Jam kayu besar di sudut ruangan
menunjukkan waktu tepat pukul dua belas malam. Kursi- kursi telah dinaikkan ke
atas meja. Maharani sedang sibuk menghitung uang di kotak kasir, saat terdengar
suara Andri.
“Bu, masih ada pelanggan yang
belum pulang…”
Maharani menengadahkan wajah,
reflek matanya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kafe. Dilihatnya
seorang laki-laki lebih tepatnya kakek berusia sekitar enam puluhan sedang
duduk melamun dengan dua cangkir kopi di hadapannya. Pandangannya tampak kosong
menatap keluar jendela.
“Mungkin dia menunggu hujan reda,
diluar kan
masih gerimis…” Maharani berusaha menanggapinya dengan tenang.
“Tapi beberapa malam ini dia
memang selalu menunggu sampai kafe kita hampir tutup bu” suara Andri terdengar
gusar.
Maharani menatap Andri, menarik
nafas pelan, dia tau karyawannya ini ingin cepat pulang, menunggui seorang
pelanggan hanya akan menambah jam kerjanya lebih lama.
“Biar aku tunggu sebentar lagi,
kamu pulang aja dulu…”
“Tapi, bu…” Andri merasa tidak
enak dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Gak apa-apa..kamu pulang dulu,
nanti aku yang bawa kuncinya..” kali ini Maharani mengatakan itu dengan menatap
tajam pada Andri, sebagai bentuk penegasan bahwa ini perintah.
“Baik bu…” Andri pergi sambil
menundukkan kepalanya.
Maharani kembali menekuri
lembaran-lembaran uang, menghitung lalu mencatatnya di sebuah buku kecil. Lama
dia menatap deretan angka-angka di beberapa lembar terakhir, dihelanya nafas
panjang berusaha melepaskan beban yang tiba-tiba terasa dalam dadanya.
Beberapa bulan terakhir pemasukan
kafe semakin mengalami penurunan, bahkan untuk membayar gaji karyawan dua bulan
ini, dia terpaksa mengurangi pembelian stok bahan. Pesaingnya semakin banyak,
dengan konsep kafe yang jauh lebih modern dibandingkan dengan konsep kafe nya
yang sederhana. Yaaa, karena beberapa ide dan rencana di kepalanya adalah
berarti tambahan modal, yang dia sendiri tidak tahu darimana bisa
mendapatkannya.
Sesak itu semakin terasa, ada
pedih yang menyayat, matanya mulai mengabur dan tanpa terasa setetes bening jatuh
membasahi buku yang dipegangnya. Maharani cepat-cepat menghapus airmatanya. Bukan
saatnya untuk menjadi cengeng, bathinnya.
Tiba-tiba dia teringat dengan
pelanggan yang belum pulang tadi. Dilihatnya sosok itu masih disana, dengan
posisi yang sama, duduk tenang sambil menatap keluar jendela. Semoga dia tidak
melihatku saat menangis tadi, bathin Maharani. Sejenak sebelum melangkah
mendekati laki-laki itu, Maharani mengusap kedua matanya untuk memastikan tidak
ada airmata yang tersisa, lalu melirik jam di pergelangan tangannya, waktu
sudah hampir jam setengah satu malam.
Jarak Maharani dan laki-laki tua
itu hanya tinggal beberapa langkah. Sosoknya semakin jelas dari dekat. Hampir
delapan puluh persen rambutnya berwarna putih abu-abu, cukup kontras dengan
kulit tubuhnya yang coklat gelap. Perawakannya tampak masih tegap, tidak
terlihat ringkih sama sekali. Dia menoleh saat menyadari kehadiran Maharani,
dan langsung tesenyum memamerkan deretan giginya yang tampak kecoklatan. Pasti
karena kopi dan rokok, bathin Maharani menganalisa.
“Selamat malam, Bapak…”
“Owwhhh…yaaa..yaa… maaf, aku
terlalu asyik menikmati malam dan gerimis sampai tidak menyadari kalau kafe ini
akan tutup….”
Maharani membalasnya dengan
senyum, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk pembicaraan selanjutnya. Dia
tidak ingin menyakiti hati seorang pelanggan, apalagi dengan keterpurukan
usahanya saat ini.
“Baiklah gadis kecil, orang tua
ini akan segera pergi dari sini, tapi aku akan datang lagi besok, semoga kau
tak akan pernah bosan melihatku duduk berjam-jam di kafe mu..”
Laki-laki itu mengatakannya
sambil segera beranjak dari kursi tempatnya duduk.
“Terima kasih, kopi mu
benar-benar enak” dia mendekatkan wajahnya ke Maharani, seakan memberi
penegasan atas apa yang baru saja dikatakannya.
Seluruh lampu ruangan masih
menyala, hingga Maharani bisa melihat sepasang mata coklat teduh milik
laki-laki tua itu. Dan orang itu memanggilnya “gadis kecil”…? ini adalah secuil
keindahan yang dirasakannya setelah hari yang berat.
“Terima kasih Bapak, saya tunggu
kedatangannya besok” Maharani menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Aku suka senyum itu….” Laki-laki
tua itu mengatakannya sambil berjalan pelan menuju pintu keluar kafe.
Maharani memandang sosoknya
sampai diluar kafe, tiba-tiba dia teringat bahwa diluar masih gerimis, tergesa
diambilnya payung yang tersimpan di dekat meja kasir, lalu setengah berlari
berusaha menyusul keluar laki-laki tua itu.
Dilihatnya laki-laki itu masih
belum terlalu jauh, berada di ujung jalan yang mulai sepi.
“Bapak pakai payung ini saja,
masih gerimis..”
Laki-laki tua itu tersenyum
kembali memamerkan gigi-gigi coklatnya.
“Aku selalu suka hujan terutama
gerimis, ini adalah anugerah tak ternilai dari alam, terima kasih, pulanglah..”
Maharani tertegun dengan kalimat
yang baru saja di dengarnya, Kata-kata itu mengingatkannya pada seseorang, tapi
entah siapa.
Keesokan hari dan hari-hari
berikutnya, laki-laki tua itu selalu datang, sekitar jam sembilan-sepuluh malam
sampai menjelang kafe tutup. Duduknya pun selalu ditempat yang sama, seandainya
ada pengunjung lain yang menempati posisi favoritnya, dia akan menunggu sampai
sang pengunjung pergi dan laki-laki tua itu akan kembali ke tempat favoritnya
tersebut. Maharani semakin sering terlibat obrolan dengan laki-laki tua itu,
yang akhirnya dia ketahui bernama Danuwirja. Biarpun telah sering berbicara
berdua, Maharani tak pernah lebih tau banyak mengenai Danuwirja, selain bahwa
dia adalah seorang pengusaha sukses, itu saja. Obrolan mereka tak pernah jauh
dari kopi dan filosofi, tak pernah sekalipun Danuwirja mengungkapkan latar
belakang diri dan keluarganya.
Sampai di suatu malam saat kafe
telah tutup, seperti biasa mereka duduk berdua, dan Maharani tak dapat menahan
diri untuk bertanya lebih dalam mengenai siapa Danuwirja.
“Bapak punya putra atau putri…?”
Maharani berusaha menahan nada suaranya agar terdengar sebiasa mungkin,
menempatkan bahwa pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan wajar dari seorang
teman baru.
Danuwirja menatapnya, menghela
nafas dan tersenyum, entah mengapa Maharani seakan melihat ada kesedihan di
sepasang mata coklatnya.
“Kamu tahu kenapa aku suka
kopi..?”
“Karena di dalamnya mengandung
filosofi kehidupan, bahwa terkadang kita harus merasakan kepahitan untuk lebih
bisa menghargai rasa manis..” Maharani menjawabnya dengan cepat.
“Kita sudah pernah membahasnya..”
sambung Maharani sambil tertawa lepas, merasa puas dengan jawabannya sendiri.
Danuwirja tersenyum lembut.
“Bapak belum menjawab pertanyaan
saya…” desak Maharani, mulai tak sabar.
Hening sejenak, hanya terdengar
detak jam dinding dan nafas mereka masing-masing.
“Dulu, sekitar tiga puluh tahun
yang lalu aku pernah bertemu dengan seorang wanita, aku jatuh cinta kepadanya,
mungkin lebih tepatnya tergila-gila padanya. Segala hal yang kudambakan tentang
sosok pendamping hidup ada pada dirinya…” Danuwirja diam sejenak. Maharani
masih menunggu kalimat selanjutnya.
“Tapi seringkali cinta tak
seindah dongeng, mungkin apa yang terjadi antara aku dan dia seperti kisah
kasih klasik yang tak sampai. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya,
karena aku pikir itu keputusan paling bijak, aku tak ingin membuatnya menderita
hidup bersamaku, aku belum punya apa-apa, bukan siapa-siapa. Sekian tahun aku
pergi untuk menggapai sebuah mimpi mewujudkan apa yang sepenuhnya ingin
kupersembahkan untuknya, sebuah janji yang kusimpan dalam hati. Namun saat aku
kembali, dia telah menjadi milik orang lain dengan seorang putri kecil berumur
tiga tahun. Hatiku hancur saat itu. Sisi ego ku ingin merebut apa yang seharusnya
mungkin menjadi milikku, dia yang telah membakar semangatku dan membuatku
menjadi seseorang yang ‘berhasil’ tapi saat semua ingin kuberikan kepadanya,
dia telah menjadi milik orang lain”
Sepi kembali menggenang diantara
mereka berdua.
Maharani masih terdiam, tak ada
yang mampu dikatakannya. Danuwirja mengambil cangkirnya, meneguk sisa kopi
hitam dingin itu, membasahi lidahnya dengan kepahitan.
“Aku tak punya pilihan lagi
selain mengikhlaskannya...” suara Danuwirja lirih, lebih mirip sebagai bisikan
pada dirinya sendiri.
“Bapak tidak pernah bertemu
dengan wanita itu lagi?” Tanya Maharani.
Danuwirja diam, menggigit bibir
bawahnya.
“Kau selalu ingin tahu, gadis
kecil…”
Maharani tersenyum.
“Sayang sekali malam telah sangat
larut, aku harus pulang, maaf sekali lagi menyita waktumu, duduk bersama
seorang tua sepertiku mungkin terasa membosankan”
“Saya sama sekali tidak merasa
seperti itu, justru sebaliknya, ngobrol dengan Bapak terasa sangat
menyenangkan, saya seperti menemukan sosok pengganti papa yang telah meninggal lima tahun yang lalu”
Danuwirja menatap Maharani,
mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi.
“Saya berniat menjual kafe ini…”
entah mengapa Maharani mengungkapkan hal itu pada sosok laki-laki berumur yang
baru dikenalnya beberapa hari.
Danuwirja menghentikan
langkahnya. Beberapa menit kemudian berbalik, dilihatnya Maharani mulai
menangis terisak-isak.
“Kafe ini bangkrut, saya tidak
tahu lagi bagaimana mempertahankannya…” wajah Maharani telah basah oleh
airmata, selama beberapa waktu dia menahan perasaan itu sendiri, dan tiba-tiba
dia ingin mengungkapkannya pada Danuwirja.
Laki-laki itu hanya memandang
Maharani tanpa mengatakan apapun.
“Tolong katakan sesuatu..” suara
Maharani menghiba.
“Semuanya akan baik-baik saja,
percayalah…” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Danuwirja, lalu dia
melangkah menuju pintu keluar.
Maharani terduduk lemas di
lantai, meneruskan tangisnya, di tengah sepi, keremangan lampu, meja kursi yang
menjadi saksi rasa sesak yang masih menggayut dalam hatinya. Kafe ini adalah
segalanya bagi Maharani, rumah kedua baginya, para karyawannya dan semua itu
terpaksa harus ditinggalkan karena ketidakmampuannya mengurus kafe ini, padahal
ini adalah warisan usaha papanya yang tersisa.
Senja menjelang, kafe baru dibuka
jadi suasana masih sepi, dan mungkin akan terus seperti ini sampai malam
menjelang. Hanya ada sepasang anak muda yang duduk sudut ruangan, tampak tak
peduli dengan sekitar. Maharani sedang merenung di dekat meja kasir, saat
dilihatnya sosok yang sangat dikenalnya memasuki pintu kafe. Dia melambaikan
tangan sambil tersenyum seperti biasa dan langsung menuju tempat favoritnya.
“Tumben Bapak datang jam
segini..?” Tanya Maharani, dia merasa nada suaranya terdengar terlalu gembira
menyambut laki-laki itu.
Danuwirja tersenyum seperti
biasa.
“Duduklah…” laki-laki itu memberi
isyarat pada Maharani untuk duduk dihadapannya.
“Kuharap ini cukup untuk membeli
kafe mu..” Danuwirja menyerahkan selembar cek bertuliskan beberapa digit angka.
“Maksud, Bapak..?” Maharani
memandang Danuwirja tak mengerti.
“Kamu sudah mendengar apa yang
baru saja aku katakan…”
“Ta..tapi jumlah ini terlalu
besar….”
“Begini….aku berniat membeli kafe
ini, tapi aku ingin tetap kau yang mengelolanya, bila kau memang benar-benar
ingin mempertahankannya, anggap saja ini sebagai pinjaman modal, gunakan untuk
melakukan beberapa renovasi atau apapun yang kau mau..”
Maharani terdiam, otaknya masih
merasa sulit mencerna apa yang baru saja didengarnya.
“Apa alasan dari semua ini…”
tanya Maharani.
Danuwirja menghela nafas,
menundukkan kepalanya tanpa berani menatap gadis itu.
“Mungkin sudah saatnya kau tau…”
kalimat itu keluar dari bibir Danuwirja.
Maharani tiba-tiba merasa
jantungnya berdetak lebih kencang.
“Tapi sebelum aku menceritakan
semua, ijinkan aku menemui ibumu….” Suara Danuwirja terdengar lirih.
Mereka berdiri di sebuah makam.
Danuwirja membaca nama di batu nisan itu “Karlina Wijayanti”. Matanya tampak
berkaca-kaca, tangannya menggenggam erat rangkaian bunga yang diikat dengan
pita berwarna kuning.
“Mama meninggal sebulan yang lalu
karena kanker paru-paru, sebagian besar pendapatan kafe terpakai untuk biaya
pengobatan mama” suara Maharani memecah keheningan diantara mereka.
“Aku terlalu pengecut untuk
menemui wanita yang kucintai, entah mengapa aku tak pernah punya cukup
keberanian untuk melakukan itu hingga butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk sekedar
melihatnya” ada isak terdengar diantara kata-kata Danuwirja.
Perlahan dia meletakkan rangkaian
bunga di atas makam itu, lalu berjalan gontai meninggalkan Maharani sendiri.
Maharani bersimpuh di tanah
makam, meraih rangkaian bunga itu. Dia melihat sebuah kartu terselip, perlahan
dibuka dan dibacanya:
“Aku terlalu mencintaimu, Karlina. Itu alasan paling sederhana
sekaligus paling rumit untuk semuanya
-Danuwirja- “
- Tamat -
*Terinspirasi dari sebuah mimpi
untuk memiliki kafe sendiri.