Kamis, 17 November 2011

CINTA CAPPUCINO


“Rasanya aku jatuh cinta...Tania”
Aku pura-pura menguap, lalu tersenyum sinis padanya.
“Seingatku kamu sudah mengatakan itu 5 kali dalam kurun waktu 6 bulan ini dan hal itu menyangkut beberapa gadis yang berbeda” kataku.
“Kapan kamu akan sembuh dan sadar bahwa umurmu sudah lebih dari tiga puluh tahun..” omelku lagi padanya.
Dia tersenyum seperti biasanya. Mengibaskan tangannya seakan apa yang baru aku katakan bukan hal yang penting untuk dibahas. Kupandangi dia entah, mengapa aku masih menganggapnya remaja belasan tahun seperti saat kita baru berkenalan.
Aku mengenal Aldo saat kita sama-sama masih SMP. Kebetulan rumahku dekat dengan rumahnya. Kita sempat berbeda sekolah saat SMA, tapi kemudian kita kembali jadi teman saat di perguruan tinggi. Kita sahabat baik, tidak lebih, mungkin itu kalimat yang bisa menjelaskan mengenai hubungan kita berdua. Kita seperti satu hati yang dipisahkan dalam dua tubuh berbeda jenis. Tapi mungkin apa yang terjadi diantara  aku dan Aldo memang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang lain. Saking seringnya kita terlihat berdua, orang-orang mengira kalau kita pacaran. Padahal tidak pernah terjadi sesuatu yang istimewa diantara kita berdua. Hubungan ini murni persahabatan. Aku seringkali menjodohkannya dengan beberapa teman demikian pula dia sebaliknya. Dan hal ini berlangsung sampai bertahun-tahun. Sampai saat ini di usia 30 tahun..upss, maaf 2 bulan lagi umurku 31 tahun, kita sama-sama masih lajang. Dan seperti kebiasaan Aldo dimasa kami masih sama-sama mahasiswa, dia juga cukup rajin untuk mengenalkan teman-temannya padaku, mungkin lebih tepatnya menjodohkanku. Tak ada yang gratis di dunia ini, apa yang dilakukan Aldo aku sadari bukan merupakan perhatian seorang sahabat atau kepedulian seorang teman yang prihatin karena sahabat wanitanya sudah masuk kategori “perempuan telat kawin” (itu istilah paling halus yang dilekatkannya padaku). Tapi lebih jauh, dia selalu berharap bahwa aku akan mengenalkan atau minimal memberikan nomor telpon wanita-wanita cantik disekitarku. Pekerjaanku sebagai penulis tetap di sebuah majalah wanita yang lumayan punya nama, memungkinkan aku berhubungan dengan artis, fotomodel, peragawati terkenal. Mungkin itu sebabnya Aldo tak pernah merasa bosan “menempel” padaku.
Aku dan Aldo tidak terlalu sering bertemu, kami lebih sering ngobrol lewat telpon atau e-mail. Paling sebulan atau dua bulan sekali kami membuat janji untuk bertemu di suatu tempat. Biasanya disebuah cafe, menikmati secangkir kopi dan ngobrol sana-sini tapi lebih sering isinya adalah curhatan Aldo mengenai wanita-wanita yang sedang dekat dengan dirinya. Sempat beberapa waktu yang lalu Aldo juga rajin mengenalkan beberapa teman-teman cowoknya padaku. Tapi selalu tak bisa berakhir baik. Kalau aku ingat ada salah seorang teman Aldo yang pernah cukup dekat denganku namanya Bagas dan kita “jalan” cukup lama, sekitar enam bulan, aku sempat berpikir aku sudah menemukan cinta sejatiku dan akan mengakhiri masa lajangku dengan Bagas. Tapi entah mengapa saat Bagas benar-benar berniat melamarku aku jadi begitu ketakutan, aku merasa diriku belum siap untuk “terikat” dengan seseorang, dan begitulah akhirnya aku memutuskan berpisah dengan Bagas tanpa bisa memberikan penjelasan yang masuk akal padanya kenapa aku tidak bersedia menikah dengannya.
Hingga sampailah Aldo pada satu kesimpulan bahwa aku terlalu “aneh” untuk menikah atau terikat dengan seseorang. Aku hanya berargumentasi bahwa aku tidak mau 'memaksakan diri” untuk menikah atau menjalin sebuah hubungan serius dengan seseorang hanya karena ketakutan atas label perawan tua, wanita telat kawin atau istilah-istilah semacam itu yang cukup mengerikan menurut sebagian orang. Aku cukup bahagia dengan hidupku dan aku tidak berniat mengukur kebahagiaanku dengan kebahagiaan orang lain yang sudah menikah. Aku hanya akan menikah dengan orang yang benar-benar tepat, dan aku akan menunggu saat itu, namun bila takdir tak bisa mempertemukan aku dengan “seseorang” itu aku akan tetap menjalani hidupku dengan “bahagia” menurut versiku sendiri.

“Haduuuhhh...malah nglamun, lagi...” suara Aldo mengagetkanku.
“Trus aku mesti bilang apa...paling lama dua minggu ke depan kamu akan mengatakan, ternyata itu hanya perasaan sesaat, entah mengapa aku kehilangan 'rasa' dengannya..” aku mengatakan hal itu dengan gaya yang sengaja aku buat 'berlebihan' untuk menyindirnya.
Aldo tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menatapku dengan pandangan serius.
“Dia berbeda, Tania..benar-benar berbeda, dia tidak seperti gadis kebanyakan, okey ..dia cantik, sexy, smart, anggap itu sebagai bonusnya, tapi yang jelas aku tidak bisa berhenti memikirkan dia...” matanya tampak berbinar saat mendeskripsikan “gadis” itu.
“Berapa umurnya?” tanyaku tak acuh, masih belum yakin sepenuhnya bahwa Aldo benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.
“Dua puluh empat tahun, dan dia baru saja menyelesaikan S2 nya..”
“Mmmhh..tumben kamu 'mengukur' seseorang dari otaknya...”
Aldo tampak mulai gemas dengan reaksiku.
“Kamu harus bertemu dengan Rena, ” Aldo menyerah melihat sikapku masih tak acuh, tampak dia mulai putus asa aku menanggapinya dengan dingin.
“Boleh....kapan?”
“Minggu depan ya...”putusnya.

Sudah dua hari ini aku merasa tidak enak badan. Dan hari ini adalah puncaknya. Badanku meriang, panas tapi aku merasa kedinginan. Seluruh tubuh pegal dan sakit semua, seperti habis berlari puluhan kilometer. Kepalaku seakan sebuah wadah yang berisi air separuhnya lalu ditutup rapat dan saat diketuk akan menimbulkan bunyi bunyian,  flu ku benar-benar parah. Hari ini kuputuskan untuk ijin tidak masuk kantor dan mungkin sekalian mengambil cuti beberapa hari untuk mengembalikan staminaku.
Tiba-tiba terdengar suara panggilan telpon masuk dari HP ku. Kubaca nama sang penelepon..Aldo? Pasti dia mau memastikan acara nanti malam untuk bertemu dengan kekasih barunya. Malas-malasan kujawab telponnya, suaraku kubuat sedemikan menderita, sehingga Aldo percaya bahwa aku memang benar-benar sakit.
“Haluuuuu...” suaraku terdengar serak tanpa kubuat-buat.
“Nanti malam jadi kan...?” dia langsung menanyakan hal itu tanpa basi basi terlebih dahulu, aku jadi sebal.
“Gak bisa..aku sakit..flu ..parah..”
“Hah...?! emang kamu bisa sakit ya...? kadang aku pikir badanmu terbuat dari besi, jadi kuman atau virus apapun tak sudi dekat-dekat denganmu”. Dia masih saja mengolok-ngolokku dalam keadaan seperti ini.
Aku hanya diam, berpura-pura batuk kecil.
“Waduh..tanpa perlawanan, brarti sakitmu bener lumayan parah ya...” suaranya terdengar seperti sedikit menyesal.
“Okay deh..moga cepet sembuh ya...”
“Makasih..” jawabku pendek sambil menghela nafas lega. Aku ingin tidur.

Entah sudah berapa lama aku tidur. Kulirik jam dinding berwarna kuning cerah yang tergantung sepi di tembok kamar, sudah hampir jam 7 malam, lumayan lama juga aku tidur . Aku baru pindah dari sebuah kamar kost, mengontrak sebuah rumah mungil bersama Mitha bekas teman kuliahku yang kantornya juga tidak terlalu jauh dari kantorku. Sebenarnya sudah dua bulan aku menempati rumah kontrakan ini, tapi aku belum banyak melakukan perubahan atas kamar baruku ini. Satu-satunya barang yang kupasang sebagai “pelengkap” dalam kamarku ini hanya jam dinding besar berwarna kuning yang kubeli bersama Aldo sekitar sebulan yang lalu.
Badanku belum terasa lebih baik dari tadi siang. Mungkin gara-gara aku belum minum obat. Tenggorokanku masih seperti menelan biji kedondong, terasa sakit, gatal dan panas, benar-benar menyiksa. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, sesosok tubuh tampak disana. Aldo?
“Permisi...”
“hei...cowok ga boleh masuk..” kataku seraya melemparkan sebuah bantal kecil kearahnya.
Dia hanya nyengir, lalu tanpa basa basi duduk disamping ranjangku, kemudian menempelkan telapak tangannya ke keningku, seperti dokter yang sedang memeriksa pasiennya. Aku hanya diam, cemberut dan melotot marah ke arahnya.
“Aku sudah minta ijin sama Mitha kok, ternyata kamu benar-benar sakit” katanya sambil nyengir.
Aku belum sempat berkata apa-apa ketika kusadari sesosok lain sedang berdiri di depan pintu kamarku.
Gadis itu, kekasih baru Aldo. Dia benar-benar memiliki semua definisi cantik seorang wanita. Tinggi, langsing, putih, hidung mancung, bibir tipis, rambutnya panjang melewati bahu, tampak hitam mengkilat, pasti dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Tingginya aku perkirakan sekitar 170cm mungkin lebih satu atau dua centi. Dia mengenakan celana jeans semi bootcut yang membungkus rapi sepasang kaki jenjangnya, dipadukan dengan atasan berwarna pink cerah bermodel sederhana, lalu di lehernya tampak terlilit sebuah scraf tipis bermotif bunga-bunga kecil berwarna pink, ungu muda, kuning dan hijau, benar-benar manis dan elegan. Dia perpaduan kecantikan Dian Sastro yang alami dan natural dengan Rianti Cartwright yang manis dan lembut. Sepasang mata indahnya seperti mutiara hitam, bersinar indah menambah kesempurnaan wajahnya. Dia benar-benar seperti bidadari.
Aku masih mematung begitu terpesona dengan aura gadis itu, bahkan aku bisa jatuh cinta padanya. Kemudian aku menyadari bahwa kondisi diriku saat ini persis Ugly Betty tanpa kawat gigi dan kaca mata tebalnya. Celana tidur garis-garisku yang sudah tidak jelas definisi warnanya. Dua T-shirt yang sengaja kupakai berlapis ditambah sweater ungu tua butut yang ukurannya melebihi dua size ukuran tubuhku sebenarnya, plus sepasang kaos kaki jaman aku ospek awal masuk kuliah. Aku benar-benar parah, dari kacamata seorang desainer penampilanku ini mungkin salah satu tanda-tanda kiamat dunia mode. Aku dan gadis itu adalah Beauty and The Beast dalam arti kata sesungguhnya.
“Mmmmhh..masuk...” aku berkata jengah.
Dia tersenyum, ada lesung pipit di pipi kirinya, menambah lagi deretan kesempurnaan fisiknya.
“Rena..kenalkan ini Tania...” Aldo bersikap sok formal.
Kusambut jabatan tangannya.
“Tania..” kataku lirih, kubuat seakan kondisiku memang benar-benar parah, berharap dia tidak akan menertawakan kekonyolan penampilanku ini.
“Kamu sudah minum obat..?” suara Aldo memecah keheningan yang sempat ada di antara kita.
Aku hanya menggeleng lemah.
“Lupa..” jawabku pendek.
“Harusnya kamu bisa lebih bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri..” omel Aldo, entah mengapa kali ini kalimatnya terdengar dewasa sekali, mungkin karena ada gadis itu, bathinku.
“Sudah makan? Pasti juga belum...” Aldo menatapku tajam seakan aku telah berbuat dosa besar.
Aku hanya diam, tak tahu mesti mengatakan apa. Harusnya aku mulai mengajak ngobrol gadis itu, karena  mungkin dia tidak nyaman dengan situasi ini. Kekasihnya sedang memberikan perhatian besar pada wanita lain yang mirip dengan tumpukan baju kotor meringkuk di tempat tidur.
Tapi tampaknya dugaanku keliru. Gadis itu tidak tampak jengah sama sekali dia malah sedang asyik membuka-buka majalah, duduk santai di karpet merah yang terpasang seadanya di kamarku. Saat aku melihatnya, tampak dia tersenyum ke arahku seakan iba melihat keadaan diriku yang sedang diomeli oleh Aldo. Tentu saja dia tidak akan pernah merasa cemburu dengan itik buruk rupa semacam aku ini, bathinku.

