“Rasanya aku jatuh cinta...Tania”
Aku pura-pura menguap, lalu tersenyum sinis padanya.
“Seingatku kamu sudah mengatakan itu 5 kali dalam kurun waktu 6 bulan
ini dan hal itu menyangkut beberapa gadis yang berbeda” kataku.
“Kapan kamu akan sembuh dan sadar bahwa umurmu sudah lebih dari tiga
puluh tahun..” omelku lagi padanya.
Dia tersenyum seperti biasanya. Mengibaskan tangannya seakan apa yang
baru aku katakan bukan hal yang penting untuk dibahas. Kupandangi dia entah,
mengapa aku masih menganggapnya remaja belasan tahun seperti saat kita baru
berkenalan.
Aku mengenal Aldo saat kita sama-sama masih SMP. Kebetulan rumahku
dekat dengan rumahnya. Kita sempat berbeda sekolah saat SMA, tapi kemudian kita
kembali jadi teman saat di perguruan tinggi. Kita sahabat baik, tidak lebih,
mungkin itu kalimat yang bisa menjelaskan mengenai hubungan kita berdua. Kita
seperti satu hati yang dipisahkan dalam dua tubuh berbeda jenis. Tapi mungkin
apa yang terjadi diantara aku dan Aldo
memang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang lain. Saking seringnya kita
terlihat berdua, orang-orang mengira kalau kita pacaran. Padahal tidak pernah
terjadi sesuatu yang istimewa diantara kita berdua. Hubungan ini murni
persahabatan. Aku seringkali menjodohkannya dengan beberapa teman demikian pula
dia sebaliknya. Dan hal ini berlangsung sampai bertahun-tahun. Sampai saat ini
di usia 30 tahun..upss, maaf 2 bulan lagi umurku 31 tahun, kita sama-sama masih
lajang. Dan seperti kebiasaan Aldo dimasa kami masih sama-sama mahasiswa, dia
juga cukup rajin untuk mengenalkan teman-temannya padaku, mungkin lebih
tepatnya menjodohkanku. Tak ada yang gratis di dunia ini, apa yang dilakukan
Aldo aku sadari bukan merupakan perhatian seorang sahabat atau kepedulian
seorang teman yang prihatin karena sahabat wanitanya sudah masuk kategori
“perempuan telat kawin” (itu istilah paling halus yang dilekatkannya padaku).
Tapi lebih jauh, dia selalu berharap bahwa aku akan mengenalkan atau minimal
memberikan nomor telpon wanita-wanita cantik disekitarku. Pekerjaanku sebagai
penulis tetap di sebuah majalah wanita yang lumayan punya nama, memungkinkan
aku berhubungan dengan artis, fotomodel, peragawati terkenal. Mungkin itu
sebabnya Aldo tak pernah merasa bosan “menempel” padaku.
Aku dan Aldo tidak terlalu sering bertemu, kami lebih sering ngobrol
lewat telpon atau e-mail. Paling sebulan atau dua bulan sekali kami membuat
janji untuk bertemu di suatu tempat. Biasanya disebuah cafe, menikmati
secangkir kopi dan ngobrol sana-sini tapi lebih sering isinya adalah curhatan
Aldo mengenai wanita-wanita yang sedang dekat dengan dirinya. Sempat beberapa
waktu yang lalu Aldo juga rajin mengenalkan beberapa teman-teman cowoknya
padaku. Tapi selalu tak bisa berakhir baik. Kalau aku ingat ada salah seorang
teman Aldo yang pernah cukup dekat denganku namanya Bagas dan kita “jalan”
cukup lama, sekitar enam bulan, aku sempat berpikir aku sudah menemukan cinta
sejatiku dan akan mengakhiri masa lajangku dengan Bagas. Tapi entah mengapa
saat Bagas benar-benar berniat melamarku aku jadi begitu ketakutan, aku merasa
diriku belum siap untuk “terikat” dengan seseorang, dan begitulah akhirnya aku
memutuskan berpisah dengan Bagas tanpa bisa memberikan penjelasan yang masuk
akal padanya kenapa aku tidak bersedia menikah dengannya.
Hingga sampailah Aldo pada satu kesimpulan bahwa aku terlalu “aneh”
untuk menikah atau terikat dengan seseorang. Aku hanya berargumentasi bahwa aku
tidak mau 'memaksakan diri” untuk menikah atau menjalin sebuah hubungan serius
dengan seseorang hanya karena ketakutan atas label perawan tua, wanita telat
kawin atau istilah-istilah semacam itu yang cukup mengerikan menurut sebagian
orang. Aku cukup bahagia dengan hidupku dan aku tidak berniat mengukur
kebahagiaanku dengan kebahagiaan orang lain yang sudah menikah. Aku hanya akan
menikah dengan orang yang benar-benar tepat, dan aku akan menunggu saat itu,
namun bila takdir tak bisa mempertemukan aku dengan “seseorang” itu aku akan
tetap menjalani hidupku dengan “bahagia” menurut versiku sendiri.
“Haduuuhhh...malah nglamun, lagi...” suara Aldo mengagetkanku.
“Trus aku mesti bilang apa...paling lama dua minggu ke depan kamu akan
mengatakan, ternyata itu hanya perasaan sesaat, entah mengapa aku kehilangan
'rasa' dengannya..” aku mengatakan hal itu dengan gaya yang sengaja aku buat
'berlebihan' untuk menyindirnya.
Aldo tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menatapku dengan pandangan
serius.
“Dia berbeda, Tania..benar-benar berbeda, dia tidak seperti gadis
kebanyakan, okey ..dia cantik, sexy, smart, anggap itu sebagai bonusnya, tapi
yang jelas aku tidak bisa berhenti memikirkan dia...” matanya tampak berbinar
saat mendeskripsikan “gadis” itu.
“Berapa umurnya?” tanyaku tak acuh, masih belum yakin sepenuhnya bahwa
Aldo benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.
“Dua puluh empat tahun, dan dia baru saja menyelesaikan S2 nya..”
“Mmmhh..tumben kamu 'mengukur' seseorang dari otaknya...”
Aldo tampak mulai gemas dengan reaksiku.
“Kamu harus bertemu dengan Rena, ” Aldo menyerah melihat sikapku masih
tak acuh, tampak dia mulai putus asa aku menanggapinya dengan dingin.
“Boleh....kapan?”
“Minggu depan ya...”putusnya.
Sudah dua hari ini aku merasa tidak enak badan. Dan hari ini adalah
puncaknya. Badanku meriang, panas tapi aku merasa kedinginan. Seluruh tubuh
pegal dan sakit semua, seperti habis berlari puluhan kilometer. Kepalaku seakan
sebuah wadah yang berisi air separuhnya lalu ditutup rapat dan saat diketuk
akan menimbulkan bunyi bunyian, flu ku
benar-benar parah. Hari ini kuputuskan untuk ijin tidak masuk kantor dan
mungkin sekalian mengambil cuti beberapa hari untuk mengembalikan staminaku.
Tiba-tiba terdengar suara panggilan telpon masuk dari HP ku. Kubaca
nama sang penelepon..Aldo? Pasti dia mau memastikan acara nanti malam untuk
bertemu dengan kekasih barunya. Malas-malasan kujawab telponnya, suaraku kubuat
sedemikan menderita, sehingga Aldo percaya bahwa aku memang benar-benar sakit.
“Haluuuuu...” suaraku terdengar serak tanpa kubuat-buat.
“Nanti malam jadi kan...?” dia langsung menanyakan hal itu tanpa basi
basi terlebih dahulu, aku jadi sebal.
“Gak bisa..aku sakit..flu ..parah..”
“Hah...?! emang kamu bisa sakit ya...? kadang aku pikir badanmu terbuat
dari besi, jadi kuman atau virus apapun tak sudi dekat-dekat denganmu”. Dia
masih saja mengolok-ngolokku dalam keadaan seperti ini.
Aku hanya diam, berpura-pura batuk kecil.
“Waduh..tanpa perlawanan, brarti sakitmu bener lumayan parah ya...”
suaranya terdengar seperti sedikit menyesal.
“Okay deh..moga cepet sembuh ya...”
“Makasih..” jawabku pendek sambil menghela nafas lega. Aku ingin tidur.
Entah sudah berapa lama aku tidur. Kulirik jam dinding berwarna kuning
cerah yang tergantung sepi di tembok kamar, sudah hampir jam 7 malam, lumayan
lama juga aku tidur . Aku baru pindah dari sebuah kamar kost, mengontrak sebuah
rumah mungil bersama Mitha bekas teman kuliahku yang kantornya juga tidak
terlalu jauh dari kantorku. Sebenarnya sudah dua bulan aku menempati rumah
kontrakan ini, tapi aku belum banyak melakukan perubahan atas kamar baruku ini.
Satu-satunya barang yang kupasang sebagai “pelengkap” dalam kamarku ini hanya
jam dinding besar berwarna kuning yang kubeli bersama Aldo sekitar sebulan yang
lalu.
Badanku belum terasa lebih baik dari tadi siang. Mungkin gara-gara aku
belum minum obat. Tenggorokanku masih seperti menelan biji kedondong, terasa
sakit, gatal dan panas, benar-benar menyiksa. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka,
sesosok tubuh tampak disana. Aldo?
