Rabu, 14 Mei 2014

My Sensitive's Day

Mmmh.., pagi yang ringan dan (sebenarnya) saya hanya ingin berpikir tentang hal-hal ringan, bukan analisa, logika, bahkan filosofi yang paling sederhana. Menikmati sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, menghirup udara yang masih berbau embun pagi bercampur debu yang belum terlalu pekat. Lalu saya mulai berusaha menerima apapun yang terlihat kasat mata.

Seorang ibu memakai daster lusuh, wajahnya tampak kosong menanti di pinggir jalan. Gadis muda yang wajahnya penuh bekas jerawat, sibuk dengan telepon selularnya. Bapak-bapak paruh baya yang tampak lelah, kantung matanya terlihat sangat jelas. Seseorang yang sudah tampak berumur, tapi masih memakai seragam sekolah sedang bergumam sendiri sambil menghitung kendaraan yang berlalu lalang. Wanita hamil, yang sekali-kali mengelus perutnya, entah mengapa dimata saya dia tampak cantik sekali.
Ada beberapa wajah yang terekam, berusaha saya terima sebagaimana adanya mereka. Tapi seperti biasa, pikiran saya mulai tergelitik untuk mengimajinasi mereka dalam versi "saya"; tentang bagaimana kehidupan mereka, tentang apa yang ada dalam pikirannya, tentang bagaimana mereka memandang dunia. Sebenarnya saya ingin bercerita panjang lebar disini, tapi saya khawatir hal itu akan terasa membosankan dengan beberapa halaman yang bisa saya tuliskan tentang "mereka dalam versi saya".
Justru yang muncul sekarang adalah sebuah kalimat besar yang tergantung dalam pemikiran:

"Setiap orang punya kehidupannya masing-masing"
Apapun yang saya pikirkankan ataupun analisa, tak akan merubah apapun dalam kehidupan nyata mereka.

"Setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri"
Kalimat ini justru yang terasa menohok saya. Sebuah kalimat yang memaksa saya untuk berkaca.
Tanpa sadar seringkali kita menyalahkan keadaan dan orang lain disekitar kita atas apa-apa yang kita alami (bahkan yang kita rasakan).
Kita menyalahkan sistem perusahaan, pimpinan di kantor, suami, istri, anak, teman-teman atas "ketidakbahagiaan". Kita sibuk menghitung kesalahan mereka, tanpa mau berusaha mencari dalam diri sendiri, apa sebenarnya yang membuat segala sesuatunya "tampak salah"?
Benarkah mereka yang bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang kita rasakan? Yakinkah kita benar-benar memahami jalan pikiran mereka? Atau itu hanya sekedar analisa kita sendiri atas "niat" baik atau buruk mereka? Mampukan kita mengendalikan segala apa yang seharusnya mereka pikirkan atau lakukan untuk kita.

Jawabannya adalah jelas: TIDAK

Kita tidak pernah bisa (benar-benar) mengerti jalan pikiran, niat, bahkan tindakan, apalagi menyuruh mereka (orang lain) untuk berpikir, bersikap dan bertindak seperti apa yang kita mau.
Apa yang (paling) bisa kita lakukan adalah:  mengendalikan diri kita sendiri, menyangkut pemikiran, sikap, tindakan, meyakini tentang "kebenaran" kita sendiri, dan biarkan orang lain mengukur dan menilainya, karena itu hak mereka sepenuhnya.

Mungkin sebaiknya saya cukupkan saja tulisan saya ini sampai disini, silahkan pahami sendiri, saya pun sedang dalam proses untuk (berusaha) memahami, mengurai dan tidak memperumit pemikiran. Karena, hal sederhana untuk memulai semua itu adalah:

"Maaf kan dirimu sendiri"




Sebuah catatan pagi, 14 Mei 2014
*Especially for Yusti
*Backsound: "Let it go" - Demi Lovatto (ost: Frozen)


Selasa, 29 April 2014

MASA BEKU




Fiuh... ternyata sudah setahun saya mengalami kebekuan inspirasi, gersang ide, tapi mungkin lebih tepatnya, kemalasan yang lebih menguasai diri, untuk sejenak meluangkan waktu membiarkan jari jemari menari diatas keyboard. Saya juga heran, menguap kemana mood menulis saya selama ini. Padahal duluuuu, saya selalu punya waktu untuk sejenak bermain-main dengan imajinasi, merangkai kata untuk menjadikannya kalimat yang bisa dipahami sehingga apa yang saya lihat di "dunia mimpi" bisa terbayang dalam benak setiap pembaca. Padahal duluuu, saya selalu merasa "lebih baik" setelah menulis (apapun itu) setiap kali saya merasa sedang dalam kondisi "tidak baik". Tapi sekarang, entah mengapa, bahkan kondisi tidak baik, belum cukup mampu mendorong saya untuk menulis (lagi).

Sampai disini pun saya sudah mati ide... (benar-benar bencana). Apa yang telah terjadi dalam kehidupan saya belakangan ini? kenapa saya merasa kehilangan kunci untuk masuk ke dalam gerbang itu. Apa realita sudah sedemikian membelenggu?
Baiklah... saya mulai mencari-cari kambing hitam. Minimal ada yang bisa saya tuduh telah membuat kesenangan dalam menulis saya-mati suri.
Beberapa waktu terakhir ini, saya memang merasa lebih mengenal angka daripada kata-kata. Target, target, dan target. Bahwa kemampuan saya (dalam bekerja) benar-benar diukur dari deretan angka yang harus saya pelototi setiap hari dan membuat sakit hati di akhir bulan. Perlahan tanpa sadar, saya mulai mengukur orang lain dalam ukuran berapa jumlah digit dalam rekening mereka, lalu saya mulai merasa harus mengatur cara saya bersikap dan berbicara pada beberapa orang yang punya andil penting dalam perubahan angka2 di sistem (baca: target). Untuk sekian lama saya mampu menikmatinya, ini hal baru bagi saya.."belajar memakai topeng". Lalu semakin kesini saya mulai merasa lelah (dan jenuh). Saya capek dan mulai muak saat harus mengatakan YA..padahal dalam hati saya mengatakan TIDAK.
Saya sadar, dunia tidak sesederhana apa yang saya inginkan. Bahwa ada banyak hal diluar sana yang siap menerkam apabila kita lemah. Dan itulah kenyataan yang saya lihat, bagaimana beberapa orang begitu "termotivasi" untuk menjadi yang terbaik, lalu "merelakan" temannya untuk tercabik-cabik, bagaimana mereka sadar/tidak sadar membiarkan kakinya menginjak yag lain, agar tangannya bisa meraih apa yang menjadi ambisi pribadi.
Demi Tuhan, sebuah tamparan buat saya...saya tidak mau berubah menjadi seperti mereka. Menjadi seseorang yang membiarkan hati nuraninya mati. Menjadikan materi dan ambisi sebagai wujud "bahagia".
Saya masih ingin menjadi "manusia" bukan zombie berjalan karena hanya ada target di kepala. Mungkin ini adalah masa terbaik saya. Sebuah posisi yang begitu saya idamkan hingga saya (hampir) terbawa arusnya, tapi sekaligus mengingatkan saya bahwa "dunia" bukan segala2nya.