Sabtu, 27 April 2013

SEPASANG CINTA


Sang Wanita:
Aku mencintainya... tak ada kalimat yang paling tepat menggambarkan segala perasaanku untuknya. Dia laki-laki sempurna, dengan segala ambisi dan cita-citanya. Wajahnya selalu penuh semangat saat bercerita tentang mimpinya. Dan aku akan selalu mendengarkan dengan seksama, dalam setiap detail sambil sesekali membisikkan doa-doa. Lalu dia akan meraih kepalaku, menciumi rambutku dan berbisik “I love U...”. sebuah potongan kisah sempurna pada suatu masa dalam kehidupan.
Lalu tragedi itu terjadi. Sebuah kecelakaan di suatu petang, merubah kehidupanku. Seperti cat hitam yang tertuang begitu saja diatas lukisan sempurna sebuah rumah dengan langitnya yang berpelangi. Hitam... Pekat..
Sebagian tulang belakangnya remuk, menyebabkan beberapa syarafnya tak berfungsi. Dia lumpuh. Sosok tegapnya kini tertunduk lesu pada sebuah kursi roda.
Tak ada yang berubah pada hati dan perasaanku. Aku masih sangat mencintainya, sama seperti sebelumnya, apapun keadaan dirinya kini, perasaan itu tak berkurang sedikitpun.
Seringkali pada tidur malamnya, dia tiba-tiba terbangun, dengan tubuh basah oleh keringat dan nafas yang terburu, lalu mengeluhkan rasa nyeri di punggung belakang dan kedua kakinya. Aku seringkali tak tau harus berbuat apa saat melihatnya seperti itu. Hanya bisa memeluknya, sambil merasakan airmata yang perlahan menetes di pipiku. Aku tak mau dia melihatku dalam kesedihan, aku takut itu hanya akan menyakitinya.
Awalnya dia masih “bisa” mengucapkan kalimat pendek, tapi kemudian hanya satu, dua patah kata dan sekarang dia hanya diam, seringkali wajahnya tanpa ekspresi. Sesekali terdengar suara “hemm...” dari mulutnya, tapi itupun sangat jarang.
Aku tau sebenarnya tak ada masalah dengan organ-organ tubuh untuk berkomunikasi pada dirinya. Dokter sangat yakin saat mengatakan itu. Lalu aku mulai menyadari, bahwa mungkin dirinya hanya merasa kecewa. Marah pada dunia, atau lebih tepat mungkin pada takdirnya.
Jadi setiap sore aku mengajaknya berjalan di taman, menikmati udara segar dan pepohonan. Sambil mendorong kursi rodanya, aku bercerita tentang apa saja. Aku tau dia mendengarkan, dia hanya “tidak mau” memberi respon atas apapun yang aku katakan.
Lalu kami berdua berteduh di sebuah pohon rindang, tempat favorit kita dulu. Terkadang aku membawakan beberapa potong kue kesukaannya, menyuapinya sambil terus bercerita dan memandangi kedua matanya.
Lain waktu aku hanya duduk dekat kakinya, mengelus punggung tangannya, memainkan jemarinya, lalu merebahkan kepalaku di pangkuannya. Seringkali aku berharap, dia akan membelai rambutku seperti dulu. Tapi dia hanya diam.
Tak apa, semua yang kulakukan hanya ingin agar dia mampu merasakan bahwa aku mencintainya, apapun keadaannya, karena bagiku, cinta sudah cukup memenuhi untuk cinta itu sendiri.

Sang Pria:
Aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya. Tak ada alasan untuk aku tidak jatuh cinta padanya. Senyumnya, sepasang matanya yang berbinar setiap kali bercerita, gayanya saat berusaha merajuk, tertawa, bahkan saat marah, semua itu cukup membuatku berdebar dan “hidup”.  Aku merasa begitu lengkap sebagai laki-laki saat berada di dekatnya. Aku sanggup melakukan apa saja demi dirinya.
Kususun semua mimpi dan harapan setinggi mungkin, demi dia. Segala hal untuk dirinya.
Lalu tragedi itu terjadi.
Hidupku berubah karena kecelakaan itu. Tak pernah terbayangkan, diriku akan menjadi sesosok tak berguna di kursi roda.
Bagaimana aku bisa melindungi dirinya? Sedangkan untuk menolong diri sendiri aku tak mampu? Dan sungguh, ini sangat menyakitkan. Jauh lebih sakit dari apapun yang kurasakan secara fisik.
Aku mencintainya.
Kalimat itu sekarang tak berarti apa-apa, hanya sebuah harapan kosong, bahwa aku mampu mendampingi dia sampai renta, menjaganya dari apapun yang bisa menyakitinya, memberikan segala apa yang diinginkannya, mewujudkan sebuah dunia indah tanpa cela, selayaknya dirinya bagiku.
Dan lihat, betapa bodohnya dia dengan segala apa yang dilakukannya untukku. Apa dia tak bisa melihat dengan jelas keadaanku sekarang. Sungguh dia telah buta oleh rasa belas kasihan. Tak bisakah dia berpikir lebih rasional, apa yang diharapkannya pada laki-laki cacat sepertiku?
Sampai kapan pun aku hanya akan menjadi bebannya.
Ketidakberdayaan ini seakan justru membangkitkan segala aura negatif dalam diriku. Aku menjadi begitu pemarah sekaligus pencemburu, dadaku bergemuruh, nafasku sesak dan hatiku diliputi perasaan takut kehilangan, setiap kali dia berbicara dengan dokter itu. Bukan.. bukan hanya dokter itu, aku cemburu pada semua orang yang berada didekatnya, yang selalu memandangnya dengan sayang, berusaha meyakinkan dirinya untuk menguatkan. Dan setiap kali itu terjadi aku merasa hanya sebagai seonggok sampah yang harus dia bawa-bawa kemana pun dia pergi. Aku benci diriku sendiri.
Lalu aku berusaha agar dia membenciku. Aku tak mau bicara dengannya, aku berusaha tidak peduli dengan segala apa yang dilakukannya. Mungkin itu jauh lebih baik untuk dirinya. Aku tak ingin melihatnya bersedih. Tapi justru aku orang yang paling sering membuatnya menangis karena ketidakberdayaanku.
Tolong singkirkan aku dari hidupmu, karena aku tak mempu melihatmu dalam kesedihan.
Itu kalimat yang ingin kuteriakkan padanya, tapi selalu tercekat dalam tenggorokanku. Aku tak pernah merasa mampu melakukannya..
Aku ingin dia membenciku, karena aku merasa cintaku hanya akan menyakitinya. Karena bagiku, cinta tak akan punya arti bila tak lagi bisa saling mengisi.

-          Tamat    -

Jumat, 19 April 2013

RADJA DAN AKU




Wanita diukur dari kesetiaannya, Nduk... 

kalimat itu terngiang. Kutatap bayangan di cermin.  Menelusuri setiap detail dari apa yang terpantul.  Ada beberapa kerut halus di sudut mata, garis senyumku juga mulai terlukis nyata. Kuraih sisir kayu yang tergeletak di meja, lalu mulai menyisir helai demi helai rambutku. Sudah saatnya aku mewarnai rambut lagi, bathinku. Kutemukan beberapa helai putih di dekat telinga kanan.
Kamu tau apa arti setia itu?.. 

kembali suara itu mengisi kepalaku.
“Eyang buyut telah menjanda sejak usia dua puluh tujuh tahun, dan sampai usia hampir tujuh puluh tahun, eyang tidak pernah bisa menggantikan posisi Romo Buyutmu dengan laki-laki lain.”
Aku menghela nafas, berusaha melegakan sesuatu yang tiba-tiba terasa mencekat tenggorokan.
Eyang buyut, nenek dan seorang budhe ku, para wanita yang memutuskan menjaga kesetiaan pada pasangannya bahkan sampai saat maut memisahkan. Mereka memilih untuk menjanda selama sisa hidupnya; tidak ada yang bisa menggantikan posisi, Romo buyut, kakek juga pakdhe, itulah bentuk kesetiaan mereka, menjaga kesakralan janji setia bahkan saat harus menjalani kehidupan ini “sendiri”.
Aku beranjak dari meja rias, berjalan menuju sisi ranjang.  Termenung, berusaha menganalisa apa yang ada dalam kepala. Kuedarkan pandangan menyapu seluruh ruang kamar, dan terhenti pada meja ukir di sudut ruangan, disana berjajar beberapa foto dalam bingkai-bingkai berwarna hitam dan perak. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa begitu kosong. Sebuah kehampaan yang menyelimuti saat memandangi  foto-foto itu. Satu diantaranya saat pernikahanku, beberapa lagi foto-foto saat berlibur di beberapa tempat.  Kesemuanya  hanya berisi kami berdua, aku dan Radja; suamiku. Kembali sebuah desakan terasa menohok dadaku. 
Tidak...saat ini aku tidak akan menangis, aku harus berpikir secara rasional untuk mampu mengambil sebuah keputusan,  atau justru keputusan ini harusnya aku ambil dengan mempertimbangkan perasaan terdalam? Tanyaku pada diri sendiri. Kugeleng-gelengkan kepala berusaha menepis suara-suara yang kembali memenuhi kepalaku.
Apa yang sebenarnya yang aku cari dalam hidup ini? 

Pertanyaan itu muncul begitu saja. Kebahagiaan, bisikku pada diri sendiri.. Sebuah jawaban bias, sebuah suara lain dalam kepala menyalahkan, itu jawaban umum dari semua orang. Kebahagiaan sebuah kata yang membutuhkan penjelasan, perwujudan, hal yang lebih nyata dari sekedar suatu perasaan yang tak terukur.  Aku mencintai Radja, sangat mencintainya, sepenuh hati, jiwa dan ragaku. mungkin dalam beberapa hal aku begitu menjunjung konsep tentang wanita jawa, “garwo” (sigaraning nyowo) yang artinya separuh nyawa dari pasangan. Begitulah aku menyadari keberadaanku sebagai wanita. Itulah bentuk nyata dari kata “bahagia” ku selama ini. Dan kini aku mempertanyakan tentang konsep bahagia itu sendiri. Kebahagiaan-ku, terdengar sedikit egois, karena kini aku jadi berpikir bahwa kebahagiaan suamiku, (mungkin) lebih penting dari kebahagiaanku sendiri. Benarkah? Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan, tiba-tiba aku merasa begitu lelah. Lelah dengan segala konsep, teori dan filosofi yang berusaha aku jejalkan dalam kepala.
Karena kamu wanita, maka kesetiaan begitu penting, itu konsep sederhana yang kupahami. Lalu bagaimana dengan laki-laki? Mengapa kata kesetiaan tidak terlalu menjadi “beban” bagi mereka? Tiba-tiba saja aku merasa iri dengan Hawa. Dia yang tercipta “hanya” untuk mendampingi  Adam, tak perlu merasa  khawatir bahwa cintanya akan dibagi pada perempuan lain. Takdir telah menuliskan bahwa mereka menjadi pasangan. Meyakini bahwa tulang rusuk Adam yang hilang, terwujud dalam sosok Hawa. Yah, karena takdir, telah begitu “baik” bagi mereka. Takdir? Bahkan aku kini mempermasalahkan takdir, apa hakku untuk mempertanyakan hal itu? Takdirku adalah sebagai seorang  wanita, yang telah menikah selama lima belas tahun dengan laki-laki yang dicintai sepenuh hati, dengan sebuah kenyataan bahwa aku tidak mampu memberikan keturunan. Dengan keadaan itu, apakah aku masih punya hak untuk menuntut “kesetiaan” dari laki-laki yang aku cintai. Bahwa ternyata ketulusan dan kesetiaan, tidak cukup mampu membayar kebahagiaan suamiku.  Airmata itu tak mampu aku bendung lagi, mengalir begitu saja dari kedua mataku, dan dalam hati aku berharap tangisan ini akan mampu membasahi hatiku yang terasa kering. 
“Ijinkan aku menikah lagi...” 

kalimat pendek itu ternyata mampu membawa efek dahsyat bagi duniaku saat itu. Dalam beberapa detik aku merasa langit runtuh menimpaku. Kutatap wajah Radja lekat-lekat. Mencari kedalam matanya, benarkah itu yang baru saja diucapkannya? Kuraih cangkir teh dihadapanku, meminumnya seteguk dan merasakan duri-duri kecil  seakan menusuki tenggorokan. Kuhela nafas panjang, memberi ruang lebih banyak pada oksigen memenuhi paru-paru. Susah payah kucoba mengukir sebuah senyum di wajah. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya.
“Aku mencintaimu sepenuh hati, Nayla... tidak akan ada seorang pun yang akan bisa menggantikan posisimu dalam hatiku..tapi...”
“Aku tau dan tak perlu penjelasan...” potongku cepat. Aku tidak mau mendengar kalimat yang lebih menyakitkan lagi.
“Maafkan aku...” 

tiba-tiba Radja telah duduk bersimpuh, dan memegang erat-erat kedua telapak tanganku. Kepalanya tertunduk sambil menciumi jemariku, kurasakan airmatanya membasahi punggung tanganku. Kuusap lembut rambutnya. Dia seperti anak kecil yang menangis karena telah kehilangan mainannya.
“Beri aku waktu untuk berpikir...” akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirku.
Hening. Masing-masing dari kami larut dalam pikiran sendiri.
“Kamu tau bahwa orang tuaku yang ingin agar...aku...tapi, sebenarnya...”
Aku hanya diam, menunggu apapun yang akan dikatakannya lagi. Tapi ternyata dia tidak mampu meneruskan kalimatnya. Kami kembali tenggelam dalam sepi.
Hari-hari selanjutnya adalah kesepian yang sebenarnya. Aku meminta waktu “sendiri”. Sebenarnya aku berharap Radja membiarkanku untuk pergi dari rumah sementara waktu, untuk menenangkan pikiran. Tapi dia tak mau itu. Dia memilih untuk dirinya yang sementara pergi, entah kemana, mungkin ke rumah orang tua, atau justru ke rumah “calon mempelainya”. Kugeleng-gelengkan kepala berusaha menepis pemikiran yang terasa menyakiti diriku sendiri. 
Dan tinggal sendiri di rumah, justru semacam “hukuman” bagiku.  Segala hal yang ada di rumah ini, hanya semakin mengingatkanku pada kebersamaan bersama Radja. Seringkali saat tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghabiskan waktu, kukeluarkan semua baju-bajunya dari dalam lemari, lalu kusetrika kembali satu persatu. Menelusuri setiap bagian dari pakaiannya, sambil membayangkan momen-momen saat dia memakainya, terkadang kuciumi sambil berharap ada sisa bau tubuhnya yang tertinggal disana. Dan kenyataan selanjutnya adalah rasa sesak yang semakin membuncah dan mengalirkan airmata, lalu aku hanya terduduk sendiri disudut ruangan sambil menangis tersedu-sedu.
Sarapan pagi ini, kembali aku tercenung sendiri. Hanya denting suara sendok saat mengaduk kopi yang mengisi kekosongan. Kuoles perlahan selembar roti dengan mentega. Kenangan itu berkelebat begitu saja. Radja tidak  suka saat aku mengoles lembar rotinya dengan terlalu banyak mentega, aku sudah tau pasti takaran untuk mentega, selai atau seberapa kering aku harus memanggangnya. Aku selalu menyukai segala detail yang harus aku lakukan untuk melayaninya. Kini yang terasa sangat menyakitkan bahwa segala cinta dan perasaan yang kumiliki harus dihargai “hanya”  sebatas rahimku.  Laki-laki mungkin memang tercipta untuk selalu dimengerti dan wanita harus berusaha selalu mengerti, seberapapun pahitnya itu. Aku tak tau mana yang lebih mengerikan, hidup dalam kesendirian dan kesepian selama sisa hidup ataukah membayarnya dengan segala ketidaknyamanan atas ego dan kecemburuan? Tak ada yang lebih baik dari keduanya.
Kami duduk berdua, saling berhadapan. Radja tampak jauh lebih kurus dari saat terakhir aku melihatnya. Matanya tampak cekung, aku tau ini juga bukan hal yang mudah untuk dirinya. Kucoba menghadirkan sebuah senyum, dia membalasnya sambil memegang erat kedua telapak tanganku.
“aku mencintaimu, mungkin aku tak perlu mengatakannya...kau cukup bisa merasakan itu...” 
kuhela nafas, mencoba mengatur kalimatku.
“aku merasa takut untuk hidup sendiri...” 
 kutunggu reaksinya. Tapi Radja hanya diam sambil menatap mataku.
“permintaanmu untuk menikah lagi sungguh sangat menyakitiku...tapi aku sadar tak punya cukup pilihan, mungkin ini termasuk bagian dari takdirku..”
Radja menghela nafas, terdengar begitu berat.. 
“aku ingin kau bahagia, itu sebuah hal sederhana yang merangkumkan segala perasaanku untukmu atas apa yang telah kulakukan selama ini. Ternyata tak mudah menukar perasaan ini dengan kenyataan yang kau sodorkan padaku. Aku harus memilih antara kebahagiaanmu dan kebahagianku sendiri. Dan sungguh, aku berusaha untuk tidak egois, tapi aku juga punya hak untuk adil pada diriku sendiri..”
“aku mengijinkanmu untuk menikah lagi..”

 kalimat itu terasa mengiris hatiku sendiri. Radja tampak terkesiap, menatap wajahku lekat-lekat seakan mencari kesungguhan atas kalimat itu. Kubiarkan keheningan membelenggu, sejenak kembali menimbang antara hati dan kenyataan, antara rasa cinta dan ego ku sebagai manusia. Setiap manusia pada akhirnya harus sendiri, itu hanya masalah waktu, setiap kita akan mampu menghadapi segala kepahitan, bahwa kita harus mampu mencintai diri sendiri untuk memberikan separuhnya pada orang lain karena setiap orang berhak untuk bahagia.
Kembali kutatap wajah sosok yang telah menemani dan mengisi hari-hariku selama sekian belas tahun dalam kehidupanku. Kuyakinkan diri bahwa aku masih sangat mencintainya. Dan semakin yakin dengan keputusan ini.
“ceraikan aku...”

-Tamat-

Sabtu, 23 Maret 2013

Tentang Bintang


Kuberi nama dia “Bintang”, karena itulah aura yang kurasakan saat kulihat bening dua bola matanya. Karena dia memang selayaknya cahaya kecil, indah berkelap kelip di pekat malam. Karena dia pembawa keajaiban dalam keheningan sebuah rumah.
Sembilan tahun bukan waktu yang singkat untuk menanti kehadirannya. Dan mukjizat itu datang, saat aku mendengar dokter memberitahu bahwa aku positif hamil. Tak mampu kugambarkan suka cita yang menyelimuti hati. Kebahagiaan itu adalah milik kami, aku dan suamiku. Wujud dari sebuah cinta yang dipelihara dengan kesabaran dan keyakinan.

Bintang.. hanya itu nama yang kusematkan pada bayi mungil yang menangis kencang dalam dekapanku saat itu, bentuk nyata sebuah keajaiban. Airmata mengalir, selayaknya kesejukan yang melingkupi hati dan jiwaku. “terima kasih Tuhan…” hanya itu yang mampu terucapkan dari bibirku. Tak ada yang lebih indah daripada menjadi seorang ibu.

Hari berlalu, bulan berganti tahun. Sengaja aku berhenti bekerja untuk memberikan kasih sayang sepenuhnya. Tuhan begitu pemurah mempercayakannya padaku. Segala hal terbaik yang mampu kuberikan untuk Bintang. Cinta, kasih sayang dan perhatian, dia adalah segalanya untukku. Setiap detail yang mampu kurekam dalam memoriku tentang Bintang. Aku tak mau melewatkannya. Dari gaya menggeliatnya, caranya membuka mata, suara tangisnya, tendangan-tendangan kecilnya, gerakan jemari kecilnya. Keajaiban melingkupi setiap detik, menit, jam, waktuku. Ada satu hal yang sedikit mengusik. Seiring waktu baru kusadari bahwa aku tak pernah melihat senyum di wajah Bintang. Awalnya kupikir memang seperti itulah bayi pada umumnya, mereka belum bisa mengungkapkan perasaan selain tangisan saat lapar dan tidak nyaman karena popoknya yang basah. Kutepis segala perasaan itu. Secara fisik, Bintang juga anak yang cukup sehat. Gigi pertamanya mulai tumbuh di usia tujuh bulan. Umur sembilan bulan dia sudah mulai berdiri dan belajar jalan. Sepuluh bulan dia sudah lancar berjalan. Setahun dia sudah berlari kesana kemari, tapi sampai pada usia itu, senyum itu begitu sulit kutemui di wajah mungilnya. Dia terlihat pemurung diantara teman-teman seusianya.
Sampai pada suatu hari, dia tampak begitu tertarik dengan sebuah spidol berwarna merah yang ditemukannya di bawah meja kerja suamiku. Baru kulihat sebuah senyum kecil mengembang di wajah mungilnya. Lalu dia mulai sibuk mencoret-coret segala sesuatu, termasuk tubuhnya sendiri, awalnya kulihat kelucuan disitu. Tapi lama kelamaan dia tampak terobsesi dengan spidol merah itu, seluruh tubuhnya penuh dengan coretan berwarna merah, bahkan sampai wajahnya. Saat kuambil spidol itu dia berteriak, menangis sekencang-kencangnya seakan aku telah merebut sesuatu yang sangat berharga darinya. Aku begitu kebingungan dengan reaksinya saat itu. Kudekap erat-erat dirinya, berharap bisa menenangkan, tapi dia masih tetap menangis meraung-raung. Terasa ada sesuatu menyayat dalam hati saat mendengar tangisannya. Aku tahu dia terluka, bukan secara fisik, tapi lebih dalam hatinya, tanpa sengaja aku telah melukainya, dengan mengambil sesuatu yang mampu menghadirkan sebuah senyum di wajahnya yang selalu diliputi kemurungan.
Esoknya, demi menebus apa yang telah terjadi dengan spidol merah, kubelikan dia sekotak pensil warna. Sepasang matanya berbinar takjub melihat deretan warna-warni dihadapannya. Tak lama kemudian Bintang sudah asyik mencorat coret kertas gambar, dengan berbagai warna. Dia begitu menikmati proses itu, dan mampu melakukannya sampai berjam-jam lamanya. Aku sendiri tidak terlalu paham tentang seni. Tapi yang kurasakan adalah semangat Bintang saat menggambar, dia seperti menemukan sebuah dunia indah dalam versinya, yang tak seorang bisa memasukinya, bahkan aku...ibunya.

“Putri ibu mengidap autisme….” Dokter mengatakan hal itu dengan nada datar.
Aku hanya tertegun mendengarnya. Pikiranku terasa kosong, sedikit sulit mencerna apa yang baru saja kudengar, antara berusaha menerima dan berpura-pura itu hanya imajinasiku. Aku menoleh kearah suamiku yang tampak terdiam dengan wajah yang aku juga tak mampu menduga apa yang sedang berkecamuk dalam bathinnya. Lalu kualihkan pandangan pada Bintang, yang sedang duduk di lantai asyik mencorat coret kertas. Sedetik kemudian sesak itu terasa membekap.
Bagaimana mungkin malaikat kecilku mengidap autis? Dosa apa yang telah kami perbuat? Bagaimana nanti dia di lingkungan? Bagaimana dia bisa menjaga dirinya di tengah belantara dunia? Apa yang harus aku lakukan?
Dan airmata itu deras mengucur, tanpa yakin atas apa yang aku rasakan sepenuhnya. Aku beranjak dari kursi, melangkah menuju Bintang, lalu memeluknya erat-erat, berharap kehangatan dari dekapanku akan mengalirkan kekuatan yang mungkin bisa membuatnya merasakan segala cinta yang ingin kucurahkan untuknya.
Tapi yang kurasakan, reaksi Bintang hanya diam, sejenak kemudian mulai memberontak, menolak pelukanku. Aku mempererat dekapan, menahan gerak tubuhnya yang berusaha melepaskan diri. Tangisku semakin keras, aku hanya ingin menyatukan tubuh mungil itu ke dalam diriku, mengisi kekosongan yang mungkin menguasai dirinya, ikut merasakan kehampaan yang melingkupi dunianya.
Bintang mulai menangis, suaranya yang memilukan semakin memperat pelukanku. Kami berdua tenggelam dalam drama. Suamiku dan dokter segera datang berusaha melepaskan diriku yang mulai semakin histeris. Aku masih sulit menerima kenyataan ini. Bahwa anakku seorang penderita autis.

Kupandangi berlembar-lembar kertas penuh gambar dan warna warni. Berulang kali aku mencoba mencerna apa yang ada dihadapanku. Beberapa berisi warna-warna gelap, sebagian lagi diantaranya berisi warna-warna yang sangat cerah, dipenuhi lingkaran-lingkaran kecil, kadang bentuk-bentuk tidak beraturan, tapi memiliki warna senada. Ada satu hal yang kurasakan pada gambar-gambar itu, entah apa. Tapi tekadang aku seperti bisa membaca sesuatu yang ingin diungkapkan lewat warna warni diatas kertas itu. Kadang terasa semacam kesedihan, kesepian, terkadang ada keceriaan walaupun aku tidak tahu bagaimana aku bisa menjelaskan apa yang ada dipikiranku secara rasional.
“Bintang....” bisikku lembut. Aku tau dia tidak akan mendengarku. Saat ini dia sedang tertidur pulas. Kuambil perlahan beberapa pensil warna yang masih ada dalam genggamannya. Kucium perlahan pipinya, sekilas kulihat jemarinya yang penuh warna-warni. Kuraih tissue dan membersihkannya perlahan. Tiba-tiba kurasakan mataku telah basah oleh airmata. Saat ini aku hanya ingin bersyukur telah menerima anugerah indah ini. Kuusap lembut keningnya, kurasakan hangat menyentuh telapak tanganku. Aku terkesiap, segera kuraih pengukur suhu tubuh, sesaat kemudian kulihat angka yang tertera tiga puluh delapan derajat. Aku mulai merasa gelisah. Dan selalu seperti itu saat Bintang sakit. Aku selalu merasa terlalu takut kehilangan. Kuambil pengompres, dan mulai melakukan ritual untuk menurunkan suhu tubuhnya.

Tubuh kecil itu tampak lemah di tempat tidur, selang infus di tangan kirinya. Beberapa selang lagi terpasang di bagian tubuh lainnya. Matanya masih terpejam, entah sudah berapa lama. Aku tak bisa lepas memandanginya. Membayangkan bibir mungil itu akan mengucapkan sesuatu. Kuraih tangan kecil Bintang, menciumnya, berharap akan ada gerakan dari sana. Aku sudah tak punya airmata, itu yang aku rasakan setelah berhari-hari menangisinya.
Tuhan, apa yang Engkau rencanakan? Mengapa Kau memberiku kesempatan “hanya” sesingkat ini? Apakah ini semacam hukuman bagiku? Apa rencanaMu? Kalimat itu yang terus menderaku. Aku tidak mau kehilangan Bintang...Kumohon Tuhan, bisikku..
Aku akan menerima dia seperti apa adanya, dengan segala apa yang Kau limpahkan untuknya. Tolong beri aku kesempatan untuk bisa menjaganya lebih lama.
Tuhan, apa kau begitu sibuk untuk sekedar mendengarkan doaku? Mengapa harus Bintang-ku yang merasakan segala rasa sakit itu? Tak bisakah aku yang menggantikannya?
Tuhan, apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengurangi segala rasa beban yang dirasakannya?
Tuhan, tolong beri petunjukMu, Engkau yang Maha Pengasih, Maha Cinta, tolong beri aku kekuatan.
Bintang menderita radang otak, dan harapan hidupnya sangat tipis, itu yang dikatakan dokter beberapa hari yang lalu. Padahal dia baru berusia empat tahun. Dengan segala rencana yang telah kusiapkan untuknya, dengan segala keadaan dirinya yang telah menjadi kelengkapan dalam hidupku.
Mengapa Tuhan? mengapa harus Bintang? Mengapa harus aku yang merasakan beban sedalam ini?

“mama...” tiba-tiba kudengar suara kecil itu. Aku berusaha memastikan diri bahwa suara itu bukan hasil halusinasiku.
Kulihat Bintang disana telah membuka mata. Kudekatkan wajahku ke wajahnya.
“ya...ya..Bintang sayang...” terbata-bata aku mengucapkan kata.
Bibirnya bergerak-gerak tapi aku tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya. Kudekatkan telingaku, tapi aku tetap tak bisa mendengar apa-apa. Kupandangi wajahnya, berusaha mencari tau apa yang ingin diungkapkannya.
Lalu kulihat keajaiban itu, Bintang memandangku lekat lalu tersenyum, sebuah senyuman “untukku” hal yang telah kunanti selama empat tahun ini.
Airmataku mengalir seiring tangannya yang terasa semakin melemah dalam genggamanku.
Terasa ada udara dingin memenuhi dadaku. Pergilah Bintang...mama ikhlas..Mungkin ini yang ingin Tuhan ajarkan pada mama, tentang “keikhlasan” bahwa kita semua akan kehilangan, itu hanya masalah waktu, bukan tentang kesiapan kita saat menghadapinya, tapi bagaimana kita saat harus menjalaninya. Bahwa “setiap” kita memiliki sesuatu kita harus siap dengan “segala” kehilangan.
Terimakasih Bintang...karena sampai kapanpun kau akan tetap menjadi “bintang” di langit, yang walaupun tak terlihat, aku tahu bahwa kau selalu ada di atas sana.

- Tamat -

Behind the scene: cerpen ini sempat cukup lama ke-pending. Selain karena alasan waktu dan mood yang seringkali susah diajak kompromi, juga karena pas menulis cerpen ini saya terlalu terbawa suasana hati. Baru selembar ngetik udah keburu nangis berlinangan airmata (cengeng mode on) saya pikir waktu itu sedang dalam masa PMS dan hormon lah yang menjadi "tersangka" utama penyebabnya. Karena pemikiran idealis, akhirnya saya memutuskan untuk me-rehat-kan sejenak penulisannya, karena seringkali kalo terlalu terbawa suasana hati, hasilnya malah gak bagus.
dan sore ini (akhirnya) saya berhasl menyelesaikannya, dan (masih) sempat menitikkan airmata (mungkin karena si hormon -lagi-)
Cerpen ini terinspirasi saat naek angkot tanpa sengaja, bersama seorang anak berkebutuhan khusus. 
Sudah cukup lama ide nya tapi belum berhasil menuangkan dalam sebuah tulisan. 
NB: cerita ini khusus terdedikasikan untuk para anak istimewa yang dikirimkan Tuhan untuk mengajari banyak hal tentang makna kehidupan, terlebih untuk para ibu hebat yang karena kasih sayang Tuhan juga, mendapat kepercayaan untuk mendampingi mereka.