“Permisi...”
“hei...cowok ga boleh masuk..” kataku seraya melemparkan sebuah bantal
kecil kearahnya.
Dia hanya nyengir, lalu tanpa basa basi duduk disamping ranjangku,
kemudian menempelkan telapak tangannya ke keningku, seperti dokter yang sedang
memeriksa pasiennya. Aku hanya diam, cemberut dan melotot marah ke arahnya.
“Aku sudah minta ijin sama Mitha kok, ternyata kamu benar-benar sakit”
katanya sambil nyengir.
Aku belum sempat berkata apa-apa ketika kusadari sesosok lain sedang
berdiri di depan pintu kamarku.
Gadis itu, kekasih baru Aldo. Dia benar-benar memiliki semua definisi
cantik seorang wanita. Tinggi, langsing, putih, hidung mancung, bibir tipis,
rambutnya panjang melewati bahu, tampak hitam mengkilat, pasti dirawat dengan
baik oleh pemiliknya. Tingginya aku perkirakan sekitar 170cm mungkin lebih satu
atau dua centi. Dia mengenakan celana jeans semi bootcut yang membungkus rapi
sepasang kaki jenjangnya, dipadukan dengan atasan berwarna pink cerah bermodel
sederhana, lalu di lehernya tampak terlilit sebuah scraf tipis bermotif
bunga-bunga kecil berwarna pink, ungu muda, kuning dan hijau, benar-benar manis
dan elegan. Dia perpaduan kecantikan Dian Sastro yang alami dan natural dengan
Rianti Cartwright yang manis dan lembut. Sepasang mata indahnya seperti mutiara
hitam, bersinar indah menambah kesempurnaan wajahnya. Dia benar-benar seperti
bidadari.
Aku masih mematung begitu terpesona dengan aura gadis itu, bahkan aku
bisa jatuh cinta padanya. Kemudian aku menyadari bahwa kondisi diriku saat ini
persis Ugly Betty tanpa kawat gigi dan kaca mata tebalnya. Celana tidur
garis-garisku yang sudah tidak jelas definisi warnanya. Dua T-shirt yang
sengaja kupakai berlapis ditambah sweater ungu tua butut yang ukurannya
melebihi dua size ukuran tubuhku sebenarnya, plus sepasang kaos kaki jaman aku
ospek awal masuk kuliah. Aku benar-benar parah, dari kacamata seorang desainer
penampilanku ini mungkin salah satu tanda-tanda kiamat dunia mode. Aku dan
gadis itu adalah Beauty and The Beast dalam arti kata sesungguhnya.
“Mmmmhh..masuk...” aku berkata jengah.
Dia tersenyum, ada lesung pipit di pipi kirinya, menambah lagi deretan
kesempurnaan fisiknya.
“Rena..kenalkan ini Tania...” Aldo bersikap sok formal.
Kusambut jabatan tangannya.
“Tania..” kataku lirih, kubuat seakan kondisiku memang benar-benar
parah, berharap dia tidak akan menertawakan kekonyolan penampilanku ini.
“Kamu sudah minum obat..?” suara Aldo memecah keheningan yang sempat
ada di antara kita.
Aku hanya menggeleng lemah.
“Lupa..” jawabku pendek.
“Harusnya kamu bisa lebih bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri..”
omel Aldo, entah mengapa kali ini kalimatnya terdengar dewasa sekali, mungkin
karena ada gadis itu, bathinku.
“Sudah makan? Pasti juga belum...” Aldo menatapku tajam seakan aku
telah berbuat dosa besar.
Aku hanya diam, tak tahu mesti mengatakan apa. Harusnya aku mulai mengajak
ngobrol gadis itu, karena mungkin dia
tidak nyaman dengan situasi ini. Kekasihnya sedang memberikan perhatian besar
pada wanita lain yang mirip dengan tumpukan baju kotor meringkuk di tempat
tidur.
Tapi tampaknya dugaanku keliru. Gadis itu tidak tampak jengah sama
sekali dia malah sedang asyik membuka-buka majalah, duduk santai di karpet
merah yang terpasang seadanya di kamarku. Saat aku melihatnya, tampak dia
tersenyum ke arahku seakan iba melihat keadaan diriku yang sedang diomeli oleh
Aldo. Tentu saja dia tidak akan pernah merasa cemburu dengan itik buruk rupa
semacam aku ini, bathinku.