Beberapa saat kemudian, kami bertiga terlibat dalam obrolan yang menyenangkan. Harus kuakui definisi Aldo tentang Rena memang benar adanya, cantik, sexy dan smart, sebuah perpaduan sempurna. Wajar kalo Aldo tergila-gila padanya. Rena bukan hanya tipe gadis yang setiap orang akan menoleh dan menatap kagum ke arahnya saat dia berjalan di keramaian, persis dengan iklan-iklan sabun di televisi, tapi dia juga tipe gadis yang enak diajak ngobrol tentang apa saja, hingga semua orang akan merasa nyaman saat di dekatnya. Kadang aku hanya diam tak berkata apa-apa saat mereka berdua, Aldo dan Rena tampak berdebat tentang hal-hal ringan, untunglah peranku sebagai seseorang yang sedang flu parah cukup membantu, sehingga aku tak tampak konyol di depan mereka berdua (sebuah pembenaran diri atas sesuatu yang 'tidak' sesuai dengan kenyataan dalam hatiku).
Akhirnya mereka bedua meminta ijin pulang, entah mengapa ada perasaan lega dalam hatiku. Aku tidak perlu menonton pertunjukan “manis” mereka lebih lama lagi. Duh, betapa jahatnya aku, bathinku. Bukankah seharusnya aku turut berbahagia dengan hubungan mereka berdua? Akhirnya Aldo bisa menemukan seseorang yang tepat untuknya. Aku tahu sangat tahu bahwa kali ini Aldo tidak main-main dengan gadis ini. Dari caranya memandang, menggoda gadis itu sampai kedua pipinya bersemu merah, menyentuh lembut tangannya, dari semua yang Aldo lakukan pada gadis itu, aku tahu semua keluar dari hati Aldo yang sebenarnya. Bahwa Aldo memang telah jatuh cinta pada gadis itu. Dan setiap kali aku membisikkan itu ke dalam hatiku sendiri, entah mengapa ada perasaan sepi yang tiba-tiba menyelinap, menebarkan hawa dingin di sudut hati. Kepalaku terasa semakin berdenyut-denyut.

Handphone ku berbunyi, Rena dan Aldo sudah pulang sekitar satu jam yang lalu. Siapa yang telpon  malam-malam begini? Jam 10 malam, bathinku saat melirik jam dinding kuning. Kubaca nama si penelepon, Aldo? Duh, mau apalagi dia telpon? Mungkin ingin membahas tentang Rena, tebakku. Aku benar-benar sedang malas untuk mengangkat telponnya, apakah itu salah?
Suara handphone masih terus berbunyi, aku masih bimbang antara mengangkat atau membiarkannya. Bukan satu hal yang salah juga kalau aku tidak mengangkatnya, besok aku bisa beralasan bahwa aku sudah tertidur lelap setelah minum obat. Kututup kepalaku dengan bantal, berusaha mengusir suara handphone sendiri. Tapi entah mengapa deringnya tak mau berhenti.
Mungkin aku memang tak ada pilihan selain mengangkat telpon dari Aldo, aku tak mau dihinggapi rasa bersalah karena membohonginya.
“Halo...?” aku mengatakan itu dengan malas-malasan.
“Maaf..kamu udah tidur ya?....”
“Heeemm..” aku tidak berniat menjawabnya.
“Aku di depan rumahmu..?”
“Hah..?! serius..ngapain?”
“Aku bawain pangsit mie, kamu pasti belum makan, ya kan..” tiba-tiba aku merasa bersalah.
Aku tidak menjawabnya, hanya langsung berlari menuju pintu depan, kuintip dari jendela di ruang tamu, tampak Aldo sedang tersenyum lebar, tangan kirinya masih memegang handphone dan tangan kanannya membawa sebuah bungkusan yang sedang diacung-acungkannya ke arahku.
Segera kubuka pintu depan. Perasaan bersalahku semakin menjadi jadi.
“Aku cuman mau nganter ini, aku langsung pulang aja, jangan lupa minum obat ya... ” Aldo hanya mengatakan itu dan segera berlalu dari hadapanku.
“Makasih...” jawabku pendek. Aku masih tertegun dengan apa yang terjadi. Aldo bahkan tidak mengatakan apa-apa tentang  gadis itu, malam-malam dia datang hanya untuk mengantarkan makanan untukku. Aku benar-benar jahat, rutukku dalam hati.



Kupandangi pangsit mie yang sudah kupindahkan ke mangkuk, siap untuk dinikmati. Pangsit mie ini makanan favorit kita berdua sejak masih sama-sama kuliah dulu. Aku dan Aldo sepakat, pangsit mie ini adalah pangsit terenak di dunia karena memang kita tak pernah berniat mencari pembandingnya. Setiap kali kita ingin makan pangsit mie, kita akan langsung pergi ke tempat itu. Sebuah rumah makan kecil sederhana yang tidak pernah sepi pembeli. Kenangan bersama Aldo serta merta hadir di pikiranku seperti sebuah film  dokumenter. Begitu banyak yang pernah kita lalui. Aku sadar sikapku ini sungguh konyol. Dan tiba-tiba sebulir air bening jatuh begitu saja dari mataku. Ya Tuhan..aku menangis? Untuk apa? Aku juga tidak tahu pasti. Apa karena kesepian? merasa terharu atas apa yang dilakukan Aldo malam ini? Atau sebenarnya kesedihan yang kutahan dari tadi saat kulihat Aldo bersama gadis itu? Atau justru tangis bahagia karena Aldo telah menemukan seseorang yang tepat? Aku mungkin bisa membohongi orang lain, tapi aku tak bisa membohongi diri sendiri. Ada rasa perih setiap kali Aldo memandang mesra gadis itu. Ya Tuhan...perasaan macam apalagi ini? Kalau memang sebenarnya dari dulu aku jatuh cinta pada Aldo, lalu kemana saja perasaan cinta itu bersembunyi selama ini? Aku benar-benar tidak tahu apa yang kurasakan, tiba-tiba saja aku begitu takut kehilangan Aldo. Aku takut kehilangan saat-saat bersamanya. Dan baru kurasakan aku takut untuk sendiri. Mungkin benar bahwa kita baru merasa bahwa sesuatu berarti dalam hidup kita saat kita telah kehilangan.

“Rasanya udah lama banget kita ga ngobrol..” suara Aldo memecah keheningan.
Benar, jawabku hanya dalam hati. Kalo kuingat-ingat sudah dua minggu sejak kedatangan Aldo dan gadis itu ke rumah. Aldo sempat beberapa kali meneleponku, tapi aku selalu beralasan sedang sibuk dan hanya berjanji akan meneleponnya kembali, tapi hal itu tidak pernah aku lakukan. Dan ini berlangsung sampai beberapa kali.
“Maaf..aku agak sibuk akhir-akhir ini, ada target yang harus aku selesaikan” jawabku mencoba beralasan.
Aldo memandangiku. Ya Tuhan, semoga dia tidak tahu apa yang kurasakan saat ini, doaku dalam hati. Entah mengapa aku merasa bergetar saat dia memandangiku seperti ini. Padahal sudah ratusan kali kita “jalan” bersama, tapi sekarang semuanya terasa berbeda.
Aku merasa bersalah, mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Merasa bersalah karena ternyata diam-diam aku mulai jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Merasa bersalah karena baru menyadari hal itu setelah sekian tahun kita “bersahabat” baik. Merasa bersalah karena hal itu terjadi setelah dia menemukan “seseorang” yang tepat untuknya. Merasa bersalah karena ternyata perasaan sayang pada sahabat dengan perasaan cinta hanya terpisah oleh tirai tipis yang bisa koyak sewaktu-waktu dengan begitu mudahnya. Aku sendiri juga tidak mengerti mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Apa mungkin pada saat aku mengalami demam tinggi beberapa syaraf di otakku mengalami “pemuaian” hingga aku mulai berhalusinasi dengan perasaanku sendiri.
“Kamu udah sembuh kan? Kelihatannya kok masih lemes gitu sih..”
Aku hanya menggeleng sambil berdoa dalam hati semoga dia tidak mulai membahas Rena, karena aku tidak yakin akan bisa bersikap obyektif lagi dalam memberikan pendapat tentang gadis itu.
Suara handphone menyelamatkanku. Segera kuangkat dan hanya melihat sekilas nama si penelpon. Bagas? Otakku baru mencerna, tapi jariku sudah terlanjut memencet tombol hijau.
“Halo...?” suaraku terdengar ragu-ragu.
“Hai...gimana kabarnya? Baik kan..?”
“Baik...” aku menjawab singkat, kuraih capucino ku yang tinggal separuh, sekedar untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering.
“Kalo ada waktu, mmmhh...nonton yuk...” suaranya masih terdengar tenang dan sabar.
Sejenak aku bingung mesti menjawab apa.
“Boleh...” entah mengapa kata itu yang meluncur dari mulutku.
“Sekarang...?!” kemudian terdengar dia tertawa.
Di hadapanku Aldo tampak memandangku curiga, mulutnya mengucap kata-kata ..siapa?
Aku menaruh telunjukku di bibir, menyuruhnya diam dan mengatakan dengan perlahan,..Bagas..
Diluar dugaan Aldo mengacungkan jempolnya sambil tersenyum menggoda.
Aku mencibirkan bibirku, karena tak tahu harus bersikap bagaimana lagi.
“Haloooo...” suara Bagas mengembalikan konsentrasiku.
“Besok aku jemput dari kantormu, trus kita jalan ya...” kalimatnya bukan seperti penawaran tapi lebih seperti perintah untukku, dan aku tak punya pilihan lain untuk menolaknya.
“Okey deh..” jawabku singkat.
“Bye...” kututup telponnya.
Aldo berdehem-dehem. Aku tahu dia berniat menggodaku.
“Jadi, ceritanya berlanjut nih...” dia mengatakan itu sambil tersenyum dan mengerling.
“Bagas orangnya baik kok” kata Aldo lagi.
Aku belum mengerti maksud dari kata-kata Aldo. Karena jauh di lubuk hatiku, aku berharap Aldo akan mengatakan hal lain, mencegahku berhubungan dengan Bagas, lalu mengatakan padaku bahwa sesungguhnya dia juga mencintaiku, sama seperti yang aku rasakan saat ini. Tapi aku tahu itu hanya halusinasiku.
“Aku takut...Do..” aku mengatakannya pelan.
“Takut? Kenapa?”
“Aku takut pernikahan, aku takut hal itu tidak berjalan baik, seperti pernikahan orang tuaku..” Ini adalah hal paling jujur yang aku katakan pada Aldo, selama ini aku hanya memendamnya sendiri, menyimpannya rapat-rapat di sudut ruang hatiku.
“Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri, Tania..kamu gak perlu merasa takut, dan kalau aku liat secara pribadi, Bagas orangnya baik dan sabar, dia cocok sama kamu yang meledak-ledak, dia pasti bisa mengimbangimu..” Aldo mengatakan itu sambil tersenyum penuh arti.
“justru karena itu, aku takut...saat bersama Bagas, seringkali aku merasa Bagas adalah malaikat dan aku setannya...” kataku pelan.
Aldo tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang baru saja aku katakan.
“Aku tahu kamu aneh, Tania..tapi kadang aku sama sekali tidak mengira bahwa ke-anehan mu benar-benar parah...”
Aku cemberut, kalimatnya menohokku, mungkin karena itu juga Aldo tidak bisa jatuh cinta padaku, desisku dalam hati. Pedih.

Pulang kantor, di tempat parkir kulihat Bagas sudah berdiri disamping mobilnya, melambai ke arahku. Aku berjalan perlahan ke arahnya. Hari ini dia mengenakan poloshirt warna hitam dengan celana jeans biru muda. Dia tampak santai, menyalamiku, sambil tersenyum manis. Tapi entah mengapa perasaanku biasa-biasa saja. Tak ada degup seperti apa yang kurasakan akhir-akhir ini saat bersama Aldo. Hati manusia memang benar-benar aneh.
Di dalam mobil aku berbicara sangat sedikit. Ada perasaan canggung karena secara sadar aku pernah menyakiti Bagas. Aku tidak bisa memberikan alasan yang jelas saat dia mengajakku menikah. Kemudian berhenti menghubunginya dan sebisa mungkin menghindari telponnya. Aku tahu seharusnya Bagas terluka atas sikapku ini.
“Kata Aldo kamu baru sembuh dari sakit ya..?”
suara Bagas membuyarkan lamunanku.
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
“Kamu kecapekan, mungkin...” katanya lagi
Aku hanya tersenyum kecil kemudian melayangkan pandanganku ke luar jendela mobil.
Seharusnya aku bisa bersikap lebih baik dari ini. Bagas sudah bersikap sangat baik padaku. Dia bahkan tidak mengungkit-ungkit tentang apa yang pernah aku lakukan padanya. Tapi entahlah, perasaanku saat ini sedang tidak bisa diajak kompromi, bahkan hanya untuk berpura-pura baik pada “ malaikat” seperti Bagas.

Kami sampai di sebuah rumah makan. Tempatnya lumayan nyaman. Ada beberapa gazebo yang berjajar rapi dan diantaranya dipisahkan dengan kolam kecil yang dihiasi air mancur yang menimbulkan bunyi gemericik. Penerangannya menggunakan lampu-lampu gantung berwarna kuning yang diletakkan dalam sebuah wadah yang berbentuk semacam lampion.
Aku berjalan perlahan di sisi Bagas, yang langsung menuju salah satu gazebo paling ujung dari rumah makan ini. Kulihat di kejauhan ada dua orang yang sedang melambai ke arah aku dan Bagas. Dan saat aku semakin dekat dengan keduanya, aku baru menyadari ternyata dua orang itu tak lain adalah Aldo dan Rena.
Perasaan tak nyaman langsung menyergapku. Entah mengapa aku merasa terintimidasi dengan kehadiran Rena disitu. Seperti pertemuanku sebelumnya, Rena selalu tampak mempesona. Dia mengenakan terusan selutut berwarna coklat, dipadu dengan blazer bermodel sederhana, rambut panjangnya diikat begitu saja ke belakang, dan beberapa diantaranya tampak terjuntai di pipi kanannya. Dalam kondisi bagaimanapun dia masih tampak cantik, bathinku.
“Surprise...” Aldo tersenyum ke arahku.
“Bagas nih yang punya ide kencan ganda seperti ini...” kata Aldo lagi sambil melirik Bagas.
Dan entah mengapa aku semakin sebal dengan Bagas, idenya ini benar-benar membuatku merasa tidak nyaman. Berada diantara Aldo dan Rena saja sudah cukup membuatku merasa tidak nyaman, sekarang ditambah lagi aku harus “mengatur” sikapku dengan Bagas. Rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.
Dan malam itu semuanya berjalan begitu lambat bagiku. Aku berusaha tersenyum semanis mungkin untuk menutupi perasaanku yang remuk redam melihat kemesraan Aldo dan Rena.


Aku berdiri di atas bukit kecil tempat aku dan Aldo biasa bertemu. Dulu saat kita sama-sama masih anak belasan tahun kita menganggapnya sebagai tempat melepas lelah atas kehidupan duniawi. Setiap kali  ada masalah atau hanya ingin bermain-main kita akan langsung ke tempat ini. Bukit ini semacam tempat  “penyegaran diri” bagi aku dan Aldo. Biasanya kita hanya duduk, memandang hamparan pemandangan di bawah sana. Menyaksikan deretan rumah-rumah yang seakan mozaik kaca, berwarna warni, dihiasi hijaunya pepohonan. Awan putih tampak menggantung laksana payung kapas yang melayang ringan melindungi panorama di bawahnya. Terkadang aku berlarian kesana kemari, mengayun ayunkan tanganku keatas kebawah, seakan aku punya dua sayap secantik kupu-kupu dan Aldo berpura-pura memegang benang yang mengendalikan gerak tubuhku. Sungguh sebuah kenangan manis yang sayang untuk dilupakan begitu saja.
“Ternyata kamu disini...?” Suara Aldo membuyarkan lamunanku tentang masa lalu.
Dia sedang berdiri tepat di belakangku.
Aku hanya diam, berpura-pura masih menikmati pemandangan yang terhampar di hadapanku.
Aldo duduk tepat di sampingku. Tangannya memetik sebatang rumput kemudian dimainkan diantara jemarinya. Dia menoleh ke arahku, menatapku dari samping, seakan mencari jawaban atas sikapku selama ini. Aku bahkan tak berani balas menatapnya. Aku khawatir air mataku tak dapat kutahan saat memandang wajahnya. Perasaan takut kehilangan ini semakin kuat mencengkeram hatiku.
“Ada apa, Tania? Aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku?” tanya Aldo.
Aku hanya menggeleng. Aku jatuh cinta padamu, Do...! teriakku hanya dalam hati.
“Aku minta maaf kalau aku berbuat sesuatu yang membuatmu marah, tapi aku benar-benar tidak tahu atas apa yang sudah atau pernah aku lakukan sampai kamu seperti ini..”
Aku menoleh ke arah Aldo, kutatap dia lekat. Dan air mata itu sudah tak mampu aku tahan lagi, meleleh di pipiku begitu saja.
Aldo tampak terkejut. Buru-buru dihapusnya air mataku dengan tangannya.
Hatiku semakin terasa sakit. Entah mengapa.
Aku bingung, haruskah berterus terang kepadanya? Dengan kemungkinan dia akan membenciku karena menganggap aku telah berpura-pura menjadi sahabatnya selama ini. Atau aku harus tetap memendamnya dalam-dalam di lubuk hatiku.
Aku tidak rela Aldo menjadi milik wanita lain, mungkin itu kalimat paling tepat atas perasaanku saat ini. Tapi apa hakku?
Aldo diam tak bersuara pandangannya mengarah jauh ke langit-langit yang mulai kelabu. Senja mulai menggayut.
“Aku butuh waktu sendiri, Do...” kataku pada akhirnya, setelah kita diselimuti diam beberapa saat lamanya.
Kudengar Aldo menghela nafas. Dia menatapku kembali, mengacak-acak rambutku, kemudian berdiri, membersihkan celana jeansnya yang ditempeli rumput-rumput kering, dan berbalik bersiap meninggalkanku.
Kulihat dia berjalan perlahan menjauhi tempatku duduk, kulihat punggungnya, entah mengapa hatiku terasa mau meledak. Aku tak sanggup kehilangan Aldo.
Aku berdiri kemudian berlari mengejarnya, dan akhirnya kupeluk dia dari belakang.
Aldo tampak terkejut dengan sikapku. Tapi dia hanya berdiri mematung, menunggu apa yang akan aku katakan.
Aku menangis sejadi-jadinya. Ingin kutumpahkan beban berat yang kutanggung akhir-akhir ini. Mungkin aku memang harus mengatakannya. Kupeluk erat tubuh Aldo, punggungnya basah oleh air mataku.
“Aku mencintaimu, Do..” kataku pelan diantara isak tangis. Aku tahu Aldo mendengarnya.
Tapi dia masih tetap diam, hanya tangannya terasa menyentuh tanganku yang sedang melingkar di pinggangnya. Tangannya terasa dingin.
Saat aku menyadari atas apa yang kulakukan, kulepaskan pelukanku dari tubuhnya. Perlahan kemudian Aldo berbalik. Menatapku lekat, telapak tangannya menyentuh kedua pipiku. Tangan itu masih terasa dingin.
“Aku juga mencintaimu, Tania...”
Dadaku berdetak keras sekali.
“Justru karena aku terlalu mencintaimu, aku merasa kita tidak mungkin bersatu. Rasa cinta dan sayang yang aku rasakan tidak mampu ditukar dengan persahabatan kita selama ini. Persahabatan diantara kita terlalu indah untuk disatukan dalam pernikahan. Seringkali aku merasa takut tidak mampu membuatmu bahagia. Dan hal itu aku sadari bukan sesuatu yang baik untuk kamu dan aku. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku, Tania...”
“Tapi aku ga mau orang lain, Do..aku mencintaimu..” suaraku bergetar. Entah bagaimana aku bisa mengatakan itu.
Aldo tersenyum lembut.
“Aku sangat mengenal kamu, Tania..percayalah itu hanya perasaan sesaat, sebentar lagi kamu akan menemukan 'seseorang' yang benar-benar tepat untuk kamu”
“Bagaimana seandainya aku tidak bisa menemukannya?” suaraku terdengar putus asa.
“Kamu pasti menemukannya, percayalah..kamu hanya butuh sedikit waktu untuk mengesampingkan egomu..” Aldo mengatakan hal itu sambil menepuk lembut pipiku. Kemudian dia memelukku erat. Kehangatan yang sebentar lagi tak akan kurasakan lagi.
“Aku takut, Do...aku takut sendiri...”
Aldo masih diam.
Kemudian dia berbisik lembut. “Kamu tidak akan sendiri, Tania”.

Aku berdiri di sudut ruangan besar ini. Sudah sekian lama aku berdiri mematung memandang dari kejauhan. Disana kulihat Rena seperti putri dari negeri dongeng. Mengenakan gaun putih panjang berenda yang tampak gemerlap terkena sinar lampu, rangkaian bunga melati tampak menghias rambutnya. Dan disampingnya Aldo mengenakan setelan jas berwana abu-abu tua, tampak gagah dan bahagia, menyambut uluran tangan para tamu yang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka berdua.
Aku bahkan tidak punya kekuatan untuk melangkah kesana. Kakiku terasa berat untuk digerakkan, seluruh tubuhku bergetar, dan mati-matian kutahan agar air mata ini tak menetes. Harus kuakui ini sangat berat untuk dilalui, tapi inilah kenyataan yang harus aku hadapi. Aldo sudah menemukan seseorang yang tepat untuknya. Dan persahabatan ini akan terus berjalan sebagaimana adanya. Karena cinta tak harus saling memiliki.
Kurasakan tanganku disentuh lembut oleh seseorang. Aku segera tersadar. Sosok ini telah begitu sabar menemaniku di sudut ruangan besar diantara keramaian pesta. Aku tersenyum ke arah Bagas. Dia mengangguk ke arahku, seakan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Digenggamnya erat tanganku seakan ingin mengalirkan energi agar aku cukup kuat melangkah menuju pelaminan Aldo dan Rena. Mungkin Aldo benar bahwa aku akan menemukan seseorang yang lain. Walaupun entah kapan dan dimana, aku hanya harus sabar dan mencoba membuka hati untuk seseorang yang lain, selain Aldo.


-Tamat-
21 Oktober 2011


Selasa, 11 Oktober 2011

I love U, Boss!



“Aduuuhhh...!! gimana sih kamu..? bikin surat kayak gini aja gak becus..!” suaranya bergema di seluruh ruangan. Dia tampak emosi sekali, kertas yang dipegangnya dilempar begitu saja ke arahku. Jatuh tepat di depan sepatuku. Aku memungutnya, berusaha untuk menahan diri. Kuhela nafas dalam-dalam, agar udara segar memenuhi paru-paruku, berharap ada banyak oksigen yang akan mengisinya kemudian mengalirkan ke otak dan mengirimkan perintah pada syaraf-syaraf untuk menahan air mataku jangan sampai keluar. Aku harus kuat menghadapi “monster” ini.
“Hey...?! kenapa diam?” suaranya kembali terdengar dengan nada tinggi.
“Terus saya mesti gimana, Pak?” entah malaikat mana yang membantuku memberi kekuatan mengatakan hal itu.
“Haduuuuhhh...ampun deh..udah kamu keluar aja. Panggil Rina, Sita, Mia..atau sapa aja aku ga tahan sama kamu..” suaranya masih menggelegar.
Dasar orang sinting, bathinku. Hanya karena masalah surat aja dia bisa marah besar seperti itu. Diantara rekan-rekan kerjaku hanya aku satu-satunya pegawai yang belum pernah menangis saat dia berubah jadi “monster” seperti itu. Namanya Arya Wiranata, lulusan S2 luar negeri dan baru 6 bulan menjabat sebagai direktur di kantor ini. Secara fisik dia bisa masuk kategori cowok metroseksual, tampang lumayan keren, badan atletis, penampilannya selalu rapi dan wangi, tapi sayang kebiasaan buruknya marah-marah hanya karena hal kecil dan cara bicaranya yang bisa membuat telinga panas langsung bisa menerjunkan penilaian fisiknya dari sembilan menjadi lima.   Kuraih segelas air putih di mejaku, kuminum isinya sampai tandas. Lumayan bisa mendinginkan hatiku.
“Kena marah lagi..?” suara Nia rekan kerjaku yang mejanya hanya dipisahkan penyekat.
“Yah, begitulah...” jawabku sambil tersenyum kecut dan menggedikkan bahu.
“Biasa lagi kumat..” kataku lagi seraya menyilangkan telunjuk ke dahiku.
“Masalah apa lagi?” tanya Nia penasaran.
“Alaaaahhh...gak penting, seperti biasanya.” jawabku sambil mengibaskan tangan dan langsung berpura-pura sibuk dengan komputerku, aku sedang malas membahasnya saat ini.
Baru sekitar setengah jam aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, ketika mbak Rina mencolek bahuku sambil mengatakan “ dipanggil lagi sama si Boss” senyumnya terlihat dipaksakan, mungkin merasa iba atau justru merasa geli dengan nasibku hari ini. Aku hanya mengangguk tanpa banyak bertanya kenapa si Boss memanggilku lagi.
Aku berjalan lambat-lambat menuju ruangan Bossku, dalam hati entah sudah berapa doa yang aku baca untuk menenangkan hati. Perlahan kuketuk pintunya.
“Masuk”, suara berat itu semakin membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
“Bapak memanggil saya?”
“Mmmhh...” dia mendongak sedikit, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke tumpukan map di depannya.
“Besok aku mau presentasi dengan klien, tolong siapkan bahannya”, dia masih sibuk dengan tumpukan kertas dan map tanpa memandang ke arahku.
“Biasanya mbak Rina yang menyiapkan bahan presentasi bapak?” duh, kenapa aku harus mengatakan itu? Aku baru sadar dengan apa yang aku ucapkan. Seharusnya aku tidak melontarkan kalimat bodoh itu. Sebentar lagi dia pasti akan marah, mungkin aku akan dilempar dengan tumpukan map dan kertas-kertas itu, aku bergidik membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi ternyata diluar dugaan. Dia berhenti melakukan kegiatannya, mendongakkan wajahnya, tersenyum sinis sambil mengatakan
“Kenapa? Kamu gak bisa? Aku tahu kamu gak mampu, heh..?
“Bukan pak, eeemmm...saya bisa pak..saya akan siapkan bahannya besok..”aku baru menyadari apa yang kuucapkan. Apa mungkin aku bisa menyelesaikannya besok? Aku mengutuki diri sendiri.
“Bagus..” jawabnya pendek.
“Cuman itu aja, pak?” tanyaku, berharap bisa segera keluar dari “neraka” ini.
Dia hanya mengangguk, tanpa sedikitpun melihat ke arahku.
Aku berjalan menuju pintu keluar, ketika suaranya terdengar lagi.
“Ohya, besok kamu datang 1 jam lebih awal, aku mau pelajari dulu hasil kerjamu”
“Baik pak” jawabku pendek.

Kriiinggg...kriinnnggg...kriiinngg...suara berisik itu benar-benar membuatku terjaga. Sejenak aku berusaha mengembalikan kesadaran, kucari sumber suaranya, sambil meraba-raba meja kecil disebelah tempat tidurku. Dan aku langsung melompat dari tempat tidur saat kulihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Duh, malapetaka benar-benar menanti didepanku. Bagaimana mungkin aku bisa bangun kesiangan? Padahal aku ingat sudah memasang bekerku jam 05.00 mungkin karena semalam aku begadang sampai jam 2 dini hari menyiapkan bahan presentasi, dan tertidur sangat lelap sampai tidak mendengar suara bekerku yang menjerit-jerit dari tadi. Tak ada waktu lagi untuk menganalisa dan menyesali keteledoranku kali ini. Aku harus mandi “sekedarnya” untuk menyingkat waktu dan biarlah nanti membenahi dandananku di taksi. Huh, terpaksa aku harus naik taksi karena sudah tak mungkin lagi kalau mau naik bis. Suasana rumah sudah sepi, mungkin adik-adikku sudah berangkat dari tadi. Tak ada waktu lagi untuk sarapan. Aku hanya meraih sebungkus biskuit yang tergeletak di meja makan. Tergesa-gesa aku keluar rumah ketika sampai di pintu depan, aku baru ingat handphoneku belum masuk dalam tas, ya ampun..akhirnya terpaksa aku kembali ke dalam rumah, mencari-cari dimana aku meletakkannya. Dan saat aku sedang kebingungan mencari, tiba-tiba terdengar suara handphone yang ternyata terselip dibawah bantal. Kulihat nama yang muncul di layarnya, tamatlah riwayatku, si Boss menelepon. Aku sempat bimbang antara mengangkat telpon atau membiarkannya saja. Akhirnya dengan berat hati kuputuskan untuk menerima saja telponnya, sambil bersiap menerima sumpah serapah yang pasti akan aku dapat darinya.
“Halo? Selamat pagi, Pak?”
“Apa? Pagi...? jam berapa ini? Aku kan sudah bilang, kamu harus datang lebih awal untuk menunjukkan hasil kerjamu, supaya aku tidak terlihat bodoh di depan klien karena sama sekali tidak tahu apa yang sudah kamu kerjakan. Sudah setengah jam aku menunggu dan sampai sekarang aku belum tahu dimana keberadaanmu. Aku ga mau tahu lagi, nanti kamu harus presentasi sendiri, aku tidak mau jadi bahan tertawaan gara-gara kamu..!” Klik.
Suara telepon ditutup, aku masih melongo dengan apa yang baru saja aku dengar. Kuhela nafas, relaks..relaks..aku berkata dalam hati, semua akan baik-baik saja, gumamku terdengar lebih mirip keluhan. Aku langsung berlari keluar rumah, sempat hampir lupa untuk mengunci pintu dan pagar. Mungkin aku harus minum obat penghilang keteledoran, huff..keluhku dalam hati.

Jam 08.25, aku sampai kantor. Masih ada waktu 5 menit untuk menyiapkan presentasi. Beruntung tadi aku sempat membenahi diri dan mengecek kembali bahan-bahan presentasi di taksi. Si Boss hanya duduk sambil memandangku dengan pandangan yang benar-benar bisa membuat bulu kudukku berdiri, sepertinya dia ingin membunuhku karena kejadian ini. Tapi aku sudah tidak sempat lagi memikirkan hal-hal semacam itu, aku mau berkonsentrasi pada presentasi. Ini adalah presentasi pertamaku, dan aku harap bisa memberi kesan positif pada klien.
Tak lama kemudian para klien datang, dan syukurlah semua berjalan lancar. Tampaknya mereka  puas dengan presentasiku. Aku bahagia dengan apa yang sudah aku lakukan, tidak sia-sia aku begadang mengerjakannya, biarpun karena itu aku harus terlambat datang ke kantor dan menerima “sarapan” pagi yang tidak mengenakkan dari si Boss.
Setelah semua klien pergi, si Boss tetap tinggal duduk di salah satu kursi meeting. Dia hanya diam, duduk termangu, seperti sedang berpikir tentang sesuatu. Aku pura-pura sibuk membenahi berkas-berkasku. Aku bahkan tidak berani untuk meliriknya.
“Ada yang bisa dibantu lagi, Pak?” akhirnya aku memberanikan diri mengatakannya.
Dia hanya memandangku dengan sinis, berdiri dan berlalu begitu saja meninggalkan ruangan meeting. Fiuhhh...! benar-benar pagi yang menegangkan. Aku duduk sambil berusaha meregangkan kaki-kaki dan tanganku. Saatnya untuk minum secangkir coklat hangat untuk sedikit mengusir rasa lapar yang mulai menimbulkan bunyi-bunyian di perutku. Sore ini sepulang kerja aku mau pergi ke mall, belanja, minum kopi di cafe favoritku. Waktunya menikmati hidup, pekikku dalam hati.

Seseorang mengguncang-guncang bahuku. Hoaaahheeemm...aku ingin membuka mata, tapi rasanya berat sekali. Kukucek mata berusaha menghilangkan rasa berat yang masih menggayut dikedua kelopak mataku. Sesaat setelah kuperoleh kesadaran, kudapati diriku tidak sedang berada di atas tempat tidur. Ya Tuhan, aku tertidur di kantor! Keteledoranku yang kesekian untuk hari ini. Dan saat aku menoleh untuk melihat siapa malaikat penolong yang telah menyelamatkan diriku dari kemungkinan menginap di kantor, jantungku justru terasa berhenti dalam beberapa detik. Si Boss sedang menatapku dengan pandangan yang sama sekali tidak bisa kuungkapkan dalam kata-kata. Kusisir rambut dengan jari berusaha membenahi penampilan walaupun aku sadar itu hanya sia-sia saja. Aku tak berani membayangkan apa yang akan aku terima saat ini.
“Maaf, pak...” ucapku penuh kecanggungan.
Entah malaikat mana yang merasukinya, dia tersenyum... Duh, mungkin aku mulai berhalusinasi lagi.
“Kamu nggak punya tempat tinggal, sampai harus menginap di kantor?” tanyanya lebih tepat sebagai ejekan bagiku.
Aku bingung mau menjawab apa, mungkin aku bisa berbohong bahwa sebenarnya aku berniat lembur tapi kemudian sempat tertidur sejenak, tapi aku tak punya keberanian itu.
“Saya ketiduran, pak” jawabku sambil meringis, benar-benar jawaban tanpa pembelaan diri.
“Kamu sudah mau pulang atau masih mau tinggal di kantor?”
Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa lagi.
“”Mhhh...saya pulang aja deh pak” kataku sambil menggaruk rambut yang sebenarnya tidak terasa gatal. Dia hanya mengangguk kemudian pergi meninggalkan aku sendiri.
Aku berjalan menyusuri koridor kantor, suasana sudah sangat sepi, hanya ada satpam yang berjaga di depan. Sambil berjalan kucoba mengingat-ingat bagaimana sampai aku tertidur. Kulirik jam tanganku, sudah hampir jam 7 malam. Seingatku sekitar jam 5 saat semua bersiap-siap pulang, tiba-tiba kepalaku terasa berat, kemudian kuputuskan untuk menunggu sejenak di kantor, tapi entah mengapa aku bisa sampai tertidur selama itu.
“Tiiiiiiiinnn...!! suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Sebuah sedan hitam berada tepat disampingku. Aku baru menyadari saat kaca depan diturunkan. Bossku..?!
“Ayo aku antar...?!” katanya santai.
Sejenak aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku sedang tidak berhalusinasi.
“Ayo cepat masuk..” suara berat itu kembali terdengar, nadanya sedikit memaksa.
Aku tidak berani menolak, serasa dihipnotis aku masuk ke dalam mobilnya, berusaha duduk dengan santai tapi sungguh tidak bisa kulakukan.
Mobil berjalan diiringi alunan musik lembut. Suara Josh Groban “The Broken Vow”.
“Bapak juga suka Josh Groban?” kataku berusaha mencairkan suasana.
Dia mengangguk. “Kenapa?” tanyanya pendek.
Aku menggeleng..”agak aneh..” gumamku.
Tapi ternyata dia mendengar kata-kataku.
“Aneh..?! kenapa..?” tanyanya sambil menoleh ke arahku.
Sempat ragu aku menjawabnya, tapi sudah kepalang basah.
“Ternyata bapak berhati lembut..” kataku pelan sangat pelan hampir seperti bisikan.
“Hahahahaha....!!” Dia tertawa sangat keras, aku begitu terkejut, sampai jantungku terasa melompat keluar dari dadaku.
“Maaf..” aku tak tahu harus mengatakan apalagi.
Perjalanan ke rumah terasa tiga kali lebih panjang dari biasanya. Aku hanya ingin mandi air hangat,  tidur dengan selimut tebalku, bangun keesokan paginya dan menyadari mungkin ini hanya mimpi, keluhku.

“Duduk” suara beratnya, selalu membuatku merinding.
Aku menuruti perintahnya, sambil mengingat dan mengira-ngira kesalahan apalagi yang aku buat minggu ini. Kalau aku hitung-hitung sudah sekitar sebulan sejak kejadian tertidur di kantor malam itu. Aku tidak berani memikirkannya.
“Nih....” ucapnya seraya menyodorkan sebuah amplop putih.
Tamatlah riwayatku. Tampaknya ketidaksukaannya padaku sudah melampaui ambang batas. Ini pasti surat pemecatan untukku. Dadaku terasa sesak, mungkin ini saatnya aku menangis, jeritku dalam hati. Tapi..Tidak, aku tidak mau terlihat lemah di depannya.
Segera kuambil amplop itu dan langsung berdiri tanpa membukanya.
“Terima kasih, Pak” ucapku pendek, seraya bersiap meninggalkan ruangan.
“Hey..siapa suruh kamu pergi..!” seperti biasa nada tingginya muncul lagi.
“Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan Bapak selama saya bekerja disini.” Aku berpura-pura tegar menghadapinya.
“Ya Tuhan...” Dia mulai tampak sangat kesal denganku.
“Tolong duduk dulu dan baca baik-baik surat itu..”
Aku terkejut dengan kalimatnya. Sejak kapan dia bisa mengucapkan kalimat santun seperti itu?
Akhirnya aku menyerah, aku pasrah kalau adegan selanjutnya dia akan tertawa terbahak-bahak melihatku menangis setelah membaca surat pemecatanku ini.
Perlahan kubuka amplopnya, membukanya dengan hati-hati sambil terus memohon dalam hati agar air mataku jangan sampai jatuh.
“.....promosi jabatan menjadi manajer marketing......”
berulang kali kubaca kalimat itu, mungkinkah otakku salah mengirimkan sinyal-sinyal ke syaraf sehingga aku jadi berhalusinasi seperti ini. Kudongakkan kepala, kulihat Si Boss tersenyum. Aku sama sekali tidak tahu apa arti senyumannya.
“Jangan senang dulu, ada masa percobaan selama 3 bulan dan satu lagi....” dia menatapku lekat, baru kusadari dia memang benar-benar tampan. Uff...pikiran gila apalagi yang ada di otakku? Kembali kurutuki diri sendiri.
“Kamu harus datang malam ini ke Royal Cafe, jam 7 aku tunggu kamu disana”.
Aku masih bingung dengan kata-katanya.
“Saya harus bertemu klien, Pak?” tanyaku berharap ada penjelasan dari kalimatnya tadi.
“Pokoknya kamu datang aja...” potongnya pendek.
Aku hanya mengangguk dan bergegas meninggalkan ruangan. Kepalaku dipenuhi pertanyaan dan hatiku masih diliputi kebimbangan atas apa yang baru kuterima. Ah, biarlah..kita lihat saja nanti...gumamku pada diri sendiri.

Pukul 18.00, aku masih mematut-matut diri di depan cermin, ini baju ke tujuh yang aku coba kenakan, tapi belum juga kutemukan yang aku rasa paling pas. Hey, apa yang terjadi dengan diriku? Kenapa aku begitu peduli dan menganggap ini sebagai hal yang istimewa? Mungkin ini pertemuan dengan klien membahas tentang beberapa proyek atau apalah, jadi kenapa aku harus begitu tegang menghadapinya? Aku terduduk lemas disamping tempat tidur. Kulirik gaun hitam selutut yang tergeletak pasrah tak jauh dari tempatku duduk. Segera kuraih dan kukenakan, aku rasa cukup pantas. Sebagai pemanis kupasangkan sebuah ikat pinggang kecil berwarna keperakan. Rambutku sengaja kubiarkan tergerai, hanya kuberi pemanis sebuah jepit berwarna senada dengan ikat pinggangnya. Aku keluar kamar, dan kedua adikku tampak sedikit terkejut dengan penampilanku.
“Mau kencan, kak?” tanya Dika si bungsu penuh selidik. Aku melotot sambil mencibirkan bibirku, dia tertawa melihat tingkahku.
“Kak, malam ini aku menginap disini lagi ya?” Dita kakak Dika bertanya padaku.
“Loh, kamu ini baru 1 tahun menikah kok sudah pergi-pergi dari rumah?” godaku.
“Enggak, kak.. Mas Herman kan tugas keluar kota lagi sampai besok, aku malas di rumah sendirian..”
“Boleh...tapi bayar sewa ya...?” kataku sambil mengerlingkan mata menggodanya.
“Beres, Boss...” katanya sambil mengacungkan jempolnya.
“Kakak mau kemana sih? Aku antar ya?” tanya Dika.
“Dianter..? naek motor? Udah dandan cantik gini kok mau naek motor, gak mau ah..kakak naek taksi aja...” kataku pura-pura jutek.
Dika hanya nyengir sambil menggedikkan bahunya.

Kulirik jam di pergelangan tanganku, masih pukul 18.50. Bagus, pujiku dalam hati pada diri sendiri, berkurang satu alasan si Boss untuk memarahiku. Kulayangkan pandangan keseluruh ruangan, mencari tempat yang cukup nyaman. Mataku tertumbuk pada sosok yang sepertinya kukenal. Pak Arya? Bossku? Ya Tuhan, ternyata dia sudah datang lebih dulu. Badanku terasa sedikit lemas, apalagi saat aku berusaha pura-pura menuju toilet ternyata dia malah melihatku lalu melambaikan tangannya. Aku berjalan mendekati tempatnya duduk. Bau parfumnya yang khas langsung menerobos hidungku. Dia berdiri kemudian menyuruhku duduk. Sikapnya sungguh manis, atau ini hanya perasaanku saja?
Dia tersenyum, memanggil pelayan dan meminta daftar menu.
“Mau pesan apa?”
Aku hanya menggeleng pelan, selera makanku tiba-tiba lenyap.
“Aku bantu pesan ya? Steak disini enak lho..? mau nggak?”
Aku masih heran dengan sikapnya, tapi akhirnya hanya mengangguk pasrah dengan pilihannya.
“Kita masih menunggu klien, Pak?”
Dia menggeleng. “Nggak, cuman kita berdua”
“Kamu kok kelihatannya takut gitu sih? Ini kan bukan di kantor” katanya sambil mengaduk-aduk kopinya dengan santai.
Malam ini dia mengenakan hem lengan panjang berwarna biru laut yang digulung sampai tiga perempat lengannya, dipadu dengan celana jeans biru tua. Sekali lagi harus kuakui dalam hati, dia memang lumayan tampan.
Aku berusaha mengatasi rasa jengah dalam hati. Semeja dengan orang yang biasanya marah-marah setiap hari bukanlah hal yang mudah. Apalagi tiba-tiba dia bersikap manis padaku. Aku mulai agak curiga dengan niatnya kali ini.
Tak lama makanan datang, aku bersyukur aku tidak perlu berbasa basi lebih lama lagi dengannya. Sampai saat inipun aku tidak mengerti apa maksudnya mengajakku kesini.
“Bagaimana dengan promosimu? Apa pendapatmu?” tanyanya.
“Menurut bapak saya harus berpendapat apa..?” tanyaku balik
“Kamu ini selalu saja begitu, ditanya malah balik nanya...”
Aku hanya tersenyum.
“Ohya, kabarnya adek bungsumu juga akan menikah tahun depan?”
Aku terkejut dengan pertanyaannya.
“Saya tidak mengira bapak sebegitu pedulinya dengan bawahan” kelitku.
“Anggap saja sebagai bagian dari wawancara untuk promosimu...dan kamu sendiri mengapa sampai umur 30 tahun begini belum juga menikah..?”
Uhuuukk...! sepotong daging meluncur langsung ke tenggorokanku tanpa sempat aku kunyah terlebih dahulu. Buru-buru kuambil orange juice di depanku berusaha menghilangkan rasa mengganjal di tenggorokan. Aku benar-benar tidak mengira dengan pertanyaannya, ingin rasanya menyiramkan sisa orange juice di gelasku langsung ke mukanya. Kutarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri.
“Setiap orang punya peran dalam hidup ini, Pak..tinggal bagaimana kita menyikapi dan menjalani peran itu. Saya cukup bahagia dengan peran saya sebagai kakak yang bisa mengantarkan adik-adik saya ke tahap kemapanan. Dan seandainya saya harus menjalani peran dalam kehidupan ini sebagai sosok yang sendiri, saya akan jalani. Saya tidak mau memaksakan diri hidup berpasangan dengan seseorang hanya saya khawatir dengan status “perawan tua” yang melekat pada diri. Saya cukup bahagia sampai saat ini, menjalani hidup dengan cara dan peran yang saya pahami.”
Dia tersenyum, entah karena puas dengan jawabanku atau justru tidak mengerti dengan apa yang baru saja aku ungkapkan. Aku tak peduli.
“Kita nonton yuk...” katanya santai.
Kutatap wajahnya, entah mengapa tiba-tiba aku punya keberanian itu.
Dia tersenyum, seharusnya mungkin ini bisa jadi malam yang romantis. Tapi tiba-tiba..”glodak..” aku menumpahkan segelas orange juice, tepat mengenai baju hitamku. Tumpahannya lumayan banyak, meninggalkan noda besar di sekitar dada dan perutku. Ya Tuhan, mungkin ini kutukan karena tadi aku berniat menyiramkannya pada Bossku, jeritku dalam hati.
Kulihat Pak Arya tertawa melihat keadaanku. Mungkin dia cenderung suka melihat penderitaan orang lain, bathinku. Aku ingin marah pada diri sendiri kenapa bisa begitu teledor seperti ini. Rasanya ingin sekali menangis, tapi keadaan sungguh tidak memungkinkan.
“Kayaknya kita gak mungkin nonton, deh..” keluhku.
“Ada jaket di mobil kalau kamu mau.., toh bajumu hitam gak terlalu keliatan kok” suaranya terdengar merdu kali ini.
“Kita pulang aja...uppsss..maaf..maksud saya..ehm..saya pulang aja, Pak”.
Dia tergelak, aku semakin yakin kalau dia memang menikmati “penderitaan” yang aku alami.
“Kamu naik apa..?”
“Taksi, pak...” jawabku pendek sambil terus menerus mengelap noda bajuku dengan tissue.
“Ayo aku antar aja...”
Aku agak terkejut dengan tawarannya. Tapi kurasa aku tidak ada pilihan lain.
Dia memanggil pelayan, membayar tagihannya kemudian berdiri dan berjalan tenang. Aku mengikutinya dengan sedikit kikuk, membayangkan betapa tampak bodohnya aku dengan baju basah ini. But life must go on, isn't it?. Uff..apalagi yang ada dipikiranku, bukan saatnya berpikir yang berat, aku mengomeli diri sendiri. Tiba-tiba tangannya meraih tanganku.
“Jalanmu lambat sekali, sih...” suara dan tindakannya benar-benar mengejutkan aku.
“Cuman gara-gara baju basah saja kamu bisa kehilangan kepercayaan diri begini? Ayolah, seharusnya kamu bisa lebih berpikir positif, agar aku tidak menyesal memberikan kesempatan promosimu”. Suaranya mulai meninggi, seperti biasanya.
Beberapa orang memperhatikan kami. Tapi tampaknya dia tidak terlalu peduli.
Sampai di depan saat kita menuju ke tempat parkir, ternyata hujan sedang turun, rintiknya tidak terlalu deras.
“Baguslah..akhirnya ada yang bisa dijadikan alasan kenapa bajuku basah..” gumamku pada diri sendiri. Tapi ternyata si Boss mendengar gumamanku.
Dia tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tiba-tiba menarik tanganku menerobos hujan. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Sampai di tempat mobilnya di parkir, kita berdua basah .
“Terkadang kita harus menghadapi rasa khawatir dan ketakutan untuk membuktikan bahwa sebenarnya kita mampu mengatasinya.
Dasar orang aneh! rutukku dalam hati.
“Berarti sebentar lagi kita harus siap sama-sama masuk angin” kataku sambil meringis.
“Aku selalu sedia baju ganti lengkap di dalam mobil, jadi mungkin kamu sendiri yang akan masuk angin” ucapnya enteng tanpa dosa, sambil membuka bagasi dan mengeluarkan sebuah tas dari sana. Aku ternganga dengan apa yang dikatakannya, aku tahu dia orang yang menyebalkan tapi tidak pernah berpikir bahwa dia akan sekejam ini. Aku benci orang ini…!! Teriakku dalam hati.
“Saya bisa pulang naek taksi..! terima kasih atas kebaikan bapak malam ini…! Kataku sambil berjalan menjauhi mobilnya.
Diluar dugaan, dia mengejarku dan menarik tanganku.
“Aku mau kamu tunggu disini..ini perintah..” dia mengatakan itu dengan sangat serius.
“Saya benar-benar tidak mengerti jalan pikiran, Bapak.., apa Bapak memang punya kecenderungan suka melihat penderitaan orang lain” jeritku hampir menangis.
“Ya Tuhan, kenapa sih kamu selalu punya pikiran buruk tentang aku?” Tangannya semakin erat mencengkeram tanganku. Aku benar-benar takut. Kulihat disekeliling tampak beberapa orang sedang menikmati apa yang terjadi dengan kami. Akhirnya hujan reda. Dia menarikku kembali menuju mobilnya.
Please, beri aku waktu 10 menit, aku akan mengantarmu pulang,. Dia membuka mobilnya mengeluarkan jaket tebal dan memakaikannya padaku. Mungkin ini bentuk penebusan rasa bersalahnya, ejekku dalam hati.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, masuk ke mobilnya mencoba menghangatkan diri dengan memasukkan kedua tanganku ke dalam kantung jaket. Entah mengapa aku merasa begitu lelah. Suara musik lembut di dalam mobil, aku tidak tahu kapan Si Boss menyalakannya, aku hanya sempat melihatnya sekilas keluar menjauhi mobil. Mungkin aku memang harus menunggunya putusku dalam hati.

“Halo, sleeping beauty…” suara berat itu membangunkanku. Kulihat si Boss sedang menyetir, bajunya telah berganti dengan kaos berkerah warna putih. Sejenak kucoba mengembalikan kesadaran. Ya ampun, aku tertidur di mobil Boss…! Betapa konyolnya aku.
“Maaf, pak? Saya ketiduran ya…?” Kataku sambil mengucek-ngucek mata.
“Sebenarnya aku berniat langsung mengantarmu pulang, tapi melihat keadaanmu yang seperti itu, aku jadi punya ide..”
Hatiku berdesir. Entah mengapa aku jadi membayangkan hal-hal yang mengerikan, seperti berita-berita di koran dan televisi, seorang wanita seharusnya bisa menjaga dirinya, omelku pada diri sendiri. Sekali lagi aku menyesali keteledoran yang telah aku lakukan. Secara refleks kurapatkan jaket yang kukenakan. Kakiku mulai terasa gemetar.
Tampaknya dia menyadari apa yang aku lakukan. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum dan mengatakan “Pasti kamu berpikir buruk lagi tentang aku ya?”
Tangannya meraih kepala dan mengacak-acak rambutku. “Kamu bener-bener harus cuci otak” katanya sambil mengerling ke arahku.
“kita mau kemana?” tanyaku berusaha memelas, masih belum bisa percaya sepenuhnya atas apa yang bisa dilakukannya.
“Lihat aja nanti…bajumu masih basah?”
Aku hanya menggeleng. Mungkin ini saatnya banyak-banyak membaca doa, saranku pada diri sendiri.
Sekitar setengah jam kemudian, mobilnya berbelok memasuki suatu kawasan. Kulihat keluar melalui jendela mobil. Sebuah pantai, pekikku dalam hati.
“Ayo turun” ajaknya.
Aku menurutinya dan benar-benar terpesona dengan apa yang ada dihadapanku. Sebuah pantai yang begitu indah, pasir yang terhampar luas , di langit tampak bulan purnama bersinar terang, membiaskan cahaya keperakan di air laut. Aku menoleh padanya, dia tampak sedang tersenyum penuh kesombongan.
“Anggap saja ini perayaan atas promosimu..” katanya sambil menatapku. Kulepas sepatuku dan mulai berjalan tanpa alas kaki menapaki pasir. Aku benar-benar seperti terhipnotis dengan suasana pantai ini. Beberapa pasangan sejoli tampak sedang memadu kasih. Aku menoleh ke arah si Boss ternyata dia sedang memandangiku, aku tak berani menatap matanya, hanya tersenyum sekilas dan kemudian menunduk pura-pura sibuk memperhatikan butiran pasir di sela jemari kakiku. Mungkin angin laut sudah membuatku mabuk kataku dalam hati.
“Bapak sering kesini?” aku berusaha menenangkan jantungku yang terasa berdetak lebih kencang.
“Mmmmhh…hanya sekali-kali saja”. Sahutnya pelan
“Kita duduk disini yuk”, ajaknya.
Aku mengangguk dan mengikutinya. Kubenamkan kedua kakiku dalam pasir, terasa hangat, aku benar-benar menyukainya.
“Kamu sudah punya pacar..? atau sedang dekat dengan seseorang mungkin..?”
Aku terkejut dengan pertanyaannya.
“Apa ini bagian dari wawancara, Pak?” kelitku
Dia tertawa memamerkan deretan gigi indahnya.
“Yah, anggap saja begitu..” jawabnya singkat.
“Dan kalo saya tidak mau menjawab, apa ini akan berpengaruh pada rencana promosi saya?” aku balik mengejarnya.
Dia tertawa lagi, kali ini sambil memandangiku.
Aku berbisik dalam hati, mungkin besok aku harus periksa ke dokter jantung, karena merasa semalaman ini detak jantungku terasa tidak normal.
“Saya rasa saya punya hak untuk tidak menjawabnya, Pak, dan saya percaya bapak bisa menilai seseorang bukan hanya dari sisi kehidupan pribadinya”. Aku  berharap perbincangan tentang ini akan segera berakhir.
“Kamu lapar lagi, nggak?” tanyanya.
Aku menggeleng, “saya cuman haus, pak” jawabku
“Kita cari makanan disana yuk, aku lapar lagi nih” katanya sambil memegangi perut, tampangnya benar-benar seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Kami memasuki sebuah café kecil yang terletak tepat diseberang pantai. Suasananya agak temaram dan ramai dengan anak-anak muda. Ada live music band lokal tampak sedang menyanyikan lagu-lagu anak pantai. Si Boss menoleh ke arahku. Dia tampak mengatakan sesuatu tapi aku tak bisa mendengarnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala tanda tak mengerti atas apa yang baru dikatakannya. Kemudian dia menarikku mendekatkan wajahnya ke dekat telingaku, darahku terasa berdesir.
“Terlalu berisik disini, kita ke mobil aja”. Aku hanya mengangguk, dia tidak langsung berjalan keluar, tapi menuju tempat penjual minuman di pojok café membeli sebotol air mineral dan dua buah minuman kaleng. Tangannya menggandeng erat tanganku, dan aku hanya pasrah saja, mungkin dia refleks melakukan hal itu karena suasana café yang begitu ramai, batinku pada diri sendiri mencoba menentramkan hati.
Sesampainya di dalam mobil, dia membuka minuman kalengnya dan langsung menyerahkannya padaku.
“Nih..katanya haus..”sikapnya sungguh manis.
Aku teringat sesuatu, kubuka tasku dan kukeluarkan sebungkus biskuit dari sana.
“Bapak lapar kan? Nih..saya selalu sedia ini di dalam tas, lumayan bisa mengganjal perut.” Dia tersenyum, dan langsung meraih biskuit di tanganku. Wajahnya benar-benar tampak begitu bahagia.
Aku menahan tawa melihatnya begitu lahap memakan biskuitku.
“Ada yang lucu?” dia menoleh ke arahku.
Aku menggeleng. “Bapak keliatan sangat ‘manusiawi’ saat makan biskuit”
“Maksudnya..?”
Aku sempat ragu untuk menjawabnya.
“Bapak seperti monster kalo lagi di kantor..” jawabku pelan khawatir dengan reaksinya atas keterusteranganku.
Dia tertawa cukup keras, mungkin tidak mengira aku akan mengatakan hal semacam itu.
Dia menghela nafas, membuka air mineral dan meminumnya beberapa teguk. Tampaknya aku harus bersiap-siap kalo seandainya dia akan mengusir aku dari mobilnya dan terpaksa aku akan pulang sendiri, aku mulai mengomeli diri sendiri atas apa yang baru saja aku katakan padanya.
“Apa kamu selalu berpikiran buruk seperti itu pada semua orang?” tanyanya santai.
Aku agak terkejut dengan sikapnya, jangan-jangan dia bisa membaca pikiran batinku.
“Hidup yang mengajarkan hal itu pada saya, pak..Kedua orangtua saya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Semua terjadi begitu tiba-tiba. Saya harus kehilangan dua orang yang paling dekat dalam hidup saya pada waktu bersamaan. Si bungsu saat itu masih duduk di kelas dua SMA dan kakaknya baru saja masuk kuliah. Untunglah saya sudah menyelesaikan kuliah saat itu, jadi saya bisa kerja untuk membiayai sekolah adik-adik. Tapi yang berat adalah saat saya harus menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka berdua. Mungkin itu sebabnya saya cenderung over protective, pada mereka dan bahkan diri saya sendiri, karena sayalah yang bertanggung jawab atas hidup mereka setelah ayah dan ibu meninggal. Syukurlah masa berat itu sudah berlalu”, kuhela nafas, aku tidak tahu kenapa harus menjelaskan hal ini padanya.
Tiba-tiba dia menyentuh tanganku sambil menatapku “Sebenarnya hidup tidak seberat itu, percayalah”
Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya, tapi entah mengapa hatiku terasa hangat. Ya Tuhan, semoga ini bukan hanya mimpi, doaku dalam hati.



Hari ini adalah hari pertama sejak aku menerima surat promosi. Aku berdoa semoga tidak banyak yang berubah setelah kejadian malam itu. Aku hanya masih bingung harus bersikap bagaimana.
“psssstt...Dila..panggilan tuhh..” suara Nia mengagetkan aku.
“Siapa..?” tanyaku tak mengerti.
“Siapa lagi? Ya si Boss lah...” kata Nia lagi sambil memasang tampang ngeri di wajahnya.
Dadaku berdebar lebih kencang dari yang kemarin-kemarin saat mendengar nama si Boss disebut. Fiuuuhh...,entah apa yang akan aku terima nanti.
“Selamat pagi pak..” sapaku dengan senyum sedikit dipaksakan.
“Pagi..” dia mengangkat wajahnya.
“Beresi barang-barangmu, kamu pindah ke ruang baru mulai hari ini”.
“Mmmmhh..pak, boleh gak saya tetap di meja yang sekarang?” tanyaku pelan tanpa berani menatapnya.
“Loh? Mana bisa begitu..,mejamu  akan segera dipakai oleh penggantimu”
“Paling tidak selama 3 bulan masa percobaan saya, biarlah saya tetap di meja yang lama, seandainya nanti pengganti saya datang, saya bersedia pindah.”
Dia tampak berpikir sejenak.
“Terserah kamu lah...tapi hari ini kamu temeni aku makan siang ya?” dia mengatakan itu dengan tenangnya sambil tetap sibuk membuka-buka majalah bisnis di depannya.
Degh...aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
“ Ada janji dengan klien, Pak?” kataku sambil berusaha menenangkan hati.
“Mungkin...” jawabnya pendek.
Mungkin? Jawaban apa itu...gerutuku dalam hati. Tapi aku memang tak punya alasan untuk menolaknya.

Sekitar dua minggu kemudian ternyata penggantiku telah datang. Dia berasal dari kantor cabang lain. Mau tidak mau aku harus meninggalkan meja lama dan menempati ruangan baru sebagai manajer marketing. Seharusnya aku akan merasa lebih nyaman di tempat baru, aku hanya merasa malas menjadi bahan pergunjingan di kantor. Aku mulai menyadari banyak yang membicarakan tentang aku kalau sedang dibelakangku. Bisik-bisik ini semakin terasa karena si Boss agak terlalu sering memanggilku. Seharusnya bisa dipahami karena hal itu tidak jauh-jauh dari mengenai soal pekerjaan, tapi apa mereka benar-benar membutuhkan penjelasan? Aku mulai merasa jarang diajak makan siang bersama oleh teman-teman yang lain. Sungguh, hal ini benar-benar membuatku tidak nyaman, tapi aku tidak berani mengungkapkannya pada si Boss, karena aku tahu dia pasti hanya akan mengejekku dan mengatakan seharusnya aku tidak boleh lemah karena hal-hal kecil seperti itu kalo mau maju. Biarlah nanti juga semua akan berlalu dengan sendirinya, selalu itu yang kuucapkan berusaha menyemangati diri sendiri

Sabtu ini ada acara perayaan ulang tahun perusahaan yang dirayakan di sebuah hotel. Semua staff diundang tak terkecuali. Sebenarnya si Boss menawarkan untuk berangkat bersama, tapi aku menolaknya dengan tegas, ini demi kebaikan bersama, putusku waktu itu.
Aku tergesa-gesa turun dari taksi, sampai hampir lupa membayar ongkosnya. Buru-buru kukeluarkan uang dari dompet dan membayarnya.
“kembaliannya ambil aja, pak” kataku demi menembus malu. Aku benar-benar harus mencari toilet,  rasanya sudah tak mampu lagi kutahan hasrat “panggilan alam” untuk buang air kecil. Kutanya pada reseptionist dimana letak toilet terdekat. Aku berjalan menuju arah yang ditunjukkan si receptionist. Akhirnya kutemukan toiletnya, aku langsung masuk pada ruangan yang bertulis “ladies”. Sebuah wastafel dengan kaca besar ada disitu. Segera kumasuki salah satu toiletnya. Aku sudah bersiap untuk keluar dari toilet, saat kemudian terdengar seorang wanita sedang menangis. Tampaknya dia sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon.
“Aku tahu, mas...” sepi sejenak, kemudian hanya terdengar isak tangis.
“Tapi semuanya gak semudah itu, mas...kenapa mas Arya bisa begitu mudah mengatakan itu?”
Aku benar-benar tidak berniat untuk menguping pembicaraan ini. Tapi saat kudengar nama Arya disebut, aku jadi membatalkan niatku untuk segera keluar dari toilet. Kutajamkan telingaku, sepertinya aku mengenal suara wanita ini. Suaranya benar-benar tidak asing bagiku. Kucoba mengingat-ingat...suara Nia? Ya, benar itu suara Nia, ada apa dia dengan pak Arya..ah tapi mungkin ini hanya kebetulan bahwa seseorang yang berbicara dengan Nia di telepon juga bernama Arya. Aku masih mencoba menahan diri walaupun hati kecilku mulai mengomel tentang nilai sopan santun dalam mendengarkan pembicaraan orang lain.
“Aku tahu mas Arya sekarang dekat dengan Dilla..”
Degh...kenapa namaku disebut-sebut? Apa mungkin seseorang yang dipanggil mas Arya oleh Nia adalah si Boss..? kakiku terasa mulai gemetar, jantungku berdegup dengan kencang, aku bersandar di dinding toilet. Kepalaku tiba-tiba terasa berat.
“Semuanya gak semudah itu, mas...” suara isak tangis lagi. Hening sejenak.
Tapi tiba-tiba handphone ku berbunyi. Jantungku terasa copot, mengapa disaat seperti ini harus ada seseorang yang meneleponku.
Suara isak itu berhenti, mungkin dia baru menyadari bahwa ada seseorang di dalam toilet selain dirinya. Kemudian terdengar langkah menuju pintu keluar. Aku menghela nafas lega. Suara handphoneku sudah berhenti berdering. Aku tak peduli siapa yang menelepon. Kubuka pintu toilet keluar dari sana, dan berjalan pelan menuju ke wastafel. Kunyalakan krannya, kubiarkan aliran dingin merasuk di pori-pori jemari tanganku. Entah mengapa hatiku terasa hampa.
Aku berjalan keluar toilet sambil masih melamunkan apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba.. Bruk...!! aku menabrak seseorang, sempat kehilangan keseimbangan gara-gara high heels yang kukenakan hingga aku jatuh terduduk.
“Maaf...” kataku tanpa melihat siapa yang baru saja aku tabrak.
“Yaaa..seperti biasanya...”
aku begitu terkejut dengan suara itu, kuangkat wajahku dan kulihat si Boss disana mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Hatiku langsung berdetak kencang, apalagi teringat dengan apa yang kudengar tadi di toilet.
Dia melihatku dari atas ke bawah, kemudian tersenyum.
Aku memasang tampang cemberut. Dia nampak heran dengan sikapku.
“Asal bapak tahu aja hal semacam itu bisa dikategorikan tindak pelecehan seksual ringan di luar negri”. Kataku.
“yang mana?” tanyanya entah benar-benar tidak mengerti atau hanya berpura-pura.
“cara bapak memandangi saya...” dia tersenyum.
Tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, hingga hanya berjarak beberapa centi, aku menahan nafas, terbius dengan film-film romantis atas apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi ternyata dia mengambil sesuatu dari rambutku.
“Ada kotorannya nih...” katanya pelan sambil menatap tepat di mataku. Ya Tuhan, sebentar lagi aku akan terkena serangan jantung, batinku.
“kamu dari mana sih, sampai kotoran seperti ini bisa menempel di rambutmu?” tanyanya
Aku hanya menggedikkan bahu, pertanyaan yang tidak perlu dijawab putusku dalam hati.

Suasananya begitu ramai, banyak klien dan para pemimpin cabang berkumpul disini. Si Boss sibuk beramah tamah dengan para undangan. Sengaja kupilih tempat di pojok ruangan besar ini, sambil mengawasi para tamu yang datang. Beberapa teman datang menyalamiku sebagian mengucapkan selamat atas promosiku. Kuedarkan pandangan untuk mencari-cari sosok Nia diantara kerumunan orang-orang. Tapi aku tidak melihatnya. Mungkinkah Nia langsung pulang setelah kejadian di toilet tadi? Kuhela nafas panjang mencoba mengeluarkan beban yang seakan-akan dijejalkan dalam dadaku setiap kali mengingat kejadian tadi.
Aku berjalan keluar menuju sebuah kolam kecil yang terletak tak jauh dari ruangan tempat acara berlangsung, suara gemericik air mancurnya terdengar indah. Beberapa ikan koi tampak sedang berenang kesana kemari memamerkan kemolekan warna-warni tubuhnya.
“Kok disini, udah makan?” duh, suara berat itu lagi, keluhku.
“bapak hobi memata-matai orang ya?” jawabku sedikit kesal.
“Kamu gak makan?” dia bahkan tidak menjawab pertanyaanku
“Pantes aja kamu kurus kering kering seperti ini..” dia mengatakan itu sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
“Seharusnya bapak nggak disini” kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“aku sudah cukup beramah tamah dengan mereka” katanya pelan sambil mengeluarkan sebatang rokok, menyalakan dan kemudian menghisapnya.
“Bapak merokok?” tanyaku, karena selama ini aku belum pernah melihatnya merokok.
“hanya sekali kali saja kalau sedang ingin...” katanya sambil terus menikmati rokoknya.
“kalo sedang ingin dan sedang gundah memikirkan sesuatu...” tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Dia tampak terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan.
“Maksudnya...?” dia menatapku, wajahnya benar-benar menunjukkan ketidakmengertian.
Aku tertunduk, memainkan jari jemariku, menimbang-nimbang haruskah aku menanyakan padanya tentang apa yang tadi kudengar atau tetap berpura-pura tidak tahu. Dan lagi apa hakku menanyakan hal itu pada si Boss, bisa-bisa aku malah dianggap lancang karena ikut campur dalam kehidupan pribadinya.
“Ga ada apa-apa, pak..., maaf” aku berpura-pura kembali sibuk memperhatikan kolam kecil didepanku.
“Saya minta ijin pulang duluan, boleh gak, pak?”
“Loh...? tunggu sebentar lagi nanti aku antar pulang” katanya.
“saya mau pulang sekarang, pak”
“Kenapa? Kamu sakit?” tangannya terulur untuk menyentuh dahiku. Aku berusaha menghindar sambil kutepis tangannya. Dia tampak terkejut dengan reaksiku.
Aku menatapnya. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa dia harus masuk dalam kehidupanku? Aku sudah merasa cukup puas dengan hidupku selama ini, tapi semuanya jadi terasa berat saat dia mulai melakukan hal-hal manis seperti itu. Atau mungkin ini hanya perasaanku.  Tiba-tiba aku jadi ingin menangis.
“Saya harus pulang, pak...” aku merasa sudah tidak tahan lagi dengan keadaan ini. Segera aku berlalu dari hadapannya, setengah berlari meninggalkan dia yang masih tampak kebingungan dengan sikapku.
“Dilla tunggu...ada apa sih? Kamu benar-benar orang yang aneh.”
Dia menarik tanganku. Tapi aku langsung menghempaskannya. Airmataku sudah terlanjur meleleh. Ya Tuhan, tolong aku...aku tidak mau terlihat menangis didepannya.
Aku segera berlari, tak kuhiraukan lagi panggilannya. Mungkin sudah saatnya mengakhiri mimpi ini, aku harus segera terjaga..teriakku dalam hati.

Thank's God, It's Sunday Morning, gumamku pada diri sendiri.  Jam menunjukkan pukul 07.20. Hari ini aku tidak berencana kemana-mana, aku hanya ingin tidur seharian, janjiku dalam hati. Kepalaku masih terasa agak berat. Kucoba bangkit dari tempat tidur. Berjalan menuju meja rias dan duduk didepannya. Kulihat bayangan diriku di cermin, mataku tampak masih agak bengkak ditambah dengan bekas riasan yang belum terhapus sempurna. Jadi ternyata kejadian semalam bukan cuman mimpi, keluhku dalam hati.
Aku berjalan menuju dvd player ku, kupilih lagu pop berirama ceria, kukencangkan volumenya. Berjalan ke arah pintu kamar, dan kukunci dari dalam. Biasanya adik-adikku sudah paham, saat aku mengunci pintu kamar dan terdengar musik keras dari dalam, mereka tidak akan menggangguku. It's me time...teriakku. Aku menggoyangkan tubuhku mengikuti musik, menghentak-hentakkan kaki dan sekali-kali mengikuti syair dari lagu yang kuputar. Ritual semacam ini biasanya sangat ampuh mengusir kesedihan. Aku terus berputar-putar di sekitar kamar entah selama berapa lama. Tapi rasa sesak di dada masih terus menghimpitku, mengapa rasa ini tidak bisa hilang? Jeritku dalam hati. Aku sudah tidak tahan lagi, kurebahkan diri di atas tempat tidur, dan mulai menangis..
Ya Tuhan, aku merasa begitu kesepian..
begitu sendiri..
Aku rindu ayah dan ibu..
aku tahu bahwa peran ini memang harus aku jalani
tapi mengapa kadang terasa begitu berat..?
aku tahu bahwa aku hanya harus belajar ikhlas menerimanya..
tapi terkadang aku juga merasa lelah
Aku terus menangis menumpahkan semua gundah dalam hati. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku jadi sedih seperti ini? Mungkinkah gara-gara apa yang telah kudengar di toilet semalam? Duh, apa yang kupikirkan? Pak Arya dan Nia? Apa benar pernah ada sesuatu diantara mereka? Apa sebenarnya sikap pak Arya kepadaku tak jauh beda dengan sikapnya pada karyawan lain? Jadi hanya aku yang merasa berlebihan akhir-akhir ini? Harusnya aku malu pada diriku sendiri, rutukku dalam hati.
Tiba-tiba kudengar handphone ku berdering. Kulihat nama yang tertera di layar. Pak Arya? Kubiarkan saja telpon berdering tanpa kuangkat, biarlah..ini kan hari minggu, tak ada urusan kantor yang harus kuselesaikan, gumamku. Kututup kepalaku dengan bantal. Please, don't disturb my life, teriakku lebih pada diri sendiri.

Beberapa hari ini sengaja aku menjaga jarak dengan si Boss. Biarlah semua berjalan seperti apa adanya. Sebisa mungkin aku menghidar untuk berbicara hanya berdua dengannya. Aku tahu terkadang dia lewat di depan ruanganku dan melihat kearah mejaku, tapi aku akan langsung berpura-pura sibuk dengan komputer dan berkas-berkas. Saat rapat berlangsung aku hanya diam tak banyak bicara, berpura-pura sibuk mencatat, dan dia sekali-kali tampak melirikku. Setelah rapat selesai aku akan buru-buru meninggalkan ruangan meeting dan dia terus memandangiku dengan tajam. Terkadang ingin rasanya aku mengecilkan diri atau menghilang untuk sesaat, sekedar menenangkan batinku sendiri.
Tapi hari ini terpaksa aku pulang lebih malam dari biasanya. Ada banyak pekerjaan yang masih harus kuselesaikan. Kulirik jam di pergelangan tanganku, sudah hampir jam 19.00. Kubereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerja. Perutku mulai terasa lapar, aku harus pulang. Mungkin nanti aku akan mampir ke restoran padang langgananku, akhir-akhir ini selera makanku turun drastis. Aku tidak boleh sakit, nasehatku pada diri sendiri.
“Belum pulang..?” suara beratnya benar-benar membuatku hampir melompat dari kursi yang aku duduki.
Dia tersenyum melihat tingkahku.
“Pasti lagi nglamun ya?” dia mengerlingkan matanya.
Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini, tolong jangan biarkan aku jatuh cinta kepadanya, doaku dalam hati.
“Kamu sudah selesai? Udah mau pulang kan?”
Aku mulai memutar otak untuk mencari-cari alasan menghindar darinya.
“Ehhhmmm...saya ada janji pak..., mungkin nggak bisa langsung pulang...” kataku ragu-ragu. Aku mengutuki diri kenapa tidak bisa menyembunyikan kebohonganku.
“Aku tahu kamu cuman cari alasan untuk menghindar, tapi kalau memang kamu ada janji dengan seseorang, bilang aja kamu ada tugas dari atasan, atau aku sendiri yang harus menelepon orang itu?”.
Aku sudah tidak bisa menghindar kali ini, keluhku dalam hati.
Aku berjalan pelan disampingnya menuju pintu keluar kantor. Sekali-kali tampak dia menoleh kearahku, tapi aku hanya pura-pura tidak tahu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapnya. Akhirnya kita sampai di area parkir. Dia membukakan pintu untukku, dan aku tetap diam sampai mobil berjalan menjauhi kantor.
“Sebenarnya ada apa sih, Dilla?” dia mulai membuka pembicaraan.
Aku menggeleng.
“Aku bener-bener gak ngerti dengan sikapmu akhir-akhir ini”.
“Bukankah bapak bilang saya aneh, jadi anggap saja ini salah satu dari keanehan saya..” aku mengatakan itu dengan pelan.
Tiba-tiba dia menghentikan mobilnya. Kulihat sekeliling lewat kaca jendela mobil. Ini masih sangat jauh dari rumah.
“Kita akan tetap disini sampai kamu cerita ada apa sebenarnya..” dia menatapku dengan sangat tajam.
Kuhela nafas, tenggorokanku terasa kering.
“Ada apa antara Bapak dengan Nia?” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Kulirik reaksinya saat nama Nia kusebut. Dia menghela nafas, mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jari telunjuknya, tampak sedang berpikir. Kemudian dia menatapku.
“Aku dan Nia memang pernah menjalin hubungan..” suaranya terdengar pelan.
Jantungku terasa berdebar semakin kencang. Aku juga tidak tahu jawaban apa yang kuharapkan.
“tapi itu sudah lama sekali, Dilla...saat kita masih sama-sama kuliah, Nia adik tingkatku, kita sempat dekat dalam beberapa lama tapi hubungan kita tidak berjalan baik dan kemudian aku pergi ke luar negri untuk mengambil gelar masterku...Saat aku kembali ke Indonesia, secara kebetulan dia menjadi salah satu staffku..yah, begitulah ceritanya. Setiap orang punya masa lalu kan..?” dia mengatakan itu sambil menatapku tajam.
“Hufffttt...” tiba-tiba saja suara itu keluar dari mulutku. Mungkin ini sebuah bentuk ekspresi kelegaan atau apa, aku juga tidak tahu pasti.
“tapi tampaknya Nia masih berharap pada pak Arya...” aku mengatakan itu dengan sangat hati-hati, sambil berusaha menenangkan hatiku sendiri atas apa yang akan dikatakan Arya selanjutnya.
Dia hanya tersenyum. Aku berdoa dalam hati semoga dia tidak menanyakan darimana aku tahu semua ini.
“Jawaban apa yang kau harapkan dariku, Dilla?” tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku bersandar pada jok mobil. Saat ini aku benar-benar berharap bisa menghilang dari sini. Dia menatap tepat ke dalam mataku. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku, aku hanya diam seakan-akan seluruh tubuhku kaku. Aku benar-benar merasa seperti tersihir olehnya. Dan hal itu terjadi begitu saja, dia mencium bibirku. Aku tersentak. Tak menduga bahwa hal seperti ini bisa terjadi. Aku mengutuki diri sendiri mengapa bisa selemah ini padanya.
Kubuka pintu mobil dan segera keluar dari sana. Arya tampak terkejut dengan sikapku. Dia berusaha mencegahku. Aku berlari menjauh darinya. Tapi dia menarik tanganku. Dia memegangnya dengan erat. Kuhempaskan tangannya. Kuusap bibir ini dengan kasar, Ya Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi, aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikiranku, aku hanya berpikir bahwa ke depannya semua pasti akan semakin sulit bagiku.
“Aku minta maaf, Dilla...” mohonnya.
Badanku terasa gemetar, aku mendekap erat tasku di dada.
“Kenapa kamu masuk dalam hidupku, aku merasa lebih baik saat kita tidak sedekat ini, kenapa tidak kita buat semuanya jadi lebih mudah..?” aku mengatakan itu padahal aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud perkataanku.
Dia memandangku dengan pandangan tidak mengerti. Suara mobil berlalu lalang, seperti suara riuh rendah hatiku..
“Mengapa Dilla? Sebenarnya kamu khawatir dengan perasaanmu sendiri kan? Kamu takut jatuh cinta, karena kamu takut akan kehilangan, kamu takut kehilangan orang yang kamu cintai karena kamu mengganggap begitu paham mengenai rasa sakit hati saat kehilangan orang-orang yang kamu cintai. Kamu berpura-pura tegar tapi sebenarnya kamu rapuh. Kamu membangun tembok tinggi seakan-akan kamu tidak butuh orang lain, tapi sebenarnya kamu sakit Dilla, sudah saatnya kamu belajar menerima kenyataan, belajar menerima suara hatimu bahwa sebenarnya kamu bisa jatuh cinta dan biarkan seseorang mencintaimu.
Plak...!! semua terjadi begitu saja. Ya Tuhan, aku menampar Bossku, seharusnya hal itu kulakukan sejak tadi saat dia menciumku, rutukku dalam hati. Kalimatnya terasa begitu menyakitkan, atau justru itulah yang sebenarnya? Kata suara hatiku yang lain. Badanku semakin gemetar, dan tiba-tiba  hujan turun dengan derasnya. Terima kasih Tuhan, aku tidak perlu terlihat menangis di depannya. Airmataku menetes deras seiring dengan air hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Aku berlari meninggalkannya. Berharap ada taksi yang lewat. Ya Tuhan tolong aku, aku hanya ingin segera pergi dari sini. Rupanya doaku didengar olehNya. Sebuah taksi berhenti tepat didepanku aku segera masuk kedalamnya. Di kejauhan kulihat Arya masih berdiri disana, tubuhnya basah kuyup tersiram hujan.

Hari ini mungkin akan berjalan lambat, bathinku. Aku akan berusaha bersikap sebiasa mungkin di depan pak Arya. Aku akan berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa semalam. Anggap saja diriku mengalami amnesia ringan atau apalah, aku berusaha membodohi diri sendiri. Aku berjalan pelan di koridor kantor, sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Suasana kantor masih sepi. Entah kebetulan atau malapetaka, saat menuju ruanganku aku berpapasan dengan si Boss, jantungku langsung berdetak kencang, kedua kakiku terasa lemas, seakan tak mampu aku gerakkan lagi untuk melangkah. Aku berusaha tersenyum dan mencoba menyapanya dengan mengucapkan selamat pagi walaupun suaraku seakan hilang entah kemana. Tapi ternyata...dia hanya melewatiku begitu saja, tanpa melihat kearahku sedikitpun. Ya Tuhan, sekarang dia pasti sangat membenciku...Hufft..aku berusaha menenangkan diri. Bukankah ini yang kau inginkan, Dilla? Suara dalam hatiku seakan-akan mengejek atas apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Yah, bukankan menurutku ini yang terbaik? Aku harus siap dengan konsekuensinya, tak ada alasan lagi untuk menyesali apa yang terjadi. Aku harus kuat, seperti biasanya. Bukankah aku sudah cukup terbiasa dengan rasa sepi ini? Kurasakan pandanganku mengabur, aku gak boleh cengeng, semua pasti akan segera berlalu, aku berusaha menghibur diri sendiri, kuusap air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Semua pasti akan baik-baik saja, bisikku.

Kucoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Tak pernah lagi ada pembicaraan di luar pekerjaan dengan pak Arya, semua kembali seperti awal dulu saat “semua” belum pernah terjadi. Hanya yang membedakan pak Arya tak pernah lagi marah-marah padaku, yah karena bahkan untuk menatap wajahku saja, dia seakan-akan tak sudi. Setiap hari terasa lambat bagiku. Terkadang aku begitu merindukannya, rindu senyum, kerlingan matanya, perhatiannya. Ya Tuhan, mungkin aku sudah gila, keluhku. Sampai kapan semua ini berakhir? Sampai kapan rasa ini akan menguap untuk selamanya? Mungkin aku harus mulai memanjakan diriku lagi seperti dulu. Jalan-jalan, belanja, minum di cafe favoritku. Yah, benar..sudah lama sekali aku tidak melakukan hal itu. Aku akan coba mengajak beberapa teman kantor, pasti akan menyenangkan.
Bergegas aku keluar dari ruanganku menuju ke meja Nia, sudah lama sekali aku tidak mengobrol dengannya.
“Nia, kita jalan yuk...” kataku seraya menepuk bahunya.
Dia menoleh kepadaku, tanpa ekspresi, berdiri dari tempat duduknya dan langsung pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa kepadaku. Aku melongo melihat sikapnya, benar-benar tidak siap dengan apa yang baru saja aku terima. Aku pasti terlihat bodoh sekali di depan teman-teman kantor yang secara tidak sengaja melihat kejadian ini. Aku tahu mereka mulai berbisik-bisik.
Kucoba untuk tersenyum, walaupun hatiku terasa seperti diiris-iris. Haruskan aku menjelaskan yang sebenarnya? Bahwa tidak pernah ada “sesuatu” diantara aku dan pak Arya. Bahwa semuanya sudah berakhir seperti yang seharusnya.

Akhirnya harus kuterima kenyataaan ini. Aku sakit fisik dan mental. Setiap hari aku pulang malam untuk menyelesaikan tugas kantor, berpura-pura sibuk dengan duniaku, walaupun terkadang saat sendiri di meja kerja aku berharap ada suara beratnya yang mengagetkanku, mengingatkanku untuk makan, mengomeliku saat pikiranku tidak rasional (menurutnya). Ya Tuhan, aku benar-benar lelah. Setetes air mata jatuh membasahi berkas didepanku. Aku akan pulang cepat malam ini, janjiku dalam hati. Seharian entah mengapa aku merasa lemas sekali. Kuberesi sisa berkas yang ada, biarlah kuselesaikan besok. Kuraih tasku, berjalan pelan menuju pintu keluar kantor. Tinggal beberapa langkah menuju pintu keluar, ketika aku merasa kepalaku semakin berat, pandanganku terasa berputar-putar, dan kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.


Kucoba membuka mata, kepalaku masih terasa berat. Ini bukan kamarku, bathinku. Aku berada dikamar Rumah Sakit. Sebuah selang infus terpasang di tangan kiriku. Aku sedang berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi dengan diriku ketika tiba-tiba pintu terbuka, Dita masuk bersama Dika.
“Kak...?” suara Dita pelan, matanya tampak mulai berkaca-kaca. Dika berdiri mematung di ujung tempat tidur.
“Kalian kenapa sih?”
“Maafin kami ya...gak pernah perhatian sama kakak, sampai kakak sakit begini, sebenarnya kami tahu akhir-akhir ini kakak banyak melamun, makan juga gak teratur, tapi kami ga brani nanyain, kami tahu kakak gak bakal mau crita...kata dokter kakak kecapekan dan mengalami dehidrasi” suara Dita terdengar serak. Kemudian dia memelukku. Dika masih termangu, kemudian dia meraih kakiku dan memijitnya...
“Eits...!! cowok gak boleh nangis..” godaku pada Dika. Kemudian dia mendekat dan mencium keningku. “Cepet sembuh ya, Kak..” bisiknya.
Kupeluk mereka berdua, kehangatan mengaliri hatiku. Terima Kasih Tuhan, bisikku.

Sorenya, beberapa teman kantor datang menjengukku. Ternyata aku tidak sendiri, aku menghibur diri. Walaupun rasa sepi itu masih ada, tersembunyi di satu sisi ruang batinku. Mungkin ruang itu harus kubiarkan kosong seperti adanya dulu.
“Oh ya, pak Arya keluar negri, Dilla...” tiba-tiba mbak Rina mengatakan itu.
Degh..dadaku mulai berdebar-debar lagi. Mengapa aku masih merasakan getaran ini setiap kali namanya disebut?
“Ooo..iyya...” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Boss berangkat 2 hari yang lalu, makanya di kantor serasa surga gak ada 'beliau' kabarnya dia bakal lama diluar negri, sekitar dua mingguan gitu lah, menyenangkan banget kan?” Mita menimpali.
Tapi kemudian kulihat beberapa teman menyenggol lengannya, seakan memberi isyarat bahwa hal semacam itu tak perlu dikatakan di depanku.
“semoga besok aku udah bisa pulang..udah kangen kantor..” kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Semua memang sudah berakhir Dilla, belajarlah ikhlas menerima kenyataan yang ada.


Hari ini aku boleh pulang dari Rumah Sakit, dengan “dibekali” beberapa vitamin dan saran mengenai pola hidup sehat oleh dokter. Aku duduk disamping tempat tidur. Sore ini Dika akan menjemputku sepulang dia kerja. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Itu mungkin Dika atau perawat yang mau mengecek kondisiku.
“Masuk..” suaraku terdengar agak serak.
Suara pintu diketuk lagi.
“Masuk, Dika..” aku mulaI kesal.
Tapi tak ada seorangpun yang masuk ke kamar. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku berjalan menuju pintu, membukanya perlahan, dan disana seseorang sedang tersenyum membawa setangkai mawar merah.
“Hai, sleeping beauty..bolehkah aku membangunkanmu dari tidur panjang selama ini, ijinkan aku untuk mendampingi hari-harimu, karena hidup tak seberat yang kau bayangkan....mmh..mungkin kedengarannya konyol ya? Tapi, jauh darimu benar-benar membuatku tersiksa, dan jangan sekali-kali lagi mencoba menolakku, karena aku akan mengejarmu kemanapun kau pergi...”
Aku masih terpaku, tak bisa berkata apa-apa, ada butiran bening terasa mengalir di pipiku. Dia tersenyum, senyum yang kurindukan. Aku tak mau lagi membohongi diri sendiri. Mungkin sudah saatnya aku belajar mencintai. Memberikan kesempatan pada seseorang mengisi ruang kosong dalam hatiku.
Dia masih menunggu reaksiku. Sejujurnya aku juga sungguh tersiksa jauh darimu. Kupeluk dia dan kubisikkan “I love U, Boss...!!”

PS: Bukankah hidup memang untuk dinikmati? Sebuah perjalanan panjang, dimana kesedihan dan kegembiraan datang silih berganti. Jadi jangan pernah takut untuk menjalaninya, karena hidup begitu indah, semua hanya tergantung dengan bagaimana cara kita memandang dunia.

-tamat-
by: nukhee
_________________