Selasa, 11 Oktober 2011

I love U, Boss!



“Aduuuhhh...!! gimana sih kamu..? bikin surat kayak gini aja gak becus..!” suaranya bergema di seluruh ruangan. Dia tampak emosi sekali, kertas yang dipegangnya dilempar begitu saja ke arahku. Jatuh tepat di depan sepatuku. Aku memungutnya, berusaha untuk menahan diri. Kuhela nafas dalam-dalam, agar udara segar memenuhi paru-paruku, berharap ada banyak oksigen yang akan mengisinya kemudian mengalirkan ke otak dan mengirimkan perintah pada syaraf-syaraf untuk menahan air mataku jangan sampai keluar. Aku harus kuat menghadapi “monster” ini.
“Hey...?! kenapa diam?” suaranya kembali terdengar dengan nada tinggi.
“Terus saya mesti gimana, Pak?” entah malaikat mana yang membantuku memberi kekuatan mengatakan hal itu.
“Haduuuuhhh...ampun deh..udah kamu keluar aja. Panggil Rina, Sita, Mia..atau sapa aja aku ga tahan sama kamu..” suaranya masih menggelegar.
Dasar orang sinting, bathinku. Hanya karena masalah surat aja dia bisa marah besar seperti itu. Diantara rekan-rekan kerjaku hanya aku satu-satunya pegawai yang belum pernah menangis saat dia berubah jadi “monster” seperti itu. Namanya Arya Wiranata, lulusan S2 luar negeri dan baru 6 bulan menjabat sebagai direktur di kantor ini. Secara fisik dia bisa masuk kategori cowok metroseksual, tampang lumayan keren, badan atletis, penampilannya selalu rapi dan wangi, tapi sayang kebiasaan buruknya marah-marah hanya karena hal kecil dan cara bicaranya yang bisa membuat telinga panas langsung bisa menerjunkan penilaian fisiknya dari sembilan menjadi lima.   Kuraih segelas air putih di mejaku, kuminum isinya sampai tandas. Lumayan bisa mendinginkan hatiku.
“Kena marah lagi..?” suara Nia rekan kerjaku yang mejanya hanya dipisahkan penyekat.
“Yah, begitulah...” jawabku sambil tersenyum kecut dan menggedikkan bahu.
“Biasa lagi kumat..” kataku lagi seraya menyilangkan telunjuk ke dahiku.
“Masalah apa lagi?” tanya Nia penasaran.
“Alaaaahhh...gak penting, seperti biasanya.” jawabku sambil mengibaskan tangan dan langsung berpura-pura sibuk dengan komputerku, aku sedang malas membahasnya saat ini.
Baru sekitar setengah jam aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, ketika mbak Rina mencolek bahuku sambil mengatakan “ dipanggil lagi sama si Boss” senyumnya terlihat dipaksakan, mungkin merasa iba atau justru merasa geli dengan nasibku hari ini. Aku hanya mengangguk tanpa banyak bertanya kenapa si Boss memanggilku lagi.
Aku berjalan lambat-lambat menuju ruangan Bossku, dalam hati entah sudah berapa doa yang aku baca untuk menenangkan hati. Perlahan kuketuk pintunya.
“Masuk”, suara berat itu semakin membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
“Bapak memanggil saya?”
“Mmmhh...” dia mendongak sedikit, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke tumpukan map di depannya.
“Besok aku mau presentasi dengan klien, tolong siapkan bahannya”, dia masih sibuk dengan tumpukan kertas dan map tanpa memandang ke arahku.
“Biasanya mbak Rina yang menyiapkan bahan presentasi bapak?” duh, kenapa aku harus mengatakan itu? Aku baru sadar dengan apa yang aku ucapkan. Seharusnya aku tidak melontarkan kalimat bodoh itu. Sebentar lagi dia pasti akan marah, mungkin aku akan dilempar dengan tumpukan map dan kertas-kertas itu, aku bergidik membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi ternyata diluar dugaan. Dia berhenti melakukan kegiatannya, mendongakkan wajahnya, tersenyum sinis sambil mengatakan
“Kenapa? Kamu gak bisa? Aku tahu kamu gak mampu, heh..?
“Bukan pak, eeemmm...saya bisa pak..saya akan siapkan bahannya besok..”aku baru menyadari apa yang kuucapkan. Apa mungkin aku bisa menyelesaikannya besok? Aku mengutuki diri sendiri.
“Bagus..” jawabnya pendek.
“Cuman itu aja, pak?” tanyaku, berharap bisa segera keluar dari “neraka” ini.
Dia hanya mengangguk, tanpa sedikitpun melihat ke arahku.
Aku berjalan menuju pintu keluar, ketika suaranya terdengar lagi.
“Ohya, besok kamu datang 1 jam lebih awal, aku mau pelajari dulu hasil kerjamu”
“Baik pak” jawabku pendek.

Kriiinggg...kriinnnggg...kriiinngg...suara berisik itu benar-benar membuatku terjaga. Sejenak aku berusaha mengembalikan kesadaran, kucari sumber suaranya, sambil meraba-raba meja kecil disebelah tempat tidurku. Dan aku langsung melompat dari tempat tidur saat kulihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Duh, malapetaka benar-benar menanti didepanku. Bagaimana mungkin aku bisa bangun kesiangan? Padahal aku ingat sudah memasang bekerku jam 05.00 mungkin karena semalam aku begadang sampai jam 2 dini hari menyiapkan bahan presentasi, dan tertidur sangat lelap sampai tidak mendengar suara bekerku yang menjerit-jerit dari tadi. Tak ada waktu lagi untuk menganalisa dan menyesali keteledoranku kali ini. Aku harus mandi “sekedarnya” untuk menyingkat waktu dan biarlah nanti membenahi dandananku di taksi. Huh, terpaksa aku harus naik taksi karena sudah tak mungkin lagi kalau mau naik bis. Suasana rumah sudah sepi, mungkin adik-adikku sudah berangkat dari tadi. Tak ada waktu lagi untuk sarapan. Aku hanya meraih sebungkus biskuit yang tergeletak di meja makan. Tergesa-gesa aku keluar rumah ketika sampai di pintu depan, aku baru ingat handphoneku belum masuk dalam tas, ya ampun..akhirnya terpaksa aku kembali ke dalam rumah, mencari-cari dimana aku meletakkannya. Dan saat aku sedang kebingungan mencari, tiba-tiba terdengar suara handphone yang ternyata terselip dibawah bantal. Kulihat nama yang muncul di layarnya, tamatlah riwayatku, si Boss menelepon. Aku sempat bimbang antara mengangkat telpon atau membiarkannya saja. Akhirnya dengan berat hati kuputuskan untuk menerima saja telponnya, sambil bersiap menerima sumpah serapah yang pasti akan aku dapat darinya.
“Halo? Selamat pagi, Pak?”
“Apa? Pagi...? jam berapa ini? Aku kan sudah bilang, kamu harus datang lebih awal untuk menunjukkan hasil kerjamu, supaya aku tidak terlihat bodoh di depan klien karena sama sekali tidak tahu apa yang sudah kamu kerjakan. Sudah setengah jam aku menunggu dan sampai sekarang aku belum tahu dimana keberadaanmu. Aku ga mau tahu lagi, nanti kamu harus presentasi sendiri, aku tidak mau jadi bahan tertawaan gara-gara kamu..!” Klik.
Suara telepon ditutup, aku masih melongo dengan apa yang baru saja aku dengar. Kuhela nafas, relaks..relaks..aku berkata dalam hati, semua akan baik-baik saja, gumamku terdengar lebih mirip keluhan. Aku langsung berlari keluar rumah, sempat hampir lupa untuk mengunci pintu dan pagar. Mungkin aku harus minum obat penghilang keteledoran, huff..keluhku dalam hati.

Jam 08.25, aku sampai kantor. Masih ada waktu 5 menit untuk menyiapkan presentasi. Beruntung tadi aku sempat membenahi diri dan mengecek kembali bahan-bahan presentasi di taksi. Si Boss hanya duduk sambil memandangku dengan pandangan yang benar-benar bisa membuat bulu kudukku berdiri, sepertinya dia ingin membunuhku karena kejadian ini. Tapi aku sudah tidak sempat lagi memikirkan hal-hal semacam itu, aku mau berkonsentrasi pada presentasi. Ini adalah presentasi pertamaku, dan aku harap bisa memberi kesan positif pada klien.
Tak lama kemudian para klien datang, dan syukurlah semua berjalan lancar. Tampaknya mereka  puas dengan presentasiku. Aku bahagia dengan apa yang sudah aku lakukan, tidak sia-sia aku begadang mengerjakannya, biarpun karena itu aku harus terlambat datang ke kantor dan menerima “sarapan” pagi yang tidak mengenakkan dari si Boss.
Setelah semua klien pergi, si Boss tetap tinggal duduk di salah satu kursi meeting. Dia hanya diam, duduk termangu, seperti sedang berpikir tentang sesuatu. Aku pura-pura sibuk membenahi berkas-berkasku. Aku bahkan tidak berani untuk meliriknya.
“Ada yang bisa dibantu lagi, Pak?” akhirnya aku memberanikan diri mengatakannya.
Dia hanya memandangku dengan sinis, berdiri dan berlalu begitu saja meninggalkan ruangan meeting. Fiuhhh...! benar-benar pagi yang menegangkan. Aku duduk sambil berusaha meregangkan kaki-kaki dan tanganku. Saatnya untuk minum secangkir coklat hangat untuk sedikit mengusir rasa lapar yang mulai menimbulkan bunyi-bunyian di perutku. Sore ini sepulang kerja aku mau pergi ke mall, belanja, minum kopi di cafe favoritku. Waktunya menikmati hidup, pekikku dalam hati.

Seseorang mengguncang-guncang bahuku. Hoaaahheeemm...aku ingin membuka mata, tapi rasanya berat sekali. Kukucek mata berusaha menghilangkan rasa berat yang masih menggayut dikedua kelopak mataku. Sesaat setelah kuperoleh kesadaran, kudapati diriku tidak sedang berada di atas tempat tidur. Ya Tuhan, aku tertidur di kantor! Keteledoranku yang kesekian untuk hari ini. Dan saat aku menoleh untuk melihat siapa malaikat penolong yang telah menyelamatkan diriku dari kemungkinan menginap di kantor, jantungku justru terasa berhenti dalam beberapa detik. Si Boss sedang menatapku dengan pandangan yang sama sekali tidak bisa kuungkapkan dalam kata-kata. Kusisir rambut dengan jari berusaha membenahi penampilan walaupun aku sadar itu hanya sia-sia saja. Aku tak berani membayangkan apa yang akan aku terima saat ini.
“Maaf, pak...” ucapku penuh kecanggungan.
Entah malaikat mana yang merasukinya, dia tersenyum... Duh, mungkin aku mulai berhalusinasi lagi.
“Kamu nggak punya tempat tinggal, sampai harus menginap di kantor?” tanyanya lebih tepat sebagai ejekan bagiku.
Aku bingung mau menjawab apa, mungkin aku bisa berbohong bahwa sebenarnya aku berniat lembur tapi kemudian sempat tertidur sejenak, tapi aku tak punya keberanian itu.
“Saya ketiduran, pak” jawabku sambil meringis, benar-benar jawaban tanpa pembelaan diri.
“Kamu sudah mau pulang atau masih mau tinggal di kantor?”
Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa lagi.
“”Mhhh...saya pulang aja deh pak” kataku sambil menggaruk rambut yang sebenarnya tidak terasa gatal. Dia hanya mengangguk kemudian pergi meninggalkan aku sendiri.
Aku berjalan menyusuri koridor kantor, suasana sudah sangat sepi, hanya ada satpam yang berjaga di depan. Sambil berjalan kucoba mengingat-ingat bagaimana sampai aku tertidur. Kulirik jam tanganku, sudah hampir jam 7 malam. Seingatku sekitar jam 5 saat semua bersiap-siap pulang, tiba-tiba kepalaku terasa berat, kemudian kuputuskan untuk menunggu sejenak di kantor, tapi entah mengapa aku bisa sampai tertidur selama itu.
“Tiiiiiiiinnn...!! suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Sebuah sedan hitam berada tepat disampingku. Aku baru menyadari saat kaca depan diturunkan. Bossku..?!
“Ayo aku antar...?!” katanya santai.
Sejenak aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku sedang tidak berhalusinasi.
“Ayo cepat masuk..” suara berat itu kembali terdengar, nadanya sedikit memaksa.
Aku tidak berani menolak, serasa dihipnotis aku masuk ke dalam mobilnya, berusaha duduk dengan santai tapi sungguh tidak bisa kulakukan.
Mobil berjalan diiringi alunan musik lembut. Suara Josh Groban “The Broken Vow”.
“Bapak juga suka Josh Groban?” kataku berusaha mencairkan suasana.
Dia mengangguk. “Kenapa?” tanyanya pendek.
Aku menggeleng..”agak aneh..” gumamku.
Tapi ternyata dia mendengar kata-kataku.
“Aneh..?! kenapa..?” tanyanya sambil menoleh ke arahku.
Sempat ragu aku menjawabnya, tapi sudah kepalang basah.
“Ternyata bapak berhati lembut..” kataku pelan sangat pelan hampir seperti bisikan.
“Hahahahaha....!!” Dia tertawa sangat keras, aku begitu terkejut, sampai jantungku terasa melompat keluar dari dadaku.
“Maaf..” aku tak tahu harus mengatakan apalagi.
Perjalanan ke rumah terasa tiga kali lebih panjang dari biasanya. Aku hanya ingin mandi air hangat,  tidur dengan selimut tebalku, bangun keesokan paginya dan menyadari mungkin ini hanya mimpi, keluhku.

“Duduk” suara beratnya, selalu membuatku merinding.
Aku menuruti perintahnya, sambil mengingat dan mengira-ngira kesalahan apalagi yang aku buat minggu ini. Kalau aku hitung-hitung sudah sekitar sebulan sejak kejadian tertidur di kantor malam itu. Aku tidak berani memikirkannya.
“Nih....” ucapnya seraya menyodorkan sebuah amplop putih.
Tamatlah riwayatku. Tampaknya ketidaksukaannya padaku sudah melampaui ambang batas. Ini pasti surat pemecatan untukku. Dadaku terasa sesak, mungkin ini saatnya aku menangis, jeritku dalam hati. Tapi..Tidak, aku tidak mau terlihat lemah di depannya.
Segera kuambil amplop itu dan langsung berdiri tanpa membukanya.
“Terima kasih, Pak” ucapku pendek, seraya bersiap meninggalkan ruangan.
“Hey..siapa suruh kamu pergi..!” seperti biasa nada tingginya muncul lagi.
“Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan Bapak selama saya bekerja disini.” Aku berpura-pura tegar menghadapinya.
“Ya Tuhan...” Dia mulai tampak sangat kesal denganku.
“Tolong duduk dulu dan baca baik-baik surat itu..”
Aku terkejut dengan kalimatnya. Sejak kapan dia bisa mengucapkan kalimat santun seperti itu?
Akhirnya aku menyerah, aku pasrah kalau adegan selanjutnya dia akan tertawa terbahak-bahak melihatku menangis setelah membaca surat pemecatanku ini.
Perlahan kubuka amplopnya, membukanya dengan hati-hati sambil terus memohon dalam hati agar air mataku jangan sampai jatuh.
“.....promosi jabatan menjadi manajer marketing......”
berulang kali kubaca kalimat itu, mungkinkah otakku salah mengirimkan sinyal-sinyal ke syaraf sehingga aku jadi berhalusinasi seperti ini. Kudongakkan kepala, kulihat Si Boss tersenyum. Aku sama sekali tidak tahu apa arti senyumannya.
“Jangan senang dulu, ada masa percobaan selama 3 bulan dan satu lagi....” dia menatapku lekat, baru kusadari dia memang benar-benar tampan. Uff...pikiran gila apalagi yang ada di otakku? Kembali kurutuki diri sendiri.
“Kamu harus datang malam ini ke Royal Cafe, jam 7 aku tunggu kamu disana”.
Aku masih bingung dengan kata-katanya.
“Saya harus bertemu klien, Pak?” tanyaku berharap ada penjelasan dari kalimatnya tadi.
“Pokoknya kamu datang aja...” potongnya pendek.
Aku hanya mengangguk dan bergegas meninggalkan ruangan. Kepalaku dipenuhi pertanyaan dan hatiku masih diliputi kebimbangan atas apa yang baru kuterima. Ah, biarlah..kita lihat saja nanti...gumamku pada diri sendiri.

Pukul 18.00, aku masih mematut-matut diri di depan cermin, ini baju ke tujuh yang aku coba kenakan, tapi belum juga kutemukan yang aku rasa paling pas. Hey, apa yang terjadi dengan diriku? Kenapa aku begitu peduli dan menganggap ini sebagai hal yang istimewa? Mungkin ini pertemuan dengan klien membahas tentang beberapa proyek atau apalah, jadi kenapa aku harus begitu tegang menghadapinya? Aku terduduk lemas disamping tempat tidur. Kulirik gaun hitam selutut yang tergeletak pasrah tak jauh dari tempatku duduk. Segera kuraih dan kukenakan, aku rasa cukup pantas. Sebagai pemanis kupasangkan sebuah ikat pinggang kecil berwarna keperakan. Rambutku sengaja kubiarkan tergerai, hanya kuberi pemanis sebuah jepit berwarna senada dengan ikat pinggangnya. Aku keluar kamar, dan kedua adikku tampak sedikit terkejut dengan penampilanku.
“Mau kencan, kak?” tanya Dika si bungsu penuh selidik. Aku melotot sambil mencibirkan bibirku, dia tertawa melihat tingkahku.
“Kak, malam ini aku menginap disini lagi ya?” Dita kakak Dika bertanya padaku.
“Loh, kamu ini baru 1 tahun menikah kok sudah pergi-pergi dari rumah?” godaku.
“Enggak, kak.. Mas Herman kan tugas keluar kota lagi sampai besok, aku malas di rumah sendirian..”
“Boleh...tapi bayar sewa ya...?” kataku sambil mengerlingkan mata menggodanya.
“Beres, Boss...” katanya sambil mengacungkan jempolnya.
“Kakak mau kemana sih? Aku antar ya?” tanya Dika.
“Dianter..? naek motor? Udah dandan cantik gini kok mau naek motor, gak mau ah..kakak naek taksi aja...” kataku pura-pura jutek.
Dika hanya nyengir sambil menggedikkan bahunya.

Kulirik jam di pergelangan tanganku, masih pukul 18.50. Bagus, pujiku dalam hati pada diri sendiri, berkurang satu alasan si Boss untuk memarahiku. Kulayangkan pandangan keseluruh ruangan, mencari tempat yang cukup nyaman. Mataku tertumbuk pada sosok yang sepertinya kukenal. Pak Arya? Bossku? Ya Tuhan, ternyata dia sudah datang lebih dulu. Badanku terasa sedikit lemas, apalagi saat aku berusaha pura-pura menuju toilet ternyata dia malah melihatku lalu melambaikan tangannya. Aku berjalan mendekati tempatnya duduk. Bau parfumnya yang khas langsung menerobos hidungku. Dia berdiri kemudian menyuruhku duduk. Sikapnya sungguh manis, atau ini hanya perasaanku saja?
Dia tersenyum, memanggil pelayan dan meminta daftar menu.
“Mau pesan apa?”
Aku hanya menggeleng pelan, selera makanku tiba-tiba lenyap.
“Aku bantu pesan ya? Steak disini enak lho..? mau nggak?”
Aku masih heran dengan sikapnya, tapi akhirnya hanya mengangguk pasrah dengan pilihannya.
“Kita masih menunggu klien, Pak?”
Dia menggeleng. “Nggak, cuman kita berdua”
“Kamu kok kelihatannya takut gitu sih? Ini kan bukan di kantor” katanya sambil mengaduk-aduk kopinya dengan santai.
Malam ini dia mengenakan hem lengan panjang berwarna biru laut yang digulung sampai tiga perempat lengannya, dipadu dengan celana jeans biru tua. Sekali lagi harus kuakui dalam hati, dia memang lumayan tampan.
Aku berusaha mengatasi rasa jengah dalam hati. Semeja dengan orang yang biasanya marah-marah setiap hari bukanlah hal yang mudah. Apalagi tiba-tiba dia bersikap manis padaku. Aku mulai agak curiga dengan niatnya kali ini.
Tak lama makanan datang, aku bersyukur aku tidak perlu berbasa basi lebih lama lagi dengannya. Sampai saat inipun aku tidak mengerti apa maksudnya mengajakku kesini.
“Bagaimana dengan promosimu? Apa pendapatmu?” tanyanya.
“Menurut bapak saya harus berpendapat apa..?” tanyaku balik
“Kamu ini selalu saja begitu, ditanya malah balik nanya...”
Aku hanya tersenyum.
“Ohya, kabarnya adek bungsumu juga akan menikah tahun depan?”
Aku terkejut dengan pertanyaannya.
“Saya tidak mengira bapak sebegitu pedulinya dengan bawahan” kelitku.
“Anggap saja sebagai bagian dari wawancara untuk promosimu...dan kamu sendiri mengapa sampai umur 30 tahun begini belum juga menikah..?”
Uhuuukk...! sepotong daging meluncur langsung ke tenggorokanku tanpa sempat aku kunyah terlebih dahulu. Buru-buru kuambil orange juice di depanku berusaha menghilangkan rasa mengganjal di tenggorokan. Aku benar-benar tidak mengira dengan pertanyaannya, ingin rasanya menyiramkan sisa orange juice di gelasku langsung ke mukanya. Kutarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri.
“Setiap orang punya peran dalam hidup ini, Pak..tinggal bagaimana kita menyikapi dan menjalani peran itu. Saya cukup bahagia dengan peran saya sebagai kakak yang bisa mengantarkan adik-adik saya ke tahap kemapanan. Dan seandainya saya harus menjalani peran dalam kehidupan ini sebagai sosok yang sendiri, saya akan jalani. Saya tidak mau memaksakan diri hidup berpasangan dengan seseorang hanya saya khawatir dengan status “perawan tua” yang melekat pada diri. Saya cukup bahagia sampai saat ini, menjalani hidup dengan cara dan peran yang saya pahami.”
Dia tersenyum, entah karena puas dengan jawabanku atau justru tidak mengerti dengan apa yang baru saja aku ungkapkan. Aku tak peduli.
“Kita nonton yuk...” katanya santai.
Kutatap wajahnya, entah mengapa tiba-tiba aku punya keberanian itu.
Dia tersenyum, seharusnya mungkin ini bisa jadi malam yang romantis. Tapi tiba-tiba..”glodak..” aku menumpahkan segelas orange juice, tepat mengenai baju hitamku. Tumpahannya lumayan banyak, meninggalkan noda besar di sekitar dada dan perutku. Ya Tuhan, mungkin ini kutukan karena tadi aku berniat menyiramkannya pada Bossku, jeritku dalam hati.
Kulihat Pak Arya tertawa melihat keadaanku. Mungkin dia cenderung suka melihat penderitaan orang lain, bathinku. Aku ingin marah pada diri sendiri kenapa bisa begitu teledor seperti ini. Rasanya ingin sekali menangis, tapi keadaan sungguh tidak memungkinkan.
“Kayaknya kita gak mungkin nonton, deh..” keluhku.
“Ada jaket di mobil kalau kamu mau.., toh bajumu hitam gak terlalu keliatan kok” suaranya terdengar merdu kali ini.
“Kita pulang aja...uppsss..maaf..maksud saya..ehm..saya pulang aja, Pak”.
Dia tergelak, aku semakin yakin kalau dia memang menikmati “penderitaan” yang aku alami.
“Kamu naik apa..?”
“Taksi, pak...” jawabku pendek sambil terus menerus mengelap noda bajuku dengan tissue.
“Ayo aku antar aja...”
Aku agak terkejut dengan tawarannya. Tapi kurasa aku tidak ada pilihan lain.
Dia memanggil pelayan, membayar tagihannya kemudian berdiri dan berjalan tenang. Aku mengikutinya dengan sedikit kikuk, membayangkan betapa tampak bodohnya aku dengan baju basah ini. But life must go on, isn't it?. Uff..apalagi yang ada dipikiranku, bukan saatnya berpikir yang berat, aku mengomeli diri sendiri. Tiba-tiba tangannya meraih tanganku.
“Jalanmu lambat sekali, sih...” suara dan tindakannya benar-benar mengejutkan aku.
“Cuman gara-gara baju basah saja kamu bisa kehilangan kepercayaan diri begini? Ayolah, seharusnya kamu bisa lebih berpikir positif, agar aku tidak menyesal memberikan kesempatan promosimu”. Suaranya mulai meninggi, seperti biasanya.
Beberapa orang memperhatikan kami. Tapi tampaknya dia tidak terlalu peduli.
Sampai di depan saat kita menuju ke tempat parkir, ternyata hujan sedang turun, rintiknya tidak terlalu deras.
“Baguslah..akhirnya ada yang bisa dijadikan alasan kenapa bajuku basah..” gumamku pada diri sendiri. Tapi ternyata si Boss mendengar gumamanku.
Dia tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tiba-tiba menarik tanganku menerobos hujan. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Sampai di tempat mobilnya di parkir, kita berdua basah .
“Terkadang kita harus menghadapi rasa khawatir dan ketakutan untuk membuktikan bahwa sebenarnya kita mampu mengatasinya.
Dasar orang aneh! rutukku dalam hati.
“Berarti sebentar lagi kita harus siap sama-sama masuk angin” kataku sambil meringis.
“Aku selalu sedia baju ganti lengkap di dalam mobil, jadi mungkin kamu sendiri yang akan masuk angin” ucapnya enteng tanpa dosa, sambil membuka bagasi dan mengeluarkan sebuah tas dari sana. Aku ternganga dengan apa yang dikatakannya, aku tahu dia orang yang menyebalkan tapi tidak pernah berpikir bahwa dia akan sekejam ini. Aku benci orang ini…!! Teriakku dalam hati.
“Saya bisa pulang naek taksi..! terima kasih atas kebaikan bapak malam ini…! Kataku sambil berjalan menjauhi mobilnya.
Diluar dugaan, dia mengejarku dan menarik tanganku.
“Aku mau kamu tunggu disini..ini perintah..” dia mengatakan itu dengan sangat serius.
“Saya benar-benar tidak mengerti jalan pikiran, Bapak.., apa Bapak memang punya kecenderungan suka melihat penderitaan orang lain” jeritku hampir menangis.
“Ya Tuhan, kenapa sih kamu selalu punya pikiran buruk tentang aku?” Tangannya semakin erat mencengkeram tanganku. Aku benar-benar takut. Kulihat disekeliling tampak beberapa orang sedang menikmati apa yang terjadi dengan kami. Akhirnya hujan reda. Dia menarikku kembali menuju mobilnya.
Please, beri aku waktu 10 menit, aku akan mengantarmu pulang,. Dia membuka mobilnya mengeluarkan jaket tebal dan memakaikannya padaku. Mungkin ini bentuk penebusan rasa bersalahnya, ejekku dalam hati.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, masuk ke mobilnya mencoba menghangatkan diri dengan memasukkan kedua tanganku ke dalam kantung jaket. Entah mengapa aku merasa begitu lelah. Suara musik lembut di dalam mobil, aku tidak tahu kapan Si Boss menyalakannya, aku hanya sempat melihatnya sekilas keluar menjauhi mobil. Mungkin aku memang harus menunggunya putusku dalam hati.

“Halo, sleeping beauty…” suara berat itu membangunkanku. Kulihat si Boss sedang menyetir, bajunya telah berganti dengan kaos berkerah warna putih. Sejenak kucoba mengembalikan kesadaran. Ya ampun, aku tertidur di mobil Boss…! Betapa konyolnya aku.
“Maaf, pak? Saya ketiduran ya…?” Kataku sambil mengucek-ngucek mata.
“Sebenarnya aku berniat langsung mengantarmu pulang, tapi melihat keadaanmu yang seperti itu, aku jadi punya ide..”
Hatiku berdesir. Entah mengapa aku jadi membayangkan hal-hal yang mengerikan, seperti berita-berita di koran dan televisi, seorang wanita seharusnya bisa menjaga dirinya, omelku pada diri sendiri. Sekali lagi aku menyesali keteledoran yang telah aku lakukan. Secara refleks kurapatkan jaket yang kukenakan. Kakiku mulai terasa gemetar.
Tampaknya dia menyadari apa yang aku lakukan. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum dan mengatakan “Pasti kamu berpikir buruk lagi tentang aku ya?”
Tangannya meraih kepala dan mengacak-acak rambutku. “Kamu bener-bener harus cuci otak” katanya sambil mengerling ke arahku.
“kita mau kemana?” tanyaku berusaha memelas, masih belum bisa percaya sepenuhnya atas apa yang bisa dilakukannya.
“Lihat aja nanti…bajumu masih basah?”
Aku hanya menggeleng. Mungkin ini saatnya banyak-banyak membaca doa, saranku pada diri sendiri.
Sekitar setengah jam kemudian, mobilnya berbelok memasuki suatu kawasan. Kulihat keluar melalui jendela mobil. Sebuah pantai, pekikku dalam hati.
“Ayo turun” ajaknya.
Aku menurutinya dan benar-benar terpesona dengan apa yang ada dihadapanku. Sebuah pantai yang begitu indah, pasir yang terhampar luas , di langit tampak bulan purnama bersinar terang, membiaskan cahaya keperakan di air laut. Aku menoleh padanya, dia tampak sedang tersenyum penuh kesombongan.
“Anggap saja ini perayaan atas promosimu..” katanya sambil menatapku. Kulepas sepatuku dan mulai berjalan tanpa alas kaki menapaki pasir. Aku benar-benar seperti terhipnotis dengan suasana pantai ini. Beberapa pasangan sejoli tampak sedang memadu kasih. Aku menoleh ke arah si Boss ternyata dia sedang memandangiku, aku tak berani menatap matanya, hanya tersenyum sekilas dan kemudian menunduk pura-pura sibuk memperhatikan butiran pasir di sela jemari kakiku. Mungkin angin laut sudah membuatku mabuk kataku dalam hati.
“Bapak sering kesini?” aku berusaha menenangkan jantungku yang terasa berdetak lebih kencang.
“Mmmmhh…hanya sekali-kali saja”. Sahutnya pelan
“Kita duduk disini yuk”, ajaknya.
Aku mengangguk dan mengikutinya. Kubenamkan kedua kakiku dalam pasir, terasa hangat, aku benar-benar menyukainya.
“Kamu sudah punya pacar..? atau sedang dekat dengan seseorang mungkin..?”
Aku terkejut dengan pertanyaannya.
“Apa ini bagian dari wawancara, Pak?” kelitku
Dia tertawa memamerkan deretan gigi indahnya.
“Yah, anggap saja begitu..” jawabnya singkat.
“Dan kalo saya tidak mau menjawab, apa ini akan berpengaruh pada rencana promosi saya?” aku balik mengejarnya.
Dia tertawa lagi, kali ini sambil memandangiku.
Aku berbisik dalam hati, mungkin besok aku harus periksa ke dokter jantung, karena merasa semalaman ini detak jantungku terasa tidak normal.
“Saya rasa saya punya hak untuk tidak menjawabnya, Pak, dan saya percaya bapak bisa menilai seseorang bukan hanya dari sisi kehidupan pribadinya”. Aku  berharap perbincangan tentang ini akan segera berakhir.
“Kamu lapar lagi, nggak?” tanyanya.
Aku menggeleng, “saya cuman haus, pak” jawabku
“Kita cari makanan disana yuk, aku lapar lagi nih” katanya sambil memegangi perut, tampangnya benar-benar seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Kami memasuki sebuah café kecil yang terletak tepat diseberang pantai. Suasananya agak temaram dan ramai dengan anak-anak muda. Ada live music band lokal tampak sedang menyanyikan lagu-lagu anak pantai. Si Boss menoleh ke arahku. Dia tampak mengatakan sesuatu tapi aku tak bisa mendengarnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala tanda tak mengerti atas apa yang baru dikatakannya. Kemudian dia menarikku mendekatkan wajahnya ke dekat telingaku, darahku terasa berdesir.
“Terlalu berisik disini, kita ke mobil aja”. Aku hanya mengangguk, dia tidak langsung berjalan keluar, tapi menuju tempat penjual minuman di pojok café membeli sebotol air mineral dan dua buah minuman kaleng. Tangannya menggandeng erat tanganku, dan aku hanya pasrah saja, mungkin dia refleks melakukan hal itu karena suasana café yang begitu ramai, batinku pada diri sendiri mencoba menentramkan hati.
Sesampainya di dalam mobil, dia membuka minuman kalengnya dan langsung menyerahkannya padaku.
“Nih..katanya haus..”sikapnya sungguh manis.
Aku teringat sesuatu, kubuka tasku dan kukeluarkan sebungkus biskuit dari sana.
“Bapak lapar kan? Nih..saya selalu sedia ini di dalam tas, lumayan bisa mengganjal perut.” Dia tersenyum, dan langsung meraih biskuit di tanganku. Wajahnya benar-benar tampak begitu bahagia.
Aku menahan tawa melihatnya begitu lahap memakan biskuitku.
“Ada yang lucu?” dia menoleh ke arahku.
Aku menggeleng. “Bapak keliatan sangat ‘manusiawi’ saat makan biskuit”
“Maksudnya..?”
Aku sempat ragu untuk menjawabnya.
“Bapak seperti monster kalo lagi di kantor..” jawabku pelan khawatir dengan reaksinya atas keterusteranganku.
Dia tertawa cukup keras, mungkin tidak mengira aku akan mengatakan hal semacam itu.
Dia menghela nafas, membuka air mineral dan meminumnya beberapa teguk. Tampaknya aku harus bersiap-siap kalo seandainya dia akan mengusir aku dari mobilnya dan terpaksa aku akan pulang sendiri, aku mulai mengomeli diri sendiri atas apa yang baru saja aku katakan padanya.
“Apa kamu selalu berpikiran buruk seperti itu pada semua orang?” tanyanya santai.
Aku agak terkejut dengan sikapnya, jangan-jangan dia bisa membaca pikiran batinku.
“Hidup yang mengajarkan hal itu pada saya, pak..Kedua orangtua saya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Semua terjadi begitu tiba-tiba. Saya harus kehilangan dua orang yang paling dekat dalam hidup saya pada waktu bersamaan. Si bungsu saat itu masih duduk di kelas dua SMA dan kakaknya baru saja masuk kuliah. Untunglah saya sudah menyelesaikan kuliah saat itu, jadi saya bisa kerja untuk membiayai sekolah adik-adik. Tapi yang berat adalah saat saya harus menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka berdua. Mungkin itu sebabnya saya cenderung over protective, pada mereka dan bahkan diri saya sendiri, karena sayalah yang bertanggung jawab atas hidup mereka setelah ayah dan ibu meninggal. Syukurlah masa berat itu sudah berlalu”, kuhela nafas, aku tidak tahu kenapa harus menjelaskan hal ini padanya.
Tiba-tiba dia menyentuh tanganku sambil menatapku “Sebenarnya hidup tidak seberat itu, percayalah”
Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya, tapi entah mengapa hatiku terasa hangat. Ya Tuhan, semoga ini bukan hanya mimpi, doaku dalam hati.



Hari ini adalah hari pertama sejak aku menerima surat promosi. Aku berdoa semoga tidak banyak yang berubah setelah kejadian malam itu. Aku hanya masih bingung harus bersikap bagaimana.
“psssstt...Dila..panggilan tuhh..” suara Nia mengagetkan aku.
“Siapa..?” tanyaku tak mengerti.
“Siapa lagi? Ya si Boss lah...” kata Nia lagi sambil memasang tampang ngeri di wajahnya.
Dadaku berdebar lebih kencang dari yang kemarin-kemarin saat mendengar nama si Boss disebut. Fiuuuhh...,entah apa yang akan aku terima nanti.
“Selamat pagi pak..” sapaku dengan senyum sedikit dipaksakan.
“Pagi..” dia mengangkat wajahnya.
“Beresi barang-barangmu, kamu pindah ke ruang baru mulai hari ini”.
“Mmmmhh..pak, boleh gak saya tetap di meja yang sekarang?” tanyaku pelan tanpa berani menatapnya.
“Loh? Mana bisa begitu..,mejamu  akan segera dipakai oleh penggantimu”
“Paling tidak selama 3 bulan masa percobaan saya, biarlah saya tetap di meja yang lama, seandainya nanti pengganti saya datang, saya bersedia pindah.”
Dia tampak berpikir sejenak.
“Terserah kamu lah...tapi hari ini kamu temeni aku makan siang ya?” dia mengatakan itu dengan tenangnya sambil tetap sibuk membuka-buka majalah bisnis di depannya.
Degh...aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
“ Ada janji dengan klien, Pak?” kataku sambil berusaha menenangkan hati.
“Mungkin...” jawabnya pendek.
Mungkin? Jawaban apa itu...gerutuku dalam hati. Tapi aku memang tak punya alasan untuk menolaknya.

Sekitar dua minggu kemudian ternyata penggantiku telah datang. Dia berasal dari kantor cabang lain. Mau tidak mau aku harus meninggalkan meja lama dan menempati ruangan baru sebagai manajer marketing. Seharusnya aku akan merasa lebih nyaman di tempat baru, aku hanya merasa malas menjadi bahan pergunjingan di kantor. Aku mulai menyadari banyak yang membicarakan tentang aku kalau sedang dibelakangku. Bisik-bisik ini semakin terasa karena si Boss agak terlalu sering memanggilku. Seharusnya bisa dipahami karena hal itu tidak jauh-jauh dari mengenai soal pekerjaan, tapi apa mereka benar-benar membutuhkan penjelasan? Aku mulai merasa jarang diajak makan siang bersama oleh teman-teman yang lain. Sungguh, hal ini benar-benar membuatku tidak nyaman, tapi aku tidak berani mengungkapkannya pada si Boss, karena aku tahu dia pasti hanya akan mengejekku dan mengatakan seharusnya aku tidak boleh lemah karena hal-hal kecil seperti itu kalo mau maju. Biarlah nanti juga semua akan berlalu dengan sendirinya, selalu itu yang kuucapkan berusaha menyemangati diri sendiri

Sabtu ini ada acara perayaan ulang tahun perusahaan yang dirayakan di sebuah hotel. Semua staff diundang tak terkecuali. Sebenarnya si Boss menawarkan untuk berangkat bersama, tapi aku menolaknya dengan tegas, ini demi kebaikan bersama, putusku waktu itu.
Aku tergesa-gesa turun dari taksi, sampai hampir lupa membayar ongkosnya. Buru-buru kukeluarkan uang dari dompet dan membayarnya.
“kembaliannya ambil aja, pak” kataku demi menembus malu. Aku benar-benar harus mencari toilet,  rasanya sudah tak mampu lagi kutahan hasrat “panggilan alam” untuk buang air kecil. Kutanya pada reseptionist dimana letak toilet terdekat. Aku berjalan menuju arah yang ditunjukkan si receptionist. Akhirnya kutemukan toiletnya, aku langsung masuk pada ruangan yang bertulis “ladies”. Sebuah wastafel dengan kaca besar ada disitu. Segera kumasuki salah satu toiletnya. Aku sudah bersiap untuk keluar dari toilet, saat kemudian terdengar seorang wanita sedang menangis. Tampaknya dia sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon.
“Aku tahu, mas...” sepi sejenak, kemudian hanya terdengar isak tangis.
“Tapi semuanya gak semudah itu, mas...kenapa mas Arya bisa begitu mudah mengatakan itu?”
Aku benar-benar tidak berniat untuk menguping pembicaraan ini. Tapi saat kudengar nama Arya disebut, aku jadi membatalkan niatku untuk segera keluar dari toilet. Kutajamkan telingaku, sepertinya aku mengenal suara wanita ini. Suaranya benar-benar tidak asing bagiku. Kucoba mengingat-ingat...suara Nia? Ya, benar itu suara Nia, ada apa dia dengan pak Arya..ah tapi mungkin ini hanya kebetulan bahwa seseorang yang berbicara dengan Nia di telepon juga bernama Arya. Aku masih mencoba menahan diri walaupun hati kecilku mulai mengomel tentang nilai sopan santun dalam mendengarkan pembicaraan orang lain.
“Aku tahu mas Arya sekarang dekat dengan Dilla..”
Degh...kenapa namaku disebut-sebut? Apa mungkin seseorang yang dipanggil mas Arya oleh Nia adalah si Boss..? kakiku terasa mulai gemetar, jantungku berdegup dengan kencang, aku bersandar di dinding toilet. Kepalaku tiba-tiba terasa berat.
“Semuanya gak semudah itu, mas...” suara isak tangis lagi. Hening sejenak.
Tapi tiba-tiba handphone ku berbunyi. Jantungku terasa copot, mengapa disaat seperti ini harus ada seseorang yang meneleponku.
Suara isak itu berhenti, mungkin dia baru menyadari bahwa ada seseorang di dalam toilet selain dirinya. Kemudian terdengar langkah menuju pintu keluar. Aku menghela nafas lega. Suara handphoneku sudah berhenti berdering. Aku tak peduli siapa yang menelepon. Kubuka pintu toilet keluar dari sana, dan berjalan pelan menuju ke wastafel. Kunyalakan krannya, kubiarkan aliran dingin merasuk di pori-pori jemari tanganku. Entah mengapa hatiku terasa hampa.
Aku berjalan keluar toilet sambil masih melamunkan apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba.. Bruk...!! aku menabrak seseorang, sempat kehilangan keseimbangan gara-gara high heels yang kukenakan hingga aku jatuh terduduk.
“Maaf...” kataku tanpa melihat siapa yang baru saja aku tabrak.
“Yaaa..seperti biasanya...”
aku begitu terkejut dengan suara itu, kuangkat wajahku dan kulihat si Boss disana mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Hatiku langsung berdetak kencang, apalagi teringat dengan apa yang kudengar tadi di toilet.
Dia melihatku dari atas ke bawah, kemudian tersenyum.
Aku memasang tampang cemberut. Dia nampak heran dengan sikapku.
“Asal bapak tahu aja hal semacam itu bisa dikategorikan tindak pelecehan seksual ringan di luar negri”. Kataku.
“yang mana?” tanyanya entah benar-benar tidak mengerti atau hanya berpura-pura.
“cara bapak memandangi saya...” dia tersenyum.
Tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, hingga hanya berjarak beberapa centi, aku menahan nafas, terbius dengan film-film romantis atas apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi ternyata dia mengambil sesuatu dari rambutku.
“Ada kotorannya nih...” katanya pelan sambil menatap tepat di mataku. Ya Tuhan, sebentar lagi aku akan terkena serangan jantung, batinku.
“kamu dari mana sih, sampai kotoran seperti ini bisa menempel di rambutmu?” tanyanya
Aku hanya menggedikkan bahu, pertanyaan yang tidak perlu dijawab putusku dalam hati.

Suasananya begitu ramai, banyak klien dan para pemimpin cabang berkumpul disini. Si Boss sibuk beramah tamah dengan para undangan. Sengaja kupilih tempat di pojok ruangan besar ini, sambil mengawasi para tamu yang datang. Beberapa teman datang menyalamiku sebagian mengucapkan selamat atas promosiku. Kuedarkan pandangan untuk mencari-cari sosok Nia diantara kerumunan orang-orang. Tapi aku tidak melihatnya. Mungkinkah Nia langsung pulang setelah kejadian di toilet tadi? Kuhela nafas panjang mencoba mengeluarkan beban yang seakan-akan dijejalkan dalam dadaku setiap kali mengingat kejadian tadi.
Aku berjalan keluar menuju sebuah kolam kecil yang terletak tak jauh dari ruangan tempat acara berlangsung, suara gemericik air mancurnya terdengar indah. Beberapa ikan koi tampak sedang berenang kesana kemari memamerkan kemolekan warna-warni tubuhnya.
“Kok disini, udah makan?” duh, suara berat itu lagi, keluhku.
“bapak hobi memata-matai orang ya?” jawabku sedikit kesal.
“Kamu gak makan?” dia bahkan tidak menjawab pertanyaanku
“Pantes aja kamu kurus kering kering seperti ini..” dia mengatakan itu sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
“Seharusnya bapak nggak disini” kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“aku sudah cukup beramah tamah dengan mereka” katanya pelan sambil mengeluarkan sebatang rokok, menyalakan dan kemudian menghisapnya.
“Bapak merokok?” tanyaku, karena selama ini aku belum pernah melihatnya merokok.
“hanya sekali kali saja kalau sedang ingin...” katanya sambil terus menikmati rokoknya.
“kalo sedang ingin dan sedang gundah memikirkan sesuatu...” tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Dia tampak terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan.
“Maksudnya...?” dia menatapku, wajahnya benar-benar menunjukkan ketidakmengertian.
Aku tertunduk, memainkan jari jemariku, menimbang-nimbang haruskah aku menanyakan padanya tentang apa yang tadi kudengar atau tetap berpura-pura tidak tahu. Dan lagi apa hakku menanyakan hal itu pada si Boss, bisa-bisa aku malah dianggap lancang karena ikut campur dalam kehidupan pribadinya.
“Ga ada apa-apa, pak..., maaf” aku berpura-pura kembali sibuk memperhatikan kolam kecil didepanku.
“Saya minta ijin pulang duluan, boleh gak, pak?”
“Loh...? tunggu sebentar lagi nanti aku antar pulang” katanya.
“saya mau pulang sekarang, pak”
“Kenapa? Kamu sakit?” tangannya terulur untuk menyentuh dahiku. Aku berusaha menghindar sambil kutepis tangannya. Dia tampak terkejut dengan reaksiku.
Aku menatapnya. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa dia harus masuk dalam kehidupanku? Aku sudah merasa cukup puas dengan hidupku selama ini, tapi semuanya jadi terasa berat saat dia mulai melakukan hal-hal manis seperti itu. Atau mungkin ini hanya perasaanku.  Tiba-tiba aku jadi ingin menangis.
“Saya harus pulang, pak...” aku merasa sudah tidak tahan lagi dengan keadaan ini. Segera aku berlalu dari hadapannya, setengah berlari meninggalkan dia yang masih tampak kebingungan dengan sikapku.
“Dilla tunggu...ada apa sih? Kamu benar-benar orang yang aneh.”
Dia menarik tanganku. Tapi aku langsung menghempaskannya. Airmataku sudah terlanjur meleleh. Ya Tuhan, tolong aku...aku tidak mau terlihat menangis didepannya.
Aku segera berlari, tak kuhiraukan lagi panggilannya. Mungkin sudah saatnya mengakhiri mimpi ini, aku harus segera terjaga..teriakku dalam hati.

Thank's God, It's Sunday Morning, gumamku pada diri sendiri.  Jam menunjukkan pukul 07.20. Hari ini aku tidak berencana kemana-mana, aku hanya ingin tidur seharian, janjiku dalam hati. Kepalaku masih terasa agak berat. Kucoba bangkit dari tempat tidur. Berjalan menuju meja rias dan duduk didepannya. Kulihat bayangan diriku di cermin, mataku tampak masih agak bengkak ditambah dengan bekas riasan yang belum terhapus sempurna. Jadi ternyata kejadian semalam bukan cuman mimpi, keluhku dalam hati.
Aku berjalan menuju dvd player ku, kupilih lagu pop berirama ceria, kukencangkan volumenya. Berjalan ke arah pintu kamar, dan kukunci dari dalam. Biasanya adik-adikku sudah paham, saat aku mengunci pintu kamar dan terdengar musik keras dari dalam, mereka tidak akan menggangguku. It's me time...teriakku. Aku menggoyangkan tubuhku mengikuti musik, menghentak-hentakkan kaki dan sekali-kali mengikuti syair dari lagu yang kuputar. Ritual semacam ini biasanya sangat ampuh mengusir kesedihan. Aku terus berputar-putar di sekitar kamar entah selama berapa lama. Tapi rasa sesak di dada masih terus menghimpitku, mengapa rasa ini tidak bisa hilang? Jeritku dalam hati. Aku sudah tidak tahan lagi, kurebahkan diri di atas tempat tidur, dan mulai menangis..
Ya Tuhan, aku merasa begitu kesepian..
begitu sendiri..
Aku rindu ayah dan ibu..
aku tahu bahwa peran ini memang harus aku jalani
tapi mengapa kadang terasa begitu berat..?
aku tahu bahwa aku hanya harus belajar ikhlas menerimanya..
tapi terkadang aku juga merasa lelah
Aku terus menangis menumpahkan semua gundah dalam hati. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku jadi sedih seperti ini? Mungkinkah gara-gara apa yang telah kudengar di toilet semalam? Duh, apa yang kupikirkan? Pak Arya dan Nia? Apa benar pernah ada sesuatu diantara mereka? Apa sebenarnya sikap pak Arya kepadaku tak jauh beda dengan sikapnya pada karyawan lain? Jadi hanya aku yang merasa berlebihan akhir-akhir ini? Harusnya aku malu pada diriku sendiri, rutukku dalam hati.
Tiba-tiba kudengar handphone ku berdering. Kulihat nama yang tertera di layar. Pak Arya? Kubiarkan saja telpon berdering tanpa kuangkat, biarlah..ini kan hari minggu, tak ada urusan kantor yang harus kuselesaikan, gumamku. Kututup kepalaku dengan bantal. Please, don't disturb my life, teriakku lebih pada diri sendiri.

Beberapa hari ini sengaja aku menjaga jarak dengan si Boss. Biarlah semua berjalan seperti apa adanya. Sebisa mungkin aku menghidar untuk berbicara hanya berdua dengannya. Aku tahu terkadang dia lewat di depan ruanganku dan melihat kearah mejaku, tapi aku akan langsung berpura-pura sibuk dengan komputer dan berkas-berkas. Saat rapat berlangsung aku hanya diam tak banyak bicara, berpura-pura sibuk mencatat, dan dia sekali-kali tampak melirikku. Setelah rapat selesai aku akan buru-buru meninggalkan ruangan meeting dan dia terus memandangiku dengan tajam. Terkadang ingin rasanya aku mengecilkan diri atau menghilang untuk sesaat, sekedar menenangkan batinku sendiri.
Tapi hari ini terpaksa aku pulang lebih malam dari biasanya. Ada banyak pekerjaan yang masih harus kuselesaikan. Kulirik jam di pergelangan tanganku, sudah hampir jam 19.00. Kubereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerja. Perutku mulai terasa lapar, aku harus pulang. Mungkin nanti aku akan mampir ke restoran padang langgananku, akhir-akhir ini selera makanku turun drastis. Aku tidak boleh sakit, nasehatku pada diri sendiri.
“Belum pulang..?” suara beratnya benar-benar membuatku hampir melompat dari kursi yang aku duduki.
Dia tersenyum melihat tingkahku.
“Pasti lagi nglamun ya?” dia mengerlingkan matanya.
Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini, tolong jangan biarkan aku jatuh cinta kepadanya, doaku dalam hati.
“Kamu sudah selesai? Udah mau pulang kan?”
Aku mulai memutar otak untuk mencari-cari alasan menghindar darinya.
“Ehhhmmm...saya ada janji pak..., mungkin nggak bisa langsung pulang...” kataku ragu-ragu. Aku mengutuki diri kenapa tidak bisa menyembunyikan kebohonganku.
“Aku tahu kamu cuman cari alasan untuk menghindar, tapi kalau memang kamu ada janji dengan seseorang, bilang aja kamu ada tugas dari atasan, atau aku sendiri yang harus menelepon orang itu?”.
Aku sudah tidak bisa menghindar kali ini, keluhku dalam hati.
Aku berjalan pelan disampingnya menuju pintu keluar kantor. Sekali-kali tampak dia menoleh kearahku, tapi aku hanya pura-pura tidak tahu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapnya. Akhirnya kita sampai di area parkir. Dia membukakan pintu untukku, dan aku tetap diam sampai mobil berjalan menjauhi kantor.
“Sebenarnya ada apa sih, Dilla?” dia mulai membuka pembicaraan.
Aku menggeleng.
“Aku bener-bener gak ngerti dengan sikapmu akhir-akhir ini”.
“Bukankah bapak bilang saya aneh, jadi anggap saja ini salah satu dari keanehan saya..” aku mengatakan itu dengan pelan.
Tiba-tiba dia menghentikan mobilnya. Kulihat sekeliling lewat kaca jendela mobil. Ini masih sangat jauh dari rumah.
“Kita akan tetap disini sampai kamu cerita ada apa sebenarnya..” dia menatapku dengan sangat tajam.
Kuhela nafas, tenggorokanku terasa kering.
“Ada apa antara Bapak dengan Nia?” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Kulirik reaksinya saat nama Nia kusebut. Dia menghela nafas, mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jari telunjuknya, tampak sedang berpikir. Kemudian dia menatapku.
“Aku dan Nia memang pernah menjalin hubungan..” suaranya terdengar pelan.
Jantungku terasa berdebar semakin kencang. Aku juga tidak tahu jawaban apa yang kuharapkan.
“tapi itu sudah lama sekali, Dilla...saat kita masih sama-sama kuliah, Nia adik tingkatku, kita sempat dekat dalam beberapa lama tapi hubungan kita tidak berjalan baik dan kemudian aku pergi ke luar negri untuk mengambil gelar masterku...Saat aku kembali ke Indonesia, secara kebetulan dia menjadi salah satu staffku..yah, begitulah ceritanya. Setiap orang punya masa lalu kan..?” dia mengatakan itu sambil menatapku tajam.
“Hufffttt...” tiba-tiba saja suara itu keluar dari mulutku. Mungkin ini sebuah bentuk ekspresi kelegaan atau apa, aku juga tidak tahu pasti.
“tapi tampaknya Nia masih berharap pada pak Arya...” aku mengatakan itu dengan sangat hati-hati, sambil berusaha menenangkan hatiku sendiri atas apa yang akan dikatakan Arya selanjutnya.
Dia hanya tersenyum. Aku berdoa dalam hati semoga dia tidak menanyakan darimana aku tahu semua ini.
“Jawaban apa yang kau harapkan dariku, Dilla?” tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku bersandar pada jok mobil. Saat ini aku benar-benar berharap bisa menghilang dari sini. Dia menatap tepat ke dalam mataku. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku, aku hanya diam seakan-akan seluruh tubuhku kaku. Aku benar-benar merasa seperti tersihir olehnya. Dan hal itu terjadi begitu saja, dia mencium bibirku. Aku tersentak. Tak menduga bahwa hal seperti ini bisa terjadi. Aku mengutuki diri sendiri mengapa bisa selemah ini padanya.
Kubuka pintu mobil dan segera keluar dari sana. Arya tampak terkejut dengan sikapku. Dia berusaha mencegahku. Aku berlari menjauh darinya. Tapi dia menarik tanganku. Dia memegangnya dengan erat. Kuhempaskan tangannya. Kuusap bibir ini dengan kasar, Ya Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi, aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikiranku, aku hanya berpikir bahwa ke depannya semua pasti akan semakin sulit bagiku.
“Aku minta maaf, Dilla...” mohonnya.
Badanku terasa gemetar, aku mendekap erat tasku di dada.
“Kenapa kamu masuk dalam hidupku, aku merasa lebih baik saat kita tidak sedekat ini, kenapa tidak kita buat semuanya jadi lebih mudah..?” aku mengatakan itu padahal aku sendiri juga tidak mengerti apa maksud perkataanku.
Dia memandangku dengan pandangan tidak mengerti. Suara mobil berlalu lalang, seperti suara riuh rendah hatiku..
“Mengapa Dilla? Sebenarnya kamu khawatir dengan perasaanmu sendiri kan? Kamu takut jatuh cinta, karena kamu takut akan kehilangan, kamu takut kehilangan orang yang kamu cintai karena kamu mengganggap begitu paham mengenai rasa sakit hati saat kehilangan orang-orang yang kamu cintai. Kamu berpura-pura tegar tapi sebenarnya kamu rapuh. Kamu membangun tembok tinggi seakan-akan kamu tidak butuh orang lain, tapi sebenarnya kamu sakit Dilla, sudah saatnya kamu belajar menerima kenyataan, belajar menerima suara hatimu bahwa sebenarnya kamu bisa jatuh cinta dan biarkan seseorang mencintaimu.
Plak...!! semua terjadi begitu saja. Ya Tuhan, aku menampar Bossku, seharusnya hal itu kulakukan sejak tadi saat dia menciumku, rutukku dalam hati. Kalimatnya terasa begitu menyakitkan, atau justru itulah yang sebenarnya? Kata suara hatiku yang lain. Badanku semakin gemetar, dan tiba-tiba  hujan turun dengan derasnya. Terima kasih Tuhan, aku tidak perlu terlihat menangis di depannya. Airmataku menetes deras seiring dengan air hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Aku berlari meninggalkannya. Berharap ada taksi yang lewat. Ya Tuhan tolong aku, aku hanya ingin segera pergi dari sini. Rupanya doaku didengar olehNya. Sebuah taksi berhenti tepat didepanku aku segera masuk kedalamnya. Di kejauhan kulihat Arya masih berdiri disana, tubuhnya basah kuyup tersiram hujan.

Hari ini mungkin akan berjalan lambat, bathinku. Aku akan berusaha bersikap sebiasa mungkin di depan pak Arya. Aku akan berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa semalam. Anggap saja diriku mengalami amnesia ringan atau apalah, aku berusaha membodohi diri sendiri. Aku berjalan pelan di koridor kantor, sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Suasana kantor masih sepi. Entah kebetulan atau malapetaka, saat menuju ruanganku aku berpapasan dengan si Boss, jantungku langsung berdetak kencang, kedua kakiku terasa lemas, seakan tak mampu aku gerakkan lagi untuk melangkah. Aku berusaha tersenyum dan mencoba menyapanya dengan mengucapkan selamat pagi walaupun suaraku seakan hilang entah kemana. Tapi ternyata...dia hanya melewatiku begitu saja, tanpa melihat kearahku sedikitpun. Ya Tuhan, sekarang dia pasti sangat membenciku...Hufft..aku berusaha menenangkan diri. Bukankah ini yang kau inginkan, Dilla? Suara dalam hatiku seakan-akan mengejek atas apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Yah, bukankan menurutku ini yang terbaik? Aku harus siap dengan konsekuensinya, tak ada alasan lagi untuk menyesali apa yang terjadi. Aku harus kuat, seperti biasanya. Bukankah aku sudah cukup terbiasa dengan rasa sepi ini? Kurasakan pandanganku mengabur, aku gak boleh cengeng, semua pasti akan segera berlalu, aku berusaha menghibur diri sendiri, kuusap air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Semua pasti akan baik-baik saja, bisikku.

Kucoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Tak pernah lagi ada pembicaraan di luar pekerjaan dengan pak Arya, semua kembali seperti awal dulu saat “semua” belum pernah terjadi. Hanya yang membedakan pak Arya tak pernah lagi marah-marah padaku, yah karena bahkan untuk menatap wajahku saja, dia seakan-akan tak sudi. Setiap hari terasa lambat bagiku. Terkadang aku begitu merindukannya, rindu senyum, kerlingan matanya, perhatiannya. Ya Tuhan, mungkin aku sudah gila, keluhku. Sampai kapan semua ini berakhir? Sampai kapan rasa ini akan menguap untuk selamanya? Mungkin aku harus mulai memanjakan diriku lagi seperti dulu. Jalan-jalan, belanja, minum di cafe favoritku. Yah, benar..sudah lama sekali aku tidak melakukan hal itu. Aku akan coba mengajak beberapa teman kantor, pasti akan menyenangkan.
Bergegas aku keluar dari ruanganku menuju ke meja Nia, sudah lama sekali aku tidak mengobrol dengannya.
“Nia, kita jalan yuk...” kataku seraya menepuk bahunya.
Dia menoleh kepadaku, tanpa ekspresi, berdiri dari tempat duduknya dan langsung pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa kepadaku. Aku melongo melihat sikapnya, benar-benar tidak siap dengan apa yang baru saja aku terima. Aku pasti terlihat bodoh sekali di depan teman-teman kantor yang secara tidak sengaja melihat kejadian ini. Aku tahu mereka mulai berbisik-bisik.
Kucoba untuk tersenyum, walaupun hatiku terasa seperti diiris-iris. Haruskan aku menjelaskan yang sebenarnya? Bahwa tidak pernah ada “sesuatu” diantara aku dan pak Arya. Bahwa semuanya sudah berakhir seperti yang seharusnya.

Akhirnya harus kuterima kenyataaan ini. Aku sakit fisik dan mental. Setiap hari aku pulang malam untuk menyelesaikan tugas kantor, berpura-pura sibuk dengan duniaku, walaupun terkadang saat sendiri di meja kerja aku berharap ada suara beratnya yang mengagetkanku, mengingatkanku untuk makan, mengomeliku saat pikiranku tidak rasional (menurutnya). Ya Tuhan, aku benar-benar lelah. Setetes air mata jatuh membasahi berkas didepanku. Aku akan pulang cepat malam ini, janjiku dalam hati. Seharian entah mengapa aku merasa lemas sekali. Kuberesi sisa berkas yang ada, biarlah kuselesaikan besok. Kuraih tasku, berjalan pelan menuju pintu keluar kantor. Tinggal beberapa langkah menuju pintu keluar, ketika aku merasa kepalaku semakin berat, pandanganku terasa berputar-putar, dan kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.


Kucoba membuka mata, kepalaku masih terasa berat. Ini bukan kamarku, bathinku. Aku berada dikamar Rumah Sakit. Sebuah selang infus terpasang di tangan kiriku. Aku sedang berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi dengan diriku ketika tiba-tiba pintu terbuka, Dita masuk bersama Dika.
“Kak...?” suara Dita pelan, matanya tampak mulai berkaca-kaca. Dika berdiri mematung di ujung tempat tidur.
“Kalian kenapa sih?”
“Maafin kami ya...gak pernah perhatian sama kakak, sampai kakak sakit begini, sebenarnya kami tahu akhir-akhir ini kakak banyak melamun, makan juga gak teratur, tapi kami ga brani nanyain, kami tahu kakak gak bakal mau crita...kata dokter kakak kecapekan dan mengalami dehidrasi” suara Dita terdengar serak. Kemudian dia memelukku. Dika masih termangu, kemudian dia meraih kakiku dan memijitnya...
“Eits...!! cowok gak boleh nangis..” godaku pada Dika. Kemudian dia mendekat dan mencium keningku. “Cepet sembuh ya, Kak..” bisiknya.
Kupeluk mereka berdua, kehangatan mengaliri hatiku. Terima Kasih Tuhan, bisikku.

Sorenya, beberapa teman kantor datang menjengukku. Ternyata aku tidak sendiri, aku menghibur diri. Walaupun rasa sepi itu masih ada, tersembunyi di satu sisi ruang batinku. Mungkin ruang itu harus kubiarkan kosong seperti adanya dulu.
“Oh ya, pak Arya keluar negri, Dilla...” tiba-tiba mbak Rina mengatakan itu.
Degh..dadaku mulai berdebar-debar lagi. Mengapa aku masih merasakan getaran ini setiap kali namanya disebut?
“Ooo..iyya...” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Boss berangkat 2 hari yang lalu, makanya di kantor serasa surga gak ada 'beliau' kabarnya dia bakal lama diluar negri, sekitar dua mingguan gitu lah, menyenangkan banget kan?” Mita menimpali.
Tapi kemudian kulihat beberapa teman menyenggol lengannya, seakan memberi isyarat bahwa hal semacam itu tak perlu dikatakan di depanku.
“semoga besok aku udah bisa pulang..udah kangen kantor..” kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Semua memang sudah berakhir Dilla, belajarlah ikhlas menerima kenyataan yang ada.


Hari ini aku boleh pulang dari Rumah Sakit, dengan “dibekali” beberapa vitamin dan saran mengenai pola hidup sehat oleh dokter. Aku duduk disamping tempat tidur. Sore ini Dika akan menjemputku sepulang dia kerja. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Itu mungkin Dika atau perawat yang mau mengecek kondisiku.
“Masuk..” suaraku terdengar agak serak.
Suara pintu diketuk lagi.
“Masuk, Dika..” aku mulaI kesal.
Tapi tak ada seorangpun yang masuk ke kamar. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku berjalan menuju pintu, membukanya perlahan, dan disana seseorang sedang tersenyum membawa setangkai mawar merah.
“Hai, sleeping beauty..bolehkah aku membangunkanmu dari tidur panjang selama ini, ijinkan aku untuk mendampingi hari-harimu, karena hidup tak seberat yang kau bayangkan....mmh..mungkin kedengarannya konyol ya? Tapi, jauh darimu benar-benar membuatku tersiksa, dan jangan sekali-kali lagi mencoba menolakku, karena aku akan mengejarmu kemanapun kau pergi...”
Aku masih terpaku, tak bisa berkata apa-apa, ada butiran bening terasa mengalir di pipiku. Dia tersenyum, senyum yang kurindukan. Aku tak mau lagi membohongi diri sendiri. Mungkin sudah saatnya aku belajar mencintai. Memberikan kesempatan pada seseorang mengisi ruang kosong dalam hatiku.
Dia masih menunggu reaksiku. Sejujurnya aku juga sungguh tersiksa jauh darimu. Kupeluk dia dan kubisikkan “I love U, Boss...!!”

PS: Bukankah hidup memang untuk dinikmati? Sebuah perjalanan panjang, dimana kesedihan dan kegembiraan datang silih berganti. Jadi jangan pernah takut untuk menjalaninya, karena hidup begitu indah, semua hanya tergantung dengan bagaimana cara kita memandang dunia.

-tamat-
by: nukhee
_________________