Beberapa saat kemudian, kami bertiga terlibat dalam obrolan yang
menyenangkan. Harus kuakui definisi Aldo tentang Rena memang benar adanya,
cantik, sexy dan smart, sebuah perpaduan sempurna. Wajar kalo Aldo tergila-gila
padanya. Rena bukan hanya tipe gadis yang setiap orang akan menoleh dan menatap
kagum ke arahnya saat dia berjalan di keramaian, persis dengan iklan-iklan
sabun di televisi, tapi dia juga tipe gadis yang enak diajak ngobrol tentang
apa saja, hingga semua orang akan merasa nyaman saat di dekatnya. Kadang aku
hanya diam tak berkata apa-apa saat mereka berdua, Aldo dan Rena tampak
berdebat tentang hal-hal ringan, untunglah peranku sebagai seseorang yang
sedang flu parah cukup membantu, sehingga aku tak tampak konyol di depan mereka
berdua (sebuah pembenaran diri atas sesuatu yang 'tidak' sesuai dengan
kenyataan dalam hatiku).
Akhirnya mereka bedua meminta ijin pulang, entah mengapa ada perasaan
lega dalam hatiku. Aku tidak perlu menonton pertunjukan “manis” mereka lebih
lama lagi. Duh, betapa jahatnya aku, bathinku. Bukankah seharusnya aku turut
berbahagia dengan hubungan mereka berdua? Akhirnya Aldo bisa menemukan
seseorang yang tepat untuknya. Aku tahu sangat tahu bahwa kali ini Aldo tidak
main-main dengan gadis ini. Dari caranya memandang, menggoda gadis itu sampai
kedua pipinya bersemu merah, menyentuh lembut tangannya, dari semua yang Aldo
lakukan pada gadis itu, aku tahu semua keluar dari hati Aldo yang sebenarnya.
Bahwa Aldo memang telah jatuh cinta pada gadis itu. Dan setiap kali aku
membisikkan itu ke dalam hatiku sendiri, entah mengapa ada perasaan sepi yang
tiba-tiba menyelinap, menebarkan hawa dingin di sudut hati. Kepalaku terasa
semakin berdenyut-denyut.
Handphone ku berbunyi, Rena dan Aldo sudah pulang sekitar satu jam yang
lalu. Siapa yang telpon malam-malam
begini? Jam 10 malam, bathinku saat melirik jam dinding kuning. Kubaca nama si
penelepon, Aldo? Duh, mau apalagi dia telpon? Mungkin ingin membahas tentang
Rena, tebakku. Aku benar-benar sedang malas untuk mengangkat telponnya, apakah
itu salah?
Suara handphone masih terus berbunyi, aku masih bimbang antara
mengangkat atau membiarkannya. Bukan satu hal yang salah juga kalau aku tidak mengangkatnya,
besok aku bisa beralasan bahwa aku sudah tertidur lelap setelah minum obat.
Kututup kepalaku dengan bantal, berusaha mengusir suara handphone sendiri. Tapi
entah mengapa deringnya tak mau berhenti.
Mungkin aku memang tak ada pilihan selain mengangkat telpon dari Aldo,
aku tak mau dihinggapi rasa bersalah karena membohonginya.
“Halo...?” aku mengatakan itu dengan malas-malasan.
“Maaf..kamu udah tidur ya?....”
“Heeemm..” aku tidak berniat menjawabnya.
“Aku di depan rumahmu..?”
“Hah..?! serius..ngapain?”
“Aku bawain pangsit mie, kamu pasti belum makan, ya kan..” tiba-tiba
aku merasa bersalah.
Aku tidak menjawabnya, hanya langsung berlari menuju pintu depan,
kuintip dari jendela di ruang tamu, tampak Aldo sedang tersenyum lebar, tangan
kirinya masih memegang handphone dan tangan kanannya membawa sebuah bungkusan
yang sedang diacung-acungkannya ke arahku.
Segera kubuka pintu depan. Perasaan bersalahku semakin menjadi jadi.
“Aku cuman mau nganter ini, aku langsung pulang aja, jangan lupa minum
obat ya... ” Aldo hanya mengatakan itu dan segera berlalu dari hadapanku.
“Makasih...” jawabku pendek. Aku masih tertegun dengan apa yang
terjadi. Aldo bahkan tidak mengatakan apa-apa tentang gadis itu, malam-malam dia datang hanya untuk
mengantarkan makanan untukku. Aku benar-benar jahat, rutukku dalam hati.
Kupandangi pangsit mie yang sudah kupindahkan ke mangkuk, siap untuk
dinikmati. Pangsit mie ini makanan favorit kita berdua sejak masih sama-sama
kuliah dulu. Aku dan Aldo sepakat, pangsit mie ini adalah pangsit terenak di
dunia karena memang kita tak pernah berniat mencari pembandingnya. Setiap kali
kita ingin makan pangsit mie, kita akan langsung pergi ke tempat itu. Sebuah
rumah makan kecil sederhana yang tidak pernah sepi pembeli. Kenangan bersama Aldo
serta merta hadir di pikiranku seperti sebuah film dokumenter. Begitu banyak yang pernah kita
lalui. Aku sadar sikapku ini sungguh konyol. Dan tiba-tiba sebulir air bening
jatuh begitu saja dari mataku. Ya Tuhan..aku menangis? Untuk apa? Aku juga
tidak tahu pasti. Apa karena kesepian? merasa terharu atas apa yang dilakukan
Aldo malam ini? Atau sebenarnya kesedihan yang kutahan dari tadi saat kulihat
Aldo bersama gadis itu? Atau justru tangis bahagia karena Aldo telah menemukan
seseorang yang tepat? Aku mungkin bisa membohongi orang lain, tapi aku tak bisa
membohongi diri sendiri. Ada rasa perih setiap kali Aldo memandang mesra gadis
itu. Ya Tuhan...perasaan macam apalagi ini? Kalau memang sebenarnya dari dulu
aku jatuh cinta pada Aldo, lalu kemana saja perasaan cinta itu bersembunyi
selama ini? Aku benar-benar tidak tahu apa yang kurasakan, tiba-tiba saja aku
begitu takut kehilangan Aldo. Aku takut kehilangan saat-saat bersamanya. Dan
baru kurasakan aku takut untuk sendiri. Mungkin benar bahwa kita baru merasa
bahwa sesuatu berarti dalam hidup kita saat kita telah kehilangan.
“Rasanya udah lama banget kita ga ngobrol..” suara Aldo memecah
keheningan.
Benar, jawabku hanya dalam hati. Kalo kuingat-ingat sudah dua minggu
sejak kedatangan Aldo dan gadis itu ke rumah. Aldo sempat beberapa kali
meneleponku, tapi aku selalu beralasan sedang sibuk dan hanya berjanji akan
meneleponnya kembali, tapi hal itu tidak pernah aku lakukan. Dan ini
berlangsung sampai beberapa kali.
“Maaf..aku agak sibuk akhir-akhir ini, ada target yang harus aku
selesaikan” jawabku mencoba beralasan.
Aldo memandangiku. Ya Tuhan, semoga dia tidak tahu apa yang kurasakan
saat ini, doaku dalam hati. Entah mengapa aku merasa bergetar saat dia
memandangiku seperti ini. Padahal sudah ratusan kali kita “jalan” bersama, tapi
sekarang semuanya terasa berbeda.
Aku merasa bersalah, mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk
menggambarkan perasaanku saat ini. Merasa bersalah karena ternyata diam-diam
aku mulai jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Merasa bersalah karena baru
menyadari hal itu setelah sekian tahun kita “bersahabat” baik. Merasa bersalah
karena hal itu terjadi setelah dia menemukan “seseorang” yang tepat untuknya.
Merasa bersalah karena ternyata perasaan sayang pada sahabat dengan perasaan cinta
hanya terpisah oleh tirai tipis yang bisa koyak sewaktu-waktu dengan begitu
mudahnya. Aku sendiri juga tidak mengerti mengapa hal semacam ini bisa terjadi.
Apa mungkin pada saat aku mengalami demam tinggi beberapa syaraf di otakku
mengalami “pemuaian” hingga aku mulai berhalusinasi dengan perasaanku sendiri.
“Kamu udah sembuh kan? Kelihatannya kok masih lemes gitu sih..”
Aku hanya menggeleng sambil berdoa dalam hati semoga dia tidak mulai
membahas Rena, karena aku tidak yakin akan bisa bersikap obyektif lagi dalam
memberikan pendapat tentang gadis itu.
Suara handphone menyelamatkanku. Segera kuangkat dan hanya melihat
sekilas nama si penelpon. Bagas? Otakku baru mencerna, tapi jariku sudah
terlanjut memencet tombol hijau.
“Halo...?” suaraku terdengar ragu-ragu.
“Hai...gimana kabarnya? Baik kan..?”
“Baik...” aku menjawab singkat, kuraih capucino ku yang tinggal
separuh, sekedar untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering.
“Kalo ada waktu, mmmhh...nonton yuk...” suaranya masih terdengar tenang
dan sabar.
Sejenak aku bingung mesti menjawab apa.
“Boleh...” entah mengapa kata itu yang meluncur dari mulutku.
“Sekarang...?!” kemudian terdengar dia tertawa.
Di hadapanku Aldo tampak memandangku curiga, mulutnya mengucap
kata-kata ..siapa?
Aku menaruh telunjukku di bibir, menyuruhnya diam dan mengatakan dengan
perlahan,..Bagas..
Diluar dugaan Aldo mengacungkan jempolnya sambil tersenyum menggoda.
Aku mencibirkan bibirku, karena tak tahu harus bersikap bagaimana lagi.
“Haloooo...” suara Bagas mengembalikan konsentrasiku.
“Besok aku jemput dari kantormu, trus kita jalan ya...” kalimatnya
bukan seperti penawaran tapi lebih seperti perintah untukku, dan aku tak punya
pilihan lain untuk menolaknya.
“Okey deh..” jawabku singkat.
“Bye...” kututup telponnya.
Aldo berdehem-dehem. Aku tahu dia berniat menggodaku.
“Jadi, ceritanya berlanjut nih...” dia mengatakan itu sambil tersenyum
dan mengerling.
“Bagas orangnya baik kok” kata Aldo lagi.
Aku belum mengerti maksud dari kata-kata Aldo. Karena jauh di lubuk
hatiku, aku berharap Aldo akan mengatakan hal lain, mencegahku berhubungan
dengan Bagas, lalu mengatakan padaku bahwa sesungguhnya dia juga mencintaiku,
sama seperti yang aku rasakan saat ini. Tapi aku tahu itu hanya halusinasiku.
“Aku takut...Do..” aku mengatakannya pelan.
“Takut? Kenapa?”
“Aku takut pernikahan, aku takut hal itu tidak berjalan baik, seperti
pernikahan orang tuaku..” Ini adalah hal paling jujur yang aku katakan pada
Aldo, selama ini aku hanya memendamnya sendiri, menyimpannya rapat-rapat di sudut
ruang hatiku.
“Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri, Tania..kamu gak perlu
merasa takut, dan kalau aku liat secara pribadi, Bagas orangnya baik dan sabar,
dia cocok sama kamu yang meledak-ledak, dia pasti bisa mengimbangimu..” Aldo
mengatakan itu sambil tersenyum penuh arti.
“justru karena itu, aku takut...saat bersama Bagas, seringkali aku
merasa Bagas adalah malaikat dan aku setannya...” kataku pelan.
Aldo tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang baru saja aku katakan.
“Aku tahu kamu aneh, Tania..tapi kadang aku sama sekali tidak mengira
bahwa ke-anehan mu benar-benar parah...”
Aku cemberut, kalimatnya menohokku, mungkin karena itu juga Aldo tidak
bisa jatuh cinta padaku, desisku dalam hati. Pedih.
Pulang kantor, di tempat parkir kulihat Bagas sudah berdiri disamping
mobilnya, melambai ke arahku. Aku berjalan perlahan ke arahnya. Hari ini dia
mengenakan poloshirt warna hitam dengan celana jeans biru muda. Dia tampak
santai, menyalamiku, sambil tersenyum manis. Tapi entah mengapa perasaanku biasa-biasa
saja. Tak ada degup seperti apa yang kurasakan akhir-akhir ini saat bersama
Aldo. Hati manusia memang benar-benar aneh.
Di dalam mobil aku berbicara sangat sedikit. Ada perasaan canggung
karena secara sadar aku pernah menyakiti Bagas. Aku tidak bisa memberikan
alasan yang jelas saat dia mengajakku menikah. Kemudian berhenti menghubunginya
dan sebisa mungkin menghindari telponnya. Aku tahu seharusnya Bagas terluka
atas sikapku ini.
“Kata Aldo kamu baru sembuh dari sakit ya..?”
suara Bagas membuyarkan lamunanku.
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
“Kamu kecapekan, mungkin...” katanya lagi
Aku hanya tersenyum kecil kemudian melayangkan pandanganku ke luar
jendela mobil.
Seharusnya aku bisa bersikap lebih baik dari ini. Bagas sudah bersikap
sangat baik padaku. Dia bahkan tidak mengungkit-ungkit tentang apa yang pernah
aku lakukan padanya. Tapi entahlah, perasaanku saat ini sedang tidak bisa
diajak kompromi, bahkan hanya untuk berpura-pura baik pada “ malaikat” seperti
Bagas.
Kami sampai di sebuah rumah makan. Tempatnya lumayan nyaman. Ada
beberapa gazebo yang berjajar rapi dan diantaranya dipisahkan dengan kolam
kecil yang dihiasi air mancur yang menimbulkan bunyi gemericik. Penerangannya
menggunakan lampu-lampu gantung berwarna kuning yang diletakkan dalam sebuah
wadah yang berbentuk semacam lampion.
Aku berjalan perlahan di sisi Bagas, yang langsung menuju salah satu
gazebo paling ujung dari rumah makan ini. Kulihat di kejauhan ada dua orang
yang sedang melambai ke arah aku dan Bagas. Dan saat aku semakin dekat dengan
keduanya, aku baru menyadari ternyata dua orang itu tak lain adalah Aldo dan
Rena.
