Rabu, 04 Januari 2012

TRILOGI


Karina:
Aku tergugu di sudut kamar. Tubuhku bergetar hebat. Kupeluk erat kedua lututku, berharap dapat menahan organ2 dalam tubuh yang seakan mendesak keluar dari tempatnya. Kepalaku terasa berdenyut2, isak tangis yg menyesakkan membuat bahuku terguncang guncang, aku tak punya kontrol lagi atas tubuhku sendiri. Penghianatan, yah.. satu kata yang hanya terdiri dari beberapa huruf itu ternyata memiliki reaksi yang cukup dahsyat atas tubuh manusia. Padahal  aku telah begitu sering mendengarnya, melihat atau sekedar selentingan2 disekitar, televisi, koran, majalah begitu mudah aku menemukan tema ini,  seakan hal semacam itu hanyalah bunga dalam kehidupan.Tapi sungguh, sungguh segalanya berbeda saat aku harus mengalaminya sendiri.
Kulihat dia disana, , lelaki yang aku cintai dengan sepenuh jiwa ragaku, diam mematung di sudut tempat tidur. Seakan tubuhnya terpaku, lengket dengan ranjang yang selama ini menjadi saksi keintiman cinta kita. Matanya tampak menerawang. Kosong. Apa yang ada dipikirannya saat melakukan "hal itu"?  Secara sadar menghianati aku yang telah belasan tahun setia mendampinginya. Itu yang terus menerus memenuhi otakku, menimbulkan gema yang menyakitkan,  menusuk nusuk hati dan jantungku.
Aku wanita yang mandiri secara financial, aku punya karierku sendiri, tapi sebisa mungkin aku selalu menjadi istri dan ibu yang baik. Aku selalu berusaha sempurna dalam segala hal. Terbukti dua anakku punya prestasi yang bagus di sekolahnya. Semuanya aku jalani dengan ikhlas, peran ganda sebagi wanita karier, istri sekaligus ibu. Tapi tak pernah terbayangkan dalam benakku bahwa aku harus menjalani peran ini, peran sebagai seorang istri yang dikhianati oleh seorang lelaki yang telah belasan tahun menjadi suaminya.
Dan kini dia menyerahkan semua bebannya ke pundakku. Terserah apa yg akan kau lakukan? Hanya itu yang dia lontarkan. Aku bahkan tak tahu lagi atas apa yang kurasakan saat ini.
Aku bahkan tak punya kekuatan lagi untuk berdiri. Seakan tulang-tulangku telah dilolosi dari tubuh. Cinta dan kesetiaan ternyata begitu menyakitkan. Memaksa untuk mengesampingkan keegoisan, walaupun hal itu harus ditukar dengan perasaan remuk redam. Satu sisi hatiku mengatakan: manusia tak luput dari dosa, mungkin dia hanya khilaf, seperti yang dikatakannya. Maaf? Hanya kata-kata maaf, apa itu cukup untuk menebus apa yang telah dia lakukan? Satu sisi lain menentangnya. Ini tidak semudah membalik telapak tangan, bukan hanya persoalan hitam dan putih, aku terjepit diantara warna abu-abu, antara cinta dan harga diriku sebagai seorang wanita.


Herman:
Aku memang benar-benar seorang pengecut. Begitu teganya telah menghianati wanita yang selama ini telah begitu baik. Dia wanita yang sempurna. Aku selalu nyaman berada di dekatnya. Tapi kenapa aku begitu tega menyakitinya seperti ini. Semua gara-gara gadis itu. Yah, seharusnya dia tidak masuk dalam kehidupanku. Bukan, seharusnya aku tidak "membiarkannya" merusak kehidupanku. Hanya karena kekhilafan sesaat, aku telah menghancurkan pernikahanku sendiri. Begitu mudahnya manusia tergelincir dalam lumpur dosa. Aku hanya manusia biasa, sebuah pembenaran atas kekonyolan yang harus kubayar mahal. Gadis itu, yah..gadis itu menawarkan racunnya, dan dengan bodohnya aku menerima racun itu. Kini aku harus merasakan akibatnya.  Aku takut kehilangan wanita yang telah menjadi ibu dari anak-anakku. Itu akan sangat menyakitkan. Tapi yang lebih menyakitkan saat aku harus melihatnya teduduk lemas, tanpa henti menangis, menanyakan apa salahnya sampai aku begitu kejam melakukan hal ini kepadanya. Sungguh aku tak mampu harus mengatakan apa, karena semua terjadi begitu saja. Yah, begitu saja..

Laura:
Aku terlahir cantik, dan itu bukan suatu kesalahan. Itu anugerah...anugerah besar yang memang seharusnya aku nikmati. Dan aku menikmatinya dengan cara menggunakan sebaik mungkin. Aku tahu bagaimana memanfaatkan kecantikanku, aku bisa mendapatkan semua pria yang aku inginkan. Pengacara, Insinyur, pejabat negara, eksekutif muda,  semua jenis laki-laki. Aku tidak terlalu peduli dengan status mereka. Pernikahan? Aku menganggapnya hanya sebagai status rapuh yang tidak terlalu penting dalam hal ini. Aku tidak pernah berharap banyak dari hubungan-hubungan yang pernah aku jalani. Semua hanya sementara, pada tempat dan waktu yang seharusnya. Aku tahu kapan saatnya memulai dan kapan harusnya diakhiri. Setiap lelaki memiliki sisi “liar” dalam dirinya, dan itu kelemahan mereka.
Lalu aku bertemu dengan dia. Awalnya tidak ada yang istimewa, dia tak lebih dari seorang klien. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku begitu terobsesi dengan dirinya. Aku ingin memilikinya. Aku ingin tahu seperti apa keluarganya, istri, anak-anaknya...sesuatu yang tak pernah aku alami sebelumnya. Dan setelah sesuatu terjadi diantara kita, dia hanya bilang, ini sebuah kesalahan -sesuatu yang seharusnya tak boleh terjadi- dan kemudian dia ingin semuanya berakhir, begitu saja. Tidak ada yang pernah memperlakukan aku seperti ini, aku yang punya hak untuk memutuskan kapan sesuatu dimulai dan kapan harus berakhir.


1. Pertemuan

Suasana cafe masih tampak sepi. Hanya ada beberapa meja yang sudah terisi. Disebuah sudut dekat kasir tampak seorang ibu muda sedang bercanda dengan anaknya yang berumur sekitar 3 tahun. Sang suami tampak begitu menikmati peristiwa di depannya, tertawa bahagia sambil sesekali menatap mesra istrinya. Laura tersenyum melihat hal itu. Sebenarnya dia juga tidak terlalu memahami mengapa dirinya begitu senang melihatnya, mungkinkah jauh di lubuk hatinya dia juga memimpikan pemandangan yang ada dihadapannya saat ini? Dia tidak terlalu peduli. Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan.
Disisi lain tampak seorang eksekutif muda duduk sendirian, memandangi blackberry nya, tapi sesekali dia melirik ke arah Laura yang duduk sendiri. Mata eksekutif muda  itu tampak mengerling dan tersenyum menggoda Laura.
Mungkin di lain waktu aku akan menanggapi “ajakan” itu, tapi tidak saat ini dan mungkin nanti ke depannya tak akan pernah lagi, bathin Laura. Hari ini dia akan bertemu dengan Karina. Istri sah dari lelaki yang “mungkin” dicintainya. Terlalu dalam untuk mengkategorikan apa yang dirasakannya sebagai sebuah cinta. Bagi Laura hidup tak lebih dari menang dan kalah. Tapi itulah kenyataannya sekarang. Dia rela menyingkirkan keegoisannya untuk bertemu dengan Karina. Dari awal Laura memang tak punya niatan untuk “bersembunyi”. Bahkan dirinya sendiri yang memberitahu Karina bahwa diantara dia dan Herman telah terjadi sesuatu. Dan hari ini Laura merasa penting memberitahu Karina tentang detail hubungan yang telah dijalaninya dengan Herman. Seorang wanita pasti akan sangat terluka mengetahui laki-laki yang telah belasan tahun menjadi suami, telah menduakan cintanya. Dan Laura berharap dengan pertemuan ini, Karina akan bisa menerima keadaan, dan menerima kenyataan bahwa memang dirinya lebih segala-galanya dari Karina. Dikeluarkannya sebuah kaca kecil, mematut sebentar dirinya didepan cermin kecil itu, menambah pulasan bibirnya dengan lipstik berwarna pink muda. Laura tersenyum sinis, dalam hati dia sangat yakin bahwa dialah yang akan menang.

