Selasa, 11 Oktober 2011

Pilihan hati




“Hatchiii...!!”..uff..flu ini benar2 mengganggu, padahal setengah jam lagi aku harus siap mempresentasikan produk di depan para pejabat universitas. Kucari-cari tissue di dalam tas besarku...oh..please?! Tinggal selembar..? bagaimana mungkin dalam kondisi flu parah begini aku kehabisan tissue? Keluhku..
Tidak ada waktu untuk meratapi kecerobohanku kali ini, segera aku berlari ke toilet..aku harus bisa membereskan diriku dalam waktu 10 menit, berusaha tampil mempesona dan semenarik mungkin agar minimal para pejabat universitas bersedia menyimpan dananya di bank tempat aku bekerja. Tapi aku tahu kemungkinannya sangat kecil dengan kondisi tubuhku yang seperti ini, hidung merah, mata  sembab, kepalaku juga  terasa membawa beban beberapa kilogram.
“Gedubrak...!!” ..entah bagaimana awalnya, tiba2 aku sudah dalam posisi terduduk, kertas-kertas berhamburan, separuh isi tasku berceceran, ini malapetaka.
“Maaf...mbak, mbak ga pa-pa kan..? sebuah suara menyadarkan aku dari keterkejutan atas apa yang baru saja aku alami”.
”Hati-hati mbak..memang lantainya baru di pel..” sebuah tangan terulur membantuku berdiri.., bagian belakang bajuku basah, gulungan rambutku lepas, tidak mungkin aku presentasi hari ini...aku berusaha berdiri..ada rasa nyeri di bagian punggungku.
“Makasih..” kataku pelan.
“Hati-hati, mbak..katanya seraya membantuku membereskan berkas2 yang tercecer..” aku masih tertunduk sambil memasukkan sebagian isi tasku,..pilekku tiba-tiba hilang..bertukar dengan nyeri di punggung..
“Nih..”si penolong memberikan setumpuk kertasku yang tadi berceceran
“Sebagian kotor dan basah..” aku semakin merasa ingin menangis..
“Makasih ya..”kataku seraya memandang ke wajah si penolong. Seorang pria usianya aku perkirakan tidak lebih dari 40 tahun, kulitnya sawo matang, sepasang mata yang teduh tersembunyi dibalik kacamatanya.
“Mbak bukan mahasiswi kan?” tanyanya ramah.
“Oowwhh..bukan..bukan..saya dari Bank Wira..rencananya hari ini mau presentasi, tapi kayaknya ditunda dulu aja deh, keadaan tidak memungkinkan, kataku sambil berusaha tersenyum.
“Ohya..nama saya Mita..” kataku sambil mengulurkan tangan..akhirnya aku bisa menguasai diri batinku.
“Bimo” katanya sambil tersenyum tipis..
“Nih..” dia mengulurkan selembar sapu tangan, “Dihapus dulu air matanya”
Ya ampun..ternyata tanpa sadar aku menangis.

Bimo Laksono. Namanya sederhana, sesuai dengan orangnya. Aku membaca nama yang tertulis di kartu nama, sambil memainkannya di sela-sela jariku. Sekilas terbayang sosok Bimo. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi juga tidak terlalu pendek, ukuran rata-rata orang Indonesia. Alis matanya tebal, saat tersenyum sederet gigi yang berjajar rapi menghiasi bibirnya. Tapi dari semua itu matanya yang paling menarik menurutku, entah mengapa setiap kali tanpa sengaja mata kita saling memandang, aku merasa begitu damai, seakan ada sebuah telaga disana. Ah, apa yang aku pikirkan..kukibaskan kepalaku, berharap bayangan Bimo akan pergi.
Setelah tragedi di toilet kampus itu, aku sempat bertemu beberapa kali dengan Bimo. Berkat Bimo aku bisa menjadwal ulang presentasi di universitas tempatnya mengajar, yah..ternyata Bimo salah satu dosen disana. Entah karena presentasiku yang cukup bagus dan menarik, atau mungkin ada campur tangan Bimo, akhirnya pihak universitas bersedia bekerja sama dengan bank tempatku bekerja. Sejak itu kita beberapa kali bertemu.
“Kriiinnggg...” suara hp membuyarkan lamunanku..
“Andre..” batinku..
“Halo sayang..?” suara yang sudah sangat kukenal. Lelaki yang sejak 5 tahun mengisi hatiku, dan 3 bulan lagi akan jadi suamiku.
“Belum tidur”, tanyanya lembut.
“Belum, masih nyiapin bahan presentasi untuk besok”
“Haduh..sudahlah Yang, gak usah capek-capek, nanti kamu stress lho, kamu janji kan kalo kita menikah kamu akan berhenti bekerja..?”.
“Ufff...masalah itu lagi..” dadaku terasa sesak.
“Yang....?! kamu kok diem aja sih..? jawab dong...?”
aku menggigit bibir bawahku, menahan diri untuk tidak terbawa emosi.
“Ya..” jawabku pendek, berusaha menyudahi pembicaraan ini.
“Aku capek nih, besok aja ngobrolnya ya...” sergahku
“Ya deh..besok aja aku telpon kamu lagi, ya...Love U..”
hatiku terasa lega seiring bunyi telpon ditutup. Apa yang salah dengan diriku. Andre adalah sosok lelaki yang sangat pantas menjadi suami. Mapan, dari keluarga baik-baik dan cukup terpandang. Aku juga cukup lama mengenalnya, 5 tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalin sebuah hubungan. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini, aku merasa ada yang mengganjal dalam hatiku. Atau mungkin ini yang dinamakan sindrom menjelang pernikahan, aku jadi bimbang dan ragu-ragu untuk melangkah ke pelaminan dan melabuhkan hatiku selamanya pada sosok Andre.

“Gimana persiapan pernikahanmu, Nduk? Sudah hampir selesai semua?” sambil tersenyum, dia duduk mendekat disebelahku. Bau harum parfum langsung mengisi rongga hidungku, rambutnya tertata rapi, jari jemarinya terawat indah, saat ini dia memakai terusan berwarna tosca, sangat pas dengan kulit tubuhnya yang putih bersih. Walaupun usianya sudah mencapai 50 th lebih wanita ini masih tampak sangat mempesona. Dia calon ibu mertuaku.
“Nduk...? kok malah nglamun? Kamu sudah ngomong sama Bossmu kalo kamu berhenti kerja setelah menikah nanti kan?” aku masih terdiam, bingung mau berkata apa.
“Jadi istri itu harusnya memang di rumah aja, ngurus anak, toh suamimu nanti ya gak bakalan kekurangan, gak usah kuatir ga ada kegiatan di rumah. Wanita itu kan memang sudah ditakdirkan untuk melayani suami, menjadi ibu yang bisa selalu menjaga anak-anak di rumah, urusan cari duit itu urusan laki-laki..” kalimatnya terasa datar, wanita itu terus berbicara sambil sesekali tangannya mengutak atik rangkaian bunga segar di depannya. Aku menghela nafas panjang, berusaha melepaskan beban yang seakan-akan semakin berat menekan dadaku. Kulayangkan pandangan keseluruh ruangan, kulihat Andre tampak tersenyum dengan pandangan mengejek melihatku terpaku mendengarkan ibunya yang berbicara panjang lebar. Aku memandangnya dengan tatapan minta tolong agar segera bisa bebas dari suasana yang sangat tidak nyaman ini. Tapi tampaknya dia masih begitu menikmati apa yang terjadi dengan diriku.
“Mmmhh...maaf bu..saya harus ke kantor siang ini..?” tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulutku, aku hanya melirik wanita itu sambil berpura-pura melihat ke arah jam tanganku, berusaha menghindar dari tatapannya.
“Loh..ini kan hari Sabtu, bukannya kamu libur?” pertanyaannya penuh selidik.
“Eee...I..Iyya bu..ini ada lembur Bu..? jawabku sekenanya.
“Oalaaahh..gimana nanti kalo kamu punya anak, waktunya ngumpul sama keluarga kok malah buat ngantor.., ya sudah,..tapi janji lho..kamu mesti secepatnya mengundurkan diri dari kantormu itu, kamu kan juga butuh persiapan untuk pernikahan nanti..”
Ada perasaan lega ketika wanita itu tidak memperpanjang kalimatnya. Cepat-cepat kuraih tasku, syukurlah Andre sudah siap dengan kunci mobil di tangannya.
“Sabar ya, sayang...” bisiknya. Aku pura-pura tersenyum.

Hari ini terasa begitu panas. Kulirik jam di pergelangan tanganku, 11.20, sudah hampir 10 menit aku menunggu. Tidak biasanya Bimo terlambat. Hari ini dia berjanji menyerahkan beberapa berkas, kemaren sore dia memastikan bahwa semuanya sudah siap, aku bisa mengambilnya di kampus. Sengaja aku menunggu di kantin kampus, kebetulan hari ini tidak terlalu ramai. Tempatnya bersih,  temboknya berwarna orange terang dipadu dengan warna putih dan beberapa tanaman segar di sudutnya, suara musik lembut terdengar.
“Maaf, aku terlambat..” suara Bimo membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri menyambut jabatan tangannya. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna krem lembut dipadukan dengan celana jeans kecoklatan, sepatu bertali warna senada, Bimo tampak mempesona. Dan entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa berdetak lebih cepat. Disamping Bimo kulihat seorang gadis kecil, berumur sekitar 3 tahun, tampak begitu cantik. Hidungnya mancung, bibirnya mungil, pipinya bersemu kemerahan.
“Kayla, ayo kenalan sama tante” suara Bimo memecah ketertegunanku. Gadis kecil itu tersenyum, malu-malu meraih dan mencium lembut tanganku.
“Mmmh...tangan tante harum banget”. Katanya.
Tiba-tiba pipiku terasa hangat, tersipu dengan kata-kata polos yang meluncur dari bibir mungilnya. Bimo tersenyum...”maaf..ya...” katanya agak canggung.
“Anaknya mas Bimo?” Bimo mengangguk, lalu mengangkat gadis kecil itu ke pangkuannya. Gadis kecil itu masih terus menatapku sambil tersenyum manis. Dia benar-benar seperti malaikat kecil. Bimo mencium lembut rambutnya, dengan penuh kasih sayang, benar-benar pemandangan yang luar biasa di depanku. Tak lama kulihat malaikat kecil itu memejamkan matanya, tampaknya dia sudah sangat mengantuk, dan akhirnya tertidur di pangkuan Bimo.
“Mama Kayla meninggal, tak lama setelah melahirkan Kayla. Pernikahan kami sudah berjalan selama 5 tahun ketika Rika dinyatakan hamil. Dari awal dokter sudah tahu kalo kondisi tubuh Rika sangat lemah, dia mengingatkan bahwa kehamilan akan dapat memperburuk kesehatan Rika. Tapi Rika tetap bersikeras, dia mengatakan bahwa janin di tubuhnya memiliki hak untuk hidup, dan dia rela kalo harus bertukar nyawa dengannya. Saat itu aku hanya bisa berdoa Tuhan bisa memberi keajaiban hingga keduanya akan sama-sama selamat. Tapi rupanya takdir berkata lain, dua hari setelah melahirkan, kondisi Rika semakin memburuk, dan akhirnya dia meninggal”.
 Aku tercekat, tak bisa berkata apa-apa, malaikat mungil itu belum pernah mengenal ibunya sejak dilahirkan. Kutatap wajah polosnya yang sedang tertidur, begitu tenang dan nyaman di pangkuan Bimo.
“Ohya, ini berkas-berkasnya...sudah lengkap semua” Bimo menyerahkan sebuah map berwarna kuning. Sekilas ku tatap wajahnya, dia sedang menatapku sambil tersenyum memamerkan deretan gigi indahnya, jantungku berdegup lebih kencang.
“Udah gak nangis lagi..?” tiba-tiba Bimo menggodaku dengan mengingatkan tragedi di toilet kampus waktu itu. Pipiku terasa hangat.
“Emangnya mau pinjemin sapu tangan lagi?” balasku.
Diluar dugaan Bimo tergelak, bahunya terguncang-guncang sampai Kayla terbangun. Lalu Dia mengelus elus rambut gadis kecil itu dengan lembut, sampai dia tertidur lagi. Suatu adegan yang begitu indah dan manis menurutku.

Aku bergegas menuruni tangga kantor, berjalan pelan menuju trotoar depan. Hari ini aku harus pulang sendiri, Andre sedang keluar kota. Aku merogoh tasku mencari-cari hp untuk menelepon taksi, ketika tiba-tiba sebuah sedan putih berhenti tepat di depanku. Aku baru menyadari siapa yang berada di dalam mobil saat kacanya diturunkan.
“Mas Bimo..? Kok disini..?”, tanyaku.
“Tuan putri ingin bertemu” katanya sambil tersenyum. Aku masih bingung dengan kata-katanya. Tak lama terdengar suara Kayla. “Ayo masuk, Tante.”
Aku tak tahu harus mengatakan apa, tapi entah mengapa aku tak kuasa menolak permintaan malaikat kecil itu.  Aku berjalan perlahan menuju pintu mobil dan kemudian masuk kedalamnya.
Di dalam mobil aku berusaha bersikap sebiasa mungkin.
“Tante bisa kan anterin Kayla beli baju buat ulang tahun Dodi..” rajuknya.
“Dodi itu siapa, sayang?” tanyaku.
“Sepupu Kayla..” Bimo menjawab sambil mengerlingkan matanya ke arahku. Darahku berdesir.
“Papa gak bisa milih baju, Tante...seleranya aneh..” celoteh Tiara. Aku menahan geli, kulirik Bimo, dia menggedikkan bahu, dan tersenyum pasrah.
“Mau langsung aku antar pulang..?” tanya Bimo.
“Jangan Pa, tante kan mau anter Kayla beli baju dulu?” rajuk Kayla.
Bimo menatapku meminta jawaban. Pandangan matanya yang begitu teduh membuatku tak kuasa menolaknya.

Sejak hari itu aku semakin sering bertemu Bimo dan Kayla. Terkadang ada perasaan bersalah pada Andre terselip dalam hati, tapi aku selalu tak kuasa menahan pesona Bimo dan Kayla. Sampai suatu saat Andre mulai merasakan perubahan sikapku. Hari ini dia mengajakku makan malam berdua, di cafe kecil tempat kita biasa kencan saat awal pacaran dulu. Saat ini kami duduk berdua saling berhadapan disebuah meja kecil di sudut cafe.
“Ada apa Mita?” Andre bertanya sambil terus memandangku. Aku tak kuasa melihatnya. Maafkan aku, Ndre...bathinku, tapi kata-kata itu tak mampu keluar dari mulutku. Dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut, lalu mengecupnya. Aku tak kuasa lagi menahan air mata. Andre menghapus air mataku dengan punggung tangannya. Dia menghela nafas panjang, seakan ingin melepaskan beban dalam hatinya.
“Ada yang salah dengan hubungan kita Mita..” desah Andre pelan, seakan berkata pada dirinya sendiri. Aku hanya terdiam, perlahan Andre melepaskan genggaman tangannya. “aku merasa kamu nggak yakin dengan rencana pernikahan kita”. Aku berusaha mengatur nafas dan detak jantungku, kuhela nafas, mungkin ini saatnya, bathinku.
“Aku sayang sama kamu, Ndre..” kataku berusaha tenang.
“Tapi pernikahan bukan hanya tentang perasaan sayang kita pada seseorang..semakin lama kita menjalani hubungan ini, entah mengapa aku semakin merasa bahwa sebenarnya kamu tidak terlalu membutuhkan aku.”
“Apa maksudmu, Mita?”
Aku diam sejenak, berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini. “Kamu begitu sempurna, Ndre..bahkan mungkin terlalu sempurna untukku. Mungkin lingkungan yang membentukmu seperti itu. Kamu anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan. Segala apa yang kau inginkan bisa kamu miliki. Apa kamu sadar seringkali kamu lebih asyik dengan laptop dan blackberrymu saat kita berdua?  kamu mulai berusaha menukar kebahagiaan dengan benda-benda mahal yang bisa kamu beli setiap saat. Hubungan kita semakin lama semakin hambar. Lama kelamaan aku jadi merasa seperti salah satu barang milikmu, setiap kali kamu membutuhkan hiburan kamu akan menemuiku, tapi seringkali aku hanya kau suruh diam, mendengarkan cerita-ceritamu. Aku juga ingin menjadi “seseorang”, Ndre..bukan hanya sekedar pelengkap dalam hidupmu.
“Apa ini tentang pekerjaanmu?” tanya Andre memotong.
Aku mengangguk “mungkin itu salah satunya.”
Andre menghela nafas.
“Aku juga ingin menjadi 'seseorang', Ndre..buatku kerja bukan hanya soal uang, aku juga butuh eksistensi diri. Aku juga berhak untuk menikmati 'peranku' sendiri kan?”.
Andre hanya diam. Aku tahu dia terluka, tapi ini lebih baik daripada kita berdua akan semakin tersiksa bila memaksakan diri dalam pernikahan.
“Sebenarnya aku sudah berusaha untuk mencoba seperti yang kamu inginkan. Selama beberapa bulan ini aku banyak berpikir dan merenung. Tapi semakin lama kita bersama aku merasa semakin jauh dari kamu, Ndre.
Andre menatapku, aku tahu dia terluka, tapi dia cukup bisa menguasai diri.
“Aku ga mau ngomong apa-apa Mita, aku sangat menghargai keputusanmu, tapi aku ingin kamu berpikir sekali lagi. Aku juga tidak mau kamu merasa tersiksa dengan pernikahan kita nanti. Satu hal yang kamu harus tahu, aku mencintaimu Mita...”
Air mataku semakin deras membasahi pipi. Andre mengambil selembar tissue dan mengusap pipiku dengan lembut. Pikiran dan hatiku terasa hampa.

Dentang jam besar di ruang tengah memecah kesunyian. Tepat jam 12 malam dan aku belum merasakan kantuk sama sekali. Aku hanya merenung sambil sesekali menyeka air mata yang meleleh di pipiku. Perasaanku campur aduk tak karuan. Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju ke meja kecil di samping tempat tidur. Kunyalakan laptop dan mulai menulis.

Cinderella mematut dirinya di depan cermin, tak henti2nya dia mengagumi pantulan bayangan di depannya. Dia tampak begitu cantik dan anggun mengenakan gaun berwana putih dihiasi dengan batu2 berkilau di seluruh bagiannya. Dan yang lebih membuatnya berdecak kagum ketika dia melihat sepasang sepatu kaca yang terpasang indah di kakinya. Malam ini dia benar-benar berubah menjadi seorang putri. Bergegas dia menuju kereta kencana yang telah menunggunya di halaman rumah. Dia ingat pesan sang peri bahwa saat jam berdentang tepat jam 12 malam dia harus segera meninggalkan istana karena semua sihir peri akan hilang.
Pesta di istana berlangsung meriah. Cinderella berdansa dengan sang pangeran. Tampak sang pangeran begitu mengagumi kecantikannya. Semua mata memandang iri pada Cinderalla, dia adalah gadis paling beruntung malam ini karena bisa berlama-lama dengan sang pangeran. Tiba-tiba dentang jam bergema diseluruh ruangan. Suaranya menyadarkan Cinderella bahwa sihir sang peri akan segera hilang. Dia segera berlari meninggalkan sang pangeran. Tidak dipedulikannya semua pandangan mata yang memandangnya heran. Seandainya sang pangeran dan semua orang tahu siapa dia sebenarnya, ini akan jadi malapetaka.
Dan apa yang dikhawatirkan Cinderella benar-benar terjadi, semua kembali ke semula. Kereta kencana, kuda-kuda termasuk gaun indahnya telah kembali menjadi baju compang camping penuh noda dan debu yang biasa dia pakai, hanya tinggal sebuah sepatu kaca yang masih terpasang di kaki  kanannya, sedangkan sepatu sebelah kirinya entah dimana, sepertinya tertinggal di tangga istana sewaktu dia berlari tadi, bathinnya. Tapi kenapa sepatu kaca ini tidak ikut berubah? Mungkin ini hadiah sang peri untuk dirinya.
Cinderella melihat ke sekelilingnya. Untunglah tidak ada seorang pun yang melihat perubahan atas dirinya. Dia berjalan pelan, kakinya terasa sakit, nyeri karena sepatu kaca dan juga luka-luka di kaki kirinya karena tidak memakai sepatu. Di tengah perjalanan dia bertemu seorang pria. Dia memperkenalkan diri sebagai seorang pembuat sepatu. Sang pembuat sepatu merasa iba melihat kaki Cinderella, kemudian dia mengajak Cinderella ke rumahnya. Disana dengan penuh kasih sayang sang pembuat sepatu membasuh dan merawat luka-luka di kaki Cinderella. Dia meminta Cinderella melepaskan sepatu kacanya dan tak lama kemudian sang pembuat sepatu menggantinya dengan sepasang sepatu kulit berwarna merah. Modelnya sederhana, hanya ada sepasang pita kecil sebagai pemanis di bagian tengahnya. Dan saat Cinderella mencobanya, dia merasakan sepatu mungil itu begitu nyaman dipakai.
“Apakah kau menyukainya?” tanya sang pembuat sepatu.
“Sepatunya begitu nyaman saat dipakai” kata Cinderella.
“Aku tidak mampu kalau harus membuat sepatu kaca sebagai pengganti sepatu kacamu itu” kata sang pembuat sepatu sambil menunjuk sepatu kaca milik Cinderella yang tinggal sebelah.
“sepatu indah memang bisa semakin mempercantik kakimu, tapi terkadang itu membuat kakimu terasa sakit dan tidak nyaman. Sekarang semua terserah padamu mana yang menurutmu paling sesuai untukmu, sepasang sepatu indah yang bisa membuat kagum semua orang yang melihatnya, tapi sebenarnya kamu merasa kurang nyaman saat memakainya atau sepasang sepatu yang nyaman saat dipakai.

Bau harum melati memenuhi ruangan kamar. Kulihat sekeliling kamarku, hari ini tampak cantik dihiasi dengan bunga2 segar. Nuansa warna putih tulang dan emas menghiasi tempat tidurku. Aku menatap cermin, bayangan diriku mengenakan kebaya putih panjang, rangkaian melati menghiasi rambutku. Yah, hari ini aku akan menikah.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar. Seraut wajah muncul dari balik pintu, “mempelai pria sudah datang” katanya setengah berbisik. Aku mengangguk memberinya isyarat dengan tanganku bahwa aku akan keluar sebentar lagi. Pintu kembali ditutup. Kupejamkan mataku sejenak, menghela nafas panjang dan berdoa dalam hati bahwa ini adalah pilihan terbaik untukku.
Aku berjalan perlahan diiringi kedua orang tuaku menuju ke depan rumah. Disana sudah menanti seorang pria, tersenyum manis memamerkan deretan gigi putihnya, menatapku dengan matanya yang menyejukkan hati, dan disampingnya berdiri malaikat kecil membawa rangkaian bunga mungil, tersenyum sangat manis padaku. Aku tidak tahu mana diantara keduanya yang membuatku begitu yakin untuk memilih sang dosen menjadi suamiku, mungkin aku jatuh cinta pada Kayla, atau pada keduanya. Rasa haru dan lega menyelusup dalam hati. Inilah pilihanku. Aku tahu hidup tak akan mudah, aku tahu banyak hal diluar rencana bisa terjadi, tapi aku yakin bersamamu aku akan mampu menghadapi semua itu. Mungkin aku bukan Cinderella yang akhirnya menikah dengan Sang Pangeran, aku lebih memilih menjadi wanita biasa yang bisa dengan nyaman mengenakan sepatu kulitnya, karena aku yakin aku mampu menciptakan kebahagiaanku sendiri.

-Tamat-
by: Nukhee



Tidak ada komentar:

Posting Komentar