Perasaan tak nyaman langsung menyergapku. Entah mengapa aku merasa
terintimidasi dengan kehadiran Rena disitu. Seperti pertemuanku sebelumnya, Rena
selalu tampak mempesona. Dia mengenakan terusan selutut berwarna coklat, dipadu
dengan blazer bermodel sederhana, rambut panjangnya diikat begitu saja ke
belakang, dan beberapa diantaranya tampak terjuntai di pipi kanannya. Dalam
kondisi bagaimanapun dia masih tampak cantik, bathinku.
“Surprise...” Aldo tersenyum ke arahku.
“Bagas nih yang punya ide kencan ganda seperti ini...” kata Aldo lagi
sambil melirik Bagas.
Dan entah mengapa aku semakin sebal dengan Bagas, idenya ini
benar-benar membuatku merasa tidak nyaman. Berada diantara Aldo dan Rena saja
sudah cukup membuatku merasa tidak nyaman, sekarang ditambah lagi aku harus
“mengatur” sikapku dengan Bagas. Rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.
Dan malam itu semuanya berjalan begitu lambat bagiku. Aku berusaha
tersenyum semanis mungkin untuk menutupi perasaanku yang remuk redam melihat
kemesraan Aldo dan Rena.
Aku berdiri di atas bukit kecil tempat aku dan Aldo biasa bertemu. Dulu
saat kita sama-sama masih anak belasan tahun kita menganggapnya sebagai tempat
melepas lelah atas kehidupan duniawi. Setiap kali ada masalah atau hanya ingin bermain-main
kita akan langsung ke tempat ini. Bukit ini semacam tempat “penyegaran diri” bagi aku dan Aldo. Biasanya
kita hanya duduk, memandang hamparan pemandangan di bawah sana. Menyaksikan
deretan rumah-rumah yang seakan mozaik kaca, berwarna warni, dihiasi hijaunya
pepohonan. Awan putih tampak menggantung laksana payung kapas yang melayang
ringan melindungi panorama di bawahnya. Terkadang aku berlarian kesana kemari,
mengayun ayunkan tanganku keatas kebawah, seakan aku punya dua sayap secantik
kupu-kupu dan Aldo berpura-pura memegang benang yang mengendalikan gerak
tubuhku. Sungguh sebuah kenangan manis yang sayang untuk dilupakan begitu saja.
“Ternyata kamu disini...?” Suara Aldo membuyarkan lamunanku tentang
masa lalu.
Dia sedang berdiri tepat di belakangku.
Aku hanya diam, berpura-pura masih menikmati pemandangan yang terhampar
di hadapanku.
Aldo duduk tepat di sampingku. Tangannya memetik sebatang rumput
kemudian dimainkan diantara jemarinya. Dia menoleh ke arahku, menatapku dari
samping, seakan mencari jawaban atas sikapku selama ini. Aku bahkan tak berani
balas menatapnya. Aku khawatir air mataku tak dapat kutahan saat memandang
wajahnya. Perasaan takut kehilangan ini semakin kuat mencengkeram hatiku.
“Ada apa, Tania? Aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku?”
tanya Aldo.
Aku hanya menggeleng. Aku jatuh cinta padamu, Do...! teriakku hanya
dalam hati.
“Aku minta maaf kalau aku berbuat sesuatu yang membuatmu marah, tapi
aku benar-benar tidak tahu atas apa yang sudah atau pernah aku lakukan sampai
kamu seperti ini..”
Aku menoleh ke arah Aldo, kutatap dia lekat. Dan air mata itu sudah tak
mampu aku tahan lagi, meleleh di pipiku begitu saja.
Aldo tampak terkejut. Buru-buru dihapusnya air mataku dengan tangannya.
Hatiku semakin terasa sakit. Entah mengapa.
Aku bingung, haruskah berterus terang kepadanya? Dengan kemungkinan dia
akan membenciku karena menganggap aku telah berpura-pura menjadi sahabatnya
selama ini. Atau aku harus tetap memendamnya dalam-dalam di lubuk hatiku.
Aku tidak rela Aldo menjadi milik wanita lain, mungkin itu kalimat
paling tepat atas perasaanku saat ini. Tapi apa hakku?
Aldo diam tak bersuara pandangannya mengarah jauh ke langit-langit yang
mulai kelabu. Senja mulai menggayut.
“Aku butuh waktu sendiri, Do...” kataku pada akhirnya, setelah kita
diselimuti diam beberapa saat lamanya.
Kudengar Aldo menghela nafas. Dia menatapku kembali, mengacak-acak
rambutku, kemudian berdiri, membersihkan celana jeansnya yang ditempeli
rumput-rumput kering, dan berbalik bersiap meninggalkanku.
Kulihat dia berjalan perlahan menjauhi tempatku duduk, kulihat
punggungnya, entah mengapa hatiku terasa mau meledak. Aku tak sanggup
kehilangan Aldo.
Aku berdiri kemudian berlari mengejarnya, dan akhirnya kupeluk dia dari
belakang.
Aldo tampak terkejut dengan sikapku. Tapi dia hanya berdiri mematung,
menunggu apa yang akan aku katakan.
Aku menangis sejadi-jadinya. Ingin kutumpahkan beban berat yang
kutanggung akhir-akhir ini. Mungkin aku memang harus mengatakannya. Kupeluk
erat tubuh Aldo, punggungnya basah oleh air mataku.
“Aku mencintaimu, Do..” kataku pelan diantara isak tangis. Aku tahu
Aldo mendengarnya.
Tapi dia masih tetap diam, hanya tangannya terasa menyentuh tanganku
yang sedang melingkar di pinggangnya. Tangannya terasa dingin.
Saat aku menyadari atas apa yang kulakukan, kulepaskan pelukanku dari
tubuhnya. Perlahan kemudian Aldo berbalik. Menatapku lekat, telapak tangannya
menyentuh kedua pipiku. Tangan itu masih terasa dingin.
“Aku juga mencintaimu, Tania...”
Dadaku berdetak keras sekali.
“Justru karena aku terlalu mencintaimu, aku merasa kita tidak mungkin
bersatu. Rasa cinta dan sayang yang aku rasakan tidak mampu ditukar dengan
persahabatan kita selama ini. Persahabatan diantara kita terlalu indah untuk
disatukan dalam pernikahan. Seringkali aku merasa takut tidak mampu membuatmu
bahagia. Dan hal itu aku sadari bukan sesuatu yang baik untuk kamu dan aku.
Kamu pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku, Tania...”
“Tapi aku ga mau orang lain, Do..aku mencintaimu..” suaraku bergetar.
Entah bagaimana aku bisa mengatakan itu.
Aldo tersenyum lembut.
“Aku sangat mengenal kamu, Tania..percayalah itu hanya perasaan sesaat,
sebentar lagi kamu akan menemukan 'seseorang' yang benar-benar tepat untuk
kamu”
“Bagaimana seandainya aku tidak bisa menemukannya?” suaraku terdengar
putus asa.
“Kamu pasti menemukannya, percayalah..kamu hanya butuh sedikit waktu
untuk mengesampingkan egomu..” Aldo mengatakan hal itu sambil menepuk lembut
pipiku. Kemudian dia memelukku erat. Kehangatan yang sebentar lagi tak akan
kurasakan lagi.
“Aku takut, Do...aku takut sendiri...”
Aldo masih diam.
Kemudian dia berbisik lembut. “Kamu tidak akan sendiri, Tania”.
Aku berdiri di sudut ruangan besar ini. Sudah sekian lama aku berdiri
mematung memandang dari kejauhan. Disana kulihat Rena seperti putri dari negeri
dongeng. Mengenakan gaun putih panjang berenda yang tampak gemerlap terkena
sinar lampu, rangkaian bunga melati tampak menghias rambutnya. Dan disampingnya
Aldo mengenakan setelan jas berwana abu-abu tua, tampak gagah dan bahagia,
menyambut uluran tangan para tamu yang mengucapkan selamat atas pernikahan
mereka berdua.
Aku bahkan tidak punya kekuatan untuk melangkah kesana. Kakiku terasa
berat untuk digerakkan, seluruh tubuhku bergetar, dan mati-matian kutahan agar
air mata ini tak menetes. Harus kuakui ini sangat berat untuk dilalui, tapi
inilah kenyataan yang harus aku hadapi. Aldo sudah menemukan seseorang yang tepat
untuknya. Dan persahabatan ini akan terus berjalan sebagaimana adanya. Karena
cinta tak harus saling memiliki.
Kurasakan tanganku disentuh lembut oleh seseorang. Aku segera tersadar.
Sosok ini telah begitu sabar menemaniku di sudut ruangan besar diantara
keramaian pesta. Aku tersenyum ke arah Bagas. Dia mengangguk ke arahku, seakan
memastikan bahwa aku baik-baik saja. Digenggamnya erat tanganku seakan ingin
mengalirkan energi agar aku cukup kuat melangkah menuju pelaminan Aldo dan
Rena. Mungkin Aldo benar bahwa aku akan menemukan seseorang yang lain. Walaupun
entah kapan dan dimana, aku hanya harus sabar dan mencoba membuka hati untuk
seseorang yang lain, selain Aldo.
-Tamat-
21 Oktober 2011