Selasa, 30 Oktober 2012

Tentang Film


Hari ini saya sedang tidak berniat untuk bercerita atau mendongeng, entahlah tiba-tiba otak saya terasa kosong untuk diajak berimajinasi. Biasanya ada kolerasi positif antara asupan makanan manis (baca: semangkok besar es krim dan berbatang-batang coklat) dengan kelancaran berpikir saya dalam menulis. Tapi, yaaahh..sudahlah mungkin otak juga ada kalanya butuh beristirahat dari mimpi dan imaji.
Kali ini saya hanya ingin membahas tentang sebuah film.
Sudah pernah nonton film: New York, I Love You? Saya tidak tau apa ini termasuk film baru atau lama, karena saya baru meminjam dvd nya dari seorang teman (segala yang gratis, seringkali terasa lebih menyenangkan, bukan..?)
Dan dengan keterbatasan terjemahan dan bahasa inggris saya, proses menonton yang tersendat-sendat karena harus berbagi perhatian dengan Ravi dan Blackberry, satu kata buat film ini: “amazing”
Jujur saja saya sempat tersesat pada awal cerita, karena ada beberapa adegan, potongan kisah dan begitu banyak peran, tapiiii…dialognya benar-benar “cerdas”, filosofi dari setiap potongan cerita juga begitu dalam, singkat kata: saya jatuh cinta dengan film ini. dan memang sebagian besar atau keseluruhan cerita dari film ini berkisah tentang CINTA dengan segala bentuk dan kerumitannya.

Ada tentang pelukis miskin yang jatuh cinta dengan seorang gadis berdarah cina, anak pemilik toko di daerah pecinan. Bagaimana si pelukis begitu terobsesi dengan si gadis sampai kematiannya (padahal mereka bertemu sebatas percakapan antara penjual dan pembeli). Pada akhirnya si gadis tau dari dari lukisan2 si pelukis tentang dirinya, dimana si pelukis selalu menggambarnya tanpa bola mata (saya memahaminya: mungkin dalam benak si pelukis, gadis cina itu tampak cantik tapi “kosong” dengan rutinitas dunianya yang hanya seputaran toko dan pecinan). Tapi yang mengena dari potongan kisah ini adalah bagaimana si gadis justru “hidup” setelah melihat gambar dirinya (versi pelukis), dia jadi lebih mudah tersenyum dan berusaha memberi “sinar” dalam dirinya (baca: mata).
Pesan: bahkan seorang “asing”dalam hidupmu bisa serta merta merubah “sisa” hidupmu ke depannya lewat sesuatu cara yang tak terduga.

Ada lagi kisah tentang sepasang kakek nenek yang tampak tergesa menuju suatu tempat. Dimana sepanjang perjalanan mereka terlihat menggerutu dan saling mengejek keterbatasan fisik mereka karena usia senja. Dan masing-masing saling menunjukkan ego nya, berusaha tampak tegar di depan pasangannya. Bahkan ada kalanya mereka tampak tak peduli satu sama lain. Namun pada akhirnya saat mereka sampai pada tempat yang dituju, yang ternyata adalah sebuah pantai indah, tak ada yang lebih menyentuh dari adegan saat mereka saling bepegangan tangan erat dan sang kakek mencium mesra kening istrinya (entah mengapa saya merasa cengeng pada adegan ini, karena tanpa terasa mata saya jadi basah). Kadang dalam hidup kita sibuk dengan “proses”nya padahal kita bisa mencapai sebuah “akhir” yang indah lewat proses itu. Dan sungguh, cinta bisa menyederhanakan semuanya.

Potongan kisah lain yang cukup menarik buat saya adalah tentang seorang laki-laki dan wanita dewasa, yang bertemu secara tak sengaja disuatu tempat. Si laki-laki memberi api pada si wanita yang sedang berusaha menyalakan rokok. Lalu mereka berdua terlibat percakapan. Dan saat si wanita mengatakan: saya sudah menikah dan memiliki keluarga yang bahagia, si laki-laki ini justru merasa seperti tertantang untuk hanya sekedar mengajak “berkencan”, dengan segala usaha, kata-kata dan rayuan dia lontakan pada si wanita. Pada akhirnya si wanita bilang: “aku adalah seorang pelacur, ini kartu namaku, kau tak perlu melakukan segala macam rayuan, cukup membayarku dan kau bisa memakaiku…” hhaahhaaa…cukup menohok bukan?
Si laki-laki langsung “speechless” dan mati gaya. Adegan ini benar2 membuat saya tertawa terbahak-bahak dan memunculkan sebuah pemikiran: memang seperti itukah sifat dasar manusia? Selalu mencari tantangan? Berusaha menakhlukkan sesuatu yang tampaknya “tak mungkin” bagi dirinya, namun saat dia menyadari bahwa sesuatu itu bisa didapatnya dengan mudah, runtuhlah segala “hasrat” menyangkut tantangan itu.

Ada beberapa potongan kisah lagi yang tak kalah menariknya dalam film ini. dengan hanya beberapa kalimat, cuplikan gambar yang disuguhkan kita justru berusaha mencari makna di dalamnya.
Intinya bahwa cinta memiliki begitu banyak sisi dan bentuk, dengan segala keindahan, keruwetan dan mungkin rasa sakit yang tersimpan di dalamnya, semua adalah tentang bagaimana kita memandang dan memaknainya.
Anyway, buat yang males mikir berat, film ini juga menyuguhkan gambar-gambar cantik (mungkin karena saya sedang terobsesi photography), jadi bener-bener terpukau dengan suguhan gambar dan setting tempat dalam film ini. so guys, buat yang udah nonton, hayuk kalo mau sharing, buat yang belum nonton, it’s very recommended.


30 Oktober 2012

Tentang Aku

Tentang dosa itu adalah aku.
Tentang cinta itu mungkin juga aku.
Tentang asa biarlah semesta yang memberi makna.
Tapi menjadi "benar" adalah tentang kamu, dia dan mereka


Proses


Kadang dalam ketersesatan kita jadi tau jalan pulang, kadang karena salah kita jadi tau benar, kadang karena jarak kita bisa mengukur, karena semesta adalah tempat kita "belajar". Jadi jangan pernah merasa khawatir dengan prosesnya, karena justru disitulah kita "bertumbuh" menjadi jiwa yang lebih kuat, tegar dan "benar"



