Jumat, 19 Oktober 2012

Sepotong Jiwa


Kupandangi sesosok tubuh yang tergeletak di atas tempat tidur serba putih itu. Beberapa selang masih menghiasi kepala dan tangan , dihubungkan dengan sebuah kotak mesin yang sekarang hanya berbunyi “tuuutttt…..”dan layarnya menunjukkan garis putih lurus, tanpa ada grafik disana. Aku tahu sebentar lagi ruangan ini akan dipenuhi oleh beberapa orang yang panik. Para dokter , perawat dan itu akan diawali oleh sebuah teriakan dari seseorang yang sangat kukenal, yang telah begitu sabar menemaniku selama beberapa minggu terakhir ini.
“maafkan aku, mama..” bisikku. Kutatap wajah yang semakin dipenuhi kerut merut itu, hampir tak pernah kulihat lagi senyum di wajah itu.
Aku akan segera pergi dari sini, sebelum segala rasa sedih menguasai, saat harus menyaksikan wajah orang-orang yang kusayangi dipenuhi airmata karena melihat jasadku yang tak mungkin bangun lagi.
Kupandangi sekali lagi sosokku, terasa aneh memandangi diri sendiri, seperti saat kita berada di depan cermin tapi bayangannya tidak mengikuti setiap gerakan yang kita lakukan.
Mama terbangun dan tampaknya mulai menyadari apa yang terjadi. Dia mulai berteriak, meraung-raung memanggil namaku berkali-kali. Dua orang perawat memasuki ruangan dengan tergesa dan langsung memeriksa tubuh dan alat yang terhubung dengan jasad kaku itu. Kudekati mama, kuusap sebentar wajahnya, tapi aku hanya menyentuh ruang kosong. Ternyata terasa menyakitkan saat kita tak dapat lagi menyentuh orang yang sangat kita sayangi. Ingin sekali kupeluk tubuh kurus itu, mengusap lembut rambutnya seperti yang biasa dilakukannya saat berusaha menenangkanku, berusaha mengalirkan kekuatan setiap kali aku harus merasakan kesakitan. 
Kubisikkan di telinganya “Aku sayang mama, terimakasih atas semua…”
Aku pergi meninggalkan ruangan yang telah menjadi kamarku beberapa minggu ini, perasaan sedih ini terasa menyakitkan.

Kususuri lorong rumah sakit, belum bisa memastikan apakah ini siang atau malam, duduk di sebuah tangga, beberapa orang melewatiku, tak ada kekhawatiran akan tertabrak, bukankah aku “transparan”? zat yang berbeda dengan mereka manusia.
Jadi mungkin beginilah rasanya mati? Entahlah aku juga tak tahu pasti, aku belum pernah mati. Yang aku tahu, akan ada semacam sinar yang menjemputku, menuju sebuah lorong panjang yang diujungnya ada sinar yang sangat terang, minimal seperti itulah yang sering aku lihat di film. Lalu kenapa tak ada sinar yang menjemputku atau sosok semacam bayangan atau malaikat dalam buku-buku?
Apakah aku masih gentayangan? Aku menjadi hantu? Apa karena sebenarnya ini belum benar-benar menjadi “waktu” ku..?
Aku masih mencoba merenungi semua itu, saat kemudian terbersit  sebuah pemikiran.
Bukankah ini menyenangkan? Aku tak perlu merasakan segala rasa sakit yang kuderita selama ini? tak peduli lagi berapa banyak jarum yang akan menembus tubuh, obat-obatan yang harus kutelan? Bukankah aku telah terbebas dari semua itu?
Aku bisa pergi kemana saja aku mau, mungkin aku bisa terbang dengan “tubuh”seringan ini, tak ada kelelahan, tak perlu naik kendaraan untuk kesana kemari, aku bisa ke tempat-tempat yang sangat aku ingini tanpa pusing memikirkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk transportasi dan akomodasi. Mungkin aku akan ke Paris, Roma, Venezia, India, Thailand, aku bisa keliling dunia. Hahaha..aku tertawa berputar-putar. Ternyata kematian tidak terlalu menakutkan.


Senja tengah melingkupi dunia. Kususuri sepanjang jalan melalui barisan toko-toko yang memajang segala macam benda-benda peradaban. Memamerkan warna warni keindahan duniawi. Saat melewati kaca-kaca, tak kulihat bayanganku disana. Aku tersenyum sendiri. Memperhatikan orang-orang yang sedang menikmati kehidupan. Aku masuk ke sebuah butik besar yang memajang berbagai baju, tas, dan sepatu. Ini adalah butik langgananku dulu saat aku masih hidup. Aku dan mama suka sekali berbelanja disini.
Kulihat seorang gadis yang sibuk memadu madankan tas dan sepatu yang sedang dicobanya, mengingatkanku pada masa ku dulu. Dia tampak begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya. Beberapa kali mematut bayangannya di depan sebuah cermin besar dan akhirnya memutuskan membeli beberapa tas dan beberapa pasang sepatu, membayar ke kasir lalu pergi.
Tiba-tiba aku punya keinginan untuk kembali ke rumah. Yaaa, mungkin aku harus mampir sebentar kesana. Mengurai beberapa memori dalam kehidupan.

Tak banyak yang berubah dengan kamarku setelah aku meninggalkannya sekian lama karena harus tinggal di rumah sakit. Semua barang masih tertata sangat rapi, pasti Bik Nah tetap membersihkannya setiap hari. Aku tak bisa lagi menyentuh barang-barang itu, jadi yang bisa kulakukan hanyalah memandangi setiap detilnya, berusaha mengingat setiap memori yang tertinggal disana. Lemari besar berwarna putih itu berisi baju-bajuku. Dan sebuah lemari kaca transparan memajang berbagai tas dan sepatu koleksiku. Ada perasaan hambar yang tiba-tiba menyusup. Barang-barang yang kuanggap “penting” saat masih hidup ternyata tak punya arti apa-apa lagi dengan keadaanku saat ini. sebuah pemikiran yang bahkan tak pernah terlintas dalam benakku sama sekali saat masih menjadi manusia.
Suara pintu dibuka. Kulihat papa disana, dengan mata sembab dan wajah kusut masai. Berjalan pelan mengambil boneka Teddy Bear ku yang tergeletak di tempat tidur. Papa duduk di sisi tempat tidur sambil memandangi boneka kecil itu, diam, hening lalu mulai terdengar suara isak yang semakin keras. Dipeluknya boneka itu seakan ingin melampiaskan segala sesak yang sedang dirasakannnya saat ini.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari perasaan saat melihat orang yang kita sayangi merasakan kesedihan karena kita.
Sekali lagi aku harus segera pergi dari sini, entah kemana yang jelas aku tak mampu melihat kesedihan lagi.

Berdiri di ketinggian, sesuatu yang tak pernah aku lakukan semasih hidup. Aku mengidap phobia ketinggian. Badanku selalu merasa lemas, keringat dingin dan jantung berdebar setiap kali harus berada di ketinggian. Aku tak pernah berani lewat jembatan penyebrangan, aku selalu gagal mengatasi rasa takut itu, dan memilih melalui jalan yang memutar dengan konsekuensi lebih jauh daripada harus merasakan sensasi saat berada di ketinggian. Dan aku tak lagi merasakan kengerian itu saat ini.
Berdiri disebuah gedung tertinggi di kotaku, memandang hamparan kehidupan malam, kerlap kerlip lampu, baru kusadari betapa kehidupan bisa begitu indah saat kita memandangnya dari ketinggian.
Dari dulu aku selalu menyukai lampu. Salah satu keajaiban atas penemuan manusia, cahaya buatan, pemberi terang dalam malam, selain bulan dan bintang.
Aku tak lagi bisa merasakan semilir angin, ringan, hampa dan kesepian, itu yang kurasakan saat ini. apakah ada mahluk seperti aku yang mungkin bisa kujadikan teman? Sampai kapan aku harus menjalani semua ini? apakah ini juga sebuah bentuk hukuman atas segala perbuatanku di dunia? Merasakan kehampaan?

“Kamu baru mati, ya?” sebuah suara mengejutkanku.
Aku memperhatikan sosok sang pemilik suara. Seorang gadis kecil, kuperkirakan umurnya sekitar sepuluh tahunan.
“bagaimana kau bisa melihatku? Apa kau juga arwah gentayangan seperti aku?” tanyaku penasaran.
Gadis kecil itu hanya tersenyum sambil menggedikkan bahunya.
“Aku tinggal disini” jawaban gadis itu tak ada hubungannya dengan pertanyaan yang baru saja aku ajukan.
“Nantinya kau juga akan mengerti, seringkali kita ‘belajar’ saat semuanya sudah terlambat..tapi itulah kehidupan, begitu juga dengan kematian”.
Dia mengatakannya dengan senyum yang terlihat sedikit sinis.
Aku masih bingung dengan apa yang baru saja dikatakannya. Kalimatnya begitu “dalam” untuk dikatakan oleh seorang gadis seumuran dia.
Aku belum sempat menanyakan banyak hal yang memenuhi pikiranku ketika dia kemudian pergi entah kemana.
Pergi? Atau menghilang?aku sendiri tidak yakin, karena begitu sibuk berpikir saat kemudian baru kusadari dia sudah tak ada lagi.
Apa yang harus kupelajari? Apa dosa yang telah aku buat selama hidup? Apa ada hal-hal yang harus kuselesaikan di dunia ini? Apakah hidupku telah cukup berarti selama ini? apa aku akan mendapatakan “kesempatan kedua” seandainya aku telah cukup “belajar”?
Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar.
Dan tiba-tiba sebuah potongan peristiwa melintas, terangkai dengan beberapa penggalan cerita lain, seperti serangkaian foto-foto yang berjajar dan berangkai satu sama lain. Perlahan aku berusaha memahami setiap detailnya.
Berawal dari kemarahan papa dan mama saat tahu aku berhubungan dengan Galang, teman kuliahku. Entah apa yang membuat papa dan mama begitu menentang hubunganku dengan Galang. Yah, mungkin karena rambut gondrongnya, anting-anting disebelah kiri nya, celana jins sobeknya, tapi bukankah itu bukan suatu masalah besar? aku bahkan rela memberikan sebagian besar uang saku ku untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya, mengantarnya kesana kemari, Aku mencintai Galang, terlalu mencintainya, itu sudah cukup, sangat cukup.
Mungkin papa mama tidak menyadari putri semata wayangnya sudah waktunya belajar tentang cinta, mungkin itu sebuah bentuk kecemburuan mereka, aku percaya suatu saat papa mama akan bisa menerimanya, dan aku melakukan protes pada mereka dengan memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku yakin beberapa hari kemudian papa akan menjemputku dan meminta maaf atas sikapnya selama ini.
Tak ada tempat paling aman dan nyaman selain rumah kost Nadya, sahabatku.
Potongan peristiwa kedua mulai dihadapkan padaku. Aku berdiri di depan pintu kamar kost Nadya, sengaja aku tidak memberitahu kedatanganku, berharap ini sebuah kejutan manis untuknya. Kubuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan disana kutemukan sebuah pemandangan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, Galang dan Nadya, mereka sedang berciuman.
Potongan gambar yang ketiga, aku berada dalam mobilku, menyetir dengan kecepatan penuh, mataku kabur oleh airmata dan terakhir yang kuingat adalah sebuah truk tepat berada di depan mobilku, lalu dunia menjadi gelap.

Gerimis. Mungkin bumi sedang menangis. Aku tak bisa merasakan titik-titik air yang menyentuh kulit, satu hal sederhana yang terasa begitu indah untuk dibayangkan saat diri tak akan pernah merasakannya lagi. Ada begitu banyak hal indah di dunia ini, dan aku telah melewatkannya begitu saja, aku begitu angkuh, begitu buta, banyak hal yang kuanggap penting ternyata bukan apa-apa, kenapa aku begitu bodoh?
Kulihat disana, beberapa orang tampak berdiri di pemakaman. Seonggok tubuh siap diturunkan ke dalam tanah, kembali pada alam.
Ada banyak airmata, kesedihan, rasa kehilangan, tapi semuanya tak mampu menampung penyesalan yang terasakan olehku. Perlahan sosokku mengabur, hilang.
“semoga kita semua bisa terus –belajar-…”



Thank’s to:
-         Enya “carribean blue” yang bener-bener mampu memberi “feel” menjadi sosok tak terlihat, melayang, kesepian dan hampa.
-         My serious man, yang mengaku “merinding” baca konsep awalnya, hehhehe.. thank’s a lot for the support.
-         Yusti: yang belom bosen dengerin ide2 gilaku yang melompat kesana kemari, “sometimes I need you to be nourmal…”


1 komentar: