Rua Finte
Quatro Horas. Aku melirik jam di pergelangan
tanganku. 16.00 waktu di Curitiba, Brazil. Udara tidak terlalu dingin, hanya
sekitar empat belas derajat celcius. Aku cukup mengenakan sweater dan celana
jeans legging untuk menahan dingin. Inverno kali ini tidak terlalu menggigit, Kuedarkan pandangan ke
sekeliling. Deretan toko-toko kecil dan cafe yang berderet rapi di sepanjang
jalan ini selalu membuatku ingin menikmatinya, setiap saat. Sesuai dengan
namanya Rua Finte Quatro Horas, jalan kecil ini tak pernah mati, buka selama
dua puluh empat jam.
Aku memilih
sebuah cafe yang letaknya bersebelahan dengan toko kecil yang menjual suvenir. Memesan secangkir cafe de latte, sambil
mengamati para pejalan kaki yang berlalu lalang. Mereka selalu tampak modis
dalam balutan baju hangat.
Kusesap minumanku, rasa hangat menjalari tenggorokan. Berusaha meredakan
debar jantungku sendiri, mencoba menganalisa kembali rencanaku disini,
menimbang dalam kegamangan, melalui potongan-potongan memori yang terangkai
dalam sekian waktu.
Yah, waktu mungkin akan mampu mengajari kita akan banyak hal terutama
tentang perasaan, itu yang selalu aku pahami. Bahwa seperti segala kebendaan
yang memiliki “masa berlaku” demikian juga tentang rasa “cinta” pada seseorang
lawan jenis, ada pada saatnya memudar seiring waktu, karena terkikis oleh
logika dan keadaan yang tak mendukungnya untuk dijaga dan dipelihara. Berbeda
dengan “pernikahan” yang telah diikatkan dalam sebuah janji sakral, perasaan
yang ada didalamnya akan terkondisikan untuk selalu ada pada “tempatnya”.
“Oi tudo
bem?” sebuah suara berat dari arah belakang, cukup
mengejutkanku.
Aku menoleh cepat, dan kini kulihat sosoknya dengan jelas, rambut ikalnya
sedikit lebih panjang dari yang ada dalam ingatanku, sepasang mata coklatnya
terbingkai dalam kacamata. Dia masih tampak selalu mempesona, seperti terakhir
aku bertemu lima tahun yang lalu. Fernando, seseorang dari masa laluku yang
kini harus kuhadapi kembali keberadaannya.
Aku berdiri, dan dia langsung memelukku erat, lalu mendaratkan ciuman
hangat ke pipiku, darahku berdesir. Kulepaskan pelukannya dengan sedikit
jengah, ini bukan saatnya tenggelam dalam romantisme, ingatku pada diri
sendiri.
“Kamu tampak kurus...” dia mengatakan itu sambil menatapku lekat-lekat.
Aku berusaha tersenyum, pura-pura sibuk mengatur kembali dudukku sekedar menghindari
tatapannya, degup jantung yang tak beraturan sedikit membuat dadaku sesak.
Kutarik nafas panjang untuk menenangkan diri.
“Are you ok?” tanyanya lagi,
Aku terpaku untuk beberapa saat, berusaha menimbang kembali rencana awalku,
tapi sudah terlambat untuk membatalkan semua dan menutupi lagi rahasia besarku
selama ini. Fernando masih menunggu reaksiku. Dia bersiap mengatakan sesuatu
saat kukeluarkan sebuah foto dari dalam tas, kusodorkan begitu saja ke
hadapannya.
Dia menatapku tak mengerti, lalu pandangannya beralih pada foto yang
tergeletak di meja.
“Namanya Angela, umurnya empat tahun....” kuatur nafasku, sebelum
mengucapkan ini, berusaha mencari rangkaian kalimat awal yang seharusnya aku
susun sebelum mengatakan kata-kata yang mungkin akan merubah banyak hal antara
aku dan Fernando. Kutarik nafas panjng.
“...Dia anakmu..” suaraku terdengar lirih, hanya semacam bisikan diantara
keramaian cafe. Tapi aku yakin, Fernando cukup jelas mendengarnya.
Sesaat sepi menyelimuti. Fernando tampak tertegun, lalu tertawa terbahak-bahak.
Tawanya cukup keras sampai mampu menarik perhatian beberapa pejalan kaki yang
melewati kami. Aku hanya diam, menunggu reaksi selanjutnya. Ini pasti akan
menyakitinya.
Tawanya terhenti, diraihnya foto itu, lalu memandangnya lekat2.
“It’s just a joke, right...?” tanyanya masih tak percaya.
Aku menggeleng kuat-kuat, kepalaku terasa berdenyut, lalu buliran air mata
mulai meleleh, mengalir dengan derasnya, ketegaran yang berusaha kubangun dari
awal aku menginjakkan kaki ke kota ini telah runtuh, aku sudah tak mampu
menahan beban rahasia yang selama bertahun-tahun ini berhasil aku simpan
sendiri.
*******
Kami saling jatuh cinta.
Itu kalimat sederhana yang mungkin bisa merangkum cerita panjang antara aku
dan Fernando. Kami bertemu pertama kali saat aku menjadi salah satu mahasiswa
yang mendapat bea siswa belajar keluar negri, tidak lama hanya beberapa bulan.
Fernando adalah seorang pendamping, yang banyak membantu dalam prosesku belajar
memahami Brazil. Dia pernah dikirim ke Thailand beberapa lama, sehingga sedikit
banyak paham adat budaya bangsa-bangsa Asia.
Dua tahun setelah aku kembali ke Indonesia, ternyata Fernando menyusulku ke
Indonesia dan memutuskan untuk tinggal setahun disini. Alasannya dia jatuh cinta
pada budaya Timur, dan ingin belajar bahasa Indonesia. Itulah saat kami menjadi
semakin dekat.
Awalnya aku tidak pernah mau menganggap serius hubungan ini. Aku termasuk
tipe konvensional yang tidak suka berpikir rumit mengenai sebuah hubungan.
Fernando bagiku tak lebih dari seorang sahabat, seseorang yang selalu enak
diajak ngobrol dan aku merasa nyaman di dekatnya. Ungkapannya berkali-kali “Eu te amo...” bagiku saat itu hanyalah
bentuk dari keter-obesi-annya pada Indonesia. Aku selalu menganggap bahwa cinta
hanyalah salah satu efek hormon dalam tubuh yang membuat kita jadi irrasional lalu setelah beberapa tahun
akan hilang dengan sendirinya.
Setelah setahun berlalu Fernando tinggal di Indonesia, ternyata dia masih
merasa belum puas. Beberapa kali dia mengungkapkan ingin tinggal dan bekerja di
negri yang rumit ini. Dan aku hanya tertawa mendengarnya, pasti kelogisannya
mulai mengalami pergeseran akibat nasi padang yang jadi menu favoritnya, itu
yang selalu aku katakan setiap kali dia menyampaikan hal itu. Lalu dia tertawa
keras sambil memelukku, tak peduli kalaupun kita sedang berada di keramaian dan
tempat umum, walaupun sudah kukatakan berulang kali padanya bahwa
pelukan-pelukan semacam itu bukanlah hal yang bisa dianggap wajar di Indonesia,
tapi seringkali dia malah menggodaku dengan memelukku lebih erat.
Aku mulai menyukainya.
Mulai merasa tergantung atas keberadaannya. Mulai sering merasa rindu saat
tak bertemu. Mulai merasa takut kehilangan. Mulai sering bertanya-tanya kapan
dia akan kembali ke Brazil. Cinta selalu memiliki sisi “tidak nyaman” itu yang
aku pelajari.
Hatiku mulai terasa berdebar saat dia mengatakan “Eu te amo...” aku memiliki
harapan besar pada kalimat itu, harapan bahwa Fernando tidak akan pernah
kembali ke negaranya.
Senja itu kami duduk berdampingan di sisi sebuah pantai, menikmati desir
angin laut sambil memainkan pasir disela-sela jari kaki. Langit mulai gelap,
rona merah jingga telah lenyap sesaat yang lalu.
“Aku harus pulang..” Fernando tiba-tiba mengatakan itu, kalimat pendek yang
terasa menyesakkan.
Akhirnya saat ini tiba, bathinku.
“Eu te amo.. apakah kita terlalu
muda untuk menikah?” dia mengatakan itu sambil memandang lekat pada mataku.
Kuhela nafas, mencoba tetap bisa berpikir rasional dengan apa yang baru
dikatakannya.
Usiaku belum genap dua puluh satu tahun, dan dia hanya dua tahun lebih tua
dariku. Ada banyak mimpi yang masih ingin kuraih, dan aku tidak siap dengan
segala kerumitan hubungan beda agama, antar negara dan jarak yang terbentang
jauh diantara kita. Jika pun memang cinta kita berdua nyata, itu belum cukup
mampu meyakinkan diriku mengambil keputusan besar menyangkut pernikahan. Aku
takut apa yang aku dan Fernando rasakan hanyalah perasaan sesaat, yang membuat
kita mabuk sementara waktu dan tidak mampu berpikir rasional. Mungkin cinta ini
memang benar adanya, tapi belum saatnya mengikatkan pada sebuah hubungan sakral
yang bernama pernikahan, dengan segala hal yang harus kita tanggung dan
selesaikan. Aku ragu... dan merasa “takut”.
“Aku mencintaimu, Nadya...apa itu belum cukup?”
“Hidup seringkali tidak cukup hanya dengan sekedar cinta...ada banyak hal
dan orang-orang disekitar kita, kamu tahu itu kan? Aku merasa belum siap...”
“Butuh waktu berapa lama lagi agar kamu yakin dan siap?”
Aku hanya diam. Karena memang tak tahu harus menjawab apa.
Lalu dia merengkuhku dalam pelukannya, dan aku mulai menangis, entah karena
apa, mungkin karena cinta terkadang terasa menyakitkan.
Dan begitulah akhirnya, Fernando kembali ke negaranya, kami masih sangat
sering berkomunikasi, dia masih sering menanyakan kesiapan akan pernikahan,
tapi aku masih saja belum menemukan jawaban yang tepat. Sampai beberapa tahun
kemudian, dia mengatakan sedang dekat dengan seseorang, Alexandra, seorang
gadis rekan kerjanya. Ibunya orang Filipina dan ayahnya orang Brazil, bisa
dibayangkan kecantikan yang dimiliki gadis blasteran itu. Tak lama kemudian
mereka menikah. Aku tak tahu tentang perasaanku sendiri saat Fernando
mengabarkan pernikahannya, yang aku ingat selama dua hari aku hanya ingin
mengurung diri dalam kamar, membasahi bantalku dengan air mata.
Tahun-tahun berlalu dengan cepatnya, karirku disebuah majalah wanita yang
lumayan terkenal melesat cepat. Aku sering melakukan perjalanan-perjalanan
keluar kota dan keluar negri, sampai aku lupa tentang cinta dan pernikahan, aku
merasa begitu nyaman dengan kesendirian. Cukup bahagia menjani hari-hariku
dengan jadwal yang padat dan agenda pertemuan disana-sini, bertemu dan mengenal
banyak orang sebatas pekerjaan. Hubunganku dengan Fernando masih cukup baik,
walapun hanya sekedar saling kirim email dan sewaktu-waktu menelepon.
Pernikahannya tampak bahagia itu yang kulihat dari foto-fotonya di facebook,
hanya saja mereka belum dikaruniai anak sampai sekian tahun pernikahan.
**********
Tanpa terasa usiaku telah sampai pada titik tiga puluh dua. Aku ingat tepat
di hari ulang tahunku saat itu, sebuah pesan masuk ke ponselku.
“Happy B’day...bisa kita ketemu? Aku di Indonesia..Fernando”
Aku tertegun sejenak, lalu melompat kegirangan. Sesaat berusaha meyakinkan
diri bahwa ini bukan sekedar mimpi.
Akhirnya setelah sekian tahun terpisah, kami bertemu kembali. Kurasakan
kerinduan yang selama ini kusimpan rapat-rapat dalam hati. Fernando terlihat
semakin mempesona dalam kedewasaan. Senyumnya, cara bicaranya, tatapan sepasang
mata teduhnya, masih sama seperti yang terangkum dalam ingatanku. Tak dapat
kupungkiri, bahwa ternyata cinta tak bisa dikubur begitu saja oleh waktu.
Kami menghabiskan banyak waktu berdua. Aku sengaja mengambil cuti selama
beberapa hari, tak ingin melepaskan kesempatan untuk menikmati hari bersama
Fernando, mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan nostalgia; pantai, warung
makan padang langganan, taman kota, dan toko buku. Kami seperti terlempar
kembali ke masa lalu, menjadi sepasang kekasih yang baru mabuk asmara.
Lalu hal itu terjadi...begitu saja. Mungkin karena kerinduan yang tak
terbendung, mungkin aku terbius oleh pesonanya, atau mungkin itu hanyalah
sekedar nafsu belaka. Aku tak mau semua terdengar sebagai pembenaran, tapi aku
meyakini apa yang aku lakukan sepenuhnya karena “cinta”.
“Kenapa kita tidak menikah?’
Tanyanya tiba-tiba setelah beberapa malam kita habiskan bersama.
Aku pura-pura tidak memperhatikan apa yang dia katakan, sambil tetap
menekuri nasi goreng yang menjadi sarapan kami pagi itu.
“Kenapa kita tidak menikah?’ ulangnya lagi, memastikan bahwa aku
mendengarkan.
Kugenggam erat sendok dan garpu , berusaha menenangkan diri.
“Kamu tau kalau itu pertanyaan konyol?” aku balik bertanya.
“Aku mencintaimu, Nadya” kalimatnya terdengar jelas.
“Lalu apa? Kamu sadar apa yang sedang kamu jalani? Kenapa harus memperumit
semua ini? Tak bisakah kita menyederhanakan semua yang sudah kita lalui kemarin
sebatas interaksi fisik semata? Kebutuhan atas nafsu?”
Nada suaraku mulai meninggi. Kubanting sendok dan garpu yang kupegang,
menimbulkan suara nyaring saat membentur piring dan meja makan.
Fernando tampak terkejut dengan reaksiku. Dia berdiri, berjalan ke arahku
berusaha memeluk, tapi aku menghindar dan berjalan cepat ke kamar mandi,
menguncinya dari dalam, lalu mulai menangis. Aku tahu airmata tak pernah
menyelesaikan apapun, tapi aku butuh melegakan sesak yang terasa memenuhi dada.
Entah berapa lama aku mengunci diri, setelah merasa cukup tenang, aku
keluar dan mendapati Fernando duduk di lantai persis di depan kamar mandi. Saat
menyadari pintunya terbuka, dia langsung berdiri dan memelukku, aku tak mampu
menghindar lagi, merasa begitu lelah dan tak punya tenaga untuk menolaknya.
“Ma’af...” bisiknya.
Lalu aku mulai terisak lagi di dadanya.
“Aku tak ingin melukai siapapun atas keberadaanku..” kataku disela sedu
sedan.
“Aku tau...” kata Fernando, sambil mengelus pelan punggungku.
Kulepas perlahan pelukannya, saat kami berhadapan, kutatap lekat sepasang
matanya.
“Eu Te Amo...” kataku dengan penuh keyakinan.
“Tak ada yang akan berubah diantara kita, kembalilah ke Brazil..tapi, lusa
saat dirimu berangkat, aku tak akan sanggup mengantarmu ke bandara..” Kuusap
airmata yang kembali meleleh di pipi.
“Aku akan baik-baik saja..” suaraku terdengar bergetar saat mengatakan
kalimat itu, menunjukkan ketidakyakinanku.
Setelah Fernando kembali ke negaranya, tak pernah sekalipun kujawab telepon
darinya, semua e-mail yang dikirimkannya langsung kuhapus tanpa membacanya
terlebih dahulu, aku berusaha mengakhiri siksaan atas perasaan cinta dan rindu
yang menjeratku kembali, cukup sudah... tapi ternyata hidup seringkali tak
sesederhana itu. Dua bulan setelah kepergian Fernando, aku mendapati dua garis
merah tercetak jelas pada testpack yang iseng aku beli karena merasakan
perubahan pada tubuhku. Sesaat dunia terasa berhenti berputar, aku merasa
begitu gamang, mungkin ini sebuah hukuman dari Tuhan atas hubungan terlarang,
atau mungkin sebuah anugrah untuk mengingatkan betapa cinta bisa mewujudkan
benih yang harus aku terima sebagai pertanggungjawaban.
Sebuah babak baru dalam hidupku harus kumulai. Tekadku bulat untuk terus
menjaga sesuatu yang tumbuh dalam perutku. Kuawali dengan pengunduran diri dari
majalah tempatku bekerja, tabunganku cukup untuk membeli sebuah rumah kecil di
pinggir kota, dan menyambung hidup sebagai penulis lepas. Tapi yang terberat
adalah saat harus menceritakan niatku pada kedua orangtuaku. Aib adalah tetap
aib. Kami bangsa Timur yang sangat menjunjung norma dan tata krama, orangtua
mana yang sanggup menerima anak gadisnya hamil tanpa suami?
Masih kuingat wajah ayah yang mengeras saat kukatakan aku hamil dan tak
punya niatan sama sekali untuk menggugurkannya. Aku bahkan tak menangis, saat
kukatakan aku tak butuh laki-laki untuk menjadi ayahnya, aku ingin
membesarkannya sendiri.
“Terserah...itu pilihanmu, tapi jangan pernah kembali ke rumah ini, kamu
harus tau besarnya tanggung jawab atas kesalahan yang telah kau buat...”
kalimat ayah terasa menusuk, lalu dia pergi meninggalkanku di ruang tamu,
bersama ibu yang berderai airmata.
“Dia sudah cukup angkuh untuk mengatasi hidupnya, tinggalkan dia sendiri,
Bu...!” teriaknya kemudian dari dalam kamar.
Lalu aku mulai menangis, saat ibu meninggalkanku sendiri di ruangan itu. Rumah
besar dengan pilar-pilar kayu jati tempatku menghabiskan masa kecil, menjadi
saksi tekad bulatku untuk menghimpun keberanian atas segala yang akan aku
hadapi ke depannya nanti.
******
******
Kembali aku terlempar ke masa kini, menemukan Fernando yang
tampak diam terpekur menatap foto Angela – anaknya.
“Apa yang kau harapkan dari semua ini…” kalimatnya terasa
menyakiti hatiku.
Kuhela nafas, berusaha kembali meredakan kegaduhan dalam
dadaku sendiri. Entah..aku juga tak tau harus menjawab apa. Setelah segala
kekuatan yang kumiliki untuk menjalani semua ini –sendiri - mengapa tiba-tiba
saja aku merasa begitu lemah saat berhadapan dengannya.
“Aku menginap disekitaran Centro, pikirkan dulu masalah ini…” kuambil jeda untuk menghirup
banyak oksigen karena kepalaku mulai terasa berdenyut hebat. Kukeluarkan secarik
kertas dan bolpoin dari tas lalu menuliskan nama sebuah hotel. Kuserahkan pada
Fernando, sambil mulai beranjak untuk pergi.
“Kamu pikir bisa datang dan pergi, sambil meninggalkan beban
begitu saja?” Fernando mengatakan itu sambil memegang erat tanganku. Sepasang
matanya menunjukkan kemarahan.
“Aku tak pernah pergi darimu, aku hanya memintamu untuk
meninggalkan aku… itu dua hal yang berbeda.
Semua yang harus kujalani adalah pilihanku dan aku siap dengan segala
konsekuensinya, aku tidak sedang menuntut perasaan bersalahmu atas sebuah
tanggung jawab…” aku tak mampu meneruskan kalimat, sekelilingku tiba-tiba
terasa berputar, terpaksa aku kembali duduk, kulepas tangannya lalu meraih coffee de latte yang masih tersisa
separuh.
“Apa yang kau inginkan Nadya?” matanya menatapku tajam.
Aku terdiam, berharap bisa melalui fase ini, tapi inilah
saatnya..kalimat yang telah kuulang berkali-kali dalam benak, menatanya
sedemikian rupa agar tak terdengar tragis dan menimbulkan rasa iba dari orang
lain. Ya, aku tak perlu belas kasihan dari orang lain, aku ingin selalu merasa
kuat , menghadapi banyak hal sendiri, mengatasi setiap permasalahan dan
menyembunyikan sakit ini.
“Bulan depan aku harus mulai menjalani khemotherapy... aku tak tahu pada siapa aku
harus menitipkan Angela, kalau seandainya…” Kutahan kalimatku, berusaha sekuat
tenaga agar luapan airmata tak jatuh.
Fernando tampak terkesiap. Mulutnya seakan mengatakan
sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar dari sana. Untuk beberapa saat,
keheningan menggantung diantara kami.
“Aku tak pernah berniat untuk mengacaukan keadaan… aku ingin
semua tetap pada tempatnya dan merahasiakan semua, tapi keadaan ini yang
mendorongku untuk memberitahukanmu. Aku tak ingin menyakiti siapapun atas
keberadaanku dan Angela. Wanita mana yang bisa menerima anak dari suaminya
dengan wanita lain? Aku sudah mempertimbangkan hal itu, berusaha mencari jalan
keluar yang bisa cukup bijak menyelesaikan ini, tapi tiba-tiba aku merasa
begitu takut… bagaimana dengan Angela seandainya aku tak cukup kuat menghadapi
sakit ini..?” aku mulai menangis, kuseka air mataku dengan punggung tangan.
“Tolong pikirkan saja dulu…hubungi aku kalau kau sudah
merasa siap..” aku segera berdiri dan berjalan cepat meninggalkan Fernando yang
diam memandangi foto Angela sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.
********
Aku turun dari onibus yang
mengantarku ke Centro, masih harus berjalan beberapa meter menuju hotel,
melewati café-café yang menata kursinya sepanjang sisi jalan, museum dan toko-toko
bunga. Kunikmati sepanjang perjalanan, lalu memutuskan berhenti sejenak, saat
kulihat seseorang berkulit hitam sedang memainkan saxophone dengan indah, tak jauh dari sebuah bangku taman. Kukeluarkan
selembar Real melemparkannya kedalam
kotak kecil didepan sang pengamen lalu duduk menikmati alunan musik jalanan.
Beberapa orang wanita
Gypsi tiba-tiba lewat, sejenak mengalihkan
perhatianku . Mereka sedang tertawa-tawa
bahagia, dengan pakaian menyolok dan gemerincing perhiasan, tampak begitu
cantik dengan aura kebebasannya. Mungkinkah seperti itu definisi “kebahagiaan”?
melekat pada makna “kebebasan”? sungguh alangkah sederhananya .. tak terasa
airmata menetes ke pipiku. Aku sudah terlalu banyak menangis hari ini,
bathinku. Dan ternyata itu tak membuatku merasa lebih baik.
Senja mulai menyergap, titik-titik air langit jatuh
perlahan, lampu kuning menyala sepanjang jalan, aku berdiri lalu berjalan
pelan, ingin menikmati setiap tetes hujan, tak peduli kepala dan tubuhku yang
mulai basah. Kubiarkan airmata yang deras mengalir seiring air hujan yang
membasahi wajah. Mengapa ini mulai terasa semakin berat? Seandainya aku tahu
bahwa segala hal akan berjalan begitu rumit, mungkin aku akan berusaha mencegah
perasaan “cinta” itu menguasai. Tapi bisakah kita menghindar? Pertanyaan yang sampai
kini bergema di benakku. Aku percaya bahwa
Tuhan selalu punya rencana-rencana, aku sadar akan keterbatasanku sebagai
manusia, bahwa setiap detail dalam kehidupan sebenarnya telah digariskan, dan
tugas kita di dunia memaknai setiap prosesnya, belajar menjadi kuat, sabar dan
ikhlas.
Aku terus berjalan, hujan semakin deras… kepalaku mulai
terasa berdenyut hebat, dunia seakan berputar, aku masih memaksakan berjalan,
lalu kegelapan menyergap…
-Tamat-
Translate:
Eu Te Amo :
aku mencintaimu
Rua Finte Quatro horas :
jalan dua puluh empat jam
Inverno : musim dingin
Coffe de latte :
sejenis kopi yang dicampur susu
Oi tudo bem :
hai, apa kabar
Centro :
pusat kota
Note : cerita ini hanya fiktif belaka. Beberapa tempat
memang benar adanya di sebuah kota bernama Curitiba, Brazil. Pemilihan tempat untuk memperkuat sisi cerita bahwa cinta
seringkali tak mengenal tempat dan waktu.
Terimakasih buat yang telah menyempatkan membaca, soal
ending..mohon maaf bila tak sesusai dengan harapan, silahkan berimajinasi untuk
penyelesaian cerita.
Backsound : “Inspiration” (Gypsi King) dan “Gagal
Bersembunyi” (The Rain)