Selasa, 11 Oktober 2011

Sebuah sms


SEBUAH SMS
           

Tiara melirik jam di pergelangan tangannya..sudah hampir jam lima, sebentar lagi dia harus segera pulang, jam setengah tujuh Ilman biasanya sudah sampai rumah. Sambil mengaduk-aduk orange juice , matanya memperhatikan sekitar, entah sudah berapa kali dia mengelilingi pusat perbelanjaan ini, berjalan kesana kemari tanpa tau harus kemana, dia hanya ingin berjalan, terus berjalan, berharap beban berat yang ada dihatinya bisa tertinggal disepanjang   toko-toko yang dilewatinya. Sampai akhirnya dia merasa kakinya terasa berat untuk melangkah, kelelahan yang mendera, memaksanya berhenti disebuah cafe kecil yang tidak terlalu ramai pengunjung, dengan cahaya temaram, sangat tepat untuk melepas lelah dan menyembunyikan diri .  Disekanya airmata yang terus mengalir ke pipi. Rasa sesak itu masih ada...sedih, marah, kecewa, bercampur aduk jadi satu dengan rasa tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Dihelanya nafas panjang, berharap dapat melepas beban yang ada di dadanya, tapi rasa nyeri itu masih ada. “Apa salahku?” pertanyaan itu yang terus berputar-putar di kepalanya.

Semuanya berawal dari kejadian kemarin. Ilman sedang mandi, dan Tiara sedang menyiapkan baju kerja untuk Ilman seperti biasa. Handphone Ilman berbunyi, ada SMS masuk, biasanya Tiara tidak peduli dengan hal itu, tapi entah mengapa rasa ingin tahunya tiba-tiba muncul, dia melirik HP yang tergeletak di tempat tidur, suara kucuran air masih deras terdengar di kamar mandi, hatinya bimbang antara ingin melihat SMS dari siapa dengan tetap membiarkannya dan meneruskan memadu padankan dasi dan kemeja yang akan dipakai Ilman. Selama 5 tahun pernikahannya tak pernah Tiara bersikap lancang untuk mengutak atik barang pribadi suaminya, toh selama ini Ilman suami yang baik. Tidak pernah ada pertengkaran yang berarti selama mereka menikah, bila pun ada percekcokan kecil, itu takkan bertahan lama, karena Ilman akan memeluknya sambil mengatakan “maafkan aku”, dan semua persoalan sebelumnya akan hilang dengan sendirinya, walaupun kadangTiara merasa dialah yang bersalah, Ilman tetap selalu yang mengawali untuk meminta maaf pada dirinya. Ilman bukan tipe suami yang romantis dan cenderung pendiam, jarang sekali ada ungkapan sayang lewat kata-kata, tapi Tiara selalu merasa nyaman bersamanya.
Tiara kembali melirik HP itu, kembali rasa bimbang menyelimutinya, tapi tanpa sadar tangannya telah terulur dan menekan tombol untuk mengetahui dan membaca nama si pengirim SMS, “She...?” nama yang aneh, batinnya. Segera dibaca isi pesannya..
”Jangan lupa nanti malam, Yang”. Degh...jantungnya terasa berhenti, seperti ada aliran listrik menyengat tubuhnya.Sesaat otaknya terasa beku, dia tidak mampu berpikir, perasaan dan akal sehatnya berdebat antara rasa percaya dan tidak atas apa yang baru saja dibacanya. Tiba-tiba pintu kamar mandi dibuka. Cepat-cepat diletakkannya HP kembali ke tempat tidur. Tiara berusaha menutupi kegundahan hatinya, semoga Ilman tidak melihat apa yang baru saja aku lakukan batinnya. Dia keluar kamar berusaha  bersikap setenang dan sebiasa mungkin. 

Tiara terduduk di meja makan, kepalanya terasa berputar-putar, dia belum bisa menguasai dirinya. Tiba-tiba Adit muncul, putranya yang baru berumur 4 tahun langsung merengek minta duduk dipangkuan. Dipeluknya tubuh kecil itu, tanpa terasa sesuatu yg hangat terasa mengalir di pipinya, segera disekanya air mata itu, Ilman tidak boleh tau tentang ini, dia harus bisa bersikap biasa seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.
 “Adit mau roti, sayang?”, tanya Tiara lembut. Adit hanya menggeleng kemudian turun dari pangkuan Tiara.
“Robot baru Adit yang kemaren dibeliin sama Papa dimana, Ma?”.
“Loh, kan Adit yang simpen? Mungkin di kamar Adit..?” jawab Tiara sambil menatap wajah mungil dihadapannya. Semua yang ada pada Ilman ada dalam diri Adit, mata, hidung, bibir, hanya kulit tubuh Adit yang putih, yang mirip Tiara. Ada sesak yang kembali terasa di dadanya. Tiara masih belum percaya atas apa yang baru saja dibacanya. Mungkin itu hanya SMS iseng dari teman kantor Ilman, mungkin juga itu nyasar atau salah kirim, Ah, tidak mungkin karena dengan jelas Tiara membaca nama pengirim sms “She”, rasanya belum pernah Tiara mendengar nama itu disebut oleh Ilman, akal sehat dan perasaannya masih bergelut.
 “Adit mau ke kamar, Ma?” Suara Adit membuyarkan lamunan Tiara. Tubuh mungil itu segera berlari, meninggalkan Tiara sendiri, kembali termenung.
“Hari ini ada acara di kantor, Ma”, suara Ilman mengejutkan Tiara.
 “Perpisahannya pak Ramlan, dia pindah ke kantor cabang di Solo”.
“Iya” Tiara membalas pelan,
“Mau sarapan sama apa?” kata Tiara, biasanya Tiara langsung melihat dasi Ilman, kemudian membantu merapikannya, tapi tidak untuk hari ini, Ilman akan tahu saat menatap wajah Tiara bahwa dirinya baru saja menangis.
 “Aku langsung berangkat aja, Ma..ada meeting pagi ini”, ada perasaan sedikit lega dalam hati Tiara, dia dan Ilman tidak perlu berlama-lama berhadapan di meja makan kecil ini.
“mau dibawain bekal?”
“ga usah deh”. Ilman meraih kepala Tiara dan memberikan kecupan di kening, ritual pagi yang selalu dilakukannya. Tiara berusaha sekuat tenaga menahan air matanya, mulutnya terasa ingin berteriak, siapa wanita itu Ilman? Tapi akal sehatnya menahan untuk itu, aku harus mencari tahu kebenarannya, tepisnya..itu hanya sebuah sms, hiburnya dalam hati. Mungkin benar itu dari teman Ilman, tapi teman sedekat apa yang bisa memanggilmu dengan sebutan Yang?..atau mungkin aku yang ketinggalan jaman bahwa sebutan-sebutan seperti adalah hal yang sangat biasa di kantor Ilman, batin Tiara.

Tiara duduk dengan gelisah, sopir taksi melirik dari kaca spion, menunggu perintah akan kemana lagi setelah menunggu hampir 15 menit di tempat parkir sebuah gedung perkantoran. “Nah itu itu dia..”, kata Tiara pelan, sang sopir taksi segera mengikuti arah mata Tiara memandang..tapi masih belum bisa memastikan apa atau siapa yang ditunggu oleh penumpangnya itu. Tiara melihat Ilman keluar kantor dengan seorang wanita, hatinya berdebar-debar, karena posisinya yang agak jauh dari tempat Ilman berdiri, dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang sedang berjalan disisi suaminya. Bahasa tubuh keduanya tampak biasa saja, Ilman berjalan tenang, tampaknya dia justru asyik berbicara dengan seseorang lewat telpon genggamnya. Keduanya  berjalan menuju area parkir, Tiara melihat wanita itu mengikuti Ilman masuk kedalam mobil.
“Pak ikuti mobil itu ya..tunjuk Tiara, ke arah mobil suaminya”
“iya bu..”
“jangan sampai ketinggalan ya, pak,..tapi juga jangan terlalu dekat ya..” pesan Tiara
“moga-moga gak macet ya, bu..”
Tiara tidak memperhatikan apa yang dikatakan si sopir dia masih berkonsentrasi memperhatikan mobil Ilman khawatir akan tertinggal.
Tak lama kemudian, “Bu, mobilnya berhenti di toko perhiasan diseberang jalan itu”. Tubuh Tiara terasa lemas, seluruh tenaganya tiba2 hilang entah kemana, dia semakin larut dengan pikirannya sendiri. Apa yang dilakukan Ilman dengan seorang wanita yang ke sebuah toko perhiasan? Selama ini Ilman bahkan tidak pernah memperhatikan apa yang Tiara kenakan. Kalau Tiara bertanya mana gaun yang harus dia pilih, Ilman hanya akan mengatakan “Kamu bagus pakai apa aja”, hanya itu bahkan kadang tanpa perlu melihat terlebih dahulu.
“Gimana bu? Apa kita mesti nunggu?” suara sopir taksi membuyarkan lamunan Tiara.
“Gak, pak..kita pulang aja deh”, putus Tiara.
            Jam lima seperempat. Tiara melambaikan tangan memanggil waitres, menanyakan bon dan membayarnya. Berjalan menuju tempat mobilnya diparkir. Malam ini semua harus jelas, bathin Tiara. Apapun penjelasan Ilman dia akan berusaha untuk menerima, sepahit apapun yang akan dikatakan Ilman.

Rumah tampak gelap, tidak seperti biasanya, kemana mbak Nah dan Adit, harusnya lampu-lampu sudah dinyalakan, suasana rumah tampak sepi sekali. Perlahan di dorongnya daun pintu ruang tamu, tidak terkunci. 
“Surprise..!!” tiba-tiba ruangan jadi terang benderang, tampak belasan orang sekarang ada di ruang tamunya, “Selamat ulang tahun, Ma..!” kata-kata Adit menyadarkan Tiara, yang masih tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya, lalu Ilman muncul membawa sebuah kue ulang tahun kecil lengkap dengan lilinnya, “Selamat ulang tahun, Ma”, kata Ilman seraya memberi satu kecupan di keningnya,
“ayo tiup lilinnya”. Tiara tidak bisa berkata-kata, dilihatnya beberapa kerabat dan teman dekatnya memenuhi ruangan. Dia belum bisa menguasai dirinya, apa yang ada dihadapannya benar-benar bertolak belakang dengan apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Harusnya malam ini Tiara duduk berdua dengan Ilman untuk menanyakan tentang SMS di handphone Ilman kemaren. Malam ini Ilman harus menjelaskan siapa wanita itu, dan Tiara harus siap dengan apapun yang akan Ilman ceritakan. Tanpa pikir panjang, Tiara menyeret Ilman ke kamar, suara2 menggoda dari teman2nya sudah tidak digubrisnya lagi.

Tiara duduk disisi tempat tidur, Ilman masih menunjukkan sikap tenang. “aku ingin kamu bicara jujur,..”.
“aku siap dengan apapun yang akan kamu ceritakan..”
“Siapa wanita itu?” tanya Tiara cepat, diiringi degup jantungnya, air mata sudah membanjiri pipinya, dia sudah tidak mampu berpura-pura tegar dihadapan suaminya. Hening sejenak namun tiba-tiba diluar dugaan Ilman justru tertawa terbahak-bahak. “Kamu lucu deh, Ma..”
“aku minta maaf, memang ini agak keterlaluan..” kembali Ilman tertawa keras. Tiara belum mengerti dengan sikap Ilman. Tiba-tiba Ilman memeluknya “I Love U”.
“Apa maksud semua ini?” tanya Tiara dingin, sambil berusaha melepaskan pelukan Ilman. Tapi Ilman malah semakin erat memeluknya.
Perlahan Ilman melepaskan pelukan, dikecupnya kening Tiara.
“semua gara2 sms itu..” kata Ilman.
“aku lihat waktu kamu membaca isi sms dari...”
“She..yah, siapa wanita itu..aku belum pernah mendengarnya..?” desak Tiara tidak sabar.
Ilman tersenyum. “She, itu susi..Ma, sekretaris baru pak Hasan, orang-orang di kantor biasa memanggil dia She.”
“dia salah kirim sms buat tunangannya, setelah sms yang kau baca dia meneleponku, untuk minta maaf”
“aku tau kamu mencurigai sesuatu, saat melihat sikapmu di meja makan”
“sore harinya aku telp mbok Nah, dia bilang kamu keluar, tanpa mengajak Adit...”
“Siapa wanita di toko perhiasan itu..? Tiara masih belum bisa menerima apa yang baru saja diceritakan Ilman..”
“Loh, kamu kok tahu...?” Ilman agak terkejut. Tapi lagi-lagi dia tersenyum geli.
“kamu main detektif2an ya, ma..?” goda Ilman. Tiara hanya diam.
“yang mama lihat di toko perhiasan itu kan Vera? Mama kok gak ngenalin sih..? lihatnya dari jauh ya..?” mata Ilman mengerling, menggoda Tiara.
Tapi Tiara tetap diam.
“Yah, aku memang pergi ke toko perhiasan, untuk membeli sesuatu yang istimewa untuk seorang wanita, aku minta Vera membantu memilihkan untukku, minimal ada pendapat dari sesama wanita soal pilihanku..”
“Ini..” tangan Ilman merogoh sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kotak kecil berwarna merah. Ragu-ragu Tiara meraih kotak itu.
“Buka aja...moga-moga aku gak salah pilih, kamu kan tau, Ma aku kurang ahli dalam hal ini..” kata Ilman sambil tersenyum.
Tiara segera membukanya, sebuah cincin bermata berlian kecil, tampak begitu manis..Tiara terdiam, kehilangan kata, butiran bening mulai jatuh dari matanya..dadanya terasa sesak, tapi kali ini karena dipenuhi dengan kebahagiaan.



-Tamat-
by. Nukhee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar