Sabtu, 27 Oktober 2012

Kafe



Jam kayu besar di sudut ruangan menunjukkan waktu tepat pukul dua belas malam. Kursi- kursi telah dinaikkan ke atas meja. Maharani sedang sibuk menghitung uang di kotak kasir, saat terdengar suara Andri.
“Bu, masih ada pelanggan yang belum pulang…”
Maharani menengadahkan wajah, reflek matanya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kafe. Dilihatnya seorang laki-laki lebih tepatnya kakek berusia sekitar enam puluhan sedang duduk melamun dengan dua cangkir kopi di hadapannya. Pandangannya tampak kosong menatap keluar jendela.
“Mungkin dia menunggu hujan reda, diluar kan masih gerimis…” Maharani berusaha menanggapinya dengan tenang.
“Tapi beberapa malam ini dia memang selalu menunggu sampai kafe kita hampir tutup bu” suara Andri terdengar gusar.
Maharani menatap Andri, menarik nafas pelan, dia tau karyawannya ini ingin cepat pulang, menunggui seorang pelanggan hanya akan menambah jam kerjanya lebih lama.
“Biar aku tunggu sebentar lagi, kamu pulang aja dulu…”
“Tapi, bu…” Andri merasa tidak enak dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Gak apa-apa..kamu pulang dulu, nanti aku yang bawa kuncinya..” kali ini Maharani mengatakan itu dengan menatap tajam pada Andri, sebagai bentuk penegasan bahwa ini perintah.
“Baik bu…” Andri pergi sambil menundukkan kepalanya.
Maharani kembali menekuri lembaran-lembaran uang, menghitung lalu mencatatnya di sebuah buku kecil. Lama dia menatap deretan angka-angka di beberapa lembar terakhir, dihelanya nafas panjang berusaha melepaskan beban yang tiba-tiba terasa dalam dadanya.
Beberapa bulan terakhir pemasukan kafe semakin mengalami penurunan, bahkan untuk membayar gaji karyawan dua bulan ini, dia terpaksa mengurangi pembelian stok bahan. Pesaingnya semakin banyak, dengan konsep kafe yang jauh lebih modern dibandingkan dengan konsep kafe nya yang sederhana. Yaaa, karena beberapa ide dan rencana di kepalanya adalah berarti tambahan modal, yang dia sendiri tidak tahu darimana bisa mendapatkannya.
Sesak itu semakin terasa, ada pedih yang menyayat, matanya mulai mengabur dan tanpa terasa setetes bening jatuh membasahi buku yang dipegangnya. Maharani cepat-cepat menghapus airmatanya. Bukan saatnya untuk menjadi cengeng, bathinnya.
Tiba-tiba dia teringat dengan pelanggan yang belum pulang tadi. Dilihatnya sosok itu masih disana, dengan posisi yang sama, duduk tenang sambil menatap keluar jendela. Semoga dia tidak melihatku saat menangis tadi, bathin Maharani. Sejenak sebelum melangkah mendekati laki-laki itu, Maharani mengusap kedua matanya untuk memastikan tidak ada airmata yang tersisa, lalu melirik jam di pergelangan tangannya, waktu sudah hampir jam setengah satu malam.
Jarak Maharani dan laki-laki tua itu hanya tinggal beberapa langkah. Sosoknya semakin jelas dari dekat. Hampir delapan puluh persen rambutnya berwarna putih abu-abu, cukup kontras dengan kulit tubuhnya yang coklat gelap. Perawakannya tampak masih tegap, tidak terlihat ringkih sama sekali. Dia menoleh saat menyadari kehadiran Maharani, dan langsung tesenyum memamerkan deretan giginya yang tampak kecoklatan. Pasti karena kopi dan rokok, bathin Maharani menganalisa.
“Selamat malam, Bapak…”
“Owwhhh…yaaa..yaa… maaf, aku terlalu asyik menikmati malam dan gerimis sampai tidak menyadari kalau kafe ini akan tutup….”
Maharani membalasnya dengan senyum, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk pembicaraan selanjutnya. Dia tidak ingin menyakiti hati seorang pelanggan, apalagi dengan keterpurukan usahanya saat ini.
“Baiklah gadis kecil, orang tua ini akan segera pergi dari sini, tapi aku akan datang lagi besok, semoga kau tak akan pernah bosan melihatku duduk berjam-jam di kafe mu..”
Laki-laki itu mengatakannya sambil segera beranjak dari kursi tempatnya duduk.
“Terima kasih, kopi mu benar-benar enak” dia mendekatkan wajahnya ke Maharani, seakan memberi penegasan atas apa yang baru saja dikatakannya.
Seluruh lampu ruangan masih menyala, hingga Maharani bisa melihat sepasang mata coklat teduh milik laki-laki tua itu. Dan orang itu memanggilnya “gadis kecil”…? ini adalah secuil keindahan yang dirasakannya setelah hari yang berat.
“Terima kasih Bapak, saya tunggu kedatangannya besok” Maharani menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Aku suka senyum itu….” Laki-laki tua itu mengatakannya sambil berjalan pelan menuju pintu keluar kafe.
Maharani memandang sosoknya sampai diluar kafe, tiba-tiba dia teringat bahwa diluar masih gerimis, tergesa diambilnya payung yang tersimpan di dekat meja kasir, lalu setengah berlari berusaha menyusul keluar laki-laki tua itu.
Dilihatnya laki-laki itu masih belum terlalu jauh, berada di ujung jalan yang mulai sepi.
“Bapak pakai payung ini saja, masih gerimis..”
Laki-laki tua itu tersenyum kembali memamerkan gigi-gigi coklatnya.
“Aku selalu suka hujan terutama gerimis, ini adalah anugerah tak ternilai dari alam, terima kasih, pulanglah..”
Maharani tertegun dengan kalimat yang baru saja di dengarnya, Kata-kata itu mengingatkannya pada seseorang, tapi entah siapa.

Keesokan hari dan hari-hari berikutnya, laki-laki tua itu selalu datang, sekitar jam sembilan-sepuluh malam sampai menjelang kafe tutup. Duduknya pun selalu ditempat yang sama, seandainya ada pengunjung lain yang menempati posisi favoritnya, dia akan menunggu sampai sang pengunjung pergi dan laki-laki tua itu akan kembali ke tempat favoritnya tersebut. Maharani semakin sering terlibat obrolan dengan laki-laki tua itu, yang akhirnya dia ketahui bernama Danuwirja. Biarpun telah sering berbicara berdua, Maharani tak pernah lebih tau banyak mengenai Danuwirja, selain bahwa dia adalah seorang pengusaha sukses, itu saja. Obrolan mereka tak pernah jauh dari kopi dan filosofi, tak pernah sekalipun Danuwirja mengungkapkan latar belakang diri dan keluarganya.
Sampai di suatu malam saat kafe telah tutup, seperti biasa mereka duduk berdua, dan Maharani tak dapat menahan diri untuk bertanya lebih dalam mengenai siapa Danuwirja.
“Bapak punya putra atau putri…?” Maharani berusaha menahan nada suaranya agar terdengar sebiasa mungkin, menempatkan bahwa pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan wajar dari seorang teman baru.
Danuwirja menatapnya, menghela nafas dan tersenyum, entah mengapa Maharani seakan melihat ada kesedihan di sepasang mata coklatnya.
“Kamu tahu kenapa aku suka kopi..?”
“Karena di dalamnya mengandung filosofi kehidupan, bahwa terkadang kita harus merasakan kepahitan untuk lebih bisa menghargai rasa manis..” Maharani menjawabnya dengan cepat.
“Kita sudah pernah membahasnya..” sambung Maharani sambil tertawa lepas, merasa puas dengan jawabannya sendiri.
Danuwirja tersenyum lembut.
“Bapak belum menjawab pertanyaan saya…” desak Maharani, mulai tak sabar.
Hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka masing-masing.
“Dulu, sekitar tiga puluh tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan seorang wanita, aku jatuh cinta kepadanya, mungkin lebih tepatnya tergila-gila padanya. Segala hal yang kudambakan tentang sosok pendamping hidup ada pada dirinya…” Danuwirja diam sejenak. Maharani masih menunggu kalimat selanjutnya.
“Tapi seringkali cinta tak seindah dongeng, mungkin apa yang terjadi antara aku dan dia seperti kisah kasih klasik yang tak sampai. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya, karena aku pikir itu keputusan paling bijak, aku tak ingin membuatnya menderita hidup bersamaku, aku belum punya apa-apa, bukan siapa-siapa. Sekian tahun aku pergi untuk menggapai sebuah mimpi mewujudkan apa yang sepenuhnya ingin kupersembahkan untuknya, sebuah janji yang kusimpan dalam hati. Namun saat aku kembali, dia telah menjadi milik orang lain dengan seorang putri kecil berumur tiga tahun. Hatiku hancur saat itu. Sisi ego ku ingin merebut apa yang seharusnya mungkin menjadi milikku, dia yang telah membakar semangatku dan membuatku menjadi seseorang yang ‘berhasil’ tapi saat semua ingin kuberikan kepadanya, dia telah menjadi milik orang lain”
Sepi kembali menggenang diantara mereka berdua.
Maharani masih terdiam, tak ada yang mampu dikatakannya. Danuwirja mengambil cangkirnya, meneguk sisa kopi hitam dingin itu, membasahi lidahnya dengan kepahitan.
“Aku tak punya pilihan lagi selain mengikhlaskannya...” suara Danuwirja lirih, lebih mirip sebagai bisikan pada dirinya sendiri.
“Bapak tidak pernah bertemu dengan wanita itu lagi?” Tanya Maharani.
Danuwirja diam, menggigit bibir bawahnya.
“Kau selalu ingin tahu, gadis kecil…”
Maharani tersenyum.
“Sayang sekali malam telah sangat larut, aku harus pulang, maaf sekali lagi menyita waktumu, duduk bersama seorang tua sepertiku mungkin terasa membosankan”
“Saya sama sekali tidak merasa seperti itu, justru sebaliknya, ngobrol dengan Bapak terasa sangat menyenangkan, saya seperti menemukan sosok pengganti papa yang telah meninggal lima tahun yang lalu”
Danuwirja menatap Maharani, mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi.
“Saya berniat menjual kafe ini…” entah mengapa Maharani mengungkapkan hal itu pada sosok laki-laki berumur yang baru dikenalnya beberapa hari.
Danuwirja menghentikan langkahnya. Beberapa menit kemudian berbalik, dilihatnya Maharani mulai menangis terisak-isak.
“Kafe ini bangkrut, saya tidak tahu lagi bagaimana mempertahankannya…” wajah Maharani telah basah oleh airmata, selama beberapa waktu dia menahan perasaan itu sendiri, dan tiba-tiba dia ingin mengungkapkannya pada Danuwirja.
Laki-laki itu hanya memandang Maharani tanpa mengatakan apapun.
“Tolong katakan sesuatu..” suara Maharani menghiba.
“Semuanya akan baik-baik saja, percayalah…” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Danuwirja, lalu dia melangkah menuju pintu keluar.
Maharani terduduk lemas di lantai, meneruskan tangisnya, di tengah sepi, keremangan lampu, meja kursi yang menjadi saksi rasa sesak yang masih menggayut dalam hatinya. Kafe ini adalah segalanya bagi Maharani, rumah kedua baginya, para karyawannya dan semua itu terpaksa harus ditinggalkan karena ketidakmampuannya mengurus kafe ini, padahal ini adalah warisan usaha papanya yang tersisa.

Senja menjelang, kafe baru dibuka jadi suasana masih sepi, dan mungkin akan terus seperti ini sampai malam menjelang. Hanya ada sepasang anak muda yang duduk sudut ruangan, tampak tak peduli dengan sekitar. Maharani sedang merenung di dekat meja kasir, saat dilihatnya sosok yang sangat dikenalnya memasuki pintu kafe. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum seperti biasa dan langsung menuju tempat favoritnya.
“Tumben Bapak datang jam segini..?” Tanya Maharani, dia merasa nada suaranya terdengar terlalu gembira menyambut laki-laki itu.
Danuwirja tersenyum seperti biasa.
“Duduklah…” laki-laki itu memberi isyarat pada Maharani untuk duduk dihadapannya.
“Kuharap ini cukup untuk membeli kafe mu..” Danuwirja menyerahkan selembar cek bertuliskan beberapa digit angka.
“Maksud, Bapak..?” Maharani memandang Danuwirja tak mengerti.
“Kamu sudah mendengar apa yang baru saja aku katakan…”
“Ta..tapi jumlah ini terlalu besar….”
“Begini….aku berniat membeli kafe ini, tapi aku ingin tetap kau yang mengelolanya, bila kau memang benar-benar ingin mempertahankannya, anggap saja ini sebagai pinjaman modal, gunakan untuk melakukan beberapa renovasi atau apapun yang kau mau..”
Maharani terdiam, otaknya masih merasa sulit mencerna apa yang baru saja didengarnya.
“Apa alasan dari semua ini…” tanya Maharani.
Danuwirja menghela nafas, menundukkan kepalanya tanpa berani menatap gadis itu.
“Mungkin sudah saatnya kau tau…” kalimat itu keluar dari bibir Danuwirja.
Maharani tiba-tiba merasa jantungnya berdetak lebih kencang.
“Tapi sebelum aku menceritakan semua, ijinkan aku menemui ibumu….” Suara Danuwirja terdengar lirih.


Mereka berdiri di sebuah makam. Danuwirja membaca nama di batu nisan itu “Karlina Wijayanti”. Matanya tampak berkaca-kaca, tangannya menggenggam erat rangkaian bunga yang diikat dengan pita berwarna kuning.
“Mama meninggal sebulan yang lalu karena kanker paru-paru, sebagian besar pendapatan kafe terpakai untuk biaya pengobatan mama” suara Maharani memecah keheningan diantara mereka.
“Aku terlalu pengecut untuk menemui wanita yang kucintai, entah mengapa aku tak pernah punya cukup keberanian untuk melakukan itu hingga butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk sekedar melihatnya” ada isak terdengar diantara kata-kata Danuwirja.
Perlahan dia meletakkan rangkaian bunga di atas makam itu, lalu berjalan gontai meninggalkan Maharani sendiri.
Maharani bersimpuh di tanah makam, meraih rangkaian bunga itu. Dia melihat sebuah kartu terselip, perlahan dibuka dan dibacanya:

“Aku terlalu mencintaimu, Karlina. Itu alasan paling sederhana sekaligus paling rumit untuk semuanya   -Danuwirja- “

- Tamat -


*Terinspirasi dari sebuah mimpi untuk memiliki kafe sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar