Kamis, 17 November 2011

CINTA CAPPUCINO


“Rasanya aku jatuh cinta...Tania”
Aku pura-pura menguap, lalu tersenyum sinis padanya.
“Seingatku kamu sudah mengatakan itu 5 kali dalam kurun waktu 6 bulan ini dan hal itu menyangkut beberapa gadis yang berbeda” kataku.
“Kapan kamu akan sembuh dan sadar bahwa umurmu sudah lebih dari tiga puluh tahun..” omelku lagi padanya.
Dia tersenyum seperti biasanya. Mengibaskan tangannya seakan apa yang baru aku katakan bukan hal yang penting untuk dibahas. Kupandangi dia entah, mengapa aku masih menganggapnya remaja belasan tahun seperti saat kita baru berkenalan.
Aku mengenal Aldo saat kita sama-sama masih SMP. Kebetulan rumahku dekat dengan rumahnya. Kita sempat berbeda sekolah saat SMA, tapi kemudian kita kembali jadi teman saat di perguruan tinggi. Kita sahabat baik, tidak lebih, mungkin itu kalimat yang bisa menjelaskan mengenai hubungan kita berdua. Kita seperti satu hati yang dipisahkan dalam dua tubuh berbeda jenis. Tapi mungkin apa yang terjadi diantara  aku dan Aldo memang tidak mudah untuk dimengerti oleh orang lain. Saking seringnya kita terlihat berdua, orang-orang mengira kalau kita pacaran. Padahal tidak pernah terjadi sesuatu yang istimewa diantara kita berdua. Hubungan ini murni persahabatan. Aku seringkali menjodohkannya dengan beberapa teman demikian pula dia sebaliknya. Dan hal ini berlangsung sampai bertahun-tahun. Sampai saat ini di usia 30 tahun..upss, maaf 2 bulan lagi umurku 31 tahun, kita sama-sama masih lajang. Dan seperti kebiasaan Aldo dimasa kami masih sama-sama mahasiswa, dia juga cukup rajin untuk mengenalkan teman-temannya padaku, mungkin lebih tepatnya menjodohkanku. Tak ada yang gratis di dunia ini, apa yang dilakukan Aldo aku sadari bukan merupakan perhatian seorang sahabat atau kepedulian seorang teman yang prihatin karena sahabat wanitanya sudah masuk kategori “perempuan telat kawin” (itu istilah paling halus yang dilekatkannya padaku). Tapi lebih jauh, dia selalu berharap bahwa aku akan mengenalkan atau minimal memberikan nomor telpon wanita-wanita cantik disekitarku. Pekerjaanku sebagai penulis tetap di sebuah majalah wanita yang lumayan punya nama, memungkinkan aku berhubungan dengan artis, fotomodel, peragawati terkenal. Mungkin itu sebabnya Aldo tak pernah merasa bosan “menempel” padaku.
Aku dan Aldo tidak terlalu sering bertemu, kami lebih sering ngobrol lewat telpon atau e-mail. Paling sebulan atau dua bulan sekali kami membuat janji untuk bertemu di suatu tempat. Biasanya disebuah cafe, menikmati secangkir kopi dan ngobrol sana-sini tapi lebih sering isinya adalah curhatan Aldo mengenai wanita-wanita yang sedang dekat dengan dirinya. Sempat beberapa waktu yang lalu Aldo juga rajin mengenalkan beberapa teman-teman cowoknya padaku. Tapi selalu tak bisa berakhir baik. Kalau aku ingat ada salah seorang teman Aldo yang pernah cukup dekat denganku namanya Bagas dan kita “jalan” cukup lama, sekitar enam bulan, aku sempat berpikir aku sudah menemukan cinta sejatiku dan akan mengakhiri masa lajangku dengan Bagas. Tapi entah mengapa saat Bagas benar-benar berniat melamarku aku jadi begitu ketakutan, aku merasa diriku belum siap untuk “terikat” dengan seseorang, dan begitulah akhirnya aku memutuskan berpisah dengan Bagas tanpa bisa memberikan penjelasan yang masuk akal padanya kenapa aku tidak bersedia menikah dengannya.
Hingga sampailah Aldo pada satu kesimpulan bahwa aku terlalu “aneh” untuk menikah atau terikat dengan seseorang. Aku hanya berargumentasi bahwa aku tidak mau 'memaksakan diri” untuk menikah atau menjalin sebuah hubungan serius dengan seseorang hanya karena ketakutan atas label perawan tua, wanita telat kawin atau istilah-istilah semacam itu yang cukup mengerikan menurut sebagian orang. Aku cukup bahagia dengan hidupku dan aku tidak berniat mengukur kebahagiaanku dengan kebahagiaan orang lain yang sudah menikah. Aku hanya akan menikah dengan orang yang benar-benar tepat, dan aku akan menunggu saat itu, namun bila takdir tak bisa mempertemukan aku dengan “seseorang” itu aku akan tetap menjalani hidupku dengan “bahagia” menurut versiku sendiri.

“Haduuuhhh...malah nglamun, lagi...” suara Aldo mengagetkanku.
“Trus aku mesti bilang apa...paling lama dua minggu ke depan kamu akan mengatakan, ternyata itu hanya perasaan sesaat, entah mengapa aku kehilangan 'rasa' dengannya..” aku mengatakan hal itu dengan gaya yang sengaja aku buat 'berlebihan' untuk menyindirnya.
Aldo tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menatapku dengan pandangan serius.
“Dia berbeda, Tania..benar-benar berbeda, dia tidak seperti gadis kebanyakan, okey ..dia cantik, sexy, smart, anggap itu sebagai bonusnya, tapi yang jelas aku tidak bisa berhenti memikirkan dia...” matanya tampak berbinar saat mendeskripsikan “gadis” itu.
“Berapa umurnya?” tanyaku tak acuh, masih belum yakin sepenuhnya bahwa Aldo benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.
“Dua puluh empat tahun, dan dia baru saja menyelesaikan S2 nya..”
“Mmmhh..tumben kamu 'mengukur' seseorang dari otaknya...”
Aldo tampak mulai gemas dengan reaksiku.
“Kamu harus bertemu dengan Rena, ” Aldo menyerah melihat sikapku masih tak acuh, tampak dia mulai putus asa aku menanggapinya dengan dingin.
“Boleh....kapan?”
“Minggu depan ya...”putusnya.

Sudah dua hari ini aku merasa tidak enak badan. Dan hari ini adalah puncaknya. Badanku meriang, panas tapi aku merasa kedinginan. Seluruh tubuh pegal dan sakit semua, seperti habis berlari puluhan kilometer. Kepalaku seakan sebuah wadah yang berisi air separuhnya lalu ditutup rapat dan saat diketuk akan menimbulkan bunyi bunyian,  flu ku benar-benar parah. Hari ini kuputuskan untuk ijin tidak masuk kantor dan mungkin sekalian mengambil cuti beberapa hari untuk mengembalikan staminaku.
Tiba-tiba terdengar suara panggilan telpon masuk dari HP ku. Kubaca nama sang penelepon..Aldo? Pasti dia mau memastikan acara nanti malam untuk bertemu dengan kekasih barunya. Malas-malasan kujawab telponnya, suaraku kubuat sedemikan menderita, sehingga Aldo percaya bahwa aku memang benar-benar sakit.
“Haluuuuu...” suaraku terdengar serak tanpa kubuat-buat.
“Nanti malam jadi kan...?” dia langsung menanyakan hal itu tanpa basi basi terlebih dahulu, aku jadi sebal.
“Gak bisa..aku sakit..flu ..parah..”
“Hah...?! emang kamu bisa sakit ya...? kadang aku pikir badanmu terbuat dari besi, jadi kuman atau virus apapun tak sudi dekat-dekat denganmu”. Dia masih saja mengolok-ngolokku dalam keadaan seperti ini.
Aku hanya diam, berpura-pura batuk kecil.
“Waduh..tanpa perlawanan, brarti sakitmu bener lumayan parah ya...” suaranya terdengar seperti sedikit menyesal.
“Okay deh..moga cepet sembuh ya...”
“Makasih..” jawabku pendek sambil menghela nafas lega. Aku ingin tidur.

Entah sudah berapa lama aku tidur. Kulirik jam dinding berwarna kuning cerah yang tergantung sepi di tembok kamar, sudah hampir jam 7 malam, lumayan lama juga aku tidur . Aku baru pindah dari sebuah kamar kost, mengontrak sebuah rumah mungil bersama Mitha bekas teman kuliahku yang kantornya juga tidak terlalu jauh dari kantorku. Sebenarnya sudah dua bulan aku menempati rumah kontrakan ini, tapi aku belum banyak melakukan perubahan atas kamar baruku ini. Satu-satunya barang yang kupasang sebagai “pelengkap” dalam kamarku ini hanya jam dinding besar berwarna kuning yang kubeli bersama Aldo sekitar sebulan yang lalu.
Badanku belum terasa lebih baik dari tadi siang. Mungkin gara-gara aku belum minum obat. Tenggorokanku masih seperti menelan biji kedondong, terasa sakit, gatal dan panas, benar-benar menyiksa. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, sesosok tubuh tampak disana. Aldo?
“Permisi...”
“hei...cowok ga boleh masuk..” kataku seraya melemparkan sebuah bantal kecil kearahnya.
Dia hanya nyengir, lalu tanpa basa basi duduk disamping ranjangku, kemudian menempelkan telapak tangannya ke keningku, seperti dokter yang sedang memeriksa pasiennya. Aku hanya diam, cemberut dan melotot marah ke arahnya.
“Aku sudah minta ijin sama Mitha kok, ternyata kamu benar-benar sakit” katanya sambil nyengir.
Aku belum sempat berkata apa-apa ketika kusadari sesosok lain sedang berdiri di depan pintu kamarku.
Gadis itu, kekasih baru Aldo. Dia benar-benar memiliki semua definisi cantik seorang wanita. Tinggi, langsing, putih, hidung mancung, bibir tipis, rambutnya panjang melewati bahu, tampak hitam mengkilat, pasti dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Tingginya aku perkirakan sekitar 170cm mungkin lebih satu atau dua centi. Dia mengenakan celana jeans semi bootcut yang membungkus rapi sepasang kaki jenjangnya, dipadukan dengan atasan berwarna pink cerah bermodel sederhana, lalu di lehernya tampak terlilit sebuah scraf tipis bermotif bunga-bunga kecil berwarna pink, ungu muda, kuning dan hijau, benar-benar manis dan elegan. Dia perpaduan kecantikan Dian Sastro yang alami dan natural dengan Rianti Cartwright yang manis dan lembut. Sepasang mata indahnya seperti mutiara hitam, bersinar indah menambah kesempurnaan wajahnya. Dia benar-benar seperti bidadari.
Aku masih mematung begitu terpesona dengan aura gadis itu, bahkan aku bisa jatuh cinta padanya. Kemudian aku menyadari bahwa kondisi diriku saat ini persis Ugly Betty tanpa kawat gigi dan kaca mata tebalnya. Celana tidur garis-garisku yang sudah tidak jelas definisi warnanya. Dua T-shirt yang sengaja kupakai berlapis ditambah sweater ungu tua butut yang ukurannya melebihi dua size ukuran tubuhku sebenarnya, plus sepasang kaos kaki jaman aku ospek awal masuk kuliah. Aku benar-benar parah, dari kacamata seorang desainer penampilanku ini mungkin salah satu tanda-tanda kiamat dunia mode. Aku dan gadis itu adalah Beauty and The Beast dalam arti kata sesungguhnya.
“Mmmmhh..masuk...” aku berkata jengah.
Dia tersenyum, ada lesung pipit di pipi kirinya, menambah lagi deretan kesempurnaan fisiknya.
“Rena..kenalkan ini Tania...” Aldo bersikap sok formal.
Kusambut jabatan tangannya.
“Tania..” kataku lirih, kubuat seakan kondisiku memang benar-benar parah, berharap dia tidak akan menertawakan kekonyolan penampilanku ini.
“Kamu sudah minum obat..?” suara Aldo memecah keheningan yang sempat ada di antara kita.
Aku hanya menggeleng lemah.
“Lupa..” jawabku pendek.
“Harusnya kamu bisa lebih bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri..” omel Aldo, entah mengapa kali ini kalimatnya terdengar dewasa sekali, mungkin karena ada gadis itu, bathinku.
“Sudah makan? Pasti juga belum...” Aldo menatapku tajam seakan aku telah berbuat dosa besar.
Aku hanya diam, tak tahu mesti mengatakan apa. Harusnya aku mulai mengajak ngobrol gadis itu, karena  mungkin dia tidak nyaman dengan situasi ini. Kekasihnya sedang memberikan perhatian besar pada wanita lain yang mirip dengan tumpukan baju kotor meringkuk di tempat tidur.
Tapi tampaknya dugaanku keliru. Gadis itu tidak tampak jengah sama sekali dia malah sedang asyik membuka-buka majalah, duduk santai di karpet merah yang terpasang seadanya di kamarku. Saat aku melihatnya, tampak dia tersenyum ke arahku seakan iba melihat keadaan diriku yang sedang diomeli oleh Aldo. Tentu saja dia tidak akan pernah merasa cemburu dengan itik buruk rupa semacam aku ini, bathinku.

Beberapa saat kemudian, kami bertiga terlibat dalam obrolan yang menyenangkan. Harus kuakui definisi Aldo tentang Rena memang benar adanya, cantik, sexy dan smart, sebuah perpaduan sempurna. Wajar kalo Aldo tergila-gila padanya. Rena bukan hanya tipe gadis yang setiap orang akan menoleh dan menatap kagum ke arahnya saat dia berjalan di keramaian, persis dengan iklan-iklan sabun di televisi, tapi dia juga tipe gadis yang enak diajak ngobrol tentang apa saja, hingga semua orang akan merasa nyaman saat di dekatnya. Kadang aku hanya diam tak berkata apa-apa saat mereka berdua, Aldo dan Rena tampak berdebat tentang hal-hal ringan, untunglah peranku sebagai seseorang yang sedang flu parah cukup membantu, sehingga aku tak tampak konyol di depan mereka berdua (sebuah pembenaran diri atas sesuatu yang 'tidak' sesuai dengan kenyataan dalam hatiku).
Akhirnya mereka bedua meminta ijin pulang, entah mengapa ada perasaan lega dalam hatiku. Aku tidak perlu menonton pertunjukan “manis” mereka lebih lama lagi. Duh, betapa jahatnya aku, bathinku. Bukankah seharusnya aku turut berbahagia dengan hubungan mereka berdua? Akhirnya Aldo bisa menemukan seseorang yang tepat untuknya. Aku tahu sangat tahu bahwa kali ini Aldo tidak main-main dengan gadis ini. Dari caranya memandang, menggoda gadis itu sampai kedua pipinya bersemu merah, menyentuh lembut tangannya, dari semua yang Aldo lakukan pada gadis itu, aku tahu semua keluar dari hati Aldo yang sebenarnya. Bahwa Aldo memang telah jatuh cinta pada gadis itu. Dan setiap kali aku membisikkan itu ke dalam hatiku sendiri, entah mengapa ada perasaan sepi yang tiba-tiba menyelinap, menebarkan hawa dingin di sudut hati. Kepalaku terasa semakin berdenyut-denyut.

Handphone ku berbunyi, Rena dan Aldo sudah pulang sekitar satu jam yang lalu. Siapa yang telpon  malam-malam begini? Jam 10 malam, bathinku saat melirik jam dinding kuning. Kubaca nama si penelepon, Aldo? Duh, mau apalagi dia telpon? Mungkin ingin membahas tentang Rena, tebakku. Aku benar-benar sedang malas untuk mengangkat telponnya, apakah itu salah?
Suara handphone masih terus berbunyi, aku masih bimbang antara mengangkat atau membiarkannya. Bukan satu hal yang salah juga kalau aku tidak mengangkatnya, besok aku bisa beralasan bahwa aku sudah tertidur lelap setelah minum obat. Kututup kepalaku dengan bantal, berusaha mengusir suara handphone sendiri. Tapi entah mengapa deringnya tak mau berhenti.
Mungkin aku memang tak ada pilihan selain mengangkat telpon dari Aldo, aku tak mau dihinggapi rasa bersalah karena membohonginya.
“Halo...?” aku mengatakan itu dengan malas-malasan.
“Maaf..kamu udah tidur ya?....”
“Heeemm..” aku tidak berniat menjawabnya.
“Aku di depan rumahmu..?”
“Hah..?! serius..ngapain?”
“Aku bawain pangsit mie, kamu pasti belum makan, ya kan..” tiba-tiba aku merasa bersalah.
Aku tidak menjawabnya, hanya langsung berlari menuju pintu depan, kuintip dari jendela di ruang tamu, tampak Aldo sedang tersenyum lebar, tangan kirinya masih memegang handphone dan tangan kanannya membawa sebuah bungkusan yang sedang diacung-acungkannya ke arahku.
Segera kubuka pintu depan. Perasaan bersalahku semakin menjadi jadi.
“Aku cuman mau nganter ini, aku langsung pulang aja, jangan lupa minum obat ya... ” Aldo hanya mengatakan itu dan segera berlalu dari hadapanku.
“Makasih...” jawabku pendek. Aku masih tertegun dengan apa yang terjadi. Aldo bahkan tidak mengatakan apa-apa tentang  gadis itu, malam-malam dia datang hanya untuk mengantarkan makanan untukku. Aku benar-benar jahat, rutukku dalam hati.



Kupandangi pangsit mie yang sudah kupindahkan ke mangkuk, siap untuk dinikmati. Pangsit mie ini makanan favorit kita berdua sejak masih sama-sama kuliah dulu. Aku dan Aldo sepakat, pangsit mie ini adalah pangsit terenak di dunia karena memang kita tak pernah berniat mencari pembandingnya. Setiap kali kita ingin makan pangsit mie, kita akan langsung pergi ke tempat itu. Sebuah rumah makan kecil sederhana yang tidak pernah sepi pembeli. Kenangan bersama Aldo serta merta hadir di pikiranku seperti sebuah film  dokumenter. Begitu banyak yang pernah kita lalui. Aku sadar sikapku ini sungguh konyol. Dan tiba-tiba sebulir air bening jatuh begitu saja dari mataku. Ya Tuhan..aku menangis? Untuk apa? Aku juga tidak tahu pasti. Apa karena kesepian? merasa terharu atas apa yang dilakukan Aldo malam ini? Atau sebenarnya kesedihan yang kutahan dari tadi saat kulihat Aldo bersama gadis itu? Atau justru tangis bahagia karena Aldo telah menemukan seseorang yang tepat? Aku mungkin bisa membohongi orang lain, tapi aku tak bisa membohongi diri sendiri. Ada rasa perih setiap kali Aldo memandang mesra gadis itu. Ya Tuhan...perasaan macam apalagi ini? Kalau memang sebenarnya dari dulu aku jatuh cinta pada Aldo, lalu kemana saja perasaan cinta itu bersembunyi selama ini? Aku benar-benar tidak tahu apa yang kurasakan, tiba-tiba saja aku begitu takut kehilangan Aldo. Aku takut kehilangan saat-saat bersamanya. Dan baru kurasakan aku takut untuk sendiri. Mungkin benar bahwa kita baru merasa bahwa sesuatu berarti dalam hidup kita saat kita telah kehilangan.

“Rasanya udah lama banget kita ga ngobrol..” suara Aldo memecah keheningan.
Benar, jawabku hanya dalam hati. Kalo kuingat-ingat sudah dua minggu sejak kedatangan Aldo dan gadis itu ke rumah. Aldo sempat beberapa kali meneleponku, tapi aku selalu beralasan sedang sibuk dan hanya berjanji akan meneleponnya kembali, tapi hal itu tidak pernah aku lakukan. Dan ini berlangsung sampai beberapa kali.
“Maaf..aku agak sibuk akhir-akhir ini, ada target yang harus aku selesaikan” jawabku mencoba beralasan.
Aldo memandangiku. Ya Tuhan, semoga dia tidak tahu apa yang kurasakan saat ini, doaku dalam hati. Entah mengapa aku merasa bergetar saat dia memandangiku seperti ini. Padahal sudah ratusan kali kita “jalan” bersama, tapi sekarang semuanya terasa berbeda.
Aku merasa bersalah, mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Merasa bersalah karena ternyata diam-diam aku mulai jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Merasa bersalah karena baru menyadari hal itu setelah sekian tahun kita “bersahabat” baik. Merasa bersalah karena hal itu terjadi setelah dia menemukan “seseorang” yang tepat untuknya. Merasa bersalah karena ternyata perasaan sayang pada sahabat dengan perasaan cinta hanya terpisah oleh tirai tipis yang bisa koyak sewaktu-waktu dengan begitu mudahnya. Aku sendiri juga tidak mengerti mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Apa mungkin pada saat aku mengalami demam tinggi beberapa syaraf di otakku mengalami “pemuaian” hingga aku mulai berhalusinasi dengan perasaanku sendiri.
“Kamu udah sembuh kan? Kelihatannya kok masih lemes gitu sih..”
Aku hanya menggeleng sambil berdoa dalam hati semoga dia tidak mulai membahas Rena, karena aku tidak yakin akan bisa bersikap obyektif lagi dalam memberikan pendapat tentang gadis itu.
Suara handphone menyelamatkanku. Segera kuangkat dan hanya melihat sekilas nama si penelpon. Bagas? Otakku baru mencerna, tapi jariku sudah terlanjut memencet tombol hijau.
“Halo...?” suaraku terdengar ragu-ragu.
“Hai...gimana kabarnya? Baik kan..?”
“Baik...” aku menjawab singkat, kuraih capucino ku yang tinggal separuh, sekedar untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering.
“Kalo ada waktu, mmmhh...nonton yuk...” suaranya masih terdengar tenang dan sabar.
Sejenak aku bingung mesti menjawab apa.
“Boleh...” entah mengapa kata itu yang meluncur dari mulutku.
“Sekarang...?!” kemudian terdengar dia tertawa.
Di hadapanku Aldo tampak memandangku curiga, mulutnya mengucap kata-kata ..siapa?
Aku menaruh telunjukku di bibir, menyuruhnya diam dan mengatakan dengan perlahan,..Bagas..
Diluar dugaan Aldo mengacungkan jempolnya sambil tersenyum menggoda.
Aku mencibirkan bibirku, karena tak tahu harus bersikap bagaimana lagi.
“Haloooo...” suara Bagas mengembalikan konsentrasiku.
“Besok aku jemput dari kantormu, trus kita jalan ya...” kalimatnya bukan seperti penawaran tapi lebih seperti perintah untukku, dan aku tak punya pilihan lain untuk menolaknya.
“Okey deh..” jawabku singkat.
“Bye...” kututup telponnya.
Aldo berdehem-dehem. Aku tahu dia berniat menggodaku.
“Jadi, ceritanya berlanjut nih...” dia mengatakan itu sambil tersenyum dan mengerling.
“Bagas orangnya baik kok” kata Aldo lagi.
Aku belum mengerti maksud dari kata-kata Aldo. Karena jauh di lubuk hatiku, aku berharap Aldo akan mengatakan hal lain, mencegahku berhubungan dengan Bagas, lalu mengatakan padaku bahwa sesungguhnya dia juga mencintaiku, sama seperti yang aku rasakan saat ini. Tapi aku tahu itu hanya halusinasiku.
“Aku takut...Do..” aku mengatakannya pelan.
“Takut? Kenapa?”
“Aku takut pernikahan, aku takut hal itu tidak berjalan baik, seperti pernikahan orang tuaku..” Ini adalah hal paling jujur yang aku katakan pada Aldo, selama ini aku hanya memendamnya sendiri, menyimpannya rapat-rapat di sudut ruang hatiku.
“Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri, Tania..kamu gak perlu merasa takut, dan kalau aku liat secara pribadi, Bagas orangnya baik dan sabar, dia cocok sama kamu yang meledak-ledak, dia pasti bisa mengimbangimu..” Aldo mengatakan itu sambil tersenyum penuh arti.
“justru karena itu, aku takut...saat bersama Bagas, seringkali aku merasa Bagas adalah malaikat dan aku setannya...” kataku pelan.
Aldo tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang baru saja aku katakan.
“Aku tahu kamu aneh, Tania..tapi kadang aku sama sekali tidak mengira bahwa ke-anehan mu benar-benar parah...”
Aku cemberut, kalimatnya menohokku, mungkin karena itu juga Aldo tidak bisa jatuh cinta padaku, desisku dalam hati. Pedih.

Pulang kantor, di tempat parkir kulihat Bagas sudah berdiri disamping mobilnya, melambai ke arahku. Aku berjalan perlahan ke arahnya. Hari ini dia mengenakan poloshirt warna hitam dengan celana jeans biru muda. Dia tampak santai, menyalamiku, sambil tersenyum manis. Tapi entah mengapa perasaanku biasa-biasa saja. Tak ada degup seperti apa yang kurasakan akhir-akhir ini saat bersama Aldo. Hati manusia memang benar-benar aneh.
Di dalam mobil aku berbicara sangat sedikit. Ada perasaan canggung karena secara sadar aku pernah menyakiti Bagas. Aku tidak bisa memberikan alasan yang jelas saat dia mengajakku menikah. Kemudian berhenti menghubunginya dan sebisa mungkin menghindari telponnya. Aku tahu seharusnya Bagas terluka atas sikapku ini.
“Kata Aldo kamu baru sembuh dari sakit ya..?”
suara Bagas membuyarkan lamunanku.
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
“Kamu kecapekan, mungkin...” katanya lagi
Aku hanya tersenyum kecil kemudian melayangkan pandanganku ke luar jendela mobil.
Seharusnya aku bisa bersikap lebih baik dari ini. Bagas sudah bersikap sangat baik padaku. Dia bahkan tidak mengungkit-ungkit tentang apa yang pernah aku lakukan padanya. Tapi entahlah, perasaanku saat ini sedang tidak bisa diajak kompromi, bahkan hanya untuk berpura-pura baik pada “ malaikat” seperti Bagas.

Kami sampai di sebuah rumah makan. Tempatnya lumayan nyaman. Ada beberapa gazebo yang berjajar rapi dan diantaranya dipisahkan dengan kolam kecil yang dihiasi air mancur yang menimbulkan bunyi gemericik. Penerangannya menggunakan lampu-lampu gantung berwarna kuning yang diletakkan dalam sebuah wadah yang berbentuk semacam lampion.
Aku berjalan perlahan di sisi Bagas, yang langsung menuju salah satu gazebo paling ujung dari rumah makan ini. Kulihat di kejauhan ada dua orang yang sedang melambai ke arah aku dan Bagas. Dan saat aku semakin dekat dengan keduanya, aku baru menyadari ternyata dua orang itu tak lain adalah Aldo dan Rena.
Perasaan tak nyaman langsung menyergapku. Entah mengapa aku merasa terintimidasi dengan kehadiran Rena disitu. Seperti pertemuanku sebelumnya, Rena selalu tampak mempesona. Dia mengenakan terusan selutut berwarna coklat, dipadu dengan blazer bermodel sederhana, rambut panjangnya diikat begitu saja ke belakang, dan beberapa diantaranya tampak terjuntai di pipi kanannya. Dalam kondisi bagaimanapun dia masih tampak cantik, bathinku.
“Surprise...” Aldo tersenyum ke arahku.
“Bagas nih yang punya ide kencan ganda seperti ini...” kata Aldo lagi sambil melirik Bagas.
Dan entah mengapa aku semakin sebal dengan Bagas, idenya ini benar-benar membuatku merasa tidak nyaman. Berada diantara Aldo dan Rena saja sudah cukup membuatku merasa tidak nyaman, sekarang ditambah lagi aku harus “mengatur” sikapku dengan Bagas. Rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.
Dan malam itu semuanya berjalan begitu lambat bagiku. Aku berusaha tersenyum semanis mungkin untuk menutupi perasaanku yang remuk redam melihat kemesraan Aldo dan Rena.


Aku berdiri di atas bukit kecil tempat aku dan Aldo biasa bertemu. Dulu saat kita sama-sama masih anak belasan tahun kita menganggapnya sebagai tempat melepas lelah atas kehidupan duniawi. Setiap kali  ada masalah atau hanya ingin bermain-main kita akan langsung ke tempat ini. Bukit ini semacam tempat  “penyegaran diri” bagi aku dan Aldo. Biasanya kita hanya duduk, memandang hamparan pemandangan di bawah sana. Menyaksikan deretan rumah-rumah yang seakan mozaik kaca, berwarna warni, dihiasi hijaunya pepohonan. Awan putih tampak menggantung laksana payung kapas yang melayang ringan melindungi panorama di bawahnya. Terkadang aku berlarian kesana kemari, mengayun ayunkan tanganku keatas kebawah, seakan aku punya dua sayap secantik kupu-kupu dan Aldo berpura-pura memegang benang yang mengendalikan gerak tubuhku. Sungguh sebuah kenangan manis yang sayang untuk dilupakan begitu saja.
“Ternyata kamu disini...?” Suara Aldo membuyarkan lamunanku tentang masa lalu.
Dia sedang berdiri tepat di belakangku.
Aku hanya diam, berpura-pura masih menikmati pemandangan yang terhampar di hadapanku.
Aldo duduk tepat di sampingku. Tangannya memetik sebatang rumput kemudian dimainkan diantara jemarinya. Dia menoleh ke arahku, menatapku dari samping, seakan mencari jawaban atas sikapku selama ini. Aku bahkan tak berani balas menatapnya. Aku khawatir air mataku tak dapat kutahan saat memandang wajahnya. Perasaan takut kehilangan ini semakin kuat mencengkeram hatiku.
“Ada apa, Tania? Aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku?” tanya Aldo.
Aku hanya menggeleng. Aku jatuh cinta padamu, Do...! teriakku hanya dalam hati.
“Aku minta maaf kalau aku berbuat sesuatu yang membuatmu marah, tapi aku benar-benar tidak tahu atas apa yang sudah atau pernah aku lakukan sampai kamu seperti ini..”
Aku menoleh ke arah Aldo, kutatap dia lekat. Dan air mata itu sudah tak mampu aku tahan lagi, meleleh di pipiku begitu saja.
Aldo tampak terkejut. Buru-buru dihapusnya air mataku dengan tangannya.
Hatiku semakin terasa sakit. Entah mengapa.
Aku bingung, haruskah berterus terang kepadanya? Dengan kemungkinan dia akan membenciku karena menganggap aku telah berpura-pura menjadi sahabatnya selama ini. Atau aku harus tetap memendamnya dalam-dalam di lubuk hatiku.
Aku tidak rela Aldo menjadi milik wanita lain, mungkin itu kalimat paling tepat atas perasaanku saat ini. Tapi apa hakku?
Aldo diam tak bersuara pandangannya mengarah jauh ke langit-langit yang mulai kelabu. Senja mulai menggayut.
“Aku butuh waktu sendiri, Do...” kataku pada akhirnya, setelah kita diselimuti diam beberapa saat lamanya.
Kudengar Aldo menghela nafas. Dia menatapku kembali, mengacak-acak rambutku, kemudian berdiri, membersihkan celana jeansnya yang ditempeli rumput-rumput kering, dan berbalik bersiap meninggalkanku.
Kulihat dia berjalan perlahan menjauhi tempatku duduk, kulihat punggungnya, entah mengapa hatiku terasa mau meledak. Aku tak sanggup kehilangan Aldo.
Aku berdiri kemudian berlari mengejarnya, dan akhirnya kupeluk dia dari belakang.
Aldo tampak terkejut dengan sikapku. Tapi dia hanya berdiri mematung, menunggu apa yang akan aku katakan.
Aku menangis sejadi-jadinya. Ingin kutumpahkan beban berat yang kutanggung akhir-akhir ini. Mungkin aku memang harus mengatakannya. Kupeluk erat tubuh Aldo, punggungnya basah oleh air mataku.
“Aku mencintaimu, Do..” kataku pelan diantara isak tangis. Aku tahu Aldo mendengarnya.
Tapi dia masih tetap diam, hanya tangannya terasa menyentuh tanganku yang sedang melingkar di pinggangnya. Tangannya terasa dingin.
Saat aku menyadari atas apa yang kulakukan, kulepaskan pelukanku dari tubuhnya. Perlahan kemudian Aldo berbalik. Menatapku lekat, telapak tangannya menyentuh kedua pipiku. Tangan itu masih terasa dingin.
“Aku juga mencintaimu, Tania...”
Dadaku berdetak keras sekali.
“Justru karena aku terlalu mencintaimu, aku merasa kita tidak mungkin bersatu. Rasa cinta dan sayang yang aku rasakan tidak mampu ditukar dengan persahabatan kita selama ini. Persahabatan diantara kita terlalu indah untuk disatukan dalam pernikahan. Seringkali aku merasa takut tidak mampu membuatmu bahagia. Dan hal itu aku sadari bukan sesuatu yang baik untuk kamu dan aku. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku, Tania...”
“Tapi aku ga mau orang lain, Do..aku mencintaimu..” suaraku bergetar. Entah bagaimana aku bisa mengatakan itu.
Aldo tersenyum lembut.
“Aku sangat mengenal kamu, Tania..percayalah itu hanya perasaan sesaat, sebentar lagi kamu akan menemukan 'seseorang' yang benar-benar tepat untuk kamu”
“Bagaimana seandainya aku tidak bisa menemukannya?” suaraku terdengar putus asa.
“Kamu pasti menemukannya, percayalah..kamu hanya butuh sedikit waktu untuk mengesampingkan egomu..” Aldo mengatakan hal itu sambil menepuk lembut pipiku. Kemudian dia memelukku erat. Kehangatan yang sebentar lagi tak akan kurasakan lagi.
“Aku takut, Do...aku takut sendiri...”
Aldo masih diam.
Kemudian dia berbisik lembut. “Kamu tidak akan sendiri, Tania”.

Aku berdiri di sudut ruangan besar ini. Sudah sekian lama aku berdiri mematung memandang dari kejauhan. Disana kulihat Rena seperti putri dari negeri dongeng. Mengenakan gaun putih panjang berenda yang tampak gemerlap terkena sinar lampu, rangkaian bunga melati tampak menghias rambutnya. Dan disampingnya Aldo mengenakan setelan jas berwana abu-abu tua, tampak gagah dan bahagia, menyambut uluran tangan para tamu yang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka berdua.
Aku bahkan tidak punya kekuatan untuk melangkah kesana. Kakiku terasa berat untuk digerakkan, seluruh tubuhku bergetar, dan mati-matian kutahan agar air mata ini tak menetes. Harus kuakui ini sangat berat untuk dilalui, tapi inilah kenyataan yang harus aku hadapi. Aldo sudah menemukan seseorang yang tepat untuknya. Dan persahabatan ini akan terus berjalan sebagaimana adanya. Karena cinta tak harus saling memiliki.
Kurasakan tanganku disentuh lembut oleh seseorang. Aku segera tersadar. Sosok ini telah begitu sabar menemaniku di sudut ruangan besar diantara keramaian pesta. Aku tersenyum ke arah Bagas. Dia mengangguk ke arahku, seakan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Digenggamnya erat tanganku seakan ingin mengalirkan energi agar aku cukup kuat melangkah menuju pelaminan Aldo dan Rena. Mungkin Aldo benar bahwa aku akan menemukan seseorang yang lain. Walaupun entah kapan dan dimana, aku hanya harus sabar dan mencoba membuka hati untuk seseorang yang lain, selain Aldo.


-Tamat-
21 Oktober 2011