by: nuke









Sabtu, 27 Oktober 2012

Kafe



Jam kayu besar di sudut ruangan menunjukkan waktu tepat pukul dua belas malam. Kursi- kursi telah dinaikkan ke atas meja. Maharani sedang sibuk menghitung uang di kotak kasir, saat terdengar suara Andri.
“Bu, masih ada pelanggan yang belum pulang…”
Maharani menengadahkan wajah, reflek matanya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kafe. Dilihatnya seorang laki-laki lebih tepatnya kakek berusia sekitar enam puluhan sedang duduk melamun dengan dua cangkir kopi di hadapannya. Pandangannya tampak kosong menatap keluar jendela.
“Mungkin dia menunggu hujan reda, diluar kan masih gerimis…” Maharani berusaha menanggapinya dengan tenang.
“Tapi beberapa malam ini dia memang selalu menunggu sampai kafe kita hampir tutup bu” suara Andri terdengar gusar.
Maharani menatap Andri, menarik nafas pelan, dia tau karyawannya ini ingin cepat pulang, menunggui seorang pelanggan hanya akan menambah jam kerjanya lebih lama.
“Biar aku tunggu sebentar lagi, kamu pulang aja dulu…”
“Tapi, bu…” Andri merasa tidak enak dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Gak apa-apa..kamu pulang dulu, nanti aku yang bawa kuncinya..” kali ini Maharani mengatakan itu dengan menatap tajam pada Andri, sebagai bentuk penegasan bahwa ini perintah.
“Baik bu…” Andri pergi sambil menundukkan kepalanya.
Maharani kembali menekuri lembaran-lembaran uang, menghitung lalu mencatatnya di sebuah buku kecil. Lama dia menatap deretan angka-angka di beberapa lembar terakhir, dihelanya nafas panjang berusaha melepaskan beban yang tiba-tiba terasa dalam dadanya.
Beberapa bulan terakhir pemasukan kafe semakin mengalami penurunan, bahkan untuk membayar gaji karyawan dua bulan ini, dia terpaksa mengurangi pembelian stok bahan. Pesaingnya semakin banyak, dengan konsep kafe yang jauh lebih modern dibandingkan dengan konsep kafe nya yang sederhana. Yaaa, karena beberapa ide dan rencana di kepalanya adalah berarti tambahan modal, yang dia sendiri tidak tahu darimana bisa mendapatkannya.
Sesak itu semakin terasa, ada pedih yang menyayat, matanya mulai mengabur dan tanpa terasa setetes bening jatuh membasahi buku yang dipegangnya. Maharani cepat-cepat menghapus airmatanya. Bukan saatnya untuk menjadi cengeng, bathinnya.
Tiba-tiba dia teringat dengan pelanggan yang belum pulang tadi. Dilihatnya sosok itu masih disana, dengan posisi yang sama, duduk tenang sambil menatap keluar jendela. Semoga dia tidak melihatku saat menangis tadi, bathin Maharani. Sejenak sebelum melangkah mendekati laki-laki itu, Maharani mengusap kedua matanya untuk memastikan tidak ada airmata yang tersisa, lalu melirik jam di pergelangan tangannya, waktu sudah hampir jam setengah satu malam.
Jarak Maharani dan laki-laki tua itu hanya tinggal beberapa langkah. Sosoknya semakin jelas dari dekat. Hampir delapan puluh persen rambutnya berwarna putih abu-abu, cukup kontras dengan kulit tubuhnya yang coklat gelap. Perawakannya tampak masih tegap, tidak terlihat ringkih sama sekali. Dia menoleh saat menyadari kehadiran Maharani, dan langsung tesenyum memamerkan deretan giginya yang tampak kecoklatan. Pasti karena kopi dan rokok, bathin Maharani menganalisa.
“Selamat malam, Bapak…”
“Owwhhh…yaaa..yaa… maaf, aku terlalu asyik menikmati malam dan gerimis sampai tidak menyadari kalau kafe ini akan tutup….”
Maharani membalasnya dengan senyum, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk pembicaraan selanjutnya. Dia tidak ingin menyakiti hati seorang pelanggan, apalagi dengan keterpurukan usahanya saat ini.
“Baiklah gadis kecil, orang tua ini akan segera pergi dari sini, tapi aku akan datang lagi besok, semoga kau tak akan pernah bosan melihatku duduk berjam-jam di kafe mu..”
Laki-laki itu mengatakannya sambil segera beranjak dari kursi tempatnya duduk.
“Terima kasih, kopi mu benar-benar enak” dia mendekatkan wajahnya ke Maharani, seakan memberi penegasan atas apa yang baru saja dikatakannya.
Seluruh lampu ruangan masih menyala, hingga Maharani bisa melihat sepasang mata coklat teduh milik laki-laki tua itu. Dan orang itu memanggilnya “gadis kecil”…? ini adalah secuil keindahan yang dirasakannya setelah hari yang berat.
“Terima kasih Bapak, saya tunggu kedatangannya besok” Maharani menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Aku suka senyum itu….” Laki-laki tua itu mengatakannya sambil berjalan pelan menuju pintu keluar kafe.
Maharani memandang sosoknya sampai diluar kafe, tiba-tiba dia teringat bahwa diluar masih gerimis, tergesa diambilnya payung yang tersimpan di dekat meja kasir, lalu setengah berlari berusaha menyusul keluar laki-laki tua itu.
Dilihatnya laki-laki itu masih belum terlalu jauh, berada di ujung jalan yang mulai sepi.
“Bapak pakai payung ini saja, masih gerimis..”
Laki-laki tua itu tersenyum kembali memamerkan gigi-gigi coklatnya.
“Aku selalu suka hujan terutama gerimis, ini adalah anugerah tak ternilai dari alam, terima kasih, pulanglah..”
Maharani tertegun dengan kalimat yang baru saja di dengarnya, Kata-kata itu mengingatkannya pada seseorang, tapi entah siapa.

Keesokan hari dan hari-hari berikutnya, laki-laki tua itu selalu datang, sekitar jam sembilan-sepuluh malam sampai menjelang kafe tutup. Duduknya pun selalu ditempat yang sama, seandainya ada pengunjung lain yang menempati posisi favoritnya, dia akan menunggu sampai sang pengunjung pergi dan laki-laki tua itu akan kembali ke tempat favoritnya tersebut. Maharani semakin sering terlibat obrolan dengan laki-laki tua itu, yang akhirnya dia ketahui bernama Danuwirja. Biarpun telah sering berbicara berdua, Maharani tak pernah lebih tau banyak mengenai Danuwirja, selain bahwa dia adalah seorang pengusaha sukses, itu saja. Obrolan mereka tak pernah jauh dari kopi dan filosofi, tak pernah sekalipun Danuwirja mengungkapkan latar belakang diri dan keluarganya.
Sampai di suatu malam saat kafe telah tutup, seperti biasa mereka duduk berdua, dan Maharani tak dapat menahan diri untuk bertanya lebih dalam mengenai siapa Danuwirja.
“Bapak punya putra atau putri…?” Maharani berusaha menahan nada suaranya agar terdengar sebiasa mungkin, menempatkan bahwa pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan wajar dari seorang teman baru.
Danuwirja menatapnya, menghela nafas dan tersenyum, entah mengapa Maharani seakan melihat ada kesedihan di sepasang mata coklatnya.
“Kamu tahu kenapa aku suka kopi..?”
“Karena di dalamnya mengandung filosofi kehidupan, bahwa terkadang kita harus merasakan kepahitan untuk lebih bisa menghargai rasa manis..” Maharani menjawabnya dengan cepat.
“Kita sudah pernah membahasnya..” sambung Maharani sambil tertawa lepas, merasa puas dengan jawabannya sendiri.
Danuwirja tersenyum lembut.
“Bapak belum menjawab pertanyaan saya…” desak Maharani, mulai tak sabar.
Hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka masing-masing.
“Dulu, sekitar tiga puluh tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan seorang wanita, aku jatuh cinta kepadanya, mungkin lebih tepatnya tergila-gila padanya. Segala hal yang kudambakan tentang sosok pendamping hidup ada pada dirinya…” Danuwirja diam sejenak. Maharani masih menunggu kalimat selanjutnya.
“Tapi seringkali cinta tak seindah dongeng, mungkin apa yang terjadi antara aku dan dia seperti kisah kasih klasik yang tak sampai. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya, karena aku pikir itu keputusan paling bijak, aku tak ingin membuatnya menderita hidup bersamaku, aku belum punya apa-apa, bukan siapa-siapa. Sekian tahun aku pergi untuk menggapai sebuah mimpi mewujudkan apa yang sepenuhnya ingin kupersembahkan untuknya, sebuah janji yang kusimpan dalam hati. Namun saat aku kembali, dia telah menjadi milik orang lain dengan seorang putri kecil berumur tiga tahun. Hatiku hancur saat itu. Sisi ego ku ingin merebut apa yang seharusnya mungkin menjadi milikku, dia yang telah membakar semangatku dan membuatku menjadi seseorang yang ‘berhasil’ tapi saat semua ingin kuberikan kepadanya, dia telah menjadi milik orang lain”
Sepi kembali menggenang diantara mereka berdua.
Maharani masih terdiam, tak ada yang mampu dikatakannya. Danuwirja mengambil cangkirnya, meneguk sisa kopi hitam dingin itu, membasahi lidahnya dengan kepahitan.
“Aku tak punya pilihan lagi selain mengikhlaskannya...” suara Danuwirja lirih, lebih mirip sebagai bisikan pada dirinya sendiri.
“Bapak tidak pernah bertemu dengan wanita itu lagi?” Tanya Maharani.
Danuwirja diam, menggigit bibir bawahnya.
“Kau selalu ingin tahu, gadis kecil…”
Maharani tersenyum.
“Sayang sekali malam telah sangat larut, aku harus pulang, maaf sekali lagi menyita waktumu, duduk bersama seorang tua sepertiku mungkin terasa membosankan”
“Saya sama sekali tidak merasa seperti itu, justru sebaliknya, ngobrol dengan Bapak terasa sangat menyenangkan, saya seperti menemukan sosok pengganti papa yang telah meninggal lima tahun yang lalu”
Danuwirja menatap Maharani, mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi.
“Saya berniat menjual kafe ini…” entah mengapa Maharani mengungkapkan hal itu pada sosok laki-laki berumur yang baru dikenalnya beberapa hari.
Danuwirja menghentikan langkahnya. Beberapa menit kemudian berbalik, dilihatnya Maharani mulai menangis terisak-isak.
“Kafe ini bangkrut, saya tidak tahu lagi bagaimana mempertahankannya…” wajah Maharani telah basah oleh airmata, selama beberapa waktu dia menahan perasaan itu sendiri, dan tiba-tiba dia ingin mengungkapkannya pada Danuwirja.
Laki-laki itu hanya memandang Maharani tanpa mengatakan apapun.
“Tolong katakan sesuatu..” suara Maharani menghiba.
“Semuanya akan baik-baik saja, percayalah…” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Danuwirja, lalu dia melangkah menuju pintu keluar.
Maharani terduduk lemas di lantai, meneruskan tangisnya, di tengah sepi, keremangan lampu, meja kursi yang menjadi saksi rasa sesak yang masih menggayut dalam hatinya. Kafe ini adalah segalanya bagi Maharani, rumah kedua baginya, para karyawannya dan semua itu terpaksa harus ditinggalkan karena ketidakmampuannya mengurus kafe ini, padahal ini adalah warisan usaha papanya yang tersisa.

