Jumat, 30 November 2012

Serpihan Kisah


Tentara muda itu mengerang memegangi bahu kanannya. Darah segar masih mengucur. Rasa nyeri terasa menghujam seluruh tubuhnya. Luka tertembus timah panas meninggalkan bekas berupa lubang kehitaman bercampur darah. Peluh membasahi tubuhnya. Dia berada di tengah puing-puing bangunan, suara sirine yang menjauh, bau terbakar menyatu dengan anyir darah. Asap masih membumbung di beberapa atap rumah. Perang dan kehancuran. Itu yang terlintas di benaknya.
Pasukannya kocar kacir entah kemana. Beberapa diantaranya tampak tergeletak tak jauh dari tempatnya terbaring. Perlahan si tentara berusaha bangkit, tapi dia seakan kehilangan seluruh energi. Rasa nyeri masih menguasai. Sebentar lagi mungkin akan datang pasukan dari pihak musuh; membawanya, menyiksanya, bila masih beruntung mungkin dia dibiarkan hidup beberapa lama, tapi kemungkinan besar dia akan mati, mungkin ini menjelang akhir hidupnya, saatnya berdoa pada Tuhan yang dikenalnya.

Tentara itu merasa pusing dan mual, karena dia kehilangan banyak darah. Tenggorokannya kering, serasa terbakar. Nafasnya tersengal-sengal, pandangan mulai mengabur. Tiba-tiba samar dia melihat sesosok  gadis berdiri di dekatnya, diam, hanya memandangi.
Mungkin aku mulai berhalusinasi, pikir si tentara muda. Dipicingkannya mata, mengusap perlahan, berusaha memastikan bahwa yang dilihatnya memang nyata.
Tampak mulai jelas sekarang, berdiri didekatnya, seorang gadis berusia sekitar lima belas tahunan dengan baju lusuh, kotor, selembar kerudung tampak menutupi rambutnya. Wajah gadis itu terlihat coreng moreng oleh debu dan abu kebakaran.
Gadis itu masih diam, menatap tentara muda yang mulai mengerang kesakitan, tampaknya si tentara berharap suara yang keluar dari mulutnya akan mengurangi rasa sakit yang diderita.
Lalu gadis itu merunduk, melihat luka tembak di bahu kanan tentara itu. Dan sekejap kemudian dia pergi dari hadapan si tentara.
Tentara itu menghela nafas lega. Entah mengapa tadi dia merasa begitu ketakutan. Syukurlah dia pergi, bathin si tentara. Tapi belum berapa lama, gadis itu telah kembali dengan membawa pisau dan sebotol cairan.
Matilah aku, pikir si tentara.
Gadis itu semakin dekat, si tentara menahan nafas, degup jantungnya semakin kencang. Ternyata kematian begitu menakutkan, bathinnya. Dipejamkannya mata, mulutnya komat kamit membaca berbagai doa yang diingatnya.
Saat kembali membuka mata, dilihatnya gadis itu sedang memperhatikan lukanya dengan serius.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya si tentara gusar.
Gadis itu hanya diam. Tampak berpikir dengan mata yang masih tak lepas dari luka si tentara.
“Hei..apa yang akan kau lakukan? Kau mau membunuhku? Silahkan.. tolong lakukakan saja dengan cepat, kau tak perlu menyiksaku..”
Gadis itu masih diam.
Tentara itu beringsut berusaha menjauhi sang gadis.
Gadis itu menghela nafas, menatap tajam pada si tentara, dengan wajah kesal.
“Membunuhmu tidak akan pernah menghidupkan kembali ayah dan kakak laki-lakiku…” rahangnya tampak mengeras saat mengatakan kalimat itu.
“Diamlah..mungkin akan terasa menyakitkan..” katanya lagi.
Gadis itu menyobek sedikit kain bagian bawah bajunya, dan menyumpalkan ke mulut si tentara,
“Gigit itu, untuk menahan rasa sakit” perintahnya.
Tentara itu diam, kebingungan, belum bisa menerima apa yang dialaminya saat ini bukan sekedar halusinasi.
Sang gadis mengguyurkan cairan berbau alkohol dari botol yang dibawanya ke luka si tentara.
Tak lama kemudian, si tentara merasakan sakit luar biasa saat pisau gadis itu menyayat luka di bahu kanannya. Digigitnya kain dimulutnya untuk menahan nyeri yang terasa diseluruh tubuh. Sesaat dirinya seperti berada antara hidup dan mati.
Tentara itu tak ingat berapa lama dia merasakan siksaan rasa sakit. Saat dia kembali mendapat kesadaran penuh, dia melihat lukanya telah terbalut, di telapak tangannya ada sebutir peluru yang berlumuran darah.

“Minumlah…” kata gadis itu seraya mengulurkan sebotol air mineral, entah darimana gadis itu mendapatkannya.
“Kau sempat pingsan sebentar tadi” kata gadis itu, dengan raut muka dingin, jemarinya masih dipenuhi darah.
“Kenapa kau lakukan ini?” tanya si tentara masih tak mengerti.
“Kau seharusnya membunuhku dari tadi…bukankah aku musuhmu?”
Gadis itu menatapnya tajam.
“Dendam tak akan membuatku merasa lebih baik, kematianmu tidak akan pernah bisa membayar apapun. Pergilah ..katakan pada duniamu, perang tak akan membawa kemenangan, selain hanya rasa sakit atas kehancuran dan kehilangan.”
Dan sang gadis pun melangkah pergi.

-Tamat-


-         waktu cari-cari gambar yang pas untuk cerita ini, jujur aja, ada perasaaan miris. Setiap kali mau –klik- next page, dalam hati aku berdoa semoga tidak mendapatkan gambar yang terlalu mengerikan (ternyata aku harus berkali-kali menahan nafas saat melihat gambar-gambar itu).
-         Cerita ini hanya fiksi, wujud keprihatinan atas satu kata pendek yang menyimpan berbagai rasa sakit di dalamnya “PERANG”.


Sabtu, 24 November 2012

Aku Seorang Pelacur




Aku seorang pelacur. Yah, ini sebutan untukku. Mungkin untuk para pria apa yang terbayang dalam benak mereka tentangku adalah: pelepasan hasrat, kenikmatan sesaat, keliaran, sesuatu yang terbayar dengan beberapa lembar uang. Dan bagi para wanita (baik-baik) kata pelacur mungkin akan menimbulkan “kebencian”, rasa jijik, penyakit, penghianatan, kasta terendah dalam norma kewanitaan. Terserahlah, setiap orang punya hak untuk menilai, tapi inilah kenyataannya, inilah hidupku, peran yang mungkin harus aku jalani di dunia ini.
Aku juga manusia. Apakah ini terdengar berlebihan? Aku juga punya hati, perasaan dan pemikiran, disamping seonggok raga yang aku gunakan untuk melanjutkan hidup, sebagai “modal” dalam pekerjaanku. Sebenarnya tidak terlalu rumit, justru sangat sederhana, karena ini hanya menyangkut persoalan “perut”. Terdengar sebagai sebuah penyederhanaan, atau pembenaran? Pasti. Karena sebagai seorang manusia yang (pernah) belajar agama, aku pun cukup tahu  apa yang harus kubayar di akhirat nanti; dibakar di api neraka yang paling dasar, merasakan kesakitan yang teramat sangat terus menerus tanpa ada akhir. Tapi tak tahukah mereka bahwa apa yang aku jalani di dunia ini pun sudah terasa sebagai “neraka”? melakukan sesuatu yang dinilai sakral bagi sebagian orang yang bernorma, melalui proses yang bernama pernikahan, sebagai ukuran kesetiaan, dan juga mungkin yang menjadi batas antara sifat manusia dan binatang (yaitu bisa melepas hasrat nafsu tanpa hati, perasaan dan pikiran), tapi aku melakukannya sebagai suatu pekerjaan, sebagaimana penyapu jalan dengan sapu nya, sebagaimana pelukis dengan cat warna warni nya, sebagaimana tukang masak dengan pisau nya. Aku melakukan “pekerjaan” ini dengan tubuhku, ini hanya tentang daging dan lendir. Dan tak tahukah kalian bahwa seringkali itu juga terasa menyakitkan? Inilah “neraka”ku, merasakan kehampaan jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit itu sendiri.
Bila sebagian (orang yang beruntung) bisa memaknai aktifitas tempat tidur mereka sebagai pengungkapan rasa cinta dan kasih sayang, aku melakukan itu demi lembaran-lembaran uang yang berarti penyambung hidup esok hari dan sedikit simpanan buat sekolah Upik di kampung.
Ada sedikit beban yang terasa menggayut setiap aku mengingat wajah polos itu. Upik, tahun depan masuk Sekolah Dasar, aku harus lebih banyak menyisihkan uang, karena ingin memasukkannya ke sekolah bagus yang punya latar belakang pendidikan agama. Mungkin sebagian dari kalian tertawa mendengarnya, tak apa. Tapi apa salah bila seorang pelacur sepertiku tak pernah menginginkan anaknya akan menjalani kehidupan seperti yang aku jalani? aku ingin Upik jadi seseorang yang beragama, berbudi luhur, berakhlak baik. Bukan,…bukan agar kelak dia bisa menebus dosa-dosaku atas apa yang aku jalankan untuk menghidupi dan menyekolahkannya, biarlah dosa itu kutanggung sendiri. Ini tentang hidup Upik sendiri, aku hanya ingin dia menjadi “benar” di mata dunia.

Usiaku tiga puluh tahun, sudah cukup tua untuk profesiku ini. dengan semakin banyaknya gadis-gadis belasan tahun yang juga mengadu nasib di tempat ini, dengan kerutan-kerutan halus di wajah, aku tak tahu kenapa aku terlihat jauh lebih tua dari umurku. Mungkin karena sari pati ku yang telah habis dihisap para lelaki, atau karena dosa-dosa yang harus kutanggung? aku tak terlalu peduli, bagiku satu dua lelaki yang mau memakaiku dalam sehari sudah cukup, mereka juga tidak terlalu peduli dengan wajah saat di tempat tidur. Ini hanya tentang uang. Tolong jangan mencoba menceramahiku tentang mencari uang dengan halal dan benar. Aku telah mencobanya, dan semua tidak sesederhana sekian teori yang disodorkan oleh orang-orang pintar itu. Mereka sempat bisa menjejali otak kami para penjaja tubuh dengan mimpi hidup wajar dan normal sebagai pribadi yang bisa diterima masyarakat, tapi kenyataannya tak pernah sesederhana itu. Hidup seringkali jauh lebih rumit dari teori. Biarlah, ini kehidupan yang harus dijalani saat ini. Aku sendiri memilih rajin untuk menerima suntikan ini itu dan melakukan hal-hal menyangkut kebersihan tubuh seperti yang disarankan ibu dokter yang sesekali berkunjung. Inilah kehidupan “wajar” dan “normal” untuk ukuran orang-orang berpikiran pendek dan sederhana sepertiku.

Lama kupandangi bayangan di cermin itu. Terkadang aku butuh berbicara dengan diri sendiri seperti ini, sekedar menjaga “kewarasan” yang seringkali bergumul antara kehidupan nyata, ego sebagai manusia, dan keinginan menjadi “benar”. Kutunggu akan ada air yang menggenang di kedua mataku, seiring sesak yang mendesak saat sekali lagi kubisikkan nama “Upik”, tapi ternyata tidak. Aku telah cukup kuat menjalani, memahami, memaknai apa yang memang menjadi peranku saat ini. Bisa jadi karena hatiku telah mati, mengeras menjadi batu ditempa kenyataan.
Perlahan kupoles lipstik berwarna merah darah ke bibirku, ini saatnya memakai topeng kehidupan: tersenyum, sesekali tertawa genit, pandangan merajuk, rengekan manja (yang bahkan membuatku terasa ingin muntah saat melakukannya) tapi ini hanyalah sekedar topeng, yang akan segera kulepaskan saat kuhapus riasan di wajahku. Ini saatnya bekerja…

Temaram, bau menyengat minuman keras dan rokok, suara musik yang menghentak. Aku memilih menunggu di luar, di tempat yang mudah terlihat, semoga malam ini aku beruntung. Tiga hari yang lalu aku terpaksa “libur” karena rutinitas bulanan. Kuhisap dalam-dalam cigaretku, panas menjalar ke tenggorokan. Malam ini terasa lembab setelah bumi tersiram hujan sore tadi. Sudah hampir dua jam aku berdiri dan sesekali duduk atau menyandarkan tubuhku ke tembok, tapi belum ada yang mengajakku. Aku sedang tidak ingin bergenit-genit di dalam ruangan, bersaing dengan para gadis belasan tahun yang pasti jauh lebih mudah mendapat pelanggan.
“Marni…?” sebuah suara cukup mengejutkanku. Kutengadahkan wajah melihat siapa yang memanggil namaku. Aku merasa seperti pernah mengenalnya, tapi entah dimana aku belum bisa mengingatnya.
“Bener kamu Marni, kan…? Aku Bagyo, teman SMA mu dulu..”
“Owhh…yaaa..eh,…mmhh…aku agak lupa,..”
“Kita dulu pernah sekelas, tapi kamu tidak melanjutkan saat kenaikan kelas dua, aku ingat kamu pernah juara kelas waktu itu, tapi sayangnya tiba-tiba memutuskan untuk berhenti” laki-laki itu tampak begitu antusias saat bercerita.
Apa yang diharapkannya dari cerita itu? Memberiku luka lama, atas ketidakberdayaan diri pada kenyataan? Aku terpaksa berhenti sekolah karena bapak mati jadi korban tabrak lari, dan aku punya tiga orang adik yang harus makan, terpaksa aku terima ajakan seorang tetangga untuk bekerja di kota.
“Aku tidak mengira dirimu punya ingatan yang begitu kuat, sampai bisa mengingatku sedetail itu..” kukatakan itu sangat pelan, bahkan aku hampir tidak bisa mendengar suaraku sendiri.
“Aku dulu pernah naksir kamu…” dia menyambung kalimatnya dengan tawa.
Terasa sedikit menyakitkan bagiku, entah mengapa? Karena dia melihatku sekarang seperti ini? sebagai seonggok raga yang bisa dia “beli” sewaktu-waktu?
“Apa kamu mau memakaiku?” kutatap wajahnya lekat, seiring rasa pahit yang terasa menguasai lidahku, mungkin karena rokok.
Dia balas menatap, tepat pada kedua mataku, lalu pandangannya mulai turun memandangi tubuh. Dia tersenyum sinis, menenggak botol bir di tangan kirinya, pandangannya masih tak lepas dari (tubuh)ku.
“Sebenarnya aku lebih suka yang masih muda, masih seger, kamu sudah tua, tapi demi masa lalu, bolehlah…” seringainya, sambil menarik tanganku.
Kugigit bibir bawahku, sambil terus berkata dalam hati, ini tentang pekerjaan, ini tentang uang, ini demi Upik. Ini hanya salah satu “neraka” yang harus aku lalui hari ini. Kalimat itu terus kuulang sampai menimbulkan gema dalam pikiranku, memenuhi otak, menelusuri darah dan tinggal dalam setiap sel di tubuhku.

Entah ini hari apa, seingatku sudah beberapa bulan sejak terakhir kali aku bertemu Bagyo. Kehidupanku berjalan seperti biasa, sangat biasa, masih seputaran hasrat para lelaki, topeng, dan terkadang “neraka” dalam bathin. Bulan depan aku berencana pulang menengok Upik sambil menitipkan uang untuk biaya sekolahnya pada Emak. Beberapa hari ini entah mengapa perasaanku terasa tidak enak, aku hanya merasa sangat ingin pulang.
Aku sudah bersiap untuk berangkat, sebentar kupatut diri di kaca. Kaos tanpa lengan, rok pendek jins, sepatu tumit tinggi, lengkap dengan riasan menor yang menjadi topengku. Lalu di depan pintu kulihat dua orang sosok yang kukenal.
“Paklek? Kenapa kesini…?” aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, ditambah dengan sosok kecil disampingnya yang sedang menatapku tak berkedip.
“Aku mau mengantar Upik sekaligus memberi kabar buruk…” suara adik bungsu Emak itu terdengar bergetar.
“Emakmu meninggal seminggu yang lalu…..”
Hening.
Aku masih menunggu.
“Selama beberapa hari ini Upik tinggal bersamaku, tapi….bulekmu sepertinya agak keberatan dia tinggal di rumah. Adik-adikmu, aku juga tidak tau dimana, aku tahu keberadaanmu dari Bagyo, yang katanya bertemu kamu disini…”
Aku merasa kosong. Entah mengapa, aku menunggu rasa sedih itu akan menguasai diri, membuatku pingsan atau menangis meraung-raung mendengar semuanya, tapi ternyata tidak. Aku hanya tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Kualihkan pandanganku pada sosok disamping Paklek. Wajah polos dan lugunya yang selalu membuatku merasa kuat menjalani apapun di dunia ini. Dia masih menatapku lekat. Perlahan aku berjalan mendekatinya, merengkuh tubuh kecilnya dalam pelukanku. Tapi dia hanya diam tak bergeming. Dingin. Aku hanya mendengar dia berbisik perlahan.
“Kata orang-orang …ibu seorang pelacur”.
Aku merasa seperti jatuh ke dalam sebuah lobang hitam tanpa dasar. Tuhan, saat ini aku hanya ingin mati.

- Tamat -

Cicak dan Burung Kenari


Pagi yang cerah. Mentari menyinari setiap celah tanpa lelah. Di sebuah sudut rumah, tampak cicak dan burung kenari saling bercerita tentang harapan dan cita.

“Aku ingin punya sayap, seperti dirimu; jadi aku bisa terbang mengejar nyamuk-nyamuk gemuk, tidak harus menunggu saat mereka lengah dan mendekat ke dinding” ujar cicak pada burung kenari.

“Untuk apa punya sayap kalo tubuhmu terkurung dalam sangkar ini? kau masih beruntung bisa merayap dan melihat seluruh isi rumah, sedangkan aku? Pandanganku hanya sebatas halaman depan rumah ini.’

Sejenak cicak diam. Lalu berkata lagi.
“Tapi kau tetap lebih beruntung, dianugerahi tubuh indah dan manis seperti yang kau miliki, manusia begitu menyukai dan sayang pada dirimu, sedangkan aku? Kau tau mereka akan berteriak-teriak jijik setiap kali melihatku.”

Burung kenari menjawab:
“Justru karena tubuh indahku, aku terkurung dalam sangkar ini. Kau tak tau betapa sakitnya menyadari punya sayap tapi tak bisa terbang kemanapun, terpenjara karena ego manusia.”

Hening sejenak.
‘Tapi aku tetap ingin punya sayap..” bisik cicak.
“dan aku ingin kebebasan..” balas burung kenari.

Suatu hari, sang manusia lupa menutup sangkar burung kenari, cicak yang melihatnya pun, langsung berteriak:
“hai, burung cantik cepatlah keluar dari sangkarmu, pergilah melihat dunia luas, aku akan selalu menunggu ceritamu disini.”
Dengan tergesa burung kenari keluar dari sangkarnya, mengepakkan sayap, terbang menuju dunia luas. Dia tak sabar ingin merasakan berkicau di atas pepohonan, bermain dengan kupu-kupu, terbang menembus awan, menghirup udara kebebasan.

Satu hari, dua hari, seminggu telah berlalu, cicak masih menunggu, menanti cerita burung kenari tentang duia, tentang mimpi dan kebebasannya.
Hingga pada hari ke delapan mereka berpisah. Sore itu tiba-tiba cicak melihat burung kenari di sudut rumah, tampak kusut, lelah, bulu-bulunya kusam penuh debu, warnanya tak lagi kuning cerah, beberapa bagian tubuhnya tercabik dan sayap kirinya terlihat patah.

“Apa yang terjadi denganmu? Kau terlihat kacau..” ujar cicak dengan penuh keterkejutan.
Burung kenari diam sejenak, matanya tampak basah.
“sungguh aku menyesal meninggalkan sangkarku. Dunia luar ternyata begitu kejam, aku terlalu lama hidup nyaman dalam sangkar itu, dan tak pernah siap hidup liar hanya demi kata kebebasan”

Cicak menatap iba burung kenari.
“Dunia seringkali tak seindah imajinasi dan mimpi. Kau tau, seandainya aku punya sayap, aku tak pernah berniat meninggalkan rumah ini, aku ingin punya sayap hanya supaya lebih mudah menangkap nyamuk. Tapi kalo aku pikir lagi, tak punya sayap pun aku masih bisa makan cukup, hanya dengan sabar menanti naymuk-nyamuk yang lelah terbang menempel ke dinding dan aku akan menangkapnya. Kini aku baru menyadari apalah arti mimpi jika pada akhirnya hanya akan menyakiti diri sendiri.

Perlahan cicak melihat tubuh burung kenari semakin lemah, napasnya tinggal satu satu, lalu tak lama kemudian tampak tak bergerak lagi. Kaku. Burung kecil itu telah mati. Tak lama kemudian terlihat iring-iringan semut mulai mendekati bangkai burung itu. Mereka mulai merubung, menikmati, menjalankan tugasnya dalam rangkaian proses rantai kehidupan.

Cicak merenung. Hidup ini memang tentang peran.


Sabtu, 17 November 2012

Dolly, Rempeyek dan Pak Hery



Siang itu hari Jum’at, diluar panas tampak begitu menyengat, dan saya menikmati dinginnya AC kantor, tanpa peluh tapi penuh keluh di kepala. Hari itu saya merasa sangat malas dan sibuk dengan pikiran-pikiran tidak penting yang memenuhi otak. Tiba –tiba diluar saya melihat satpam tampak sedang berbicara agak keras pada seseorang, menjelaskan ini itu (dan saya sedang tidak merasa tertarik untuk tahu).
Tak lama kemudian, masuklah seseorang. Tubuhnya kecil, tingginya tidak melebihi pinggang saya. Kurus, hitam legam. Entahlah saat melihat pertama kali, dirinya mengingatkan saya pada penggambaran (maaf) sosok jin (dalam buku “Berdialog dengan Jin”) telinganya sedikit meruncing. Jemari kaki dan tangannya besar, tampak tidak proporsional dengan tubuhnya yang kerdil.
Dia tersenyum, saya perhatikan lebih mendetail, secara penampilan, sebenarnya dia cukup bersih dan rapi. Rambutnya tersisir licin ke belakang, bajunya (kemeja yang warnanya mulai pudar) dimasukkan ke dalam celana panjangnya.

“Saya mau tanya soal tabungan dan deposito, bu..” katanya sambil tersenyum, beberapa giginya tampak sudah tanggal.

Don’t judge a book from the cover, kalimat itu sudah saya baca dan dengar ratusan kali selama hidup saya, tapi sungguh tak mudah saat harus memaknainya saat itu. Teori jauh lebih mudah daripada praktek. Satu yang ada dipikiran saya saat itu “apa dia waras?” –benar kan? Saya menilai pria kecil ini masih sebatas apa yang saya lihat.
Tapi saya punya tugas disini, baiklah akan saya jalankan sesuai standar layanan (seadanya). Saat saya menjelaskan ini itu, dia tampak mengangguk-angguk, entah mengerti atau justru bingung dengan penjelasan saya. Sesekali dia protes soal suku bunga yang rendah, dalam beberapa hal saya merasa dia cukup memahami apa yang saya sampaikan –berarti dia tidak gila atau kurang “pintar”-, secara umum dia normal menyangkut pemikiran, sejujurnya hati kecil saya harus mengakui hal itu, tapi masih saja saya terjebak dalam penilaian menyangkut sosoknya.
Setelah tampak puas dengan apa yang saya sampaikan, dia pun berpamitan. Fiuh,…. ternyata benar dia hanya sekedar bertanya, bathin saya. Lalu saya pun bersiap untuk makan siang (ini jam istirahat dan saya benar-benar tidak mau terlambat).

Saya belum menyelesaikan makan bekal siang, ketika satpam memberitahu bahwa bapak kecil tadi kembali. Dengan bersungut-sungut saya bilang pada satpam “suruh tunggu aja deh, paling bentar lagi dia bakal pulang”. Dan satpam mengangguk. Saya berniat sedikit berlama-lama istirahat (bukankah saya punya hak atas itu?) tapi lagi-lagi hati kecil saya seakan protes dan mengatakan; kamu punya tugas untuk dikerjakan, please..jangan childish!!
Saya pun kembali ke meja kerja (masih setengah hati).
Bapak kecil itu sudah duduk manis sambil memegang bungkusan plastik berwarna hitam. Saat melihat saya, dia berdiri, tersenyum (lagi) kemudian mengeluarkan sesuatu yang dibungkus koran dari dalam kantong plastiknya.


“Saya jadi nabung, bu…” dia mengatakan itu sambil membuka bungkusan koran yang didalamnya ternyata berisi bungkusan2 yang lebih kecil. Ada beberapa tumpuk bungkusan kecil di depan mata saya, dan saya masih bingung harus mengatakan apa.

“ohya, maaf uangnya saya bungkus seperti ini, masing-masing isinya satu jutaan..” katanya seakan mengerti dengan tatapan saya.

“saya mau deposito saja bu, gak tahu jumlahnya berapa, nanti ibu hitung saja, kira-kira sekitar empat puluh jutaan”

Setelah beberapa saat saya bisa menguasai diri (dan merutuki diri atas pemikiran “jahat” saya tadi). Saya mulai melakukan tugas, membukakan rekening untuk bapak kecil itu.

“Bapak kerja dimana?” tanya saya mencairkan suasana, sekaligus berusaha menebus sikap saya sebelumnya.
“Saya kerja di Dolly, bu….” Saya agak tersentak dengan nama tempat pusat “lendir” terbesar di Asia Tengara itu.
“Kerja apa, pak?” tanya saya lagi semakin ingin tahu.
“Jualan rempeyek, bu…” jawabnya polos, sekali lagi sambil tersenyum.
“Hasilnya lumayan, bu..tapi sayangnya sebentar lagi Dolly kan mau ditutup sama pemerintah, ‘cewek-ceweknya’ dikasih pesangon”.
Sejenak saya menghentikan aktifitas membuka bungkusan-bungkusan kecil (yang ternyata benar berisi uang lembaran ratusan dan lima puluh ribuan). Jumlah seluruhnya mencapai empat puluh enam juta.
“Bu, ini sampahnya biar saya yang buang, maaf jadi bikin kotor….”
“Loh, gak usah pak, nanti ada yang mbersihkan kok..”
Dia menatap saya, seakan berusaha mencari kesungguhan atas kalimat saya.
Saya tersenyum, entahlah tiba-tiba saya menyukai kepolosan laki-laki kecil ini.
Ohya, namanya Pak Hery. Dia bercerita panjang lebar tentang “profesi”nya yang selain berjualan rempeyek dia juga terkadang juga memijat orang-orang di Dolly. Dia juga bercerita “sedikit” tentang para wanita di Dolly, pelanggannya, cara-cara yang digunakan untuk membuat para pelanggan ‘bertahan” dengan diselipin candaan ringan, saya harus akui pak Hery punya sisi menarik menyangkut caranya bercerita, begitu ringan, begitu lepas, polos, lugu tapi juga terlihat bahwa dia seorang pekerja keras.

“Berapa lama bapak mengumpulkan uang sebanyak ini, pak…?” tanya saya (sangat) ingin tahu.
“Lama, bu, sekitar empat tahunan.”
“selama ini uangnya disimpen dimana, pak?”
“saya punya tempat penyimpanan khusus yang cuman saya sendiri yang tahu. Istri saya sudah meninggal, anak saya dua. Tapi mereka juga gak tahu kalo saya punya uang ini. nanti kalo saya meninggal uangnya bisa diurus buat anak saya kan? Ga pake ke pengadilan-pengadilan gitu kan, Bu” kalimat-kalimatnya begitu polos.
“Bisa kok, pak..ga usah kuatir. Daripada uangnya disimpan di rumah kan malah gak aman pak, bisa rusak juga lho.”
“iyya, bu..makanya saya kasih kapur barus di tempat simpan uangnya bu, biar gak dimakan rayap. Saya juga kuatir kalo lama disimpan nanti bisa gak laku kalo ganti uang yang baru.”
Saya tersenyum (untuk kali ini dengan tulus).
“saya bener-bener susah kalo Dolly jadi ditutup, bu..” mukanya kali ini terlihat sedikit muram.
Kan bapak bisa jualan rempeyek ditempat lain..” saya (berusaha) menghibur.
“Tapi gak bisa dapat banyak kayak di Dolly, bu.. sehari saya bisa dapat seratus sampe dua ratus ribu, kemaren malah saya habis dapat rejeki dari orang kapal. Tapi ya sudahlah, rejeki kan sudah ada yang ngatur..” kalimatnya terlihat tulus.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini, saya mempercayainya. Mungkin hari itu saya dipertemukan dengan pak Hery, agar saya bercermin atas kekerdilan jiwa dan pikiran saya. Agar saya belajar tentang semangat dan ketulusan dan memahami lebih dalam tentang menilai seseorang tidak hanya dari penampilan luar saja.
Dan diam-diam di sudut hati saya berbisik: Semoga Dolly tidak jadi ditutup, agar pak Hery masih bisa mengais rejeki dari sana, agar lebih banyak orang yang belajar dari dunia yang dikatakan penuh dosa, tapi menyimpan begitu banyak asa dan bahagia yang sederhana. Amien.

Senin, 05 November 2012

Namanya: Agus


Namanya Agus. Nama yang biasa kan? Nama yang bisa kau temui diantara nama tetangga, teman sepermainan, atau bahkan nama kakak laki-lakimu, saudara dekat ataupun jauh. Nama yang hampir selalu ada disetiap kelas pada masa sekolah, dari Taman Kanak-Kanak sampai kuliah.
Dia seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi swasta di kotaku. Itu juga biasa, tak ada yang terlalu istimewa. Aku mengenalnya (mungkin lebih tepat sekedar tau tentang dirinya) saat berkunjung ke rumah kost seorang teman.
Kamarnya terletak paling ujung di deretan kamar-kamar yang lain. Aku sekedar tau, waktu dia lewat di depan kamar temanku ini, saat aku dan beberapa teman bercanda, tertawa terbahak-bahak mengomentari segala hal yang terjadi dengan dunia lewat kacamata idealisme mahasiswa.
“Namanya Agus…”. Temanku tiba-tiba membisikkan itu, mungkin dia menyadari beberapa pasang mata dari kami, para mahasiswi tampak begitu ingin tau dengan sosoknya. Tinggi, putih, rambut tebal dan bersahaja (mungkin ini hanya penilaian subyektif saja; yang aku simpulkan dari penampilan, gaya berpakaian dan sikapnya yang terlihat tenang). Kami sekelompok mahasiswa yang menilai segala sesuatu dari apa yang kami lihat (dan itu cukup manusiawi kurasa) manggut-manggut, tersenyum, dengan pemikiran masing-masing, lalu mulai saling melirik, dengan tatapan -lumayan juga-
“Dia simpenan tante-tante…” kalimat pendek ini menimbulkan reaksi berbeda.
Ada yang terbelalak, sambil mengatakan “hah…!!”
Ada yang memasang tampang polos lugu dan mengatakan “maksudnya?”
Ada yang hanya melirik sekilas dan dari mulutnya hanya terdengar gumaman “mmhh…” lalu kembali asyik di depan komputer.
Tapi sebagian besar lainnya bereaksi sangat ingin tahu dan mengatakan “ceritain dooongg..”
Temanku ini tampak puas dengan pernyataan pendeknya.
“Biasanya tiap hari Selasa, Kamis, Sabtu, ‘tante’nya datang…”
“Yahh.. hari ini ga ada jadwal dong,..”
Temanku yang tampak paling tidak peduli dan hanya sibuk dengan komputernya justru memberikan reaksi spontan saat itu.
“Besok kita ngumpul lagi yuk, habis praktikum..” sebuah suara lain juga terdengar antusias.
Lalu bersahutan segala ide, pendapat, sekedar opini yang saling melengkapi satu sama lain, diselingi derai tawa. Saat itu kami menemukan sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas.

Apa yang terbayang dalam benakmu dengan label “tante”? seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut disisir tinggi, dandanan tebal, memakai perhiasan berlebihan dengan tubuh yang sudah tidak masuk kategori langsing? Yah, jujur saja itu juga yang pertama kali ada dipikiranku tentang sosok “tante”nya Agus. Tapi hari itu, segala definisi tante yang terimaginasi di otakku berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang aku lihat.
“Ssstt….itu…!” temenku berbisik sambil matanya memberi kode agar aku memperhatikan seseorang yang sedang melintas di depan kamarnya. Seorang wanita yang aku perkirakan berusia pertengahan empat puluhan. Tubuhnya kecil agak kurus, kulit sawo matang, rambut sebahu dengan penampilan yang sangat biasa. Berjalan agak tergesa sambil membawa sebuah tas jinjing yang tampak “penuh”.
“Kamu ga salah? Jangan-jangan itu kakak atau sodaranya..? “ aku protes pada temanku, merasa tidak rela dengan ketidaksesuaian antara imagi yang kuciptakan sendiri dengan sosok nyata yang aku lihat, menyangkut definisi: tante.
Temanku tersenyum sinis.
“Coba deh perhatikan sebentar lagi…”
Aku hanya melirik sekilas ke temanku itu dan mengikuti apa yang dikatakannya, memperhatikan apa yang terjadi berikutnya.
Sampai di depan kamar si Agus yang sedang tertutup, wanita itu mengetuk pintunya, tak lama kemudian dibuka dan sekilas tampak sosok Agus yang terlihat baru bangun tidur. Wanita itu langsung masuk, tanpa memperhatikan sekitar, lalu pintu kamar ditutup rapat.
Entahlah aku tidak tahu pasti apa yang terjadi selanjutnya. Saat itu pikiranku mulai menganalisa, tentang informasi minim yang aku miliki, beberapa potongan kejadian singkat yang aku lihat dengan imajinasi sendiri.
Rumah kost milik temanku ini memang memberikan kebebasan para penghuninya untuk membiarkan teman dari lawan jenis bisa keluar masuk kesana. Kamar Agus yang paling kecil diantara kamar-kamar lain (ini informasi dari temanku) berukuran hanya dua kali tiga meter. Apa yang mereka lakukan dalam kamar sempit itu dengan kondisi pintu tertutup rapat, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.
“Mereka bisa berjam-jam di dalam sana…” temanku memberikan argumen seakan mengerti keraguanku atas analisanya.
Aku hanya diam, berusaha mencari kalimat tepat untuk mematahkan “teori” menyangkut hubungan antara Agus dengan “tante”nya yang sudah terlanjur terlekatkan pada mereka, tapi aku belum bisa menemukannya.
“Semua biaya dan kebutuhan Agus, si tante itu yang menanggung…”
”Kamu tau darimana?” nada suaraku terdengar menyelidik..
“Agus sendiri yang cerita”
“Agus cerita soal tante itu?...”
“Gak secara langsung sih, dia bilang, itu kakaknya”
“Ya, mungkin emang kakaknya?” balasku cepat.
“Kamu ini pura-pura bodoh atau memang naïf, sih…” temanku tampak mulai sedikit emosi karena bisa membaca ketidakpercayaanku atas apa yang dikatakannya tentang Agus.
Aku sedang tidak ingin berdebat. Jadi kubiarkan saja hal itu. Bukan urusanku, gumamku, berusaha meyakinkan diri sendiri atas dorongan rasa ingin tau yang mulai menari-nari menggodaku.
Selanjutnya aku hanya jadi lebih sering berkunjung ke rumah kost temanku ini; dengan beberapa alasan meminjam buku, mengembalikan diktat, menjemput kuliah, mengantarnya, alasan sekedar lewat dan beberapa alasan lain yang sama tidak pentingnya. Tapi selalu kupilih hari Selasa, Kamis dan Sabtu, selalu kusempatkan untuk sekedar menengok ke arah kamar Agus disana, dan seringkali kulihat sepasang sandal wanita (yang dengan pasti kuyakini adalah milik “tante”nya) ada di depan kamar Agus saat pintunya tertutup rapat. Terkadang (walaupun sangat jarang) aku melihat mereka berdua duduk di sebuah kursi kecil sekedar ngobrol dengan sikap yang sangat biasa. Pernah satu waktu kulihat Agus duduk sendiri sambil tampak asyik bermain Handphone. “Barang baru dari tante…” itu ucapan sinis yang kuingat keluar dari mulut temanku. Dan aku tidak berniat untuk membahas lebih lanjut mengenai Agus, jadi aku hanya diam tidak menanggapi lebih jauh. Hanya itu beberapa fakta yang aku tahu mengenai mereka.
Dan kemudian segala keingin tahuan itu mulai meluntur seiring dengan tumpukan tugas-tugas dan kesibukan kehidupan pribadiku sendiri. Cerita tentang Agus dan “tante”nya tak lagi terlalu menarik minatku, setiap orang punya “kisah”nya sendiri, hanya itu yang jadi kesimpulan akhirku (lebih untuk menekan keingintahuan yang kadang melintas lagi)
Sampai pada suatu siang, saat aku menerima sebuah telepon.
“Aku gak masuk hari ini, tolong titip absen, yaaa.. Agus kecelakaan, dia meninggal dunia hari ini….” Panas matahari yang menyengat,  aku tercekat, mulut terasa kering tak mampu berkata-kata. Selanjutnya aku tak lagi mendengar dengan jelas kalimat-kalimat dari temanku itu, aku larut dalam pikiranku sendiri. Terbayang sosok Agus, “tante”nya dan pintu kamar yang tertutup.

Sudah tiga hari sejak kudengar kabar kematian Agus, aku belum bertemu dengan temanku lagi. Selama itu pula kupendam segala rasa ingin tau mengenai detail kejadian kecelakaan tragis yang menimpa Agus. Akhirnya setelah kurasa aku tak mampu menahan rasa ingin tahu, sore itu aku pergi ke rumah kost temanku, ke tempat dimana seseorang bernama Agus pernah tinggal dan mengisi hari-hari sebelum kematiannya.
Entah sebuah kebetulan atau mungkin segala di dunia ini memang telah terencanakan, sesampainya di rumah kost itu, kulihat “tante” Agus sedang duduk di bangku tempat mereka berdua biasa terlihat ngobrol. Disampingnya ada sebuah tas yang cukup besar. Tampaknya dia baru selesai mengemasi beberapa barang dari kamar Agus. Sang tante tampak hanya diam, duduk, merenung, menatap kedepan dengan pandangan kosong. Entah mengapa jauh di lubuk hatiku aku seperti ikut merasakan kesedihan mendalam karena kehilangan. Mungkin hubungan mereka berdua tidak sesederhana apa yang orang-orang lihat dan nilai. Mungkin ada cerita yang jauh lebih indah daripada sekedar hasrat nafsu dari dua anak manusia yang berbeda lawan jenis. Mungkin hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu tentang makna perasaan mereka.
Sebuah nama.
Sebuah kisah.
“Adakah yang salah dengan cinta?”


* Terinspirasi dari kisah yang sebenarnya. Merindukan masa-masa kuliah, saat otak dijejali segala macam teori dan idealisme dunia.


Jumat, 02 November 2012

Santan dan Ampas


“Hidup itu terkadang seperti memilah santan dan ampasnya.”

Aku memandangmu, tersenyum, malas untuk membahas; merasa aneh, membicarakan filosofi saat menikmati semangkuk es krim yang mulai meleleh.

“Bagaimana kita tau mana yang ampas mana yang santan?”

Itu pertanyaan biasa, datar dan wajar, sesuap es krim meluncur dingin dalam tenggorokan.
Kamu tersenyum memandangku dengan tatapan -aku ingin menciummu-, kubiarkan itu (setiap orang punya mimpi).

“Hidup itu tentang pilihan” katamu lagi.

“Aku mulai bosan dengan kalimat itu” sergahku, dan itu pernyataan jujur.

Kamu tersenyum (lagi).

“Rasa apa yang kau pesan tadi?” kau beralih ke mangkuk es krim yang separuhnya mulai kosong.

“Coklat, vanilla, stroberi” jawabku.

“Mana yang kau pilih untuk kau nikmati terlebih dulu?”

“Suka-suka aku ingin menikmati, aku tak harus menghabiskan satu rasa dulu baru beralih ke rasa yang lain” Egoku kurasakan kental dalam kalimat itu.

“Yaaa…, mungkin seperti itulah, kau punya semangkuk es krim dengan beberapa rasa, tinggal mana yang kau pilih dulu untuk kau nikmati -sesukamu-, seperti juga ampas dan santan, bisa jadi apa yang kau anggap ampas hari ini, akan menjadi santan mu kelak, tinggal bagaimana kau memaknainya dan mana yang ingin kau nikmati dulu..”

Kau memandangku (aku selalu suka tatapan itu) lalu kau dekatkan bibirmu ke bibirku, kurasakan debar seiring kehangatan; dan segala teori-filosofi luruh runtuh, aku hanya ingin bersamamu. Titik.

Selasa, 30 Oktober 2012

Tentang Film


Hari ini saya sedang tidak berniat untuk bercerita atau mendongeng, entahlah tiba-tiba otak saya terasa kosong untuk diajak berimajinasi. Biasanya ada kolerasi positif antara asupan makanan manis (baca: semangkok besar es krim dan berbatang-batang coklat) dengan kelancaran berpikir saya dalam menulis. Tapi, yaaahh..sudahlah mungkin otak juga ada kalanya butuh beristirahat dari mimpi dan imaji.
Kali ini saya hanya ingin membahas tentang sebuah film.
Sudah pernah nonton film: New York, I Love You? Saya tidak tau apa ini termasuk film baru atau lama, karena saya baru meminjam dvd nya dari seorang teman (segala yang gratis, seringkali terasa lebih menyenangkan, bukan..?)
Dan dengan keterbatasan terjemahan dan bahasa inggris saya, proses menonton yang tersendat-sendat karena harus berbagi perhatian dengan Ravi dan Blackberry, satu kata buat film ini: “amazing”
Jujur saja saya sempat tersesat pada awal cerita, karena ada beberapa adegan, potongan kisah dan begitu banyak peran, tapiiii…dialognya benar-benar “cerdas”, filosofi dari setiap potongan cerita juga begitu dalam, singkat kata: saya jatuh cinta dengan film ini. dan memang sebagian besar atau keseluruhan cerita dari film ini berkisah tentang CINTA dengan segala bentuk dan kerumitannya.

Ada tentang pelukis miskin yang jatuh cinta dengan seorang gadis berdarah cina, anak pemilik toko di daerah pecinan. Bagaimana si pelukis begitu terobsesi dengan si gadis sampai kematiannya (padahal mereka bertemu sebatas percakapan antara penjual dan pembeli). Pada akhirnya si gadis tau dari dari lukisan2 si pelukis tentang dirinya, dimana si pelukis selalu menggambarnya tanpa bola mata (saya memahaminya: mungkin dalam benak si pelukis, gadis cina itu tampak cantik tapi “kosong” dengan rutinitas dunianya yang hanya seputaran toko dan pecinan). Tapi yang mengena dari potongan kisah ini adalah bagaimana si gadis justru “hidup” setelah melihat gambar dirinya (versi pelukis), dia jadi lebih mudah tersenyum dan berusaha memberi “sinar” dalam dirinya (baca: mata).
Pesan: bahkan seorang “asing”dalam hidupmu bisa serta merta merubah “sisa” hidupmu ke depannya lewat sesuatu cara yang tak terduga.

Ada lagi kisah tentang sepasang kakek nenek yang tampak tergesa menuju suatu tempat. Dimana sepanjang perjalanan mereka terlihat menggerutu dan saling mengejek keterbatasan fisik mereka karena usia senja. Dan masing-masing saling menunjukkan ego nya, berusaha tampak tegar di depan pasangannya. Bahkan ada kalanya mereka tampak tak peduli satu sama lain. Namun pada akhirnya saat mereka sampai pada tempat yang dituju, yang ternyata adalah sebuah pantai indah, tak ada yang lebih menyentuh dari adegan saat mereka saling bepegangan tangan erat dan sang kakek mencium mesra kening istrinya (entah mengapa saya merasa cengeng pada adegan ini, karena tanpa terasa mata saya jadi basah). Kadang dalam hidup kita sibuk dengan “proses”nya padahal kita bisa mencapai sebuah “akhir” yang indah lewat proses itu. Dan sungguh, cinta bisa menyederhanakan semuanya.

Potongan kisah lain yang cukup menarik buat saya adalah tentang seorang laki-laki dan wanita dewasa, yang bertemu secara tak sengaja disuatu tempat. Si laki-laki memberi api pada si wanita yang sedang berusaha menyalakan rokok. Lalu mereka berdua terlibat percakapan. Dan saat si wanita mengatakan: saya sudah menikah dan memiliki keluarga yang bahagia, si laki-laki ini justru merasa seperti tertantang untuk hanya sekedar mengajak “berkencan”, dengan segala usaha, kata-kata dan rayuan dia lontakan pada si wanita. Pada akhirnya si wanita bilang: “aku adalah seorang pelacur, ini kartu namaku, kau tak perlu melakukan segala macam rayuan, cukup membayarku dan kau bisa memakaiku…” hhaahhaaa…cukup menohok bukan?
Si laki-laki langsung “speechless” dan mati gaya. Adegan ini benar2 membuat saya tertawa terbahak-bahak dan memunculkan sebuah pemikiran: memang seperti itukah sifat dasar manusia? Selalu mencari tantangan? Berusaha menakhlukkan sesuatu yang tampaknya “tak mungkin” bagi dirinya, namun saat dia menyadari bahwa sesuatu itu bisa didapatnya dengan mudah, runtuhlah segala “hasrat” menyangkut tantangan itu.

Ada beberapa potongan kisah lagi yang tak kalah menariknya dalam film ini. dengan hanya beberapa kalimat, cuplikan gambar yang disuguhkan kita justru berusaha mencari makna di dalamnya.
Intinya bahwa cinta memiliki begitu banyak sisi dan bentuk, dengan segala keindahan, keruwetan dan mungkin rasa sakit yang tersimpan di dalamnya, semua adalah tentang bagaimana kita memandang dan memaknainya.
Anyway, buat yang males mikir berat, film ini juga menyuguhkan gambar-gambar cantik (mungkin karena saya sedang terobsesi photography), jadi bener-bener terpukau dengan suguhan gambar dan setting tempat dalam film ini. so guys, buat yang udah nonton, hayuk kalo mau sharing, buat yang belum nonton, it’s very recommended.


30 Oktober 2012

Tentang Aku

Tentang dosa itu adalah aku.
Tentang cinta itu mungkin juga aku.
Tentang asa biarlah semesta yang memberi makna.
Tapi menjadi "benar" adalah tentang kamu, dia dan mereka


Proses


Kadang dalam ketersesatan kita jadi tau jalan pulang, kadang karena salah kita jadi tau benar, kadang karena jarak kita bisa mengukur, karena semesta adalah tempat kita "belajar". Jadi jangan pernah merasa khawatir dengan prosesnya, karena justru disitulah kita "bertumbuh" menjadi jiwa yang lebih kuat, tegar dan "benar"



by: nuke









Sabtu, 27 Oktober 2012

Kafe



Jam kayu besar di sudut ruangan menunjukkan waktu tepat pukul dua belas malam. Kursi- kursi telah dinaikkan ke atas meja. Maharani sedang sibuk menghitung uang di kotak kasir, saat terdengar suara Andri.
“Bu, masih ada pelanggan yang belum pulang…”
Maharani menengadahkan wajah, reflek matanya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kafe. Dilihatnya seorang laki-laki lebih tepatnya kakek berusia sekitar enam puluhan sedang duduk melamun dengan dua cangkir kopi di hadapannya. Pandangannya tampak kosong menatap keluar jendela.
“Mungkin dia menunggu hujan reda, diluar kan masih gerimis…” Maharani berusaha menanggapinya dengan tenang.
“Tapi beberapa malam ini dia memang selalu menunggu sampai kafe kita hampir tutup bu” suara Andri terdengar gusar.
Maharani menatap Andri, menarik nafas pelan, dia tau karyawannya ini ingin cepat pulang, menunggui seorang pelanggan hanya akan menambah jam kerjanya lebih lama.
“Biar aku tunggu sebentar lagi, kamu pulang aja dulu…”
“Tapi, bu…” Andri merasa tidak enak dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Gak apa-apa..kamu pulang dulu, nanti aku yang bawa kuncinya..” kali ini Maharani mengatakan itu dengan menatap tajam pada Andri, sebagai bentuk penegasan bahwa ini perintah.
“Baik bu…” Andri pergi sambil menundukkan kepalanya.
Maharani kembali menekuri lembaran-lembaran uang, menghitung lalu mencatatnya di sebuah buku kecil. Lama dia menatap deretan angka-angka di beberapa lembar terakhir, dihelanya nafas panjang berusaha melepaskan beban yang tiba-tiba terasa dalam dadanya.
Beberapa bulan terakhir pemasukan kafe semakin mengalami penurunan, bahkan untuk membayar gaji karyawan dua bulan ini, dia terpaksa mengurangi pembelian stok bahan. Pesaingnya semakin banyak, dengan konsep kafe yang jauh lebih modern dibandingkan dengan konsep kafe nya yang sederhana. Yaaa, karena beberapa ide dan rencana di kepalanya adalah berarti tambahan modal, yang dia sendiri tidak tahu darimana bisa mendapatkannya.
Sesak itu semakin terasa, ada pedih yang menyayat, matanya mulai mengabur dan tanpa terasa setetes bening jatuh membasahi buku yang dipegangnya. Maharani cepat-cepat menghapus airmatanya. Bukan saatnya untuk menjadi cengeng, bathinnya.
Tiba-tiba dia teringat dengan pelanggan yang belum pulang tadi. Dilihatnya sosok itu masih disana, dengan posisi yang sama, duduk tenang sambil menatap keluar jendela. Semoga dia tidak melihatku saat menangis tadi, bathin Maharani. Sejenak sebelum melangkah mendekati laki-laki itu, Maharani mengusap kedua matanya untuk memastikan tidak ada airmata yang tersisa, lalu melirik jam di pergelangan tangannya, waktu sudah hampir jam setengah satu malam.
Jarak Maharani dan laki-laki tua itu hanya tinggal beberapa langkah. Sosoknya semakin jelas dari dekat. Hampir delapan puluh persen rambutnya berwarna putih abu-abu, cukup kontras dengan kulit tubuhnya yang coklat gelap. Perawakannya tampak masih tegap, tidak terlihat ringkih sama sekali. Dia menoleh saat menyadari kehadiran Maharani, dan langsung tesenyum memamerkan deretan giginya yang tampak kecoklatan. Pasti karena kopi dan rokok, bathin Maharani menganalisa.
“Selamat malam, Bapak…”
“Owwhhh…yaaa..yaa… maaf, aku terlalu asyik menikmati malam dan gerimis sampai tidak menyadari kalau kafe ini akan tutup….”
Maharani membalasnya dengan senyum, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk pembicaraan selanjutnya. Dia tidak ingin menyakiti hati seorang pelanggan, apalagi dengan keterpurukan usahanya saat ini.
“Baiklah gadis kecil, orang tua ini akan segera pergi dari sini, tapi aku akan datang lagi besok, semoga kau tak akan pernah bosan melihatku duduk berjam-jam di kafe mu..”
Laki-laki itu mengatakannya sambil segera beranjak dari kursi tempatnya duduk.
“Terima kasih, kopi mu benar-benar enak” dia mendekatkan wajahnya ke Maharani, seakan memberi penegasan atas apa yang baru saja dikatakannya.
Seluruh lampu ruangan masih menyala, hingga Maharani bisa melihat sepasang mata coklat teduh milik laki-laki tua itu. Dan orang itu memanggilnya “gadis kecil”…? ini adalah secuil keindahan yang dirasakannya setelah hari yang berat.
“Terima kasih Bapak, saya tunggu kedatangannya besok” Maharani menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Aku suka senyum itu….” Laki-laki tua itu mengatakannya sambil berjalan pelan menuju pintu keluar kafe.
Maharani memandang sosoknya sampai diluar kafe, tiba-tiba dia teringat bahwa diluar masih gerimis, tergesa diambilnya payung yang tersimpan di dekat meja kasir, lalu setengah berlari berusaha menyusul keluar laki-laki tua itu.
Dilihatnya laki-laki itu masih belum terlalu jauh, berada di ujung jalan yang mulai sepi.
“Bapak pakai payung ini saja, masih gerimis..”
Laki-laki tua itu tersenyum kembali memamerkan gigi-gigi coklatnya.
“Aku selalu suka hujan terutama gerimis, ini adalah anugerah tak ternilai dari alam, terima kasih, pulanglah..”
Maharani tertegun dengan kalimat yang baru saja di dengarnya, Kata-kata itu mengingatkannya pada seseorang, tapi entah siapa.

Keesokan hari dan hari-hari berikutnya, laki-laki tua itu selalu datang, sekitar jam sembilan-sepuluh malam sampai menjelang kafe tutup. Duduknya pun selalu ditempat yang sama, seandainya ada pengunjung lain yang menempati posisi favoritnya, dia akan menunggu sampai sang pengunjung pergi dan laki-laki tua itu akan kembali ke tempat favoritnya tersebut. Maharani semakin sering terlibat obrolan dengan laki-laki tua itu, yang akhirnya dia ketahui bernama Danuwirja. Biarpun telah sering berbicara berdua, Maharani tak pernah lebih tau banyak mengenai Danuwirja, selain bahwa dia adalah seorang pengusaha sukses, itu saja. Obrolan mereka tak pernah jauh dari kopi dan filosofi, tak pernah sekalipun Danuwirja mengungkapkan latar belakang diri dan keluarganya.
Sampai di suatu malam saat kafe telah tutup, seperti biasa mereka duduk berdua, dan Maharani tak dapat menahan diri untuk bertanya lebih dalam mengenai siapa Danuwirja.
“Bapak punya putra atau putri…?” Maharani berusaha menahan nada suaranya agar terdengar sebiasa mungkin, menempatkan bahwa pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan wajar dari seorang teman baru.
Danuwirja menatapnya, menghela nafas dan tersenyum, entah mengapa Maharani seakan melihat ada kesedihan di sepasang mata coklatnya.
“Kamu tahu kenapa aku suka kopi..?”
“Karena di dalamnya mengandung filosofi kehidupan, bahwa terkadang kita harus merasakan kepahitan untuk lebih bisa menghargai rasa manis..” Maharani menjawabnya dengan cepat.
“Kita sudah pernah membahasnya..” sambung Maharani sambil tertawa lepas, merasa puas dengan jawabannya sendiri.
Danuwirja tersenyum lembut.
“Bapak belum menjawab pertanyaan saya…” desak Maharani, mulai tak sabar.
Hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka masing-masing.
“Dulu, sekitar tiga puluh tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan seorang wanita, aku jatuh cinta kepadanya, mungkin lebih tepatnya tergila-gila padanya. Segala hal yang kudambakan tentang sosok pendamping hidup ada pada dirinya…” Danuwirja diam sejenak. Maharani masih menunggu kalimat selanjutnya.
“Tapi seringkali cinta tak seindah dongeng, mungkin apa yang terjadi antara aku dan dia seperti kisah kasih klasik yang tak sampai. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya, karena aku pikir itu keputusan paling bijak, aku tak ingin membuatnya menderita hidup bersamaku, aku belum punya apa-apa, bukan siapa-siapa. Sekian tahun aku pergi untuk menggapai sebuah mimpi mewujudkan apa yang sepenuhnya ingin kupersembahkan untuknya, sebuah janji yang kusimpan dalam hati. Namun saat aku kembali, dia telah menjadi milik orang lain dengan seorang putri kecil berumur tiga tahun. Hatiku hancur saat itu. Sisi ego ku ingin merebut apa yang seharusnya mungkin menjadi milikku, dia yang telah membakar semangatku dan membuatku menjadi seseorang yang ‘berhasil’ tapi saat semua ingin kuberikan kepadanya, dia telah menjadi milik orang lain”
Sepi kembali menggenang diantara mereka berdua.
Maharani masih terdiam, tak ada yang mampu dikatakannya. Danuwirja mengambil cangkirnya, meneguk sisa kopi hitam dingin itu, membasahi lidahnya dengan kepahitan.
“Aku tak punya pilihan lagi selain mengikhlaskannya...” suara Danuwirja lirih, lebih mirip sebagai bisikan pada dirinya sendiri.
“Bapak tidak pernah bertemu dengan wanita itu lagi?” Tanya Maharani.
Danuwirja diam, menggigit bibir bawahnya.
“Kau selalu ingin tahu, gadis kecil…”
Maharani tersenyum.
“Sayang sekali malam telah sangat larut, aku harus pulang, maaf sekali lagi menyita waktumu, duduk bersama seorang tua sepertiku mungkin terasa membosankan”
“Saya sama sekali tidak merasa seperti itu, justru sebaliknya, ngobrol dengan Bapak terasa sangat menyenangkan, saya seperti menemukan sosok pengganti papa yang telah meninggal lima tahun yang lalu”
Danuwirja menatap Maharani, mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi.
“Saya berniat menjual kafe ini…” entah mengapa Maharani mengungkapkan hal itu pada sosok laki-laki berumur yang baru dikenalnya beberapa hari.
Danuwirja menghentikan langkahnya. Beberapa menit kemudian berbalik, dilihatnya Maharani mulai menangis terisak-isak.
“Kafe ini bangkrut, saya tidak tahu lagi bagaimana mempertahankannya…” wajah Maharani telah basah oleh airmata, selama beberapa waktu dia menahan perasaan itu sendiri, dan tiba-tiba dia ingin mengungkapkannya pada Danuwirja.
Laki-laki itu hanya memandang Maharani tanpa mengatakan apapun.
“Tolong katakan sesuatu..” suara Maharani menghiba.
“Semuanya akan baik-baik saja, percayalah…” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Danuwirja, lalu dia melangkah menuju pintu keluar.
Maharani terduduk lemas di lantai, meneruskan tangisnya, di tengah sepi, keremangan lampu, meja kursi yang menjadi saksi rasa sesak yang masih menggayut dalam hatinya. Kafe ini adalah segalanya bagi Maharani, rumah kedua baginya, para karyawannya dan semua itu terpaksa harus ditinggalkan karena ketidakmampuannya mengurus kafe ini, padahal ini adalah warisan usaha papanya yang tersisa.

Senja menjelang, kafe baru dibuka jadi suasana masih sepi, dan mungkin akan terus seperti ini sampai malam menjelang. Hanya ada sepasang anak muda yang duduk sudut ruangan, tampak tak peduli dengan sekitar. Maharani sedang merenung di dekat meja kasir, saat dilihatnya sosok yang sangat dikenalnya memasuki pintu kafe. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum seperti biasa dan langsung menuju tempat favoritnya.
“Tumben Bapak datang jam segini..?” Tanya Maharani, dia merasa nada suaranya terdengar terlalu gembira menyambut laki-laki itu.
Danuwirja tersenyum seperti biasa.
“Duduklah…” laki-laki itu memberi isyarat pada Maharani untuk duduk dihadapannya.
“Kuharap ini cukup untuk membeli kafe mu..” Danuwirja menyerahkan selembar cek bertuliskan beberapa digit angka.
“Maksud, Bapak..?” Maharani memandang Danuwirja tak mengerti.
“Kamu sudah mendengar apa yang baru saja aku katakan…”
“Ta..tapi jumlah ini terlalu besar….”
“Begini….aku berniat membeli kafe ini, tapi aku ingin tetap kau yang mengelolanya, bila kau memang benar-benar ingin mempertahankannya, anggap saja ini sebagai pinjaman modal, gunakan untuk melakukan beberapa renovasi atau apapun yang kau mau..”
Maharani terdiam, otaknya masih merasa sulit mencerna apa yang baru saja didengarnya.
“Apa alasan dari semua ini…” tanya Maharani.
Danuwirja menghela nafas, menundukkan kepalanya tanpa berani menatap gadis itu.
“Mungkin sudah saatnya kau tau…” kalimat itu keluar dari bibir Danuwirja.
Maharani tiba-tiba merasa jantungnya berdetak lebih kencang.
“Tapi sebelum aku menceritakan semua, ijinkan aku menemui ibumu….” Suara Danuwirja terdengar lirih.


Mereka berdiri di sebuah makam. Danuwirja membaca nama di batu nisan itu “Karlina Wijayanti”. Matanya tampak berkaca-kaca, tangannya menggenggam erat rangkaian bunga yang diikat dengan pita berwarna kuning.
“Mama meninggal sebulan yang lalu karena kanker paru-paru, sebagian besar pendapatan kafe terpakai untuk biaya pengobatan mama” suara Maharani memecah keheningan diantara mereka.
“Aku terlalu pengecut untuk menemui wanita yang kucintai, entah mengapa aku tak pernah punya cukup keberanian untuk melakukan itu hingga butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk sekedar melihatnya” ada isak terdengar diantara kata-kata Danuwirja.
Perlahan dia meletakkan rangkaian bunga di atas makam itu, lalu berjalan gontai meninggalkan Maharani sendiri.
Maharani bersimpuh di tanah makam, meraih rangkaian bunga itu. Dia melihat sebuah kartu terselip, perlahan dibuka dan dibacanya:

“Aku terlalu mencintaimu, Karlina. Itu alasan paling sederhana sekaligus paling rumit untuk semuanya   -Danuwirja- “

- Tamat -


*Terinspirasi dari sebuah mimpi untuk memiliki kafe sendiri.


Jumat, 19 Oktober 2012

Sepotong Jiwa


Kupandangi sesosok tubuh yang tergeletak di atas tempat tidur serba putih itu. Beberapa selang masih menghiasi kepala dan tangan , dihubungkan dengan sebuah kotak mesin yang sekarang hanya berbunyi “tuuutttt…..”dan layarnya menunjukkan garis putih lurus, tanpa ada grafik disana. Aku tahu sebentar lagi ruangan ini akan dipenuhi oleh beberapa orang yang panik. Para dokter , perawat dan itu akan diawali oleh sebuah teriakan dari seseorang yang sangat kukenal, yang telah begitu sabar menemaniku selama beberapa minggu terakhir ini.
“maafkan aku, mama..” bisikku. Kutatap wajah yang semakin dipenuhi kerut merut itu, hampir tak pernah kulihat lagi senyum di wajah itu.
Aku akan segera pergi dari sini, sebelum segala rasa sedih menguasai, saat harus menyaksikan wajah orang-orang yang kusayangi dipenuhi airmata karena melihat jasadku yang tak mungkin bangun lagi.
Kupandangi sekali lagi sosokku, terasa aneh memandangi diri sendiri, seperti saat kita berada di depan cermin tapi bayangannya tidak mengikuti setiap gerakan yang kita lakukan.
Mama terbangun dan tampaknya mulai menyadari apa yang terjadi. Dia mulai berteriak, meraung-raung memanggil namaku berkali-kali. Dua orang perawat memasuki ruangan dengan tergesa dan langsung memeriksa tubuh dan alat yang terhubung dengan jasad kaku itu. Kudekati mama, kuusap sebentar wajahnya, tapi aku hanya menyentuh ruang kosong. Ternyata terasa menyakitkan saat kita tak dapat lagi menyentuh orang yang sangat kita sayangi. Ingin sekali kupeluk tubuh kurus itu, mengusap lembut rambutnya seperti yang biasa dilakukannya saat berusaha menenangkanku, berusaha mengalirkan kekuatan setiap kali aku harus merasakan kesakitan. 
Kubisikkan di telinganya “Aku sayang mama, terimakasih atas semua…”
Aku pergi meninggalkan ruangan yang telah menjadi kamarku beberapa minggu ini, perasaan sedih ini terasa menyakitkan.

Kususuri lorong rumah sakit, belum bisa memastikan apakah ini siang atau malam, duduk di sebuah tangga, beberapa orang melewatiku, tak ada kekhawatiran akan tertabrak, bukankah aku “transparan”? zat yang berbeda dengan mereka manusia.
Jadi mungkin beginilah rasanya mati? Entahlah aku juga tak tahu pasti, aku belum pernah mati. Yang aku tahu, akan ada semacam sinar yang menjemputku, menuju sebuah lorong panjang yang diujungnya ada sinar yang sangat terang, minimal seperti itulah yang sering aku lihat di film. Lalu kenapa tak ada sinar yang menjemputku atau sosok semacam bayangan atau malaikat dalam buku-buku?
Apakah aku masih gentayangan? Aku menjadi hantu? Apa karena sebenarnya ini belum benar-benar menjadi “waktu” ku..?
Aku masih mencoba merenungi semua itu, saat kemudian terbersit  sebuah pemikiran.
Bukankah ini menyenangkan? Aku tak perlu merasakan segala rasa sakit yang kuderita selama ini? tak peduli lagi berapa banyak jarum yang akan menembus tubuh, obat-obatan yang harus kutelan? Bukankah aku telah terbebas dari semua itu?
Aku bisa pergi kemana saja aku mau, mungkin aku bisa terbang dengan “tubuh”seringan ini, tak ada kelelahan, tak perlu naik kendaraan untuk kesana kemari, aku bisa ke tempat-tempat yang sangat aku ingini tanpa pusing memikirkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk transportasi dan akomodasi. Mungkin aku akan ke Paris, Roma, Venezia, India, Thailand, aku bisa keliling dunia. Hahaha..aku tertawa berputar-putar. Ternyata kematian tidak terlalu menakutkan.


Senja tengah melingkupi dunia. Kususuri sepanjang jalan melalui barisan toko-toko yang memajang segala macam benda-benda peradaban. Memamerkan warna warni keindahan duniawi. Saat melewati kaca-kaca, tak kulihat bayanganku disana. Aku tersenyum sendiri. Memperhatikan orang-orang yang sedang menikmati kehidupan. Aku masuk ke sebuah butik besar yang memajang berbagai baju, tas, dan sepatu. Ini adalah butik langgananku dulu saat aku masih hidup. Aku dan mama suka sekali berbelanja disini.
Kulihat seorang gadis yang sibuk memadu madankan tas dan sepatu yang sedang dicobanya, mengingatkanku pada masa ku dulu. Dia tampak begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya. Beberapa kali mematut bayangannya di depan sebuah cermin besar dan akhirnya memutuskan membeli beberapa tas dan beberapa pasang sepatu, membayar ke kasir lalu pergi.
Tiba-tiba aku punya keinginan untuk kembali ke rumah. Yaaa, mungkin aku harus mampir sebentar kesana. Mengurai beberapa memori dalam kehidupan.

Tak banyak yang berubah dengan kamarku setelah aku meninggalkannya sekian lama karena harus tinggal di rumah sakit. Semua barang masih tertata sangat rapi, pasti Bik Nah tetap membersihkannya setiap hari. Aku tak bisa lagi menyentuh barang-barang itu, jadi yang bisa kulakukan hanyalah memandangi setiap detilnya, berusaha mengingat setiap memori yang tertinggal disana. Lemari besar berwarna putih itu berisi baju-bajuku. Dan sebuah lemari kaca transparan memajang berbagai tas dan sepatu koleksiku. Ada perasaan hambar yang tiba-tiba menyusup. Barang-barang yang kuanggap “penting” saat masih hidup ternyata tak punya arti apa-apa lagi dengan keadaanku saat ini. sebuah pemikiran yang bahkan tak pernah terlintas dalam benakku sama sekali saat masih menjadi manusia.
Suara pintu dibuka. Kulihat papa disana, dengan mata sembab dan wajah kusut masai. Berjalan pelan mengambil boneka Teddy Bear ku yang tergeletak di tempat tidur. Papa duduk di sisi tempat tidur sambil memandangi boneka kecil itu, diam, hening lalu mulai terdengar suara isak yang semakin keras. Dipeluknya boneka itu seakan ingin melampiaskan segala sesak yang sedang dirasakannnya saat ini.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari perasaan saat melihat orang yang kita sayangi merasakan kesedihan karena kita.
Sekali lagi aku harus segera pergi dari sini, entah kemana yang jelas aku tak mampu melihat kesedihan lagi.

Berdiri di ketinggian, sesuatu yang tak pernah aku lakukan semasih hidup. Aku mengidap phobia ketinggian. Badanku selalu merasa lemas, keringat dingin dan jantung berdebar setiap kali harus berada di ketinggian. Aku tak pernah berani lewat jembatan penyebrangan, aku selalu gagal mengatasi rasa takut itu, dan memilih melalui jalan yang memutar dengan konsekuensi lebih jauh daripada harus merasakan sensasi saat berada di ketinggian. Dan aku tak lagi merasakan kengerian itu saat ini.
Berdiri disebuah gedung tertinggi di kotaku, memandang hamparan kehidupan malam, kerlap kerlip lampu, baru kusadari betapa kehidupan bisa begitu indah saat kita memandangnya dari ketinggian.
Dari dulu aku selalu menyukai lampu. Salah satu keajaiban atas penemuan manusia, cahaya buatan, pemberi terang dalam malam, selain bulan dan bintang.
Aku tak lagi bisa merasakan semilir angin, ringan, hampa dan kesepian, itu yang kurasakan saat ini. apakah ada mahluk seperti aku yang mungkin bisa kujadikan teman? Sampai kapan aku harus menjalani semua ini? apakah ini juga sebuah bentuk hukuman atas segala perbuatanku di dunia? Merasakan kehampaan?

“Kamu baru mati, ya?” sebuah suara mengejutkanku.
Aku memperhatikan sosok sang pemilik suara. Seorang gadis kecil, kuperkirakan umurnya sekitar sepuluh tahunan.
“bagaimana kau bisa melihatku? Apa kau juga arwah gentayangan seperti aku?” tanyaku penasaran.
Gadis kecil itu hanya tersenyum sambil menggedikkan bahunya.
“Aku tinggal disini” jawaban gadis itu tak ada hubungannya dengan pertanyaan yang baru saja aku ajukan.
“Nantinya kau juga akan mengerti, seringkali kita ‘belajar’ saat semuanya sudah terlambat..tapi itulah kehidupan, begitu juga dengan kematian”.
Dia mengatakannya dengan senyum yang terlihat sedikit sinis.
Aku masih bingung dengan apa yang baru saja dikatakannya. Kalimatnya begitu “dalam” untuk dikatakan oleh seorang gadis seumuran dia.
Aku belum sempat menanyakan banyak hal yang memenuhi pikiranku ketika dia kemudian pergi entah kemana.
Pergi? Atau menghilang?aku sendiri tidak yakin, karena begitu sibuk berpikir saat kemudian baru kusadari dia sudah tak ada lagi.
Apa yang harus kupelajari? Apa dosa yang telah aku buat selama hidup? Apa ada hal-hal yang harus kuselesaikan di dunia ini? Apakah hidupku telah cukup berarti selama ini? apa aku akan mendapatakan “kesempatan kedua” seandainya aku telah cukup “belajar”?
Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar.
Dan tiba-tiba sebuah potongan peristiwa melintas, terangkai dengan beberapa penggalan cerita lain, seperti serangkaian foto-foto yang berjajar dan berangkai satu sama lain. Perlahan aku berusaha memahami setiap detailnya.
Berawal dari kemarahan papa dan mama saat tahu aku berhubungan dengan Galang, teman kuliahku. Entah apa yang membuat papa dan mama begitu menentang hubunganku dengan Galang. Yah, mungkin karena rambut gondrongnya, anting-anting disebelah kiri nya, celana jins sobeknya, tapi bukankah itu bukan suatu masalah besar? aku bahkan rela memberikan sebagian besar uang saku ku untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya, mengantarnya kesana kemari, Aku mencintai Galang, terlalu mencintainya, itu sudah cukup, sangat cukup.
Mungkin papa mama tidak menyadari putri semata wayangnya sudah waktunya belajar tentang cinta, mungkin itu sebuah bentuk kecemburuan mereka, aku percaya suatu saat papa mama akan bisa menerimanya, dan aku melakukan protes pada mereka dengan memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku yakin beberapa hari kemudian papa akan menjemputku dan meminta maaf atas sikapnya selama ini.
Tak ada tempat paling aman dan nyaman selain rumah kost Nadya, sahabatku.
Potongan peristiwa kedua mulai dihadapkan padaku. Aku berdiri di depan pintu kamar kost Nadya, sengaja aku tidak memberitahu kedatanganku, berharap ini sebuah kejutan manis untuknya. Kubuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan disana kutemukan sebuah pemandangan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, Galang dan Nadya, mereka sedang berciuman.
Potongan gambar yang ketiga, aku berada dalam mobilku, menyetir dengan kecepatan penuh, mataku kabur oleh airmata dan terakhir yang kuingat adalah sebuah truk tepat berada di depan mobilku, lalu dunia menjadi gelap.

Gerimis. Mungkin bumi sedang menangis. Aku tak bisa merasakan titik-titik air yang menyentuh kulit, satu hal sederhana yang terasa begitu indah untuk dibayangkan saat diri tak akan pernah merasakannya lagi. Ada begitu banyak hal indah di dunia ini, dan aku telah melewatkannya begitu saja, aku begitu angkuh, begitu buta, banyak hal yang kuanggap penting ternyata bukan apa-apa, kenapa aku begitu bodoh?
Kulihat disana, beberapa orang tampak berdiri di pemakaman. Seonggok tubuh siap diturunkan ke dalam tanah, kembali pada alam.
Ada banyak airmata, kesedihan, rasa kehilangan, tapi semuanya tak mampu menampung penyesalan yang terasakan olehku. Perlahan sosokku mengabur, hilang.
“semoga kita semua bisa terus –belajar-…”



Thank’s to:
-         Enya “carribean blue” yang bener-bener mampu memberi “feel” menjadi sosok tak terlihat, melayang, kesepian dan hampa.
-         My serious man, yang mengaku “merinding” baca konsep awalnya, hehhehe.. thank’s a lot for the support.
-         Yusti: yang belom bosen dengerin ide2 gilaku yang melompat kesana kemari, “sometimes I need you to be nourmal…”