Selasa, 11 Oktober 2011

Cinta yang tertinggal




Kulirik jam di pergelangan tanganku, seharusnya bis akan berangkat sekitar lima menit lagi. Aku menarik nafas panjang mencoba melegakan rasa sesak di dada yang masih terasa. Kuusap air mataku yang mulai meleleh lagi, untunglah kaca mata hitam ini cukup bisa menyembunyikan mataku yang sembab. Mungkin ini keputusan terbaikku selama beberapa bulan ini. Mengambil cuti kantor selama seminggu penuh untuk berlibur ke Bali. Sengaja aku memutuskan untuk melalui jalan darat karena berharap bahwa luka hatiku ini akan bisa kutinggal disepanjang perjalanan yang kulalui. Kuhela nafas panjang kembali. Kepalaku terasa berat mungkin karena terlalu banyak air mata yang tercurah selama beberapa hari ini. Sungguh aku sudah berusaha untuk memahami secara logis apa yang telah terjadi pada diriku, tapi bukankah hati manusia bukanlah mesin? Yang sewaktu-waktu bisa kita ubah untuk senang atau sedih dengan memencet tombol-tombolnya. Sampai sekarang aku belum bisa mengerti, mengapa Indra lelaki yang selama tiga tahun ini menjadi kekasihku tiba-tiba memutuskan hubungan yang telah kita jalin, hanya dengan alasan telah kehilangan “rasa” denganku? Dia berargumen bahwa aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri hingga seringkali tak punya waktu dengannya. Alasan apa pula itu? Kita bukan dua bocah ingusan yang sedang dimabuk asmara, jadi aku pikir apakah yang telah kita jalani selama ini belum cukup. Ya..ya..mungkin aku agak sibuk akhir-akhir ini karena baru saja mendapat promosi jabatan di kantor, tapi itu kan juga untuk masa depan kita berdua. Dari awal pacaran pun seharusnya dia tahu bahwa aku bukan tipe yang suka menebar perhatian dengan hal-hal kecil seperti menanyakan sudah makan atau belum?, sudah mau tidur..?, bagiku terkadang hal semacam itu terdengar konyol sekali. Atau mungkin aku memang seorang “wanita yang dingin” seperti yang Indra bilang? Bukankah perasaan cinta bisa diungkapkan dalam hal lainnya, misalnya dengan tidak terlalu merengek atau merajuk diantar jemput atau menemani makan atau hal-hal semacam itu...Arrrgghh...! aku benar-benar tidak tahu dan tidak mengerti. Aku dilahirkan sebagai sosok yang mandiri, aku dididik oleh ayah biarpun aku seorang wanita aku harus cukup mampu mengatasi masalahku sendiri. Tapi mungkin ayah dan ibu lupa mengajari caranya mengatasi rasa sakit hati karena ditinggal oleh seorang pria yang kita cintai. Kuusap kembali air mataku dengan tissue yang sudah sangat basah dengan air mata. Kuambil lagi sehelai tissue dari dalam tasku. Dan yang paling menyakitkan dari semua ini adalah bahwa ternyata Indra jatuh cinta pada Linda, sahabatku sendiri. Linda adalah sahabatku semasa kuliah, kita sempat berbagi kamar kost, bahkan setahun yang lalu kami masih tinggal satu kontrakan. Kemudian dia memutuskan untuk pindah. Tiba-tiba pemikiran itu muncul, jangan-jangan Linda pindah karena dia mulai “dekat” dengan Indra? Ya Tuhan bodohnya aku bisa dibohongi mereka berdua selama ini. Dadaku semakin sesak karena menahan isak tangis. Beberapa orang tampak menoleh ke arahku tapi aku tak ambil peduli.
Aku masih ingat kejadian tiga hari yang lalu, Indra mengajakku untuk makan malam, aku pikir akan terjadi suatu hal yang romantis disana. Tapi aku sempat ragu ketika beberapa saat kemudian Linda datang, aku masih berpikir bahwa hal ini merupakan kejutan yang manis bagiku, dua orang yang sangat dekat denganku berkumpul untuk makan malam bersama. Tapi ternyata semua diluar dugaan. Bahkan sangat jauh dari perkiraanku. Indra mengatakan bahwa dia jatuh cinta pada Linda, dan rencananya tahun depan mereka akan menikah, Linda tampak sangat jengah saat itu. Aku sempat tak bisa berkata apa-apa, aku pikir mereka berdua pasti bercanda dan berniat mengerjai aku. Tapi saat aku lihat tangan Indra meraih tangan Linda dan kemudian menggenggamnya dengan erat, aku tahu bahwa semua yang dikatakan Indra adalah benar adanya, sebagai sebuah kenyataan pahit yang harus aku hadapi. Mungkin Indra berpikir hatiku terbuat dari batu, hingga hal semacam ini tidak akan menyakitiku, bahwa aku adalah sosok tegar dan mandiri yang pasti bisa mengatasi segala hal termasuk sakit hatiku. Yah, mungkin sebagian dari perkiraaan Indra benar, aku tidak menangis minimal pada saat itu. Aku hanya memandang mereka berdua, berusaha tersenyum sekuat tenaga mengucapkan selamat atas rencana pernikahannya dan kemudian pergi dari sana. Di dalam mobil aku baru menumpahkan segala rasa sakit yang aku rasakan saat itu. Aku menangis sejadi-jadinya disana berharap mungkin aku akan merasakan kelegaan dengan cara itu. Tapi ternyata tidak semudah itu. Akhirnya aku menyalakan mobil dan berputar-putar di sekeliling kota entah untuk berapa lama sampai kurasakan kelelahan yang amat sangat dan akhirnya aku pulang ke rumah.

Bis berjalan perlahan meninggalkan terminal kotaku. Perjalanan ke Bali kira-kira masih sekitar 12 jam lagi, aku mencoba memejamkan mata, kepalaku masih terasa berat. Kupasang earphone dan mulai kudengarkan musik lembut dari Blackberry ku. Aku harus berhenti menangis, cukup sudah air mata yang tertumpah untuk mereka berdua Indra dan Linda, biarlah mereka menjadi bagian dari masa laluku, mungkin justru ini jalan yang diberikan Tuhan untukku. Indra bukan laki-laki yang tepat untukku. Kuhela nafas panjang, air mataku masih mengalir perlahan, ternyata bukan hal yang mudah melupakan seseorang yang pernah mengisi hari-hari kita. Aku mulai merasa lelah, Tuhan..tolong bantu aku melupakan dia, doaku dalam hati.

Entah berapa lama aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh para pedagang asongan di luar bis. Uff..rupanya sudah sampai terminal di kota lain. Kubenahi letak dudukku untuk sekedar meregangkan otot-otot punggungku. Tiba-tiba seorang cowok berperawakan tinggi membawa sebuah tas ransel masuk dan segera mendekati tempat duduk disebelahku.

“Kosong, mbak..?” tanyanya.
Aku tidak menjawab, hanya diam dan pura-pura melayangkan pandanganku ke luar jendela.
Dia langsung duduk disampingku. Kulirik dia dari balik kaca mata hitamku. Rambutnya agak panjang mungkin sekitar sebahu, aku tidak bisa memastikan karena dia mengikatnya. Hidungnya mancung, sorot matanya tajam. Gayanya tampak cuek tapi penampilan keseluruhannya cukup bersih. Duh, untuk apa aku menilai orang asing ini, rutukku dalam hati.

“Sendirian, mbak..?”
Bukan saat yang tepat untuk berbasa-basi, omelku hanya dalam hati.
Aku hanya mengangguk tapi tetap menatap keluar jendela, aku sedang malas bicara.
“Owww....” dia mengeluarkan suara itu.
Aku menolehnya dan tanpa sengaja ternyata dia sedang melihatku.
“Maaf..mbak lagi nangis atau habis nangis..?” tanyanya dengan mimik muka yang sangat serius.
Huh..aku semakin sebal padanya. Apa urusannya? Ini negara bebas, jeritku dalam hati.
Aku memasang tampang marah, seharusnya aku membawa tulisan besar “Please, don't disturb!” bathinku.
“waduh, jangan-jangan mbak mau menceburkan diri ke laut kalo pas kita menyeberang ke Bali ya..? sabar mbak..semua masalah pasti bisa diatasi...” dia mengatakan itu dengan wajah prihatin.
Ya Ampun..aku benar-benar sudah tidak tahan dengan orang ini, kucoba melayangkan pandangan ke seluruh bagian bis, mencari-cari mungkin masih ada tempat kosong, tapi ternyata bis ini sudah terisi penuh penumpang. Tidak ada pilihan lain aku harus “menghadapi” orang ini.
Aku hanya memandang sekilas ke arahnya, sambil menghembuskan nafas kuat-kuat, berharap dia sadar bahwa aku sudah sangat kesal dengannya.
“Maaf kalo merasa terganggu ya..tapi percaya deh, semua masalah pasti ada jalan keluarnya..” dia mengatakan itu dengan santai. Kemudian membuka tas ransel, meraba-raba kedalamnya seperti sedang mencari sesuatu. Tak lama kemudian dia mengeluarkan sebuah buku kecil. Kulirik judulnya “The Prophet” aku menebak dalam hati pasti karya Kahlil Gibran.
Dia membuka-buka buku kecil itu dengan tenang, kemudian menyadari bahwa aku melirik buku kecilnya dari tadi.

“Mau baca juga, mbak?” tawarnya.
Aku hanya tersenyum sinis.
“Kala cinta memanggilmu, ikutlah dengannya walau mata pisaunya yang tersembunyi akan melukaimu...” aku mengatakan itu dengan nada sombong.
“Wow..., mbak suka Kahlil Gibran juga rupanya..” cowok itu tampak terkejut dengan kalimatku.
“Itu bacaanku waktu masih SMA, sudah aku baca puluhan kali dan belum pernah merasa bosan sedikitpun..” aku kembali menyombongkan diri.
“Fiuuhhh..akhirnya kita menemukan bahan pembicaraan..” katanya sambil tersenyum.
Aku menoleh kearahnya. Senyumnya cukup manis batinku. Tapi itu tidak merubah apa-apa. Aku masih ingin menikmati perjalanan ini sendiri, merasakan sakit hatiku ini, sendiri.
“Kenalkan...Raditya..” dia mengulurkan tangannya.
Aku masih berpikir, ragu untuk menerima uluran tangannya.
“Kirani...” kataku tanpa membalas jabatan tangannya, dia tampak jengah sejenak. Aku tertawa geli dalam hati, senang bisa memperlakukannya seperti itu.
“Perjalanan yang jauh, ya? Bali kan?”..katanya lagi, aku tidak mengerti kenapa dia bisa tetap bersikap sok ramah seperti itu biarpun aku sudah menunjukkan sikap malas menghadapinya dari tadi.
“He..eh...” aku menjawab pendek.
“Mau baca..?” tawarnya lagi.
“Enggak, aku mau tidur aja...” kataku sambil sedikit mencondongkan badan ke arah jendela, memunggunginya. Puas rasanya bisa memperlakukan dia seperti itu.

