Kuberi nama dia “Bintang”, karena
itulah aura yang kurasakan saat kulihat bening dua bola matanya. Karena dia memang
selayaknya cahaya kecil, indah berkelap kelip di pekat malam. Karena dia
pembawa keajaiban dalam keheningan sebuah rumah.
Sembilan tahun bukan waktu yang
singkat untuk menanti kehadirannya. Dan mukjizat itu datang, saat aku mendengar
dokter memberitahu bahwa aku positif hamil. Tak mampu kugambarkan suka cita
yang menyelimuti hati. Kebahagiaan itu adalah milik kami, aku dan suamiku.
Wujud dari sebuah cinta yang dipelihara dengan kesabaran dan keyakinan.
Bintang.. hanya itu nama yang
kusematkan pada bayi mungil yang menangis kencang dalam dekapanku saat itu, bentuk nyata sebuah keajaiban.
Airmata mengalir, selayaknya kesejukan yang melingkupi hati dan jiwaku. “terima
kasih Tuhan…” hanya itu yang mampu terucapkan dari bibirku. Tak ada yang lebih
indah daripada menjadi seorang ibu.
Hari berlalu, bulan berganti
tahun. Sengaja aku berhenti bekerja untuk memberikan kasih sayang sepenuhnya.
Tuhan begitu pemurah mempercayakannya padaku. Segala hal terbaik yang mampu kuberikan
untuk Bintang. Cinta, kasih sayang dan perhatian, dia adalah segalanya untukku.
Setiap detail yang mampu kurekam dalam memoriku tentang Bintang. Aku tak mau
melewatkannya. Dari gaya
menggeliatnya, caranya membuka mata, suara tangisnya, tendangan-tendangan
kecilnya, gerakan jemari kecilnya. Keajaiban melingkupi setiap detik, menit,
jam, waktuku. Ada
satu hal yang sedikit mengusik. Seiring waktu baru kusadari bahwa aku tak
pernah melihat senyum di wajah Bintang. Awalnya kupikir memang seperti itulah
bayi pada umumnya, mereka belum bisa mengungkapkan perasaan selain tangisan
saat lapar dan tidak nyaman karena popoknya yang basah. Kutepis segala perasaan
itu. Secara fisik, Bintang juga anak yang cukup sehat. Gigi pertamanya mulai
tumbuh di usia tujuh bulan. Umur sembilan bulan dia sudah mulai berdiri dan
belajar jalan. Sepuluh bulan dia sudah lancar berjalan. Setahun dia sudah
berlari kesana kemari, tapi sampai pada usia itu, senyum itu begitu sulit
kutemui di wajah mungilnya. Dia terlihat pemurung diantara teman-teman
seusianya.
Sampai pada suatu hari, dia
tampak begitu tertarik dengan sebuah spidol berwarna merah yang ditemukannya di
bawah meja kerja suamiku. Baru kulihat sebuah senyum kecil mengembang di wajah
mungilnya. Lalu dia mulai sibuk mencoret-coret segala sesuatu, termasuk
tubuhnya sendiri, awalnya kulihat kelucuan disitu. Tapi lama kelamaan dia
tampak terobsesi dengan spidol merah itu, seluruh tubuhnya penuh dengan coretan
berwarna merah, bahkan sampai wajahnya. Saat kuambil spidol itu dia berteriak,
menangis sekencang-kencangnya seakan aku telah merebut sesuatu yang sangat
berharga darinya. Aku begitu kebingungan dengan reaksinya saat itu. Kudekap
erat-erat dirinya, berharap bisa menenangkan, tapi dia masih tetap menangis
meraung-raung. Terasa ada sesuatu menyayat dalam hati saat mendengar
tangisannya. Aku tahu dia terluka, bukan secara fisik, tapi lebih dalam
hatinya, tanpa sengaja aku telah melukainya, dengan mengambil sesuatu yang
mampu menghadirkan sebuah senyum di wajahnya yang selalu diliputi kemurungan.
Esoknya, demi menebus apa yang
telah terjadi dengan spidol merah, kubelikan dia sekotak pensil warna. Sepasang
matanya berbinar takjub melihat deretan warna-warni dihadapannya. Tak lama
kemudian Bintang sudah asyik mencorat coret kertas gambar, dengan berbagai
warna. Dia begitu menikmati proses itu, dan mampu melakukannya sampai
berjam-jam lamanya. Aku sendiri tidak terlalu paham tentang seni. Tapi yang kurasakan
adalah semangat Bintang saat menggambar, dia seperti menemukan sebuah dunia
indah dalam versinya, yang tak seorang bisa memasukinya, bahkan aku...ibunya.
“Putri ibu mengidap autisme….” Dokter
mengatakan hal itu dengan nada datar.
Aku hanya tertegun mendengarnya.
Pikiranku terasa kosong, sedikit sulit mencerna apa yang baru saja kudengar,
antara berusaha menerima dan berpura-pura itu hanya imajinasiku. Aku menoleh
kearah suamiku yang tampak terdiam dengan wajah yang aku juga tak mampu menduga
apa yang sedang berkecamuk dalam bathinnya. Lalu kualihkan pandangan pada
Bintang, yang sedang duduk di lantai asyik mencorat coret kertas. Sedetik
kemudian sesak itu terasa membekap.
Bagaimana mungkin malaikat
kecilku mengidap autis? Dosa apa yang telah kami perbuat? Bagaimana nanti dia
di lingkungan? Bagaimana dia bisa menjaga dirinya di tengah belantara dunia?
Apa yang harus aku lakukan?
Dan airmata itu deras mengucur,
tanpa yakin atas apa yang aku rasakan sepenuhnya. Aku beranjak dari kursi,
melangkah menuju Bintang, lalu memeluknya erat-erat, berharap kehangatan dari
dekapanku akan mengalirkan kekuatan yang mungkin bisa membuatnya merasakan segala
cinta yang ingin kucurahkan untuknya.
Tapi yang kurasakan, reaksi
Bintang hanya diam, sejenak kemudian mulai memberontak, menolak pelukanku. Aku mempererat dekapan, menahan
gerak tubuhnya yang berusaha melepaskan diri. Tangisku semakin keras, aku hanya
ingin menyatukan tubuh mungil itu ke dalam diriku, mengisi kekosongan yang
mungkin menguasai dirinya, ikut merasakan kehampaan yang melingkupi dunianya.
Bintang mulai menangis, suaranya
yang memilukan semakin memperat pelukanku. Kami berdua tenggelam dalam drama.
Suamiku dan dokter segera datang berusaha melepaskan diriku yang mulai semakin
histeris. Aku masih sulit menerima kenyataan ini. Bahwa anakku seorang
penderita autis.
Kupandangi berlembar-lembar
kertas penuh gambar dan warna warni. Berulang kali aku mencoba mencerna apa
yang ada dihadapanku. Beberapa berisi warna-warna gelap, sebagian lagi diantaranya berisi
warna-warna yang sangat cerah, dipenuhi lingkaran-lingkaran kecil, kadang
bentuk-bentuk tidak beraturan, tapi memiliki warna senada. Ada satu hal yang kurasakan
pada gambar-gambar itu, entah apa. Tapi tekadang aku seperti bisa membaca sesuatu yang ingin diungkapkan lewat
warna warni diatas kertas itu. Kadang terasa semacam kesedihan, kesepian,
terkadang ada keceriaan walaupun aku tidak tahu bagaimana aku bisa menjelaskan
apa yang ada dipikiranku secara rasional.
“Bintang....” bisikku lembut. Aku tau dia tidak akan mendengarku. Saat ini
dia sedang tertidur pulas. Kuambil perlahan beberapa pensil warna yang masih
ada dalam genggamannya. Kucium perlahan pipinya, sekilas kulihat jemarinya yang
penuh warna-warni. Kuraih tissue dan membersihkannya perlahan. Tiba-tiba
kurasakan mataku telah basah oleh airmata. Saat ini aku hanya ingin bersyukur
telah menerima anugerah indah ini. Kuusap lembut keningnya, kurasakan hangat
menyentuh telapak tanganku. Aku terkesiap, segera kuraih pengukur suhu tubuh,
sesaat kemudian kulihat angka yang tertera tiga puluh delapan derajat. Aku
mulai merasa gelisah. Dan selalu seperti itu saat Bintang sakit. Aku selalu
merasa terlalu takut kehilangan. Kuambil pengompres, dan mulai melakukan ritual
untuk menurunkan suhu tubuhnya.
Tubuh kecil itu tampak lemah di tempat tidur, selang infus di tangan kirinya.
Beberapa selang lagi terpasang di bagian tubuh lainnya. Matanya masih terpejam,
entah sudah berapa lama. Aku tak bisa lepas memandanginya. Membayangkan bibir
mungil itu akan mengucapkan sesuatu. Kuraih tangan kecil Bintang, menciumnya,
berharap akan ada gerakan dari sana. Aku sudah tak punya airmata, itu yang aku
rasakan setelah berhari-hari menangisinya.
Tuhan, apa yang Engkau rencanakan? Mengapa Kau memberiku kesempatan “hanya”
sesingkat ini? Apakah ini semacam hukuman bagiku? Apa rencanaMu? Kalimat itu
yang terus menderaku. Aku tidak mau kehilangan Bintang...Kumohon Tuhan,
bisikku..
Aku akan menerima dia seperti apa adanya, dengan segala apa yang Kau
limpahkan untuknya. Tolong beri aku kesempatan untuk bisa menjaganya lebih
lama.
Tuhan, apa kau begitu sibuk untuk sekedar mendengarkan doaku? Mengapa harus
Bintang-ku yang merasakan segala rasa sakit itu? Tak bisakah aku yang
menggantikannya?
Tuhan, apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengurangi segala rasa beban
yang dirasakannya?
Tuhan, tolong beri petunjukMu, Engkau yang Maha Pengasih, Maha Cinta,
tolong beri aku kekuatan.
Bintang menderita radang otak, dan harapan hidupnya sangat tipis, itu yang
dikatakan dokter beberapa hari yang lalu. Padahal dia baru berusia empat tahun.
Dengan segala rencana yang telah kusiapkan untuknya, dengan segala keadaan
dirinya yang telah menjadi kelengkapan dalam hidupku.
Mengapa Tuhan? mengapa harus Bintang? Mengapa harus aku yang merasakan
beban sedalam ini?
“mama...” tiba-tiba kudengar suara kecil itu. Aku berusaha memastikan diri
bahwa suara itu bukan hasil halusinasiku.
Kulihat Bintang disana telah membuka mata. Kudekatkan wajahku ke wajahnya.
“ya...ya..Bintang sayang...” terbata-bata aku mengucapkan kata.
Bibirnya bergerak-gerak tapi aku tidak mampu mendengar apa yang
dikatakannya. Kudekatkan telingaku, tapi aku tetap tak bisa mendengar apa-apa.
Kupandangi wajahnya, berusaha mencari tau apa yang ingin diungkapkannya.
Lalu kulihat keajaiban itu, Bintang memandangku
lekat lalu tersenyum, sebuah senyuman “untukku” hal yang telah kunanti selama
empat tahun ini.
Airmataku mengalir seiring tangannya yang
terasa semakin melemah dalam genggamanku.
Terasa ada udara dingin memenuhi dadaku.
Pergilah Bintang...mama ikhlas..Mungkin ini yang ingin Tuhan ajarkan pada mama,
tentang “keikhlasan” bahwa kita semua akan kehilangan, itu hanya masalah waktu,
bukan tentang kesiapan kita saat menghadapinya, tapi bagaimana kita saat harus
menjalaninya. Bahwa “setiap” kita memiliki sesuatu kita harus siap dengan
“segala” kehilangan.
Terimakasih Bintang...karena sampai
kapanpun kau akan tetap menjadi “bintang” di langit, yang walaupun tak
terlihat, aku tahu bahwa kau selalu ada di atas sana.
- Tamat -
Behind the scene: cerpen ini sempat cukup lama ke-pending. Selain karena alasan waktu dan mood yang seringkali susah diajak kompromi, juga karena pas menulis cerpen ini saya terlalu terbawa suasana hati. Baru selembar ngetik udah keburu nangis berlinangan airmata (cengeng mode on) saya pikir waktu itu sedang dalam masa PMS dan hormon lah yang menjadi "tersangka" utama penyebabnya. Karena pemikiran idealis, akhirnya saya memutuskan untuk me-rehat-kan sejenak penulisannya, karena seringkali kalo terlalu terbawa suasana hati, hasilnya malah gak bagus.
dan sore ini (akhirnya) saya berhasl menyelesaikannya, dan (masih) sempat menitikkan airmata (mungkin karena si hormon -lagi-)
Cerpen ini terinspirasi saat naek angkot tanpa sengaja, bersama seorang anak berkebutuhan khusus.
Sudah cukup lama ide nya tapi belum berhasil menuangkan dalam sebuah tulisan.
NB: cerita ini khusus terdedikasikan untuk para anak istimewa yang dikirimkan Tuhan untuk mengajari banyak hal tentang makna kehidupan, terlebih untuk para ibu hebat yang karena kasih sayang Tuhan juga, mendapat kepercayaan untuk mendampingi mereka.