku pun belum pernah merasa bosan mendengarkannya bercerita
tentang segala hal di lingkungan kami ataupun tentang masa lalu nya.
Sore itu kami duduk diberanda
rumah mungilnya yang asri sambil menikmati pisang goreng keju hangat, bahkan
cemilan sesederhana itu bisa terasa sangat istimewa saat bu Astuti yang
membuatnya.
“kamu belum juga punya pacar?”
Aku hanya menggeleng, sambil
mengusap remah-remah keju di sekitar mulutku.
“pernah patah hati?”
Kali ini aku memasang senyum
terpaksa.
“saya masih cukup bahagia
sendiri, bu..”
Gumamku sambil memandangi anggrek
ungu tua yang menempel indah di pohon mangga.
“ibu sudah menikah sebanyak empat
kali..”
Kalimatnya diiringi tawa
terkekeh-kekeh khasnya.
Aku terbelalak memandanginya tak percaya, tanpa bisa memahami arti tawanya.
Aku kuatir sikapku justru terkesan tidak sopan, tapi bu Astuti malah semakin
tertawa, mungkin melihat raut wajahku yang benar-benar terkejut saat itu.
Bagiku pernikahan adalah hal sakral, sesuatu yang butuh perjuangan besar untuk
sampai kesana, jadi semuanya benar-benar harus dipersiapkan secara mental
maupun materi, dan ibu tua di depanku ini mengatakan sudah menikah empat kali
seakan-akan hal itu adalah permainan berulang yang bisa dilakukan sewaktu-waktu.
Baru kusadari aku belum banyak mengenalnya. Selama ini bu Astuti memang banyak
bercerita tentang masa lalu nya, tapi itu selalu hanya tentang orang lain atau
pengalaman unik yang pernah dialaminya, bukan menyangkut tentang kehidupan
pribadinya. Dan aku tak pernah berusaha mencari tahu mengenai hal itu. Biarpun
pertanyaan mengapa wanita setua dirinya tinggal sendiri, dimana suami dan
anak-anaknya, apa yang membuatnya memilih tinggal sendiri, banyak menggantung
di kepalaku. Sosoknya selalu menampilkan wanita tua bahagia yang sangat
menikmati sisa hidup. Senyum selalu menghiasi wajahnya yang tak bisa
menyembunyikan sisa-sisa kecantikan yang telah dimakan usia.
“Seringkali hidup tentang membuat
kesalahan untuk kemudian belajar menjadi benar..”
Matanya menerawang kosong.
“terkadang kita mengkhawatirkan
banyak hal yang tak perlu. Akhirnya malah membuat kita takut untuk memulai sesuatu
yang baru..”
Kalimatnya seakan menyindirku.
“hidup bukan hanya sekedar
menjadi sempurna, tapi lebih banyak tentang proses perjalanan dalam mencari
kesempurnaan itu sendiri..”
“saya bukan seorang perfeksionis,
bu..” keluhku, mulai kesal. Topik mengenai jodoh selalu bisa membuatku merasa
jadi orang yang kurang beruntung.
“ini bukan tentang jodoh ataupun
pernikahan, sayang.. ini tentang segala hal mengenai kehidupan. Kalaupun kamu
yakin dengan pilihanmu bahkan untuk hidup sendiri, tak ada yang salah dengan
itu. Jangan pakai ukuran orang lain untuk mengukur kebahagiaanmu. Yang
terpenting selalu yakinlah bahwa apa yang menjadi pilihanmu adalah yang
terbaik, karena kadang benar salah adalah tentang keberanianmu mengambil resiko
atas pilihan itu sendiri.
Aku menghela nafas.
Kalimat-kalimatnya terasa begitu rumit. Tapi aku belum mampu menyanggahnya. Kutunggu
dia melanjutkan.
“apa selama ini ibu bahagia?”
entah kenapa tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulutku, dan terlambat
untuk menyesalinya. Untuk apa aku menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu? Gerutuku.
Mungkin sebenarnya pertanyaan itu aku ajukan pada diri sendiri.
“Bahagia atau ketidakbahagiaan,
rasa sedih dan gembira, itu dua hal yang saling mengisi.. tak mungkin
terpisahkan, dan sesungguhnya kita tidak berhak untuk memiih diantara keduanya.
Mereka seperti dua hal yang saling mengisi satu sama lain, yang hadirnya hanya
menunggu untuk kau rasakan...”
Kuhela nafas, entah kenapa sesaat
aku merasa sesak. Kalimatnya terdengar indah, walaupun aku belum bisa memahami
sepenuhnya.
“Banyak hal yang sudah ibu lalui
selama umur ibu ini. Dulu sewaktu ibu masih muda, seringkali ibu mencoba
menganalisa setiap kejadian besar yang ibu alami. Beberapa hal terasa
menyakitkan lalu ibu berpikir ini itu dan kata –seandainya- menjadi penyelamat
sementara untuk meringankan perasaan. Tapi semakin kesini ibu semakin menyadari
bahwa hidup adalah tentang belajar menerima segala keadaan yang dihadapkan pada
kita, dan keikhlasan selalu menjadi kunci untuk setiap sesak dalam hati karena
kondisi yang terasa menyakiti. Bukankah hidup ini hanya tentang –menunggu mati-?
Yaa.. cuman itu. Tapi yang terpenting bagaimana kita bisa mengisi waktu kita
yang sedikit ini dengan menjadi berguna buat orang lain, karena itu yang bisa
membuat kita benar-benar merasakan kehidupan, bahwa keberadaan kita di dunia
ini punya arti. Mungkin itu filosofi hidup yang pada akhirnya ibu temukan di
sisa umur ibu ini..”
Aku tercenung. Bukan hanya kali
ini aku mendapatkan pencerahan-pencerahan dari bu Astuti, tapi apa yang baru dikatakannya
sungguh mampu membuatku merinding dan merasa begitu kecil.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kubaca
nama yang tampil di layar.
“Dari kantor..” keluhku.
“Sepertinya saya harus lembur
hari ini” kugaruk kepala yang tidak terasa gatal.
“Pergilah... buat dirimu
berarti..” bu Astuti tersenyum.
Aku segera beranjak, dan tak lupa
mengucapkan terimakasih. Kupandangi lekat wajahnya sekali lagi, aku merasa
beruntung telah mengenalnya. Tak pernah kukira bahwa itu terakhir kalinya aku
melihat sosoknya yang sehat.
Keesokan paginya, saat aku
bersiap untuk mandi, sebuah telepon mengabarkan bahwa bu Astuti masuk rumah
sakit. Seorang penabrak lari meninggalkannya di tengah jalan. Tubuhku bergetar
menerima berita itu. Tak terbayangkan seseorang yang baru kemaren sore ngobrol
dan tertawa bersamaku, saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya.
Segera kutelepon kantor awalnya
untuk mohon ijin datang terlambat hari ini, lalu aku teringat bahwa bu Astuti
tinggal sendiri, siapa yang akan mengurusnya di rumah sakit. Maka kuputuskan
untuk mengambil hak cutiku beberapa hari. Tanpa terasa airmataku menetes
membayangkan kondisi bu Astuti saat ini.
***
Kubuka perlahan pintu ruangan
serba putih itu. Disana terbaring sosok yang sangat kukenal dengan beberapa
selang infus menempel di tubuhnya.
Aku tak mampu menahan airmata. Perasaan
sedih yang tak mampu aku jelaskan. Entah mengapa tiba-tiba aku membayangkan
akulah yang terbaring disana, dalam sepi, sendiri, tak ada yang menemani saat
mengalami hal buruk dalam hidup. Sampai didekatnya, aku tak mampu berkata-kata.
Airmataku masih deras mengalir.
Kupegang tangan keriputnya,
terasa dingin. Matanya perlahan terbuka, dia tersenyum saat melihatku, lalu
tangan kirinya menggapai memintaku untuk memeluknya. Kupeluk dia, sambil terus
terisak-isak.
“Terima kasih....” bisiknya.
Kuangkat kepalaku menatap
matanya, berusaha mencari makna atas kata itu.
“Makasih sudah nemenin ibu selama
ini..”
“Jadilah kuat, jangan pernah
takut untuk menjadi dirimu sendiri..” sejenak dia berhenti, mengatur nafasnya
yang terasa berat.
“Ibu punya dua orang anak laki-laki
dan seorang anak perempuan. Tapi kehidupan telah membuat ibu harus terpisah
dengan mereka. Nanti kalau ibu meninggal, ibu minta tolong dikuburkan di
pemakaman dekat rumah kita yaa..”
Aku masih tak sanggup mengucapkan
sepatah katapun, bahkan untuk bertanya dimana anak-anaknya sekarang. Yang aku
tahu, aku masih sangat berharap ini hanya sekedar mimpi yang akan berakhir saat
aku terbangun. Aku masih belum bisa membayangkan hari-hariku tanpa
kehadirannya, tanpa cerita-ceritanya, tanpa masakan-masakannya, tanpa
filosofi-filosofinya yang seringkali terdengar rumit tapi begitu indah untuk
didengarkan.
Lalu kurasakan nafasnya mulai
tersengal, tinggal satu satu. Dan kusadari detak jantungnya semakin melemah. Kekosongan
melingkupiku, kehampaan yang tak tergambarkan. Seseorang telah meninggalkanku. Hidup
hanya menunggu mati...kalimat itu memenuhi otakku.
***
Tanah merah itu penuh bertabur
bunga. Ratusan orang telah mengantarnya di peristirahatan terakhir. Aku baru
menyadari bahwa bu Astuti begitu populer di lingkungan kami. Banyak kebaikan
yang telah ditebarkannya dalam waktunya yang belum terlalu lama sebagai
pendatang baru. Banyak airmata yang terurai, cerita-cerita tentang sosoknya. Tapi
pada akhirnya semua orang harus belajar tentang keikhlasan untuk melepasnya
menghadap Sang Maha.
Selamat Jalan Bu Astuti, doaku
menyertaimu..