“Waktunya makan...makan..makan...” Suara teriakan itu membangunkanku. Mataku masih terasa berat untuk dibuka, pasti karena sembabnya yang parah, batinku. Entah mengapa aku bisa tidur senyaman ini. Kukerjapkan mataku berusaha mengembalikan kesadaran diri. Baru aku menyadari bahwa ternyata aku tertidur dengan posisi kepalaku bersandar pada pundak cowok asing itu. Ya ampun, kenapa bisa terjadi seperti ini? Aku segera mengangkat kepalaku, memposisikan tubuh menjauh darinya. Aku benar-benar salah tingkah karena hal ini. Dia menoleh padaku sambil tersenyum.
“Udah bangun ya...? waktunya makan tuh..” sikapnya sungguh manis.
Aku benar-benar sebal padanya. Mungkin lebih tepatnya merasa malu karena kejadian tertidur di pundaknya. Segera aku beranjak dari tempat duduk, memasang tampang marah dan berjalan meninggalkan dia tanpa mengatakan apa-apa. Untunglah dia langsung memberiku jalan untuk lewat, dan tampaknya dia menahan senyum saat aku meliriknya. Benar-benar cowok yang menyebalkan...! gerutuku dalam hati.

Aku turun dari bis dan langsung menuju toilet. Tempatnya diujung rumah makan ini. Melewati sebuah lorong, sampailah aku disana, deretan toilet kecil yang terlihat seadanya tapi lumayan bersih. Aku segera masuk kesalah satunya. Sekalian kubasuh wajahku. Rasanya segar sekali. Tapi rasa mengganjal di kedua kelopak mataku belum juga hilang. Saat keluar dari toilet, kulihat sebuah kaca kecil tergantung di tembok tepat di depan pintu toilet yang tadi kumasuki. Kulihat bayangan diriku di cermin. Benar-benar kacau batinku. Dan aku tampak sepuluh tahun lebih tua dengan kantung mata itu. Segera kuambil sisir dari dalam tasku, merapikan ikatan rambutku seadanya, seharusnya aku tidak perlu sampai separah ini menghadapi kenyataan yang sudah terjadi, omelku pada diri sendiri. Tapi memang bukan hal yang mudah untuk bisa langsung melupakan seseorang yang pernah kita harapkan bisa menghabiskan waktu bersama di masa depan. Kuhela nafas panjang, seharusnya aku bisa berfikir realistis.
Aku kembali berjalan perlahan menuju ruangan besar berisi meja dan kursi makan untuk para penumpang. Sengaja kupilih tempat duduk di pojok ruangan, berusaha menyembunyikan diri, entah dari apa. Seorang gadis kurus membawa buku catatan kecil, menghampiriku. Kuserahkan kupon makanku. Sebenarnya aku sangat malas untuk makan, tapi mengingat beberapa hari ini nafsu makanku turun drastis, aku kuatir malah akan sakit nantinya, bukankah perjalanan ini untuk mengobati rasa sakit hatiku? Aku harus bisa menghibur diri, berusaha menikmati hidup dan meyakinkan hati bahwa semuanya masih baik-baik saja, sekalipun tanpa ada Indra disampingku.
“Mbak, jadi makan apa..?” suara gadis kurus itu membuyarkan lamunanku.
“Aku mau nasi goreng aja deh..., ohya teh hangat juga ya..”
Dia mengangguk, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Kemudian dia pergi menuju meja lain dan melakukan kegiatan yang sama.
“Hai...” tiba-tiba saja cowok asing dalam bis tadi sudah berada di hadapanku. Tersenyum manis, seperti beberapa jam yang lalu biarpun aku sudah cukup judes menghadapinya.
“Loh..nggak makan nih? Aku cari-cari kamu dari tadi..”
Aku tidak menggubrisnya. Berpura-pura melihat sekeliling ruangan dan tanpa sadar tersenyum saat melihat teh hangat dan nasi gorengku datang, aku baru menyadari benar-benar lapar.
“Mmmhh..baunya enak nih, aku mau yang kayak gini ah..” cowok itu tetap bersikap tenang dan santai, biarpun aku menganggapnya tak ada.
“Mbak..mbak..aku mau juga ya...” katanya seraya menunjuk nasi gorengku.
“Kuponnya mana..?” pelayan itu bertanya, sambil menengadahkan tangannya.
“Uppss...iyya...” dia merogoh saku jaketnya, dan menyerahkan kupon kecil itu pada si pelayan.
“teh hangatnya juga ya...” katanya lagi.
Aku tetap cuek, asyik menikmati nasi gorengku. Sebenarnya rasanya jauh dari enak, tapi lapar mengalahkan lidahku, aku makan dengan sangat lahap.
Dia memandangiku, mungkin sedikit merasa iba melihat cara makanku yang “terlalu” lahap untuk ukuran seorang wanita. Aku melihatnya dengan tak acuh. Dia sedang tersenyum. Baru aku bisa melihat wajahnya dengan cukup jelas. Alis matanya tebal, beriring rapi seakan membingkai mata tajamnya, hidung mancungnya tampak begitu indah saat dilihat dari depan begini, garis-garis wajahnya tampak tegas, tapi secara keseluruhan dia sosok yang menarik. Mungkin aku terlalu egois hingga tak mau mengakui bahwa dia memang tampan.
“Masalahnya cukup berat ya?' tanyanya dengan pandangan menyelidik.
Kutatap wajahnya, mencoba mencari makna pertanyaannya.
“Maksudnya...?” aku benar-benar tak mengerti.
“Kedua matamu kelihatan sembab banget, berarti kamu sudah menangis beberapa hari...” dia menatapku sangat lekat.
Aku tertunduk, meletakkan sendok makanku begitu saja, nafsu makanku benar-benar hilang. Kuraih teh hangat di depanku, rasanya hambar tak terasa manis sama sekali.
“Apa kamu selalu begitu peduli sama orang yang baru kamu kenal...?”
Dia tersenyum lebar, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Gayanya natural sekali.
“Kamu sendiri apa selalu bersikap judes begini sama orang? Atau lelaki..” balasnya sambil mengerlingkan mata.
“Sebagai wanita aku harus bisa menjaga diri sendiri...” aku mengatakan itu sambil menatapnya lekat-lekat.
“Pemikiran yang bagus...tapi bukan karena kamu lagi patah hati kan?” katanya lagi sambil tersenyum.
Aku hanya diam, pertanyaan itu tidak perlu kujawab.
Tak lama nasi goreng pesanan cowok itu datang.
“makasih ya mbak...” katanya manis pada pelayan yang mengantarnya.
“Mau nambah lagi nasi gorengnya..?” dia menawariku, entah berbasa basi atau berniat menyindir cara makanku tadi.
Aku hanya mencibirkan bibirku.
Dan dia tertawa.
Waktu terasa berjalan lambat. Aku mengaduk-aduk teh yang sudah mulai dingin sekedar untuk mengusir rasa jenuh.
“Kok lama banget ya..belum ada panggilan bisnya mau berangkat?” tanyaku.
“Tenang aja...bisnya berangkat masih sekitar dua jam lagi...” katanya tenang, sambil meraih teh hangat di depannya.
“Apa...?! kok lama sekali...?...Haduuhhh...!”
“Ada masalah sama mesinnya, jadi mesti dibenerin dulu...” dia menjawab kalem.
“Kamu serius...?” tanyaku.
Dia mengangguk.
“Kalo gak percaya coba tanya sana...” dia mengatakan itu sambil menunjuk ke tempat bis parkir.
Kulihat di sekeliling beberapa orang yang tadi kuingat duduk di bis juga masih berada di tempat makan. Berarti dia mengatakan yang sebenarnya, duh..keluhku.
“Santai aja...ohya satu lagi tentang dirimu...selain Serius, Sedih...” dia tidak meneruskan kata-katanya, hanya tersenyum sambil menatapku.
“Apa...?” tanyaku sambil meliriknya
“Panik...” dia tertawa geli.
Aku merengut. Orang asing ini dengan seenaknya menilai diriku, bathinku.
“Dasar peramal gagal...” gumamku.
Ternyata dia mendengar apa yang baru saja kukatakan, lalu tertawa keras.
“boleh aku tebak lagi...? pasti karena patah hati kamu seperti ini...” dia mengerling.
Aku cemberut. Tapi entah mengapa aku mulai suka dengan gayanya.
“ Aku mencintai orang yang salah...” aku berkata pelan.
“ Harusnya kamu tahu...cinta tak pernah salah...,tergantung dari mana kamu melihatnya..” Dia mengatakan itu dengan serius.
“Mungkin kamu kerasukan jin baik sampai bisa mengatakan hal-hal semacam itu...” aku mengatakannya sambil menahan senyum.
“terserah lah mau kamu bilang aku peramal gagal, kerasukan jin..tapi jujur..kamu kelihatan manis kalo tersenyum...apa kamu pernah dengar hal ini? Bahwa setiap manusia menyimpan cahaya dalam dirinya, dan saat dia tersenyum, cahaya itu akan memancar dari wajahnya”.  Dia mengatakan hal itu dengan serius.
Aku tak mampu berkata apa-apa, hanya menggigit bibir bawahku, sambil menundukkan wajah, pipiku terasa hangat.
“Kahlil Gibran sudah benar-benar mencuci otakmu..”
Dia mendekatkan wajahnya ke arahku dan berbisik “terima kasih atas pujiannya..”
Tampaknya aku memang harus berusaha menikmati waktu bersama dia, minimal sampai nanti di Bali. Tak ada pilihan lain. Kelihatannya dia orang baik. Ups...! seharusnya aku tidak boleh semudah itu menilai orang asing, rutukku pada diri sendiri.
“Mau ke Bali mana..?” tanyanya.
Aku hanya menggedikkan bahu “belum jelas..., rencananya ada temen yang menjemput di Ubung”.
“Mau aku anterin jalan-jalannya..? kebetulan aku gak ada acara seminggu ini..”
Aku tidak menjawab, berdiri dan pergi dari tempat duduk.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Toilet, mau ikut?” jawabku pendek.
Dia tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

Lega rasanya sehabis dari toilet lagi. Kecenderunganku kalau minum teh adalah mesti bolak balik ke toilet. Kulihat suasana ruang makan mulai agak sepi, hanya penumpang dari bisku yang masih menunggu. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 00.30 WIB. Sudah sangat larut batinku.
Aku berjalan pelan menuju tempat dudukku tadi, kulihat cowok itu masih duduk disana, dari belakang kulihat dia sedang memegang beberapa pil warna-warni lalu memasukkan ke mulutnya sekaligus, kemudian dia meraih botol berisi air mineral di depannya.
Aku hampir terpekik, kutahan mulutku dengan cara menutupnya dengan telapak tanganku.
“Ya ampun...kamu pemakai...?” kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.
Dia tampak kaget menyadari keberadaanku, dia buru-buru mengusap mulutnya, memandangku dengan tatapan tak mengerti.
“Kamu pemakai narkoba..?” aku melihatnya dengan bergidik.
Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya.
“Memangnya aku terlihat seperti itu ya..?” tanyanya.
“Yah..cara bicaramu suka ngawur...” aku mengatakan itu dengan posisi tetap berdiri menunggu penjelasan darinya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini ucapku dalam hati.
“Duduk dulu deh..gak usah takut..kalaupun aku berniat jahat, aku gak akan tega melihat wajahmu yang seperti orang 'segan hidup mati pun tak mau' itu...” katanya sambil tersenyum tulus, ditariknya tanganku, memaksaku untuk duduk.
Entah mengapa aku menuruti kata-katanya.
Dia menghela nafas, menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti.
“Aku sakit, Kirani.....anemia mungkin itu nama yang biasa orang tau. Sel-sel darah merahku seringkali pecah sebelum waktunya matang, makanya aku jadi mudah lelah, dan kalau pas sedang parah aku harus mendapatkan transfusi darah, untuk mengisi kekurangan sel-sel darah merahku. Makanya aku juga tidak bisa lepas dari obat-obatan ini...”
Aku melongo tak mengira mendapat jawaban semacam ini. Cowok tampan ini ternyata sakit? Dan dengan kejamnya aku menuduh dia seorang pemakai narkoba? Ya Tuhan, kenapa aku bisa jadi sejahat ini, aku mulai menyesali diri.
“Apa kamu pernah merasa takut..?” tanyaku pelan.
“Takut..? takut apa? Mati...? setiap orang kan pasti akan mati, itu hanya masalah waktu, jadi kenapa harus merasa takut dan khawatir, menurutku jalani saja hidup ini sebaik-baiknya. Sabar...ikhlas biarpun ada orang yang bersikap jutek trus menuduh kalo aku pemakai, aku tetap berusaha menerimanya, karena aku kan laki-laki yang baik hati, ganteng, suka menolong, berbudi luhur...mmmhh..terus apalagi ya?” dia mengatakan itu sambil mengerling.
Aku tak mampu berkata apa-apa, hanya berusaha tersenyum tulus untuk menebus rasa bersalahku atas apa yang telah kutuduhkan tadi padanya.
“Nah..gitu dong...cahayanya keluar deh...” godanya.
Tiba-tiba terdengar panggilan dari pengeras suara bahwa bis kami segera berangkat.
“Syukurlah...” desisku.
“Sayang banget ya..padahal aku masih pengen ngobrol sama kamu..” bisiknya
Kami berdua berjalan menuju bis, sebagian dari penumpang tampak mengomel pada supir bus dan keneknya dan  si supir hanya tersenyum, pasrah menerima hal itu. Bukankah hal ini juga diluar kemauan mereka, bathinku..entah mengapa aku jadi mulai bisa berpikir positif seperti ini.

Aku kembali duduk di bangku bis, melanjutkan perjalananku ke Bali. Cowok itu sudah tak banyak bicara lagi setelah kita sama-sama duduk di dalam bis. Dia hanya tersenyum ke arahku, merapatkan jaketnya, kemudian kembali menoleh ke arahku sambil mengatakan “good night”.
Kutempelkan wajahku ke kaca bis, dingin terasa menyentuh kulit. Tak lama terdengar dengkuran halus di sampingku, rupanya dia sudah tertidur. Kulihat wajahnya dari samping. Memang harus kuakui dia cukup tampan, dan saat tidur wajahnya tampak begitu tenang. Mungkin dia malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantu meringankan rasa sakit hatiku.
Tampaknya aku sudah mulai berkhayal lagi, keluhku..tapi berarti sudah mulai ada kemajuan, beberapa jam ini aku tidak terlalu merasa sedih saat mengingat Indra. Yah, mungkin Raditya benar, bahwa sebenarnya cinta tak pernah salah dalam memilih, mungkin ini hanya tahap yang harus aku lalui untuk menjadi lebih dewasa dan sadar bahwa putus cinta bukan berarti akhir dari segalanya, bahwa sebenarnya aku bisa menemukan sosok yang jauh lebih baik daripada Indra. Bahwa Tuhan mungkin punya rencana yang lebih baik untukku. Terima kasih Tuhan, bisikku.

“Pssst....bangun...” aku merasa seseorang mengguncang pelan tubuhku.
Kulihat cowok itu tersenyum lebar. Aku mengucek-ucek mataku dan secara reflek melihat jam di pergelangan tanganku.
“Udah sampai Bali?” tanyaku
Dia menggeleng.
“Mau lihat laut gak..?” tawarnya.
“Ini udah mulai menyeberang?..emang boleh kita keluar dari bis?”
“Halaaahh..ayuk..mau ikut ga?” nadanya terdengar agak memaksa.
Aku tak sempat berpikir banyak, yang terlintas adalah kapan lagi bisa mendapatkan momen seperti ini, melihat laut dini hari.
Aku berdiri dan berjalan mengikutinya dari belakang, hampir semua penumpang bis sedang tertidur lelap. Tiba-tiba dia berbalik sebelum sampai ke depan pintu bis.
“Kamu cuman bawa jaket tipis itu?” dia melihat cardiganku.
Aku mengangguk, cardigan ini hadiah ulang tahun dari Indra setahun yang lalu.
Dia berbalik, berjalan menuju tempat duduknya. Kulihat dari depan tempat aku berdiri, tampak dia membuka tas ranselnya, lalu mengambil sesuatu dari sana.
“Nih...pakai ini aja, diluar dingin sekali...aku terbiasa bawa baju hangat banyak...” dia menyerahkan sebuah sweater berwarna coklat tua.
Ragu-ragu aku menerimanya.
“Bersih kok, belum aku pakai...serius amat sih mikirnya...”
Terpaksa aku menerima sweater itu, aneh rasanya mendapat perhatian dari orang yang baru kita kenal beberapa jam yang lalu, tapi entah mengapa aku begitu terbawa oleh sikap manisnya.
Aku keluar dari bis, mengikutinya dari belakang, melewati beberapa kendaraan besar yang berada di perut kapal laut ini, kemudian naik melalui sebuah tangga kecil. Hingga akhirnya sampailah kita di dek kapal.
Langit masih gelap. Suasananya agak mendung, tidak terlihat bintang sama sekali. Hanya bulan penuh yang bersinar pucat tampak tergantung di langit sana. Samar sinarnya tersaput awan kelabu. Suara air laut yang membentur dinding kapal memecah keheningan. Angin laut berhembus dengan kencangnya, seakan bisa menerbangkan tubuhku. Untunglah cowok itu meminjamkan jaketnya, lumayan untuk menahan dingin yang menggigit.
Kita berdiri di pinggir kapal menikmati alam yang masih tampak kelabu.
“Aku merasa begitu kecil....” aku mengatakan itu lebih pada diri sendiri.
Dia menoleh kearahku kemudian tersenyum.
“Mau coba cara melegakan perasaan...?” tanyanya tiba-tiba

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrgghh.....!!”

Aku belum sempat menjawab pertanyaannya ketika tiba-tiba dia berteriak sekeras-kerasnya ke arah laut. Sikapnya benar-benar mengagetkanku.
“Mau coba..?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng ragu.
“Ayolah..coba aja...”
Ragu-ragu aku mengikuti apa yang dilakukannya. Tapi suaraku seakan tercekat di tenggorokan.
“Haduuuhhh..kalo begitu percuma aja...coba teriak sekeras yang kamu bisa...” protesnya.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrggh..!! aku berteriak sekencang-kencangnya.

“Bagus...” pujinya.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrgg....!! 

aku berteriak lagi sampai beberapa kali, entah mengapa tiba-tiba ada rasa sesak di dada, aku kembali teringat Indra, Linda, sakit hati, kesendirian, kesepian...tanpa sadar aku mulai menangis, air mataku tumpah begitu saja tanpa mampu aku tahan lagi.

“Boleh aku pinjam dadamu...” tiba-tiba aku mengatakan itu.
Dan cowok itu mendekat ke arahku ,meraih kepalaku dengan lembut, kemudian menempelkan ke dadanya. Aku menangis sejadi-jadinya disana.  Aku hanya ingin beban ini terlepas dari dadaku, terbawa angin laut entah kemana, menguapkan semua memori yang pernah kujalani bersama Indra, menghilangkan rasa cintaku yang pernah ada pada dirinya, ternyata rasa sakit itu masih tertinggal. Entah berapa lama aku menangis, cowok itu hanya diam tak berkata apa-apa. Kuangkat kepalaku dari dadanya. Kulihat dia tersenyum. Aku merasa jengah dengan apa yang baru saja terjadi. Aku benar-benar telah kehilangan kontrol diri.
Kuhela nafas panjang lalu berbalik membelakangi lautan, dan kemudian duduk di lantai kapal. Perasaan sedihku sudah mulai reda. Cowok itu mengikutiku duduk di lantai kapal. Kulihat dadanya basah karena air mataku. Aku merasa semakin malu padanya.

“Maaf ya..?” suaraku terdengar serak.

“Tau gak...kadang aku juga merasa bahwa hidup ini tidak adil. Banyak hal yang ingin kulakukan seperti laki-laki normal pada umumnya. Main basket, sepak bola, jadi pembalap, tapi tubuhku tidak memungkinkan untuk itu. Sedih sekali rasanya gak bisa mengendalikan tubuh kita sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi itu dulu...sekarang semakin lama aku semakin sadar bahwa hidup sebenarnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bila kamu melihat segelas air yang berisi setengahnya, kamu bisa memandangnya dari sisi setengahnya yang terisi atau dari sisi setengahnya yang kosong. Itu akan sangat tergantung pada cara berpikirmu. Jadi sebenarnya kebahagiaanmu tidak ditentukan oleh orang lain. Kamu berhak untuk merasakan kebahagiaan itu dengan caramu sendiri, karena perasaan bahagia itu tinggal dihatimu, kamu hanya butuh belajar untuk menemukannya. Mungkin itu bisa membantu membuka jalan pikiranmu supaya kamu gak terlalu merasa sedih setelah ditinggalkan seseorang”.

Aku merasa begitu tersentuh dengan apa yang baru saja dikatakannya.

“Percayalah...Tuhan menyayangi kita, Dia tahu yang terbaik untuk kita, hanya saja kita memang perlu belajar untuk memahami setiap keadaan yang harus kita jalani. Hidup itu terkadang seperti potongan-potongan puzzle yang berserakan, kita harus sabar untuk menata satu persatu potongan puzzle itu sampai kita benar-benar tau gambar apa yang sedang kita rangkai”. Kalimatnya begitu indah kudengar.
Aku menoleh ke arah cowok itu, kutatap matanya, ada ketulusan disana.

“Upppsss...! Tapi jangan jatuh cinta sama aku yaaa...” Dia mengerling genit.

Kudorong pelan badannya, tapi ternyata dia menjatuhkan dirinya di lantai, sambil tertawa-tawa. Aku tertawa melihat tingkahnya. Mungkin Tuhan benar-benar telah mengirimkan seorang malaikat, bisikku dalam hati.
“Hei..langitnya mulai terang...” teriaknya tiba-tiba.
Kami berdua berdiri, melihat keatas. Kulihat langit berhias semburat merah, kuning dan jingga.

Saat ini kami berdua telah kembali duduk di dalam bis. Aku menikmati suguhan panorama alam sepanjang perjalanan. Hamparan sawah hijau yang tertata rapi, pohon-pohon yang seakan  berkejaran tertinggal dibelakangku. Lukisan alam yang sempurna.
Aku merasa Raditya sedang memandangiku dari samping.
Kutoleh dia sambil menunjukkan raut wajah ingin tahu atas apa yang ada dipikirannya.

“Mata sembabmu semakin parah...” katanya.

Aku melotot pura-pura marah padanya.
Dia tertawa geli atas reaksiku.
Aku kembali melemparkan pandangan kearah luar kaca jendela bis.

“Semua kan butuh waktu...” gumamku.

Tiba-tiba dia menyenggol bahuku dari samping.
“Jangan nangis lagi ya...aku masih gak siap nih, kalo mau pinjemin dada lagi..” bisiknya.

Kurasakan pipiku menghangat, aku benar-benar malu mengingat kejadian dini hari tadi.
Kucibirkan bibirku kearahnya, sekedar menutupi rasa malu.

“Apa kamu selalu baik seperti ini sama semua orang yang baru kamu kenal..?” tanyaku berusaha mengalihkan bahan pembicaraan.
“Hanya kadang-kadang, kalo kasusnya sudah parah seperti kamu ini..”
“Aku serius...”  sergahku, belum mengerti maksud kata-katanya.
“Aku juga serius kok...” jawabnya tenang.
Tiba-tiba aku teringat masih mengenakan sweater coklat miliknya. Perlahan kubuka, kulipat serapi yang aku bisa, dan kemudian menyerahkan pada pemiliknya.
Dia hanya terdiam melihat apa yang kulakukan dan kemudian tersenyum saat menerima kembali sweater coklatnya itu.
“Terima kasih...” kataku pelan
“Sama-sama...”  dia menjawab pendek.

Entah mengapa waktu tiba-tiba terasa begitu cepat berjalan. Sepanjang perjalanan itu aku banyak ngobrol dengan Raditya. Dari seputar hal ringan sampai soal tulisan-tulisan Kahlil Gibran. Tapi tak pernah sekalipun kami berdua membahas tentang kehidupan pribadi masing-masing. Aku masih belum tahu siapa dia sebenarnya, tinggal dimana? Di Bali kah..atau hanya sekedar liburan, apa pekerjaannya. Tapi sepertinya itu bukan hal yang penting untuk saat ini, aku hanya menikmati kebersamaan yang tinggal beberapa jam lagi. Menikmati senyum, gaya bicaranya, filosofi-filosofi hidupnya yang entah dia contek darimana. Untuk sesaat aku bisa melupakan Indra dan sakit hatiku. Pikiranku mulai terbuka, bahwa hidup tak sesempit yang aku kira, ada banyak warna-warni yang seharusnya aku bisa nikmati.

“Wah..sudah hampir sampai Ubung, nih..” tiba-tiba dia mengatakan itu.
Entah mengapa ada rasa sedih terselip dalam hati, kebersamaan yang manis ini sudah harus berakhir.
“Kamu di Bali tinggal dimana?” tanyaku, keingintahuan itu muncul begitu saja.
Dia menggeleng. “Belum tahu...”
Aku tidak puas dengan jawabannya, tapi apa hakku menyakan hal itu lebih jauh lagi.

Dan tak lama kemudian bis berhenti. Aku mencari-cari sosok Ina, teman kost ku semasa kuliah yang sekarang tinggal di Bali. Dia berjanji akan menjemputku di Ubung. Beberapa jam lalu aku sudah mengabarinya bahwa bis-ku agak terlambat.
Kulihat sosok Ina diantara beberapa orang yang sedang berdiri menunggu bis.
Aku tersenyum melambaikan tangan ke arahnya. Syukurlah dia melihatku.
Aku menoleh ke arah Raditya, tampak dia sedang memperhatikan aku dan Ina, yang terlihat begitu kegirangan karena lama tidak bertemu. Kuulurkan tanganku untuk berjabat tangan dengan lelaki yang sempat menjadi malaikatku dalam beberapa jam terakhir ini.
Dia tersenyum menyambut tanganku.

“Senang berkenalan denganmu, terima kasih atas sweater, dada dan filosofi-filosofi hidupnya...” kataku dengan getir, ada rasa sedih dalam suaraku.

“Sama-sama...” ucapnya pendek.
“Apa kita bisa bertemu lagi...?” tiba-tiba aku mengatakan itu dan baru menyadari bahwa itu seperti suatu ajakan kencan atau semacamnya, tapi aku sudah terlanjur mengatakannya.
Dia hanya menggedikkan bahu sambil tersenyum.
Aku berdiri mengikutinya dari belakang, berjalan pelan menuju pintu keluar bis.

Tiba-tiba dia berbalik “mungkin takdir bisa mempertemukan kita lagi...” dia mengatakan itu sambil mengerlingkan matanya penuh misteri.

Aku tertegun tak bisa berkata apa-apa, saat aku mulai mengusai diri dia sudah pergi. Buru-buru aku turun dari bis berusaha mencari-cari sosok tingginya diantara orang-orang, tapi aku sudah tidak menemukannya lagi. Sepi itu menyelimuti lagi.

“Hei...! malah nglamun nih...” suara Ina membuyarkan lamunanku. Dia langsung mencium dan memelukku erat, melepas kangen karena sudah cukup lama kita tidak bertemu, hanya bertukar kabar lewat telpon atau e-mail.

“Kenapa sih, jadi bengong gitu, ntar kesurupan Leak baru tahu rasa...” dia tertawa melihat sikapku.
“Aku baru saja bertemu malaikat...” kataku pendek.
“Hah...?! kamu bener-bener kesurupan kayaknya” Ina mengatakan itu sambil memegang keningku.
Aku tidak mempedulikan komentar Ina selanjutnya, mataku masih mencoba mencari-cari sosok Raditya sambil berjalan mengikuti langkah Ina menuju tempat parkir mobilnya.
Udara terasa sangat panas, kubuka tas untuk mencari-cari tissue, dan disana kutemukan sesuatu yang tak pernah kusangka. Buku kecil “The Prophet-Kahlil Gibran”.
Aku terbelalak, perasaanku bercampur aduk jadi satu, seperti menemukan barang berharga, aku berlari mengejar Ina yang sudah berada beberapa langkah dari tempatku berdiri. Kupeluk dan kuciumi dia.
“Kamu kenapa sih?” Ina protes dengan sikapku.
Kutunjukkan buku kecil itu, tapi Ina tidak juga mengerti dengan apa yang terjadi.
Secara refleks kubuka buku kecil itu, dihalaman pertama ada tulisan disana
“Biarkan waktu yang akan menjawabnya.....Raditya 0811351945”
Aku melompat kegirangan, kuciumi buku kecil itu. Ina hanya melongo melihat tingkahku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin aku bisa jatuh cinta pada Raditya, mungkin kita hanya sekedar bersahabat, mungkin ada cerita lain diantara kita, aku tidak tahu dan tak mau memikirkan hal itu lebih jauh.
Yang aku tahu aku baru saja menemukan potongan puzzle dalam hidupku, perlahan dan pasti akan coba kususun dengan potongan puzzle lainnya, mungkin aku hanya harus belajar sabar, menanti dengan pasti potongan-potongan puzzle yang lain untuk kurangkaikan hingga pada akhirnya tahu gambar apa yg sedang kujalani. Karena memang seperti itulah kehidupan.

-Tamat-
By: nukhee
07 Oktober 2011






Tidak ada komentar:

Posting Komentar