Senja menjelang, kafe baru dibuka jadi suasana masih sepi, dan mungkin akan terus seperti ini sampai malam menjelang. Hanya ada sepasang anak muda yang duduk sudut ruangan, tampak tak peduli dengan sekitar. Maharani sedang merenung di dekat meja kasir, saat dilihatnya sosok yang sangat dikenalnya memasuki pintu kafe. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum seperti biasa dan langsung menuju tempat favoritnya.
“Tumben Bapak datang jam segini..?” Tanya Maharani, dia merasa nada suaranya terdengar terlalu gembira menyambut laki-laki itu.
Danuwirja tersenyum seperti biasa.
“Duduklah…” laki-laki itu memberi isyarat pada Maharani untuk duduk dihadapannya.
“Kuharap ini cukup untuk membeli kafe mu..” Danuwirja menyerahkan selembar cek bertuliskan beberapa digit angka.
“Maksud, Bapak..?” Maharani memandang Danuwirja tak mengerti.
“Kamu sudah mendengar apa yang baru saja aku katakan…”
“Ta..tapi jumlah ini terlalu besar….”
“Begini….aku berniat membeli kafe ini, tapi aku ingin tetap kau yang mengelolanya, bila kau memang benar-benar ingin mempertahankannya, anggap saja ini sebagai pinjaman modal, gunakan untuk melakukan beberapa renovasi atau apapun yang kau mau..”
Maharani terdiam, otaknya masih merasa sulit mencerna apa yang baru saja didengarnya.
“Apa alasan dari semua ini…” tanya Maharani.
Danuwirja menghela nafas, menundukkan kepalanya tanpa berani menatap gadis itu.
“Mungkin sudah saatnya kau tau…” kalimat itu keluar dari bibir Danuwirja.
Maharani tiba-tiba merasa jantungnya berdetak lebih kencang.
“Tapi sebelum aku menceritakan semua, ijinkan aku menemui ibumu….” Suara Danuwirja terdengar lirih.


Mereka berdiri di sebuah makam. Danuwirja membaca nama di batu nisan itu “Karlina Wijayanti”. Matanya tampak berkaca-kaca, tangannya menggenggam erat rangkaian bunga yang diikat dengan pita berwarna kuning.
“Mama meninggal sebulan yang lalu karena kanker paru-paru, sebagian besar pendapatan kafe terpakai untuk biaya pengobatan mama” suara Maharani memecah keheningan diantara mereka.
“Aku terlalu pengecut untuk menemui wanita yang kucintai, entah mengapa aku tak pernah punya cukup keberanian untuk melakukan itu hingga butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk sekedar melihatnya” ada isak terdengar diantara kata-kata Danuwirja.
Perlahan dia meletakkan rangkaian bunga di atas makam itu, lalu berjalan gontai meninggalkan Maharani sendiri.
Maharani bersimpuh di tanah makam, meraih rangkaian bunga itu. Dia melihat sebuah kartu terselip, perlahan dibuka dan dibacanya:

“Aku terlalu mencintaimu, Karlina. Itu alasan paling sederhana sekaligus paling rumit untuk semuanya   -Danuwirja- “

- Tamat -


*Terinspirasi dari sebuah mimpi untuk memiliki kafe sendiri.


Jumat, 19 Oktober 2012

Sepotong Jiwa


Kupandangi sesosok tubuh yang tergeletak di atas tempat tidur serba putih itu. Beberapa selang masih menghiasi kepala dan tangan , dihubungkan dengan sebuah kotak mesin yang sekarang hanya berbunyi “tuuutttt…..”dan layarnya menunjukkan garis putih lurus, tanpa ada grafik disana. Aku tahu sebentar lagi ruangan ini akan dipenuhi oleh beberapa orang yang panik. Para dokter , perawat dan itu akan diawali oleh sebuah teriakan dari seseorang yang sangat kukenal, yang telah begitu sabar menemaniku selama beberapa minggu terakhir ini.
“maafkan aku, mama..” bisikku. Kutatap wajah yang semakin dipenuhi kerut merut itu, hampir tak pernah kulihat lagi senyum di wajah itu.
Aku akan segera pergi dari sini, sebelum segala rasa sedih menguasai, saat harus menyaksikan wajah orang-orang yang kusayangi dipenuhi airmata karena melihat jasadku yang tak mungkin bangun lagi.
Kupandangi sekali lagi sosokku, terasa aneh memandangi diri sendiri, seperti saat kita berada di depan cermin tapi bayangannya tidak mengikuti setiap gerakan yang kita lakukan.
Mama terbangun dan tampaknya mulai menyadari apa yang terjadi. Dia mulai berteriak, meraung-raung memanggil namaku berkali-kali. Dua orang perawat memasuki ruangan dengan tergesa dan langsung memeriksa tubuh dan alat yang terhubung dengan jasad kaku itu. Kudekati mama, kuusap sebentar wajahnya, tapi aku hanya menyentuh ruang kosong. Ternyata terasa menyakitkan saat kita tak dapat lagi menyentuh orang yang sangat kita sayangi. Ingin sekali kupeluk tubuh kurus itu, mengusap lembut rambutnya seperti yang biasa dilakukannya saat berusaha menenangkanku, berusaha mengalirkan kekuatan setiap kali aku harus merasakan kesakitan. 
Kubisikkan di telinganya “Aku sayang mama, terimakasih atas semua…”
Aku pergi meninggalkan ruangan yang telah menjadi kamarku beberapa minggu ini, perasaan sedih ini terasa menyakitkan.

Kususuri lorong rumah sakit, belum bisa memastikan apakah ini siang atau malam, duduk di sebuah tangga, beberapa orang melewatiku, tak ada kekhawatiran akan tertabrak, bukankah aku “transparan”? zat yang berbeda dengan mereka manusia.
Jadi mungkin beginilah rasanya mati? Entahlah aku juga tak tahu pasti, aku belum pernah mati. Yang aku tahu, akan ada semacam sinar yang menjemputku, menuju sebuah lorong panjang yang diujungnya ada sinar yang sangat terang, minimal seperti itulah yang sering aku lihat di film. Lalu kenapa tak ada sinar yang menjemputku atau sosok semacam bayangan atau malaikat dalam buku-buku?
Apakah aku masih gentayangan? Aku menjadi hantu? Apa karena sebenarnya ini belum benar-benar menjadi “waktu” ku..?
Aku masih mencoba merenungi semua itu, saat kemudian terbersit  sebuah pemikiran.
Bukankah ini menyenangkan? Aku tak perlu merasakan segala rasa sakit yang kuderita selama ini? tak peduli lagi berapa banyak jarum yang akan menembus tubuh, obat-obatan yang harus kutelan? Bukankah aku telah terbebas dari semua itu?
Aku bisa pergi kemana saja aku mau, mungkin aku bisa terbang dengan “tubuh”seringan ini, tak ada kelelahan, tak perlu naik kendaraan untuk kesana kemari, aku bisa ke tempat-tempat yang sangat aku ingini tanpa pusing memikirkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk transportasi dan akomodasi. Mungkin aku akan ke Paris, Roma, Venezia, India, Thailand, aku bisa keliling dunia. Hahaha..aku tertawa berputar-putar. Ternyata kematian tidak terlalu menakutkan.


Senja tengah melingkupi dunia. Kususuri sepanjang jalan melalui barisan toko-toko yang memajang segala macam benda-benda peradaban. Memamerkan warna warni keindahan duniawi. Saat melewati kaca-kaca, tak kulihat bayanganku disana. Aku tersenyum sendiri. Memperhatikan orang-orang yang sedang menikmati kehidupan. Aku masuk ke sebuah butik besar yang memajang berbagai baju, tas, dan sepatu. Ini adalah butik langgananku dulu saat aku masih hidup. Aku dan mama suka sekali berbelanja disini.
Kulihat seorang gadis yang sibuk memadu madankan tas dan sepatu yang sedang dicobanya, mengingatkanku pada masa ku dulu. Dia tampak begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya. Beberapa kali mematut bayangannya di depan sebuah cermin besar dan akhirnya memutuskan membeli beberapa tas dan beberapa pasang sepatu, membayar ke kasir lalu pergi.
Tiba-tiba aku punya keinginan untuk kembali ke rumah. Yaaa, mungkin aku harus mampir sebentar kesana. Mengurai beberapa memori dalam kehidupan.

Tak banyak yang berubah dengan kamarku setelah aku meninggalkannya sekian lama karena harus tinggal di rumah sakit. Semua barang masih tertata sangat rapi, pasti Bik Nah tetap membersihkannya setiap hari. Aku tak bisa lagi menyentuh barang-barang itu, jadi yang bisa kulakukan hanyalah memandangi setiap detilnya, berusaha mengingat setiap memori yang tertinggal disana. Lemari besar berwarna putih itu berisi baju-bajuku. Dan sebuah lemari kaca transparan memajang berbagai tas dan sepatu koleksiku. Ada perasaan hambar yang tiba-tiba menyusup. Barang-barang yang kuanggap “penting” saat masih hidup ternyata tak punya arti apa-apa lagi dengan keadaanku saat ini. sebuah pemikiran yang bahkan tak pernah terlintas dalam benakku sama sekali saat masih menjadi manusia.
Suara pintu dibuka. Kulihat papa disana, dengan mata sembab dan wajah kusut masai. Berjalan pelan mengambil boneka Teddy Bear ku yang tergeletak di tempat tidur. Papa duduk di sisi tempat tidur sambil memandangi boneka kecil itu, diam, hening lalu mulai terdengar suara isak yang semakin keras. Dipeluknya boneka itu seakan ingin melampiaskan segala sesak yang sedang dirasakannnya saat ini.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari perasaan saat melihat orang yang kita sayangi merasakan kesedihan karena kita.
Sekali lagi aku harus segera pergi dari sini, entah kemana yang jelas aku tak mampu melihat kesedihan lagi.

Berdiri di ketinggian, sesuatu yang tak pernah aku lakukan semasih hidup. Aku mengidap phobia ketinggian. Badanku selalu merasa lemas, keringat dingin dan jantung berdebar setiap kali harus berada di ketinggian. Aku tak pernah berani lewat jembatan penyebrangan, aku selalu gagal mengatasi rasa takut itu, dan memilih melalui jalan yang memutar dengan konsekuensi lebih jauh daripada harus merasakan sensasi saat berada di ketinggian. Dan aku tak lagi merasakan kengerian itu saat ini.
Berdiri disebuah gedung tertinggi di kotaku, memandang hamparan kehidupan malam, kerlap kerlip lampu, baru kusadari betapa kehidupan bisa begitu indah saat kita memandangnya dari ketinggian.
Dari dulu aku selalu menyukai lampu. Salah satu keajaiban atas penemuan manusia, cahaya buatan, pemberi terang dalam malam, selain bulan dan bintang.
Aku tak lagi bisa merasakan semilir angin, ringan, hampa dan kesepian, itu yang kurasakan saat ini. apakah ada mahluk seperti aku yang mungkin bisa kujadikan teman? Sampai kapan aku harus menjalani semua ini? apakah ini juga sebuah bentuk hukuman atas segala perbuatanku di dunia? Merasakan kehampaan?

“Kamu baru mati, ya?” sebuah suara mengejutkanku.
Aku memperhatikan sosok sang pemilik suara. Seorang gadis kecil, kuperkirakan umurnya sekitar sepuluh tahunan.
“bagaimana kau bisa melihatku? Apa kau juga arwah gentayangan seperti aku?” tanyaku penasaran.
Gadis kecil itu hanya tersenyum sambil menggedikkan bahunya.
“Aku tinggal disini” jawaban gadis itu tak ada hubungannya dengan pertanyaan yang baru saja aku ajukan.
“Nantinya kau juga akan mengerti, seringkali kita ‘belajar’ saat semuanya sudah terlambat..tapi itulah kehidupan, begitu juga dengan kematian”.
Dia mengatakannya dengan senyum yang terlihat sedikit sinis.
Aku masih bingung dengan apa yang baru saja dikatakannya. Kalimatnya begitu “dalam” untuk dikatakan oleh seorang gadis seumuran dia.
Aku belum sempat menanyakan banyak hal yang memenuhi pikiranku ketika dia kemudian pergi entah kemana.
Pergi? Atau menghilang?aku sendiri tidak yakin, karena begitu sibuk berpikir saat kemudian baru kusadari dia sudah tak ada lagi.
Apa yang harus kupelajari? Apa dosa yang telah aku buat selama hidup? Apa ada hal-hal yang harus kuselesaikan di dunia ini? Apakah hidupku telah cukup berarti selama ini? apa aku akan mendapatakan “kesempatan kedua” seandainya aku telah cukup “belajar”?
Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar.
Dan tiba-tiba sebuah potongan peristiwa melintas, terangkai dengan beberapa penggalan cerita lain, seperti serangkaian foto-foto yang berjajar dan berangkai satu sama lain. Perlahan aku berusaha memahami setiap detailnya.
Berawal dari kemarahan papa dan mama saat tahu aku berhubungan dengan Galang, teman kuliahku. Entah apa yang membuat papa dan mama begitu menentang hubunganku dengan Galang. Yah, mungkin karena rambut gondrongnya, anting-anting disebelah kiri nya, celana jins sobeknya, tapi bukankah itu bukan suatu masalah besar? aku bahkan rela memberikan sebagian besar uang saku ku untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya, mengantarnya kesana kemari, Aku mencintai Galang, terlalu mencintainya, itu sudah cukup, sangat cukup.
Mungkin papa mama tidak menyadari putri semata wayangnya sudah waktunya belajar tentang cinta, mungkin itu sebuah bentuk kecemburuan mereka, aku percaya suatu saat papa mama akan bisa menerimanya, dan aku melakukan protes pada mereka dengan memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku yakin beberapa hari kemudian papa akan menjemputku dan meminta maaf atas sikapnya selama ini.
Tak ada tempat paling aman dan nyaman selain rumah kost Nadya, sahabatku.
Potongan peristiwa kedua mulai dihadapkan padaku. Aku berdiri di depan pintu kamar kost Nadya, sengaja aku tidak memberitahu kedatanganku, berharap ini sebuah kejutan manis untuknya. Kubuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan disana kutemukan sebuah pemandangan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, Galang dan Nadya, mereka sedang berciuman.
Potongan gambar yang ketiga, aku berada dalam mobilku, menyetir dengan kecepatan penuh, mataku kabur oleh airmata dan terakhir yang kuingat adalah sebuah truk tepat berada di depan mobilku, lalu dunia menjadi gelap.

Gerimis. Mungkin bumi sedang menangis. Aku tak bisa merasakan titik-titik air yang menyentuh kulit, satu hal sederhana yang terasa begitu indah untuk dibayangkan saat diri tak akan pernah merasakannya lagi. Ada begitu banyak hal indah di dunia ini, dan aku telah melewatkannya begitu saja, aku begitu angkuh, begitu buta, banyak hal yang kuanggap penting ternyata bukan apa-apa, kenapa aku begitu bodoh?
Kulihat disana, beberapa orang tampak berdiri di pemakaman. Seonggok tubuh siap diturunkan ke dalam tanah, kembali pada alam.
Ada banyak airmata, kesedihan, rasa kehilangan, tapi semuanya tak mampu menampung penyesalan yang terasakan olehku. Perlahan sosokku mengabur, hilang.
“semoga kita semua bisa terus –belajar-…”



Thank’s to:
-         Enya “carribean blue” yang bener-bener mampu memberi “feel” menjadi sosok tak terlihat, melayang, kesepian dan hampa.
-         My serious man, yang mengaku “merinding” baca konsep awalnya, hehhehe.. thank’s a lot for the support.
-         Yusti: yang belom bosen dengerin ide2 gilaku yang melompat kesana kemari, “sometimes I need you to be nourmal…”


Jumat, 12 Oktober 2012

AYAH

Ayah,
Tolong jangan tatap aku seperti itu
Aku putrimu cukup mampu menantang dunia
Ayah,
Tolong jangan tunjukkan wajah sedih itu
Percayalah, bekalmu padaku telah tercukupkan
Tentang arti kesabaran, kesetiaan, keikhlasan dan ketegaran
Tak ada yang lebih indah dari menunggu
Justru disitu aku menemukan diriku
Lebih mengerti hatiku
Memahami peran sebagai ibu

Ayah,
Mungkin terkadang kau akan melihat mataku yang basah karena airmata
Tapi itu bukan apa-apa
Itu hanyalah bentuk syukurku atas semesta yang begitu pemurah padaku
dengan limpahan kasih sayangnya

Ayah,
beri saja aku kekuatan lewat doa dan senyuman
Dan tolong katakan: "aku percaya kau akan mampu melaluinya"


by: nuke


Sabtu, 06 Oktober 2012

Bulan Separuh

BULAN SEPARUH

Jadi disini aku
Sendiri, menatap senja yang turun perlahan menyelimuti bumi
Langit kelam abu-abu
Tak kutemukan sisa goresan bias merah jingga
Lampu-lampu jalanan mulai mengisi temaram
Kutengadahkan wajah..
Kulihat sepotong bulan separuh...
pucat..
Sinarnya takkan pernah mampu menerangi malam ini, bisikku
Cahayanya yang pias terlalu sendu memberi terang bumi
Ada begitu banyak lampu warna warni
ada berjuta bintang yang mungkin akan menemani malam ini
Biarlah...biar setiap sinar punya maknanya sendiri

Bulan separuh
mungkin itu cukup mewakili apa yang ada dihati
Separuh asa yang tak terang tapi bisa memaknai malam yang datang
Simpan separuhnya dalam mimpimu
mungkin kita akan bertemu
dan menyatukan bulan kita menjadi purnama


by: nuke



Dunia Tanpa Cahaya

DUNIA TANPA CAHAYA


Aku tersesat di dunia tanpa cahaya
Hitam, kelam, sepekat tundra dalam gerhana
Hening, senyap, sepi
Aku menangis menggapai-gapai cahaya yang tak ada

Lalu setitik cahaya kurasakan di wajah
Semakin lama semakin terang
Ternyata airmataku berubah menjadi kunang-kunang
Memancarkan cahaya kuning dan jingga

Aku tersenyum lalu tertawa lepas
terbahak-bahak menikmati keindahannya
Aku merasa begitu tenang, damai dan bahagia
Dan kini kusadari, aku tak ingin pergi dari sini
Dunia tanpa cahaya, telah kutemukan cahayaku sendiri dalam kelamnya


by:nuke



Rabu, 03 Oktober 2012

PERI DAN PENGEMBARA

PERI DAN PENGEMBARA

Alkisah di sebuah dunia, ada seorang manusia dan peri yang saling jatuh cinta.
Mereka bertemu setiap senja tiba. Karena saat itulah sang peri bisa menampakkan
wujudnya.
Setiap kali akan bertemu, si pengembara harus naik ke sebuah pohon tinggi, dan sang
peri menunggunya disana dengan senyum, sayap keperakan dan tubuhnya yg bersinar
kuning keemasan.
Peri tidak mungkin turun dari pohon tinggi itu, apalagi menjejakkan kakinya ke
tanah, karena saat itu juga dia bisa mati.
Waktu bertemu mereka pun tak bisa lama, karena saat matahari benar2 tenggelam di
ufuk barat, peri harus cepat-cepat pergi kembali ke sarangnya di sebuah dunia peri.
Mereka tak pernah punya banyak waktu untuk bertemu. Tapi mereka selalu mampu mengisi
singkatnya pertemuan itu dengan hal2 manis penuh keindahan, seperti pelukan dan
ciuman.

Hingga di suatu hari yang sial, pengembara jatuh dari pohon saat dia tergesa2 naik
utk bertemu sang peri.
Kedua kakinya patah, dan tak mungkin memanjat pohon lagi. Sang peri begitu sedih
karena tak bisa bertemu kekasihnya.
Dengan derai airmata dan kesedihannya, perlahan dia terbang rendah, dan melihat si
pengembara sedang terkulai di tanah, memegangi kedua kakinya yang patah.
"Jangan terbang terlalu rendah, nanti kau bisa mati" teriak pengembara, hatinya
dipenuhi kekhawatiran takkan pernah melihat sang peri lagi.
"Aku merindukanmu" balas peri.
"Aku tidak ingin kehilangan dirimu" suara pengembara terdengar hampir menangis.
Peri semakin sedih, lalu tiba2 dia berteriak.
"Pejamkan matamu, dan bayangkan diriku"
"Untuk apa aku harus memejamkan mata, kalau saat ini aku bisa melihatmu?"
"Tolong, lakukan saja.. Lakukan dengan sepenuh hati dan jiwamu"
Ragu-ragu si pengembara menuruti apa yg dikatakan kekasihnya. Menutup mata, dan
membayangkan sang peri. Bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan, karena sosok peri
begitu lekat dalam pikirannya.
Dan, tak lama kemudian si pengembara merasakan tubuhnya menjadi ringan, perlahan dia
membuka mata, dan begitu takjub ketika menyadari apa yang terjadi.
Dia terbang!
Serbuk-serbuk bintang bersinar disekitar tubuhnya.
Pengembara tertawa tawa keras, hatinya seakan meledak karena bahagia.
Dipeluknya tubuh sang peri, mereka berciuman sambil terbang semakin tinggi, melewati
pepohonan, berayun diantara reranting. Senja itu mereka rasakan sebagai kesempurnaan
dalam kebersamaan. Mereka larut dalam cinta, bahagia sekaligus airmata.

Namun keesokan harinya, sang peri merasakan ada yang salah dengan dirinya. Tubuhnya
terasa begitu lemah seakan tanpa tenaga. Perlahan dia memaksakan diri untuk terbang.
Aku tak mau melewatkan senja hari ini, aku tak akan mengecewakan pengembaraku,
bathinnya.
Sang peri menuju ke sarang seorang tetua peri, dia seorang bijak dan penyembuh. Peri
berharap tetua peri akan mengetahui apa yang terjadi dengan tubuhnya.
"Masuklah..." Kata tetua peri.
Dilihatnya sang peri yang tampak begitu lemah.
"Ciiihhh...!! Tubuhmu penuh dengan bau manusia" teriak tetua peri itu, matanya
melotot dipenuhi kebencian dan rasa jijik.
"Kau tak akan pernah memiliki serbuk bintang lagi, tubuhmu telah dikotori dosa
manusia, kau tak akan pernah menjadi bagian dari kami lagi"
Sang peri kebingungan, dadanya sesak dengan kesedihan. Ketakutannya hanya satu, tak
akan pernah bisa bertemu si pengembara.
"Apa yang harus aku lakukan tetua? Tolong aku, aku rela kalau harus pergi dari sini.
Bisakah kau mengubahku menjadi manusia? Aku mau melakukan apa saja, aku mau menukar
apapun yang kumiliki asalkan bisa menjadi menusia"
"Mmmhh.. Kau mau menukarnya dengan -apapun-...?"
"Ya, aku mau menukarnya dgn apapun, asalkan aku bisa berubah menjadi manusia biasa"
"Pulanglah, pikirkan lagi.. Esok kembalilah kemari, jika kau yakin dengan keputusanmu"
"Aku tidak mau menunggu, aku ingin kau melakukannya hari ini, aku harus bertemu
dengannya senja ini"
Tetua menatap lekat sang peri.
"Baiklah, akan kulakukan, tapi kau harus siap dan bertahan karena prosesnya akan
sangat menyakitkan"
"Aku sanggup melakukan apapun untuk bisa bertemu dengannya senja ini"
"Kau benar-benar telah buta" desis tetua itu.
Singkat cerita, setelah melalui berbagai ritual dan proses menyakitkan, sampai membuat
sang peri sekarat, akhirnya dia terkulai lemas, benaknya dipenuhi sosok pengembara
hingga dia mampu meredam semua rasa pedih perih di sekujur tubuhnya.

Peri mencoba melangkah pelan, kaki-kakinya menginjak tanah, lalu dia berlari kecil,
melompat-lompat, berputar, menikmati kehidupan barunya sebagai manusia.
Matahari mulai merona merah saga. Sang peri berlari lebih cepat, tak dipedulikannya
lagi sepasang kakinya terluka menerjang belukar dan bebatuan. Aku akan memiliki
waktu lebih lama dengan pengembara, pekiknya dalam hati. Kami akan menikah, tinggal
di rumah mungil yang halamannya di penuhi bunga warna warni.
"Pengembara, aku datang...!" Teriaknya, saat melihat pengembara duduk terpaku
disebuah pohon besar penuh sulur.
Si pengembara terkejut melihat peri kekasihnya, tanpa sayap, tanpa sinar dan
menjejak tanah.
"Aku mencintaimu, mari kita menikah" kata peri seraya meraih tangan si pengembara.
Tergesa peri duduk di depan si pengembara, memeluk pengembara dengan erat dan
perlahan mendekatkan bibirnya ke bibir pengembara.
Mereka berciuman lama, saat kemudian tiba2 sang peri merasa bibir kekasihnya menjadi
begitu dingin demikian juga dengan tubuh pengembara yg sedang dipeluknya.
Dilihatnya mata pengembara terpejam, tubuhnya semakin melorot dan terjatuh. Peri
mendekatkan wajahnya ke hidung pengembara. Dia tidak merasakan ada nafas disana.
"Pengembara, pengembaraku.. Apa yang terjadi,.. Ini tidak mungkin.."Peri menjerit
sambil menciumi wajah pengembara yang telah dingin dan kaku.
"Aku mencintaimu, tolong jangan tinggalkan aku.. Kita akan menikah, kau ingat janji
kita?..kita bisa selalu tertawa bersama, saling memberi kehangatan, tanpa terpenjara
waktu.." Airmata berderai membasahi pipinya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat
"Kamu telah berjanji.."Suara tetua sejenak menghentikan tangis sang peri.
"Kamu berjanji akan menukarnya dengan apapun untuk bisa berubah menjadi manusia..
Sekarang kau telah membayarnya. Tak ada yang lebih sepadan dengan ke-manusia-an mu
selain nyawa dari orang yang paling kau cintai, karena sesungguhnya cinta adalah
sebuah dosa" Suara itu bergema sampai ke relung-relung hutan.
Sang peri berteriak sekuat tenaga, kepedihan atas kehilangan menghadirkan
hampa yang luar biasa dalam dirinya.

-tamat-

RAHASIA CINTA


RAHASIA CINTA


Mendung menggayut di cakrawala, langit seakan merasakan kemuraman sore ini. gedung-gedung tinggi, rumah-rumah, jalanan yang padat oleh kendaraan yang berjajar-jajar laksana semut menuju sarang, semua tampak abu-abu. Matahari begitu lelah memancarkan sinarnya, seiring titik-titik air yang tercurah dari kelamnya angkasa. Aku melihatnya pada sebuah ketinggian, di tempat parkir tertinggi dari sebuah pusat perbelanjaan, salah satu tempat kita biasa menikmati keindahan dunia dari atas.
Aku menyatu dengan alam, menyerap semua apa yang bisa kuindra, mengalir seiring darahku, berharap kan ada kehangatan disana bersama luapan memori yang memenuhi pikiranku. Sepotong demi sepotong kenangan itu kembali hadir berputar-putar seakan aku sedang mengendarai mesin waktu, menuju tiap titik masa lalu yang membawa kisahnya sendiri, tapi tetap dengan subyek yang sama, Kau dan Aku.

“selamat senja, jika jantung serupa kayu, mungkin kau telah dipahatnya melalui debar menjadi sesuatu selain puisi”

Itu rangkaian kalimat indah pertama yang kau kirimkan padaku. Dan itu benar-benar  menyentuh. Kurasakan hatiku bergetar, dadaku berdetak lebih kencang dan tiba-tiba saja aku merasa sesak nafas. Seakan paru-paruku dipenuhi oleh udara musim semi yang penuh keharuman bunga, hingga tak tersisa ruang untuk bernafas. Waktu seakan terhenti sejenak dan kemudian dunia berjalan melambat, semua mengikuti irama alam senja itu. Gerimis selayaknya tirai rakasasa mengantar bumi menuju satu sisi waktu, perlahan menuju temaramnya malam. Denting air yang menabuh dedaunan, bau tanah basah dan kemudian lampu-lampu jalanan mulai menyala, cahayanya yang terbias tetesan air seperti ratusan kunang-kunang, beriring mendekatiku menambah keindahan simphony alam senja itu, yang seakan ikut mengantarku memasuki sebuah dunia baru, yang selama ini bahkan tak berani aku impikan.
Dan begitulah, setiap hari hidupku penuh dengan puisi. Aku begitu “mabuk” dengan segala tentang dirimu, kau adalah pengembara yang telah menyelamatkan dunia mimpiku yang perlahan mulai pudar dengan desakan realita. Kau ajarkan aku tentang CINTA.

Tatapanmu adalah embun di langit subuh. Mawar berkaca-kaca mengembun rindumu yang teduh. Pagi pun tak tahu, berapa butir embun kutitipkan pada kuntum, sebab rindu aku pun tak mampu menghitungnya. Kelak ada pagi, tanpa embun, tanpa kuntum, hanya mata kita saling peluk, dengan sinar cinta yang lebih hangat dari matahari.
Namun tak ada merpati untuk kutitipkan rindu, maka jantungku kuberi sayap, berdegup sendiri terbang menuju kamu. Rinduku kerap hinggap di reranting bulu matamu, ingin menikmati senja dan matahari yang tenggelam di sudut matamu.

Aku menangis membaca puisi ini. Diantara puluhan puisi yang menghujani hari-hariku, ini salah satu yang membuatku akhirnya memutuskan untuk “menerimamu”. Disamping kata-katamu yang kau katakan sambil menatap tajam kedalam kedua mataku, “bila kemustahilan itu mahal harganya, mengapa kita tidak mencoba kemungkinan?” dan aku mengangguk sebagai tanda menyetujui hal itu. Entah apa yang membuatku berani menjalaninya, karena aku sangat tahu segala konsekuensinya.

Tahukah kau? Setelah hari itu, aku benar-benar menjalani sebuah kehidupan dalam dua dunia, antara dunia mimpi dan dunia nyata. Tak bisa kupungkiri bahwa dirimu adalah “pelengkapku” aku baru benar-benar memahami arti “soulmate” yang sesungguhnya setelah mengenalmu. Kita benar-benar seperti potongan hati yang saling menemukan pasangannya. Seni, filosofi, pandanganmu tentang dunia, begitu banyak hal yang bahkan aku tak perlu jelaskan padamu, tapi kau begitu memahaminya. Kau adalah aku dan aku adalah kau.


“aku mencintaimu…” hampir setiap saat kau ingatkan aku tentang hal itu. Segala perasaan bercampur aduk menyatu dalam diriku. Bahkan rasa marah yang meluap atas kehadiranmu dalam kehidupanku. Kau yang telah menawarkan dunia itu padaku, dan anehnya aku merasa menjadi lebih baik. Aku kembali menemukan ke-aku-an ku yang sebenarnya melalui dirimu. Tak bisa kupungkiri, hari-hari saat bersamamu adalah hal terindah dalam hidupku.
Perlahan seiring waktu aku berusaha menemukan sendiri teori tentang kita, yang mungkin tak lebih dari sekedar pembenaran atas apa yang telah kita lalui. Mungkin telah kutemukan keseimbangan dalam hidup. Tentang hitam putih, benar-salah, Yin dan Yang, bahwa memang harus selalu ada dua sisi yang bertentangan untuk merasakan sebuah “kelengkapan”, seperti sebuah koin dengan dua sisinya, seperti laut dan pantai, siang dan malam. Dan memang tidak seharusnya yang satu ingin menguasai atas yang lain. Biarlah mereka ada pada peran dan tempatnya masing-masing karena itulah kehidupan.

Namun banyak hal yang menjadi rahasia alam. Manusia boleh angkuh dan sombong menyusun rencana. Tapi Tuhan yang maha memiliki atas apa yang ada di dunia. Begitu juga dengan hidupku. Dari sesosok wanita sehat jasmani dengan begitu banyak harapan dan impian, tiba-tiba harus menerima kenyataan atas takdir yang tak mungkin aku pungkiri.
Tubuhku kini tak lebih dari sebatang pohon jati yang sedang meranggas, hitam, kering tanpa daun. Kanker itu telah merampas semuanya dari diriku, kecuali cintamu (mungkin).
Aku sekarat. Kata-kata itu begitu menyakitkan untuk dipahami. Tapi itulah kenyataannya sekarang. Saat aku berkaca yang tampak di bayangan cermin adalah sosok wanita pasangan frankenstein, sama buruknya seperti itu. Kulit muka dan beberapa bagian tubuhku tampak gosong, kering dan seakan bila disentuh akan meluruh, sungguh mengerikan. Aku tak berani menyisir rambutku, karena bahkan saat aku memegangnya dengan sangat pelan dan hati-hati, puluhan atau bahkan ratusan helai akan tertinggal di telapak tanganku, meninggalkan botak di kepala yang tak pernah berani kupikirkan apakah helai-helai itu akan tumbuh kembali. Beginilah hidupku, tak pernah terbayang aku akan berakhir tragis seperti ini, menyerah pada rasa sakit.

.“apakah ini hukuman untukku…?” aku meluncurkan kalimat yang telah sekian lama kusimpan sendiri di sudut-sudut hatiku.
Dan kau menggeleng kuat-kuat, memandangku dengan tatapanmu yang selalu mampu membawa rasa hangat dalam hatiku.
“cinta tak pernah salah” tegasnya.
“tidak untuk cinta kita…” aku mengatakan dengan suara lemah seperti bisikan.
“cinta diatas penghianatan..” aku mengatakannya dengan begitu kejam dan hal itu sungguh-sungguh menyakitkan terutama untuk diriku sendiri.
“Aku takut..sangat takut..., tolong jangan tinggalkan aku”
Kulihat mata teduh itu mulai berkaca-kaca. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menggigit bibir bawahnya, tertunduk, dan sebulir air bening jatuh dari matanya. Dia menggenggam tanganku erat. Entah mengapa seakan aku bisa mendengar degup jantungnya yang berdetak begitu kencang. Kutarik tangannya menempelkanya pada pipiku yang terasa kering. Tangannya begitu hangat, kehangatan yang menjalar keseluruh tubuh, hati dan jiwaku, menggetarkan semua syarafku. Aku butuh kekuatan itu, tapi sampai kapan aku akan bertahan? Tanganku gemetar. Tak mampu menggenggam tangannya lebih erat.
Perlahan dia mendorong kursi rodaku menuju sisi paling dekat  dengan pemandangan yang terhampar. Kurapatkan sweaterku, udara dingin terasa menusuk syaraf dan tulang-tulangku.
“Apakah kau kedinginan..” dia berlutut dihadapanku, tatapannya tampak penuh kecemasan.
Aku tak mampu mengatakan apa-apa selain menatapnya dengan pandangan yang perlahan mengabur karena genangan air mata.
“Aku mencintaimu…” kukatakan itu dengan sepenuh hatiku.
Dia hanya diam, menghela nafas, tampak sekuat tenaga menahan perasaannya.
“Kuambilkan jaket di mobil ya..?” tanyanya seraya berdiri.
“Jangan….! Tolong jangan pergi…” nafasku terasa berat.
“Tolong peluk aku saja…aku mohon…” mungkin ini untuk terakhir kalinya, kalimat itu kusimpan sendiri.
Dia menatapku, bisa kulihat jelas matanya yang basah oleh air mata. Perlahan dia mendekat, merengkuhkan kedua tangannya untuk memelukku. Membenamkan kepalaku ke dadanya, seperti dulu saat kita saling berbagi duka tentang dunia dan kehidupan nyata. Kaulah penyelamatku, yang selalu bisa mendengar segala keluh kesahku, mengalirkan kekuatan padaku dengan cintamu. Cinta yang dengan ikhlas dan sabar menerima, cinta seorang teman dan sahabat, cinta seorang kekasih tanpa hasrat, karena dirimu selalu mampu menjagaku dari hal-hal diluar batas itu. Kau selalu bilang aku begitu berharga buatmu dan dirimu tak akan pernah sanggup merusaknya.
“aku mencintaimu, Rena…dulu, sekarang, nanti dan sampai kapan pun, tolong jangan pergi. Kau telah memberi kekuatan padaku untuk menjalani hari dengan senyumanmu. Percayalah, aku tak mengharapkan apa-apa selain senyuman di wajahmu. Senyum itu yang telah menampung hidupku…” kata-katanya bercampur dengan isakan.
Aku samar-samar mendengarnya, seiring gelap yang tiba-tiba melingkupi. Badanku menggigil kedinginan dan perlahan aku merasa semakin ringan, seperti kapas yang diterbangkan angin, melayang di udara. Aku melihat tubuhku yang terduduk di kursi roda, dipeluk erat oleh Dewangga dengan isak tangis yang tertahan.
Dan disana beberapa meter dari tempat Dewangga, kulihat Aldo, suamiku dan Sinta, istri Dewangga, menatap dengan pandangan yang tak mampu kujelaskan.
Cinta telah mengajariku tentang banyak hal, dari dua sisinya yang hitam dan putih, tentang kesetiaan dan penghianatan, tentang dosa dan kesucian.

-         Tamat  -

Selasa, 02 Oktober 2012

Mimpi


MIMPI


“Aku mencintai orang lain...” suaraku terdengar menggantung di udara.
Kutatap wajahnya, menunggu reaksi.
Dia masih diam, alisnya bertaut, bibirnya mengatup rapat, lalu dia meraih segelas air di depannya dan langsung menyiramkannya ke mukaku.
Aku tergagap dari mimpi...badanku basah oleh keringat. Napasku tersengal-sengal. Degup jantungku terasa tak beraturan. Tubuhku masih bergetar.
Mimpi lain yang sama mengerikannya dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Walaupun tampaknya berbeda-beda, tapi selalu bermuara pada kenyataan yang sama...aku tidak pernah berani mengatakan yang sebenarnya pada sosok disampingku.
Kulihat dia, nafasnya terdengar teratur. Tenang. Posisinya membelakangiku. Seperti biasa, malam-malam yang lalu. Dan aku selalu berusaha “menikmati” ah, bukan..menjalani hari demi hari itu, entah sampai kapan berusaha membohongi diri sendiri.
Perlahan aku turun dari tempat tidur. Meraih telepon selular yang tergeletak di meja kecil yang menempel dengan tempat tidur.
Kucari nama itu. Tertegun sejenak, haruskah aku menghubunginya? Malam-malam begini. Seperti biasa kita berdua sama-sama tahu, kapan kita seharusnya “bicara”.
Kuhela nafas, dan mengurungkan niat untuk menghubunginya. Aku tahu, aku tidak seharusnya melakukan hal ini. Dan kemudian kuletakkan lagi telepon selular itu, kembali merebahkan diri dan berusaha memejamkan mata, walaupun rasa kantukku telah hilang entah kemana.

Hidupku sempurna. Semua orang yang mengenalku selalu mengatakan hal itu. Aku memiliki semua yang diinginkan para wanita. Suami yang mapan secara materi, sepasang anak laki-laki dan perempuan. Dan hampir tak pernah ada pertengkaran berarti selama hampir delapan tahun pernikahan. Tapi entah mengapa, aku masih saja merasakan ada ruang “kosong” dalam bathinku. Aku seringkali menangis tersedu-sedu di malam hari tanpa tahu apa penyebabnya. Dan “rahasia” itu selalu kusimpan sendiri, jauh dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku seringkali merasa kesepian.
Hingga suatu saat aku bertemu dengan “dia”. Secara kebetulan saat  sedang mengantri untuk membayar di sebuah supermarket, aku tahu beberapa kali dia tampak melirik ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Dari penampilannya aku tahu dia seorang pegawai kantoran. Bajunya rapi, kemeja lengan panjang dan berdasi. Dia sempat membantuku memasukkan belanjaan  dan kemudian berlalu. Namun takdir tampaknya sudah mengatur semuanya. Saat berada di pelataran parkir tanpa sengaja aku telah menabrak sebuah mobil sedan berwarna hitam. Bagian samping mobil itu tampak “tergores” cukup dalam oleh mobilku. Aku benar-benar panik. Walaupun kejadian ini bukanlah yang pertama kali aku alami, karena keteledoran yang selalu melekat pada diriku.
Aku sudah mempersiapkan diri untuk menerima caci  maki akibat kesalahanku ini tapi, saat si pemilik mobil keluar, aku baru menyadari bahwa “dirimu” lah pemiliknya (apakah ini suatu kebetulan atau sesuatu yang sudah terencana untuk kita?). Kau keluar dari mobil, tampak sedikit terkejut sambil meneliti kerusakan yang telah aku buat. Tapi saat melihatku entah mengapa kau justru tersenyum. Aku minta maaf  beberapa puluh kali dan memastikan akan mengganti biaya perbaikannya. Tapi kemudian kau mengatakan bahwa aku harus membayarnya “hanya” dengan menemani minum kopi. Aku benar-benar terkejut, melebihi keterkejutanku atas keteledoran yang telah aku buat sebelumnya. Aku menatapmu dan kulihat kamu masih menunggu jawabanku yang pada akhirnya kubalas dengan sebuah anggukan lemah, seakan-akan aku tak punya pilihan lain untuk tidak melakukannya.
Dan dari sanalah semuanya berawal. Entah siapa yang memulai tapi kita semakin sering bertemu. Hanya sekedar untuk minum kopi dan ngobrol. Kemudian telpon dan sms semakin sering, seakan kita tak mampu melewati waktu tanpa saling “menyapa”. Awalnya kita sama-sama memposisikan sebagai seorang teman dan lebih dalam mungkin sebagai seorang sahabat, tak lebih dari itu. Kita berdua sama-sama tahu atas posisi dan peran masing-masing. Aku dengan kehidupanku demikian pula dengan dirimu. Tak ada yang boleh “keluar” dari kenyataan itu dan justru itu yang membuat kita sama-sama “nyaman”. Kau memberi warna dalam hidupku. Dan entah mengapa aku merasa menemukan “diriku” yang sesungguhnya saat bersamamu. Aku bisa bercerita tentang apa saja dan kamu seakan selalu bisa mengerti, memahami dan bahkan menilai dengan cukup bijaksana atas segala sesuatu yana aku ceritakan. Seiring waktu berjalan, rasa saling ketergantungan itu semakin mengikat kita berdua. Seharusnya perasaan itu begitu indah, suatu rasa yang mampu membangunkan aku dari tidur panjang dan kejenuhanku  atas kehidupan dan keseharianku. Tapi benarkah ini? Mungkin dalam dunia mimpi dan angan aku boleh “merasakannya” karena dalam dunia nyata apa yang terjadi diantara kita tak lebih dari sebuah kata “penghianatan”. Yah, penghianatan atas kesucian ikatan dan peran kita dalam dunia nyata yang sebenarnya. Kita lepas dari segala norma, nilai-nilai dan agama. Kita benar-benar telah terjerembab dalam lumpur dosa yang kita ciptakan sendiri.
Terkadang saat sendiri aku berusaha memahami atas apa yang kurasakan. Apa yang salah dengan kehidupanku selama ini, hingga perlahan aku merasa kehilangan jati diri. Dan bersamamu aku benar-benar bisa lepas dari belenggu kepalsuan itu. Tapi benarkah yang kurasakan ini cinta?
Tidak, sisi bathinku yang lain selalu mengatakan itu. Apa yang ada saat ini tak lebih dari sekedar kebutuhan, keadaan, kesempatan dan aku mengambilnya. Awalnya aku tak tahu apakah benar yang kulakukan ini? Tapi bukankah kita tak akan pernah tahu bila kita tak mencobanya? Bukankah hidup untuk mengambil resiko? Sudah lama aku tak berani melakukan itu dan mungkin itu yang menyebabkan aku merasa seperti kepompong yang diam, pasif, menunggu musim, terombang-ambing dan kehilangan “diri sendiri”.
Mungkin ini bukan sekedar tentang “dia” tapi sebenarnya lebih dalam tentang diriku, tentang ego ku tentang harapan dan keinginanku sendiri atas nama “kebebasan”, walaupun seringkali aku tidak yakin dengan kata itu.
Dan setelah semua berjalan seiring waktu, aku sampai pada satu titik. Tempat dimana aku harus menyerahkan hidupku pada mimpi atau kenyataan. Karena rasa bersalah itu semakin lama semakin membebaniku.

“Aku mencintai orang lain”. Kali ini kukatakan itu sambil menatap tajam kedalam matanya. Dia balas memandangku tapi aku tidak melihat kebencian disana. Justru tatapannya berubah menjadi lembut, sayu dan matanya semakin lama semakin bening seperti kaca. Oh bukan, aku bukan melihat kaca disana tapi aku melihat genangan air, air mata. Dia masih membisu dan entah mengapa aku merasa ada ngilu yang menikam hati. Kutatap wajahnya. Wajah yang selama ini selalu tampak beku di mataku, yang tak pernah menunjukkan ekspresi yang berlebihan, karena dia selalu mampu mengendalikan emosinya. Seringkali aku tidak tahu kapan dia marah atau kapan dia sedih, wajah itu lebih sering tanpa ekspresi. Bibirnya yang tak pernah bisa merangkai kata-kata indah untukku, karena dia selalu menyimpan kata-katanya sendiri (dan apakah itu merupakan kesalahan besar bagimu? Bisik suara dalam bathinku, sebilah pisau terasa menyayat hatiku lagi) dan kemudian padanganku beralih kembali pada sepasang matanya yang tak pernah kurasa kutemukan cinta disana. Seringkali yang kulihat adalah kekosongan. Tanpa hasrat ataukah aku yang “buta” selama ini?
Jantungku berdebar semakin kencang, darahku terasa berdesir-desir, pandanganku berkunang-kunang, melihatnya seperti ini terasa melemparkanku ke sebuah dunia yang sepi, sunyi dan dingin. Aku menggigil, gigiku gemeletuk, rasa dingin menelusup sampai hati dan tiba-tiba aku merasa tak bisa menggerakkan tubuhku lagi. Aku beku menjadi sebuah patung es.
Aku tersentak, saat kesadaran kembali menguasai aku mendapati diriku terduduk di tempat tidur dengan nafas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat. Mimpi itu lagi. Dan yang ini terasa lebih menakutkan daripada mimpi-mimpi yang sebelumnya.

Hari ini kuputuskan untuk berterus terang padanya. Mengungkapkan apa yang kupendam selama ini, kehampaan dan kesunyian yang sering kurasakan saat bersamanya. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat. Anak-anak sedang berlibur di rumah neneknya. Tinggal kami berdua di rumah besar ini. Kami duduk berhadapan di meja makan. Kesunyian yang menyergap seperti biasa, terasa semakin menghimpitku. Hanya terdengar denting senduk dan garpu saat bersentuhan dengan piring.
“Aku ingin bicara...” suaraku seakan tersekat di ujung kerongkongan.
Dia mendongakkan kepalanya menatapku (mirip dengan beberapa mimpiku yang lalu).
“Mmmmhh....bicaralah..” dia kembali menekuri piringnya.
Kutelan ludah, membasahi tenggorokan yang terasa sangat kering.
Aku baru bersiap mengeluarkan kalimat yang telah kuulang-ulang entah berapa kali, dan setiap kali terasa menggema di kepalaku, terbawa sampai mimpi-mimpiku, saat kemudian dia menatapku.
“Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu...” hening sejenak menguasai.
“Aku minta maaf...” kepalanya tertunduk.
Serasa ada sengatan listrik mengaliri tubuhku. Baru kali ini setelah bertahun-tahun aku hidup bersamanya, aku merasa dia terlihat begitu “rapuh”. Minta maaf? Satu kata yang teramat sangat jarang aku dengar. Hatiku tergetar.
Sesaat aku merasa bimbang. Haruskah kuteruskan apa yang sempat tertahan sebelumnya. Benarkah apa yang kurasakan ini? Mengapa tiba-tiba aku merasa tidak yakin atas apa yang telah aku pikirkan selama ini? Apakah benar aku mencintai orang lain? Bagaimana kalau hal itu hanya perasaan sesaat? Apakah aku siap dengan segala perubahan drastis yang mungkin akan aku alami? Terlepas dari seseorang yang telah menjadi pendampingku selama bertahun-tahun untuk memulai sebuah kehidupan baru yang lekat dengan kata-kata “kebebasan”? Semuanya menimbulkan suara yang seakan simpang siur di kepalaku.
Kuhela nafas, mencoba mengatur detak jantungku lagi.

“Aku mencintai orang lain” akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku. Aku mengatakan itu tanpa berani menatapnya. Diam, keheningan kembali menyelimuti, hanya kudengar hembusan nafasnya yang terasa berat. Aku tahu, baru saja aku memberinya sebuah beban, seperti sebuah batu besar menghimpit dadanya, dan entah mengapa aku juga merasakan beban itu? Bukankah seharusnya aku merasakan kelegaan yang luar biasa setelah sekian lama hal ini kupendam sendiri?
Sepi lagi. Perlahan aku mendongakkan wajah, memberanikan diri menatap wajahnya. Kulihat dia masih memandangiku dan entah mengapa tiba-tiba wajah itu berubah menjadi pucat, sangat pucat. Dia menggigit bibir bawahnya dan tangannya memegangi dada, menahan sakit. Sekejap aku merasa kosong, benar-benar kosong dan hampa. Aku berharap ini hanya mimpi, dan sebentar lagi aku akan terbangun. Tapi saat kukerjapkan mata, aku masih melihatnya terus memegangi dada, pasti ada rasa sakit yang luar biasa mendera tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal.
Aku segera berdiri dari tempat dudukku, setengah berlari mendekatinya yang mulai merosot jatuh dari tempat duduknya. Kuraih kepalanya, meletakkannya di atas pangkuanku, dan entah mengapa ada sesuatu yang terasa menyesakkan di sudut hatiku saat melihatnya seperti ini, sebulir bening mengalir dari mataku. Dia menggumamkan sesuatu. Kudekatkan telingaku ke mulutnya, berusaha menangkap gumaman-gumamannya. “Aku...men..cin...tai...ka..mu....” beberapa potong kata yang sempat kudengar, dan tiba-tiba dunia seakan runtuh menimpaku.


-        Tamat-