Kupandangi sesosok tubuh yang
tergeletak di atas tempat tidur serba putih itu. Beberapa selang masih
menghiasi kepala dan tangan , dihubungkan dengan sebuah kotak mesin yang
sekarang hanya berbunyi “tuuutttt…..”dan layarnya menunjukkan garis putih
lurus, tanpa ada grafik disana. Aku tahu sebentar lagi ruangan ini akan
dipenuhi oleh beberapa orang yang panik. Para
dokter , perawat dan itu akan diawali oleh sebuah teriakan dari seseorang yang
sangat kukenal, yang telah begitu sabar menemaniku selama beberapa minggu
terakhir ini.
“maafkan aku, mama..” bisikku.
Kutatap wajah yang semakin dipenuhi kerut merut itu, hampir tak pernah kulihat
lagi senyum di wajah itu.
Aku akan segera pergi dari sini,
sebelum segala rasa sedih menguasai, saat harus menyaksikan wajah orang-orang
yang kusayangi dipenuhi airmata karena melihat jasadku yang tak mungkin bangun
lagi.
Kupandangi sekali lagi sosokku,
terasa aneh memandangi diri sendiri, seperti saat kita berada di depan cermin
tapi bayangannya tidak mengikuti setiap gerakan yang kita lakukan.
Mama terbangun dan tampaknya
mulai menyadari apa yang terjadi. Dia mulai berteriak, meraung-raung memanggil
namaku berkali-kali. Dua orang perawat memasuki ruangan dengan tergesa dan
langsung memeriksa tubuh dan alat yang terhubung dengan jasad kaku itu.
Kudekati mama, kuusap sebentar wajahnya, tapi aku hanya menyentuh ruang kosong.
Ternyata terasa menyakitkan saat kita tak
dapat lagi menyentuh orang yang sangat kita sayangi. Ingin sekali kupeluk
tubuh kurus itu, mengusap lembut rambutnya seperti yang biasa dilakukannya saat
berusaha menenangkanku, berusaha mengalirkan kekuatan setiap kali aku harus
merasakan kesakitan.
Kubisikkan di telinganya “Aku
sayang mama, terimakasih atas semua…”
Aku pergi meninggalkan ruangan yang
telah menjadi kamarku beberapa minggu ini, perasaan sedih ini terasa
menyakitkan.
Kususuri lorong rumah sakit,
belum bisa memastikan apakah ini siang atau malam, duduk di sebuah tangga, beberapa
orang melewatiku, tak ada kekhawatiran akan tertabrak, bukankah aku
“transparan”? zat yang berbeda dengan mereka manusia.
Jadi mungkin beginilah rasanya
mati? Entahlah aku juga tak tahu pasti, aku belum pernah mati. Yang aku tahu,
akan ada semacam sinar yang menjemputku, menuju sebuah lorong panjang yang
diujungnya ada sinar yang sangat terang, minimal seperti itulah yang sering aku
lihat di film. Lalu kenapa tak ada sinar yang menjemputku atau sosok semacam
bayangan atau malaikat dalam buku-buku?
Apakah aku masih gentayangan? Aku
menjadi hantu? Apa karena sebenarnya ini belum benar-benar menjadi “waktu”
ku..?
Aku masih mencoba merenungi semua
itu, saat kemudian terbersit sebuah
pemikiran.
Bukankah ini menyenangkan? Aku
tak perlu merasakan segala rasa sakit yang kuderita selama ini? tak peduli lagi
berapa banyak jarum yang akan menembus tubuh, obat-obatan yang harus kutelan?
Bukankah aku telah terbebas dari semua itu?
Aku bisa pergi kemana saja aku
mau, mungkin aku bisa terbang dengan “tubuh”seringan ini, tak ada kelelahan,
tak perlu naik kendaraan untuk kesana kemari, aku bisa ke tempat-tempat yang
sangat aku ingini tanpa pusing memikirkan berapa banyak uang yang harus
dikeluarkan untuk transportasi dan akomodasi. Mungkin aku akan ke Paris , Roma, Venezia , India , Thailand , aku bisa keliling dunia.
Hahaha..aku tertawa berputar-putar. Ternyata kematian tidak terlalu menakutkan.
Senja tengah melingkupi dunia.
Kususuri sepanjang jalan melalui barisan toko-toko yang memajang segala macam
benda-benda peradaban. Memamerkan warna warni keindahan duniawi. Saat melewati
kaca-kaca, tak kulihat bayanganku disana. Aku tersenyum sendiri. Memperhatikan
orang-orang yang sedang menikmati kehidupan. Aku masuk ke sebuah butik besar
yang memajang berbagai baju, tas, dan sepatu. Ini adalah butik langgananku dulu
saat aku masih hidup. Aku dan mama suka sekali berbelanja disini.
Kulihat seorang gadis yang sibuk
memadu madankan tas dan sepatu yang sedang dicobanya, mengingatkanku pada masa
ku dulu. Dia tampak begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya. Beberapa
kali mematut bayangannya di depan sebuah cermin besar dan akhirnya memutuskan
membeli beberapa tas dan beberapa pasang sepatu, membayar ke kasir lalu pergi.
Tiba-tiba aku punya keinginan
untuk kembali ke rumah. Yaaa, mungkin aku harus mampir sebentar kesana.
Mengurai beberapa memori dalam kehidupan.
Tak banyak yang berubah dengan
kamarku setelah aku meninggalkannya sekian lama karena harus tinggal di rumah
sakit. Semua barang masih tertata sangat rapi, pasti Bik Nah tetap
membersihkannya setiap hari. Aku tak bisa lagi menyentuh barang-barang itu,
jadi yang bisa kulakukan hanyalah memandangi setiap detilnya, berusaha
mengingat setiap memori yang tertinggal disana. Lemari besar berwarna putih itu
berisi baju-bajuku. Dan sebuah lemari kaca transparan memajang berbagai tas dan
sepatu koleksiku. Ada
perasaan hambar yang tiba-tiba menyusup. Barang-barang yang kuanggap “penting”
saat masih hidup ternyata tak punya arti apa-apa lagi dengan keadaanku saat
ini. sebuah pemikiran yang bahkan tak pernah terlintas dalam benakku sama
sekali saat masih menjadi manusia.
Suara pintu dibuka. Kulihat papa
disana, dengan mata sembab dan wajah kusut masai. Berjalan pelan mengambil
boneka Teddy Bear ku yang tergeletak di tempat tidur. Papa duduk di sisi tempat
tidur sambil memandangi boneka kecil itu, diam, hening lalu mulai terdengar
suara isak yang semakin keras. Dipeluknya boneka itu seakan ingin melampiaskan
segala sesak yang sedang dirasakannnya saat ini.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari perasaan saat melihat orang yang
kita sayangi merasakan kesedihan karena kita.
Sekali lagi aku harus segera
pergi dari sini, entah kemana yang jelas aku tak mampu melihat kesedihan lagi.
Berdiri di ketinggian, sesuatu
yang tak pernah aku lakukan semasih hidup. Aku mengidap phobia ketinggian.
Badanku selalu merasa lemas, keringat dingin dan jantung berdebar setiap kali
harus berada di ketinggian. Aku tak pernah berani lewat jembatan penyebrangan,
aku selalu gagal mengatasi rasa takut itu, dan memilih melalui jalan yang
memutar dengan konsekuensi lebih jauh daripada harus merasakan sensasi saat
berada di ketinggian. Dan aku tak lagi merasakan kengerian itu saat ini.
Berdiri disebuah gedung tertinggi
di kotaku, memandang hamparan kehidupan malam, kerlap kerlip lampu, baru
kusadari betapa kehidupan bisa begitu indah saat kita memandangnya dari
ketinggian.
Dari dulu aku selalu menyukai
lampu. Salah satu keajaiban atas penemuan manusia, cahaya buatan, pemberi
terang dalam malam, selain bulan dan bintang.
Aku tak lagi bisa merasakan
semilir angin, ringan, hampa dan kesepian, itu yang kurasakan saat ini. apakah
ada mahluk seperti aku yang mungkin bisa kujadikan teman? Sampai kapan aku
harus menjalani semua ini? apakah ini juga sebuah bentuk hukuman atas segala
perbuatanku di dunia? Merasakan kehampaan?
“Kamu baru mati, ya?” sebuah
suara mengejutkanku.
Aku memperhatikan sosok sang
pemilik suara. Seorang gadis kecil, kuperkirakan umurnya sekitar sepuluh
tahunan.
“bagaimana kau bisa melihatku?
Apa kau juga arwah gentayangan seperti aku?” tanyaku penasaran.
Gadis kecil itu hanya tersenyum
sambil menggedikkan bahunya.
“Aku tinggal disini” jawaban
gadis itu tak ada hubungannya dengan pertanyaan yang baru saja aku ajukan.
“Nantinya kau juga akan mengerti,
seringkali kita ‘belajar’ saat semuanya sudah terlambat..tapi itulah kehidupan,
begitu juga dengan kematian”.
Dia mengatakannya dengan senyum
yang terlihat sedikit sinis.
Aku masih bingung dengan apa yang
baru saja dikatakannya. Kalimatnya begitu “dalam” untuk dikatakan oleh seorang
gadis seumuran dia.
Aku belum sempat menanyakan banyak
hal yang memenuhi pikiranku ketika dia kemudian pergi entah kemana.
Pergi? Atau menghilang?aku
sendiri tidak yakin, karena begitu sibuk berpikir saat kemudian baru kusadari
dia sudah tak ada lagi.
Apa yang harus kupelajari? Apa
dosa yang telah aku buat selama hidup? Apa ada hal-hal yang harus kuselesaikan
di dunia ini? Apakah hidupku telah cukup berarti selama ini? apa aku akan
mendapatakan “kesempatan kedua” seandainya aku telah cukup “belajar”?
Begitu banyak pertanyaan yang
berputar-putar.
Dan tiba-tiba sebuah potongan
peristiwa melintas, terangkai dengan beberapa penggalan cerita lain, seperti
serangkaian foto-foto yang berjajar dan berangkai satu sama lain. Perlahan aku
berusaha memahami setiap detailnya.
Berawal dari kemarahan papa dan
mama saat tahu aku berhubungan dengan Galang, teman kuliahku. Entah apa yang
membuat papa dan mama begitu menentang hubunganku dengan Galang. Yah, mungkin
karena rambut gondrongnya, anting-anting disebelah kiri nya, celana jins
sobeknya, tapi bukankah itu bukan suatu masalah besar? aku bahkan rela
memberikan sebagian besar uang saku ku untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya,
mengantarnya kesana kemari, Aku mencintai Galang, terlalu mencintainya, itu
sudah cukup, sangat cukup.
Mungkin papa mama tidak menyadari
putri semata wayangnya sudah waktunya belajar tentang cinta, mungkin itu sebuah
bentuk kecemburuan mereka, aku percaya suatu saat papa mama akan bisa
menerimanya, dan aku melakukan protes pada mereka dengan memutuskan untuk pergi
dari rumah. Aku yakin beberapa hari kemudian papa akan menjemputku dan meminta
maaf atas sikapnya selama ini.
Tak ada tempat paling aman dan
nyaman selain rumah kost Nadya, sahabatku.
Potongan peristiwa kedua mulai
dihadapkan padaku. Aku berdiri di depan pintu kamar kost Nadya, sengaja aku
tidak memberitahu kedatanganku, berharap ini sebuah kejutan manis untuknya.
Kubuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan disana kutemukan sebuah
pemandangan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, Galang dan Nadya, mereka
sedang berciuman.
Potongan gambar yang ketiga, aku
berada dalam mobilku, menyetir dengan kecepatan penuh, mataku kabur oleh
airmata dan terakhir yang kuingat adalah sebuah truk tepat berada di depan
mobilku, lalu dunia menjadi gelap.
Gerimis. Mungkin bumi sedang
menangis. Aku tak bisa merasakan titik-titik air yang menyentuh kulit, satu hal
sederhana yang terasa begitu indah untuk dibayangkan saat diri tak akan pernah
merasakannya lagi. Ada
begitu banyak hal indah di dunia ini, dan aku telah melewatkannya begitu saja,
aku begitu angkuh, begitu buta, banyak hal yang kuanggap penting ternyata bukan
apa-apa, kenapa aku begitu bodoh?
Kulihat disana, beberapa orang
tampak berdiri di pemakaman. Seonggok tubuh siap diturunkan ke dalam tanah,
kembali pada alam.
“semoga kita semua bisa terus –belajar-…”
Thank’s to:
-
Enya “carribean blue” yang bener-bener mampu memberi “feel”
menjadi sosok tak terlihat, melayang, kesepian dan hampa.
-
My serious man, yang mengaku “merinding” baca konsep
awalnya, hehhehe.. thank’s a lot for the support.
-
Yusti: yang belom bosen dengerin ide2 gilaku yang
melompat kesana kemari, “sometimes I need you to be nourmal…”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus