Selasa, 29 April 2014

MASA BEKU




Fiuh... ternyata sudah setahun saya mengalami kebekuan inspirasi, gersang ide, tapi mungkin lebih tepatnya, kemalasan yang lebih menguasai diri, untuk sejenak meluangkan waktu membiarkan jari jemari menari diatas keyboard. Saya juga heran, menguap kemana mood menulis saya selama ini. Padahal duluuuu, saya selalu punya waktu untuk sejenak bermain-main dengan imajinasi, merangkai kata untuk menjadikannya kalimat yang bisa dipahami sehingga apa yang saya lihat di "dunia mimpi" bisa terbayang dalam benak setiap pembaca. Padahal duluuu, saya selalu merasa "lebih baik" setelah menulis (apapun itu) setiap kali saya merasa sedang dalam kondisi "tidak baik". Tapi sekarang, entah mengapa, bahkan kondisi tidak baik, belum cukup mampu mendorong saya untuk menulis (lagi).

Sampai disini pun saya sudah mati ide... (benar-benar bencana). Apa yang telah terjadi dalam kehidupan saya belakangan ini? kenapa saya merasa kehilangan kunci untuk masuk ke dalam gerbang itu. Apa realita sudah sedemikian membelenggu?
Baiklah... saya mulai mencari-cari kambing hitam. Minimal ada yang bisa saya tuduh telah membuat kesenangan dalam menulis saya-mati suri.
Beberapa waktu terakhir ini, saya memang merasa lebih mengenal angka daripada kata-kata. Target, target, dan target. Bahwa kemampuan saya (dalam bekerja) benar-benar diukur dari deretan angka yang harus saya pelototi setiap hari dan membuat sakit hati di akhir bulan. Perlahan tanpa sadar, saya mulai mengukur orang lain dalam ukuran berapa jumlah digit dalam rekening mereka, lalu saya mulai merasa harus mengatur cara saya bersikap dan berbicara pada beberapa orang yang punya andil penting dalam perubahan angka2 di sistem (baca: target). Untuk sekian lama saya mampu menikmatinya, ini hal baru bagi saya.."belajar memakai topeng". Lalu semakin kesini saya mulai merasa lelah (dan jenuh). Saya capek dan mulai muak saat harus mengatakan YA..padahal dalam hati saya mengatakan TIDAK.
Saya sadar, dunia tidak sesederhana apa yang saya inginkan. Bahwa ada banyak hal diluar sana yang siap menerkam apabila kita lemah. Dan itulah kenyataan yang saya lihat, bagaimana beberapa orang begitu "termotivasi" untuk menjadi yang terbaik, lalu "merelakan" temannya untuk tercabik-cabik, bagaimana mereka sadar/tidak sadar membiarkan kakinya menginjak yag lain, agar tangannya bisa meraih apa yang menjadi ambisi pribadi.
Demi Tuhan, sebuah tamparan buat saya...saya tidak mau berubah menjadi seperti mereka. Menjadi seseorang yang membiarkan hati nuraninya mati. Menjadikan materi dan ambisi sebagai wujud "bahagia".
Saya masih ingin menjadi "manusia" bukan zombie berjalan karena hanya ada target di kepala. Mungkin ini adalah masa terbaik saya. Sebuah posisi yang begitu saya idamkan hingga saya (hampir) terbawa arusnya, tapi sekaligus mengingatkan saya bahwa "dunia" bukan segala2nya.