Karina menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak menentu. Keringat dingin keluar melalui pori-pori jemari tangannya. Dipejamkannya mata sejenak, menyandarkan kepala di jok mobilnya, telinganya terasa berdenging-denging, perasaan galau tak menentu masih menyergap hatinya. Aku tetap harus melalui ini, batin Karina. Ini adalah proses yang harus dia jalani, walau sungguh terasa berat, tapi dia yakin bahwa ini yang terbaik.
Ditariknya nafas dalam sekali lagi. Tissue yang berada digenggamannya telah hancur basah oleh keringat dan remasannya, persis sama dengan perasaannya yang remuk redam. Perlahan dibukanya pintu mobil, turun dengan hati-hati, mencoba menggapai keseimbangan dalam dirinya. Kaki-kakinya masih terasa sangat berat untuk melangkah.
Aku pasti bisa melalui semua ini, tegasnya kembali dalam hati. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dalam dirinya. Dan dia pun melangkah masuk menuju cafe dimana wanita yang telah menjadi duri dalam rumah tangganya menunggu disana.

Jantung Laura terasa berdetak lebih cepat saat dilihatnya sesosok wanita memasuki pintu cafe. Dia berusaha mengingat ingat apakah wanita itu adalah sosok yang pernah dilihatnya di dompet Herman. Laura masih diam tak bereaksi, tapi saat melihat wanita itu tampak mengedarkan pandangannya seperti mencari-cari seseorang, dia mulai yakin, bahwa wanita itu adalah Karina. Sedikit ragu dilambaikannya tangan ke arah wanita itu, dan dilihatnya wanita itu tersenyum ke arahnya, sebuah senyum tipis yang dipaksakan, pasti untuk menutupi luka hatinya, bathin Laura, dan dia membalasnya dengan senyum termanis yang dia miliki, hatinya semakin yakin dia lebih pantas untuk Herman.
Perlahan tapi pasti Karina berjalan menuju tempat duduk Laura. Entah darimana tiba-tiba dia memiliki kekuatan itu. Perasaannya sedikit terasa lebih ringan dibandingkan saat dia memasuki pintu cafe tadi. Mungkin saat manusia dihadapkan pada kenyataan pahit, justru disitulah kekuatannya akan muncul, batin Karina.
Akhirnya sampailah Karina dihadapan Laura. Sosok Laura sedikit lebih muda dari apa yang dibayangkannya. Dan harus diakuinya bahwa Laura memang cantik, kecantikan yang bisa membuat lelaki manapun bertekuk lutut di hadapannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak dimiliki oleh wanita lain. Sesuatu yang seakan menjadi magnet bagi para lelaki. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dia cukup cerdas. Umurnya Karina perkirakan sekitar awal dua puluh tahunan. Tapi Karina yakin ada banyak hal yang telah dilalui Laura hingga dia tampak jauh lebih matang dari usianya. Dan entah mengapa tiba-tiba dia justru merasa kasihan pada gadis itu. Sorot mata Laura yang tajam tetap tak bisa menyembunyikan bahwa dirinya teramat sangat kesepian, dan dunia telah bertindak begitu kejam sampai dia harus melalui hidupnya seperti ini.
“Selamat Siang...” kata Karina seraya menarik kursi di depan Laura.
Laura buru-buru berdiri sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Disadarinya tindakan ini pasti terlihat sedikit aneh, berjabat tangan dan berusaha bersikap manis pada wanita yang menjadi istri sah dari laki-laki yang sedang didekatinya. Sejenak dia tidak berharap banyak bila seandainya Karina tidak menyambut uluran tangannya. Tapi diluar dugaan, wanita itu tersenyum (lagi) dan menjabat tangannya dengan tenang (bukankah seharusnya dia menampar aku? bathin Laura). Hal ini termasuk diluar bayangan, Karina tampak terlalu tenang menghadapi dirinya.
“Laura...”
“Karina..”
mereka berdua duduk berhadapan, seorang pelayan cafe mendekati meja sambil membawa daftar menu.
“Orange juice aja dulu, mbak....” kata Karina tanpa melihat ke daftar menu yang disodorkan padanya.
Pelayan cafe itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Laura masih diam, hanya sibuk mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di meja. Diliriknya Karina. Wanita itu sedang menatap dirinya. Laura memperkirakan usia Karina hampir dua kali lipat umurnya. Tapi dia masih tampak cantik. Aura wanita yang tegar, berpendidikan dan berkelas terpancar dari diri Karina. Sejenak Laura merasa dirinya sedikit terintimidasi. Diluar bayangannya bahwa Karina ternyata adalah sosok yang mempesona. Cara Karina menatap dirinya bukan tatapan benci seorang wanita kepada wanita lain yang berusaha menhancurkan rumah tangganya, tapi lebih seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang telah berbuat kesalahan besar.
Huh, tapi siapa yang peduli? Aku bahkan lupa bahwa ada sosok yang bernama ibu, sisi batin Laura yang lain  memberontak. Tante Lince adalah sosok ibu baginya, seorang wanita yang sejak Laura berumur 14 tahun  telah mengenalkannya pada dunia yang sekarang dijalaninya, dan dia telah mati karena over dosis beberapa tahun yang lalu.
“Apa yang kamu inginkan...” Karina mulai membuka percakapan.
Laura tidak menjawab, dia terdiam membiarkan pertanyaan itu tergantung sejenak.
“Saya mencintai Bapak...” kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Laura, dan sejujurnya itulah yang mungkin dirasakannya saat ini.
Karina masih diam tak bereaksi.
Laura meraih tas Prada nya, mengeluarkan sebungkus rokok dari sana, mengambil sebatang dan buru-buru menyulutnya, dia khawatir Karina akan melihat tangannya yang mulai bergetar.
Diisapnya dalam-dalam rokok yang terselip dijarinya. Berharap nikotin akan memenuhi paru-parunya dan membuat otaknya bisa berpikir lebih tenang. Tapi sungguh ternyata tidak mudah menenangkan debaran jantungnya sendiri. Tangannya masih terasa sedikit gemetar.
“Dan apa kamu yakin Herman juga mencintaimu...” Suara Karina terdengar tetap tenang dan datar.
“Uhuk..uhuk...” segumpal asap rokok masuk ke dalam kerongkongan Laura tanpa sempat dikontrolnya. Rasa panas menjalar di tenggorokan. Buru-buru diraihnya secangkir cappucino yang mulai dingin dihadapannya.
Laura sama sekali tidak mengira Karina akan menanyakan hal itu. Sejenak dia merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Rasa panas masih terasa di tenggorokannya.
Karina tetap tenang, menunggu jawaban dari Laura.
Pembicaraan mereka terhenti sejenak saat pelayan cafe datang membawa orange juice. Karina tersenyum pada pelayan cafe sambil mengucapkan terima kasih, dia menunggu sampai pelayan cafe itu pergi kemudian kembali memandang Laura untuk menagih jawaban atas pertanyaannya.
Laura menghela nafas, kembali menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya begitu saja. Asap rokok abu-abu pekat bergulung di udara, sesaat membatasi pandangan mereka berdua kemudian menghilang perlahan. Tampaknya Laura sengaja melakukan hal itu.
Laura tersenyum sinis, dia mulai bisa menguasai dirinya kembali, entah karena nikotin dari rokok atau dia mulai bisa mengikuti ritme permainan yang ditawarkan oleh Karina.
“Apa ibu Karina yakin bapak juga masih mencintai Ibu?” Laura mengatakan hal itu sambil sedikit mencondongkan badannya ke depan, mendekatkan wajahnya ke wajah Karina, menatap tajam tepat pada kedua bola mata Karina. Laura mulai mendapatkan kepercayaan dirinya lagi.
Diluar dugaan Karina justru tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan kalimat yang dilontarkan Laura sebagai sebuah lelucon.
Karina tidak segera menjawab, dia meraih gelas berisi orange juice nya, mengaduk-aduk sebentar kemudian meminumnya.
“Bagi kami orang dewasa yang telah belasan tahun menjadi pasangan, cinta atau tidak cinta bukanlah suatu hal yang penting lagi. Pernikahan membuat kami dewasa, dan tidak lagi berpikir egois untuk memikirkan perasaan masing-masing. Kebahagiaan bagi kami adalah kebahagiaan dari anak-anak. Selama belasan tahun terikat dalam komitmen membuat kami lebih memahami arti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak lagi posesif atas satu dengan yang lainnya. Herman adalah sosok suami sekaligus ayah yang baik. Tapi dia tetaplah seorang laki-laki, yang tak lebih dari seorang anak kecil yang terperangkap dalam sosok tubuh orang dewasa. Ada kenakalan dan sisi liar dalam dirinya yang sewaktu-waktu muncul, dan aku mohon maaf bila hal itu sempat membuatmu tidak nyaman. Percayalah, apa yang terjadi diantara kalian hanyalah sebuah kecerobohan kecil yang sangat bijaksana bila dilupakan”. Kata-kata Karina mengalir tenang, masuk ke telinga Laura, menimbulkan gema yang seakan memenuhi sudut-sudut hati dan jiwanya. Laura tidak pernah membayangkan bahwa hal ini yang akan dia terima.
Laura tertegun, ditatapnya lekat-lekat Karina, kemarahan mulai menguasai dirinya. Banyak hal yang dilaluinya dalam hidup dan sebagian besar adalah kepahitan. Apa yang baru saja dikatakan Karina benar-benar menyentuh ego dan harga dirinya sebagai wanita. Tidak ada kata-kata pedas yang dilontarkan Karina terhadapnya, tapi justru hal itulah yang sangat menusuk. 
Laura menghela nafas, mencoba untuk menenangkan detak jantungnya. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu, dia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membalas, tapi dia tak menemukannya. Dia matikan rokoknya dengan sangat kasar, berdiri dan berjalan mendekat kearah Karina, saat tepat berada di samping Karina, Laura sedikit membungkukkan badannya lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Karina.
“Saya selalu mendapatkan apa yang saya inginkan…” bisik Laura.
Kemudian dia berlalu begitu saja, menuju pintu keluar café.
Karina masih terdiam, sejenak pikirannya terasa kosong. Beberapa detik kemudian kepalanya mulai terasa berdenyut-denyut kembali. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Sesuatu yang hangat terasa mengalir pelan dari sudut matanya. Semua memang tak semudah apa yang dibayangkan, tapi setelah dijalani dia semakin tahu hal apa yang harus dihadapinya nanti, dan itu dirasakannya semakin berat.


2. Bidadari

Laura menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kecil berbentuk minimalis. Rumah itu tidak tampak terlalu menonjol diantara rumah yang lain. Bentuknya hampir sama dengan rumah-rumah disampingnya.
Dia turun berjalan perlahan menuju pintu pagar, membukanya dan langsung memasuki rumah. Mobilnya dibiarkan terparkir begitu saja diluar. Sudah hampir dua tahun Laura menyewa rumah itu. Rumah yang terletak sedikit di pinggir kota itu merupakan surga baginya. Lingkungannya tidak terlalu ramai dan tidak terlalu peduli, dan itu yang terpenting. Walaupun dia tak pernah sekalipun membawa klien-kliennya ke rumah. Baginya rumah ini adalah batas antara kenyataan dan mimpinya.
Sebuah ruang tamu mungil yang hanya terdiri dari sebuah sofa berwarna coklat tua yang dilengkapi dengan bantal kecil berwarna orange terang, meja kaca kecil di sudut dan karpet tebal bermotif kulit macan menutupi sebagian lantainya. Sebuah lukisan besar bergambar laut saat senja, dan perahu kecil yang berada tepat di tengah matahari jingga, tampak tergantung di dinding.
Penyekat dari kayu memisahkan ruang tamu dengan semacam ruang yang berfungsi sebagai ruang tengah sekaligus ruang makan, terdapat dua buah kursi dan sebuah meja kecil yang terbuat dari besi yang dihiasi dengan lilitan rotan. Tepat disamping ruangan itu terdapat pintu menuju kamar Laura.
Saat memasuki ruang kamar itu, semua orang akan serasa berada di sebuah kamar boneka Barbie. Jendela besar yang menghadap pada sebuah taman kecil. Tirainya berwarna pink terang. Dinding kamar bagian bawah ditutup dengan wallpaper berwarna pink pucat bergaris-garis putih dan bagian atasnya berwarna senada yang berhias bunga bunga kecil berwarna pink.
Sebuah ranjang besar yang terbuat dari besi bercat putih tertutup rapi dengan bedcover berwarna ungu muda bergaris-garis putih dan merah muda. Disamping tempat tidur terdapat sebuah meja kecil yang juga berwarna putih dilengkapi kaca besar berfungsi sebagai meja rias. Diatasnya berbagai macam botol parfum dan peralatan make up tertata rapi disana.
Semua gambaran klasik tentang sebuah kamar boneka terwujud dari kamar ini. Sentuhan modern tertempel di dinding kamar, sebuah televisi layar datar berukuran cukup besar tergantung menghadap tempat tidur.
Laura menuju dvd player yang terletak tepat dibawah televisi layar datarnya. Memilih sebuah disk dan mulai menyalakannya. Suara Andrea Bocelli memenuhi ruangan kamar.
Dia merebahkan diri diatas tempat tidur. Pandangannya menatap langit-langit kamar. Pikirannya terasa kosong. Suara telpon genggam dari dalam tasnya sejenak mengusik lamunan.
Dilihatnya nama si penelepon. Marcel, dan dia langