Minggu, 20 Desember 2015

BU ASTUTI




Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Disebuah sabtu siang yang kuiisi hanya dengan bermalas-malasan dan tumpukan buku untuk dibaca. Kudengar pintu depan rumah ada yang mengetuk. Enggan aku berjalan untuk membukanya dan bersiap memasang muka masam atas siapapun yang menganggu waktu “hibernasi-ku”. Beberapa menit kemudian aku melihat seorang ibu mungkin lebih tepat dipanggil nenek yang kuperkirakan usianya sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahunan, entahlah aku sulit untuk memperkirakan usia para manula, karena bagiku mereka tampak sama dengan rambut putih di kepala dan kerutan di sana sini. Tubuhnya tidak terlalu gemuk ataupun kurus, cukup proposional, dengan kulit kuning langsat, mengenakan daster batik parang berwarna merah darah dengan rambut putihnya yang dicepol rapi kebelakang.
“Hai... saya bu Astuti, yang tinggal di sebelah, baru pindah dua minggu yang lalu, ibu liat tiap hari mbak berangkat pagi pulang malam, cuman sabtu minggu aja keliatan di rumah, makanya ibu baru sekarang kesini. Tadi juga kebetulan ibu lagi bikin puding coklat, nih...”
Dia bicara seakan tanpa titik, dalam dua tiga kali hitungan nafas, sepasang tangan keriputnya menyodorkan puding coklat yang tampak sangat menggiurkan diatas piring oval berwarna hijau terang. Sesaat otakku mencoba menganalisa. Dia sudah dua minggu tinggal di rumah sebelah yang selama aku tinggal dua tahun disini tampak kosong. Aku ingat beberapa waktu lalu ada truk yang berlalu lalang membawa barang-barang berhenti di depan rumah kosong itu. Dia tahu aku bekerja tiap hari kecuali sabtu minggu, dan dengan penuh keyakinan dia datang ke rumahku membawa sepiring puding “perkenalan”. Aku bukan tipe yang suka berbasa-basi dengan tetangga, ruang lingkup bersosialisasiku selama ini hanya lingkungan kantor, beberapa bekas teman sekolah dan satu dua orang di lingkunganku ini yang kukenal sebatas kebutuhan admininstrasi, pembuatan ktp dan sejenisnya. Ada perasaan jengah menghadapinya. Selain rentang usia diantara kita, aku juga tidak yakin bagaimana menyikapi “kebaikannya”.
“Kalau lagi sibuk, ga apa-apa ibu cuman nganter ini aja kok..”
Entah mengapa dia seperti membaca kegalauan pikiranku. Tapi binar sepasang matanya dan senyum tulus yang tergambar di antara kerut merut wajahnya seakan menghipnotisku, lalu justru kalimat ini yang keluar.
“Enggak kok bu, silahkan masuk mungkin kita bisa ngobrol”
Yah, begitulah. Sesederhana itu perkenalan kami. Dan dengan riang dia langsung melangkah masuk lalu duduk nyaman di sofa tamuku. Singkat cerita, dalam sepuluh menit awal mengobrol, aku menyukainya. Entah apa yang membuatnya begitu menarik. Cara bicaranya yang selalu melibatkan tangan dan gerakan mata diselingi tawa renyahnya, cerita-ceritanya yang seru  atau mungkin aku sedang merasa kesepian saat itu.
“Kamu tinggal sendiri?”
Dia bertanya tiba-tiba sesaat setelah menyelesaikan cerita tentang awal mula hobi memasaknya. Aku mengangguk sambil menyuapkan sepotong puding coklat (yang ternyata memang benar-benar enak) ke dalam mulutku.
“Bu Astuti tinggal dengan siapa?”
Aku mengajukan pertanyaan balasan.
“Sama... ibu juga tinggal sendiri..” senyumnya kembali merekah.
Dari situlah semua berawal. Mungkin karena kami dua orang wanita yang tinggal sendiri dengan rumah yang saling bersebelahan, membuatku kami jadi begitu cepat akrab. Sabtu minggu yang biasanya kuhabiskan untuk membaca ataupun bercocok tanam sendiri, sekarang selalu ditemani oleh bu Astuti. Usianya yang pasti sudah dua kali lipat umurku bisa membuatku selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya. Mungkin aku mendambakan sosok seorang ibu yang meninggal beberapa tahun yang lalu, atau mungkin koleksi buku-bukunya yang selalu bisa memuaskan hasrat membacaku, disamping hobi memasaknya yang membuatku selalu punya kesempatan mencicipi resep-resep istimewanya. Sayang, kemampuan memasaknya tidak pernah berhasil ditularkannya padaku. Disamping gosong atau justru kurang matang, soal rasa selalu hasilnya jauh berbeda dengan apa yang dimasak oleh bu Astuti. Dan setiap kali dia mencicipi masakan atau kue buatanku, mimik wajahnya memasang raut seakan-akan sedang menikmati, tapi beberapa detik kemudian dia akan bilang, ..”mungkin sebaiknya ibu aja yang bikin..” kami berdua tertawa terbahak-bahak menertawakan kegagalanku, lalu bu Astuti akan buru-buru ke kamar mandi sambil berteriak “ibu pipis di celana lagi”...aku tak bisa lagi menahan gelak, tertawa-tawa sambil memegangi perutku yang terasa kejang karena tawa yang berlebihan.
Aku selalu merindukan waktu untuk ngobrol berdua dengannya. Walaupun masa kita berbeda tapi bu Astuti selalu bisa menjadi pendengar yang menyenangkan, tentang apa saja, mulai dari gosip kantor si anu yang berselingkuh dengan si itu, boss baru yang menyebalkan, rekan kerja yang sirik atau apapun itu, aku selalu merasa tak sabar untuk berbagi cerita dengannya. Pun aku pun belum pernah merasa bosan mendengarkannya bercerita tentang segala hal di lingkungan kami ataupun tentang masa lalu nya.
Sore itu kami duduk diberanda rumah mungilnya yang asri sambil menikmati pisang goreng keju hangat, bahkan cemilan sesederhana itu bisa terasa sangat istimewa saat bu Astuti yang membuatnya.
“kamu belum juga punya pacar?”
Aku hanya menggeleng, sambil mengusap remah-remah keju di sekitar mulutku.
“pernah patah hati?”
Kali ini aku memasang senyum terpaksa.
“saya masih cukup bahagia sendiri, bu..”
Gumamku sambil memandangi anggrek ungu tua yang menempel indah di pohon mangga.
“ibu sudah menikah sebanyak empat kali..”
Kalimatnya diiringi tawa terkekeh-kekeh khasnya.
Aku terbelalak memandanginya  tak percaya, tanpa bisa memahami arti tawanya. Aku kuatir sikapku justru terkesan tidak sopan, tapi bu Astuti malah semakin tertawa, mungkin melihat raut wajahku yang benar-benar terkejut saat itu. Bagiku pernikahan adalah hal sakral, sesuatu yang butuh perjuangan besar untuk sampai kesana, jadi semuanya benar-benar harus dipersiapkan secara mental maupun materi, dan ibu tua di depanku ini mengatakan sudah menikah empat kali seakan-akan hal itu adalah permainan berulang yang bisa dilakukan sewaktu-waktu. Baru kusadari aku belum banyak mengenalnya. Selama ini bu Astuti memang banyak bercerita tentang masa lalu nya, tapi itu selalu hanya tentang orang lain atau pengalaman unik yang pernah dialaminya, bukan menyangkut tentang kehidupan pribadinya. Dan aku tak pernah berusaha mencari tahu mengenai hal itu. Biarpun pertanyaan mengapa wanita setua dirinya tinggal sendiri, dimana suami dan anak-anaknya, apa yang membuatnya memilih tinggal sendiri, banyak menggantung di kepalaku. Sosoknya selalu menampilkan wanita tua bahagia yang sangat menikmati sisa hidup. Senyum selalu menghiasi wajahnya yang tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan yang telah dimakan usia.
“Seringkali hidup tentang membuat kesalahan untuk kemudian belajar menjadi benar..”
Matanya menerawang kosong.
“terkadang kita mengkhawatirkan banyak hal yang tak perlu. Akhirnya malah membuat kita takut untuk memulai sesuatu yang baru..”
Kalimatnya seakan menyindirku.
“hidup bukan hanya sekedar menjadi sempurna, tapi lebih banyak tentang proses perjalanan dalam mencari kesempurnaan itu sendiri..”
“saya bukan seorang perfeksionis, bu..” keluhku, mulai kesal. Topik mengenai jodoh selalu bisa membuatku merasa jadi orang yang kurang beruntung.
“ini bukan tentang jodoh ataupun pernikahan, sayang.. ini tentang segala hal mengenai kehidupan. Kalaupun kamu yakin dengan pilihanmu bahkan untuk hidup sendiri, tak ada yang salah dengan itu. Jangan pakai ukuran orang lain untuk mengukur kebahagiaanmu. Yang terpenting selalu yakinlah bahwa apa yang menjadi pilihanmu adalah yang terbaik, karena kadang benar salah adalah tentang keberanianmu mengambil resiko atas pilihan itu sendiri.
Aku menghela nafas. Kalimat-kalimatnya terasa begitu rumit. Tapi aku belum mampu menyanggahnya. Kutunggu dia melanjutkan.
“apa selama ini ibu bahagia?” entah kenapa tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulutku, dan terlambat untuk menyesalinya. Untuk apa aku menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu? Gerutuku. Mungkin sebenarnya pertanyaan itu aku ajukan pada diri sendiri.
“Bahagia atau ketidakbahagiaan, rasa sedih dan gembira, itu dua hal yang saling mengisi.. tak mungkin terpisahkan, dan sesungguhnya kita tidak berhak untuk memiih diantara keduanya. Mereka seperti dua hal yang saling mengisi satu sama lain, yang hadirnya hanya menunggu untuk kau rasakan...”
Kuhela nafas, entah kenapa sesaat aku merasa sesak. Kalimatnya terdengar indah, walaupun aku belum bisa memahami sepenuhnya.
“Banyak hal yang sudah ibu lalui selama umur ibu ini. Dulu sewaktu ibu masih muda, seringkali ibu mencoba menganalisa setiap kejadian besar yang ibu alami. Beberapa hal terasa menyakitkan lalu ibu berpikir ini itu dan kata –seandainya- menjadi penyelamat sementara untuk meringankan perasaan. Tapi semakin kesini ibu semakin menyadari bahwa hidup adalah tentang belajar menerima segala keadaan yang dihadapkan pada kita, dan keikhlasan selalu menjadi kunci untuk setiap sesak dalam hati karena kondisi yang terasa menyakiti. Bukankah hidup ini hanya tentang –menunggu mati-? Yaa.. cuman itu. Tapi yang terpenting bagaimana kita bisa mengisi waktu kita yang sedikit ini dengan menjadi berguna buat orang lain, karena itu yang bisa membuat kita benar-benar merasakan kehidupan, bahwa keberadaan kita di dunia ini punya arti. Mungkin itu filosofi hidup yang pada akhirnya ibu temukan di sisa umur ibu ini..”
Aku tercenung. Bukan hanya kali ini aku mendapatkan pencerahan-pencerahan dari bu Astuti, tapi apa yang baru dikatakannya sungguh mampu membuatku merinding dan merasa begitu kecil.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kubaca nama yang tampil di layar.
“Dari kantor..” keluhku.
“Sepertinya saya harus lembur hari ini” kugaruk kepala yang tidak terasa gatal.
“Pergilah... buat dirimu berarti..” bu Astuti tersenyum.
Aku segera beranjak, dan tak lupa mengucapkan terimakasih. Kupandangi lekat wajahnya sekali lagi, aku merasa beruntung telah mengenalnya. Tak pernah kukira bahwa itu terakhir kalinya aku melihat sosoknya yang sehat.
Keesokan paginya, saat aku bersiap untuk mandi, sebuah telepon mengabarkan bahwa bu Astuti masuk rumah sakit. Seorang penabrak lari meninggalkannya di tengah jalan. Tubuhku bergetar menerima berita itu. Tak terbayangkan seseorang yang baru kemaren sore ngobrol dan tertawa bersamaku, saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya.
Segera kutelepon kantor awalnya untuk mohon ijin datang terlambat hari ini, lalu aku teringat bahwa bu Astuti tinggal sendiri, siapa yang akan mengurusnya di rumah sakit. Maka kuputuskan untuk mengambil hak cutiku beberapa hari. Tanpa terasa airmataku menetes membayangkan kondisi bu Astuti saat ini.
***
Kubuka perlahan pintu ruangan serba putih itu. Disana terbaring sosok yang sangat kukenal dengan beberapa selang infus menempel di tubuhnya.
Aku tak mampu menahan airmata. Perasaan sedih yang tak mampu aku jelaskan. Entah mengapa tiba-tiba aku membayangkan akulah yang terbaring disana, dalam sepi, sendiri, tak ada yang menemani saat mengalami hal buruk dalam hidup. Sampai didekatnya, aku tak mampu berkata-kata. Airmataku masih deras mengalir.
Kupegang tangan keriputnya, terasa dingin. Matanya perlahan terbuka, dia tersenyum saat melihatku, lalu tangan kirinya menggapai memintaku untuk memeluknya. Kupeluk dia, sambil terus terisak-isak.
“Terima kasih....” bisiknya.
Kuangkat kepalaku menatap matanya, berusaha mencari makna atas kata itu.
“Makasih sudah nemenin ibu selama ini..”
“Jadilah kuat, jangan pernah takut untuk menjadi dirimu sendiri..” sejenak dia berhenti, mengatur nafasnya yang terasa berat.
“Ibu punya dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Tapi kehidupan telah membuat ibu harus terpisah dengan mereka. Nanti kalau ibu meninggal, ibu minta tolong dikuburkan di pemakaman dekat rumah kita yaa..”
Aku masih tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, bahkan untuk bertanya dimana anak-anaknya sekarang. Yang aku tahu, aku masih sangat berharap ini hanya sekedar mimpi yang akan berakhir saat aku terbangun. Aku masih belum bisa membayangkan hari-hariku tanpa kehadirannya, tanpa cerita-ceritanya, tanpa masakan-masakannya, tanpa filosofi-filosofinya yang seringkali terdengar rumit tapi begitu indah untuk didengarkan.
Lalu kurasakan nafasnya mulai tersengal, tinggal satu satu. Dan kusadari detak jantungnya semakin melemah. Kekosongan melingkupiku, kehampaan yang tak tergambarkan. Seseorang telah meninggalkanku. Hidup hanya menunggu mati...kalimat itu memenuhi otakku.
***
Tanah merah itu penuh bertabur bunga. Ratusan orang telah mengantarnya di peristirahatan terakhir. Aku baru menyadari bahwa bu Astuti begitu populer di lingkungan kami. Banyak kebaikan yang telah ditebarkannya dalam waktunya yang belum terlalu lama sebagai pendatang baru. Banyak airmata yang terurai, cerita-cerita tentang sosoknya. Tapi pada akhirnya semua orang harus belajar tentang keikhlasan untuk melepasnya menghadap Sang Maha.
Selamat Jalan Bu Astuti, doaku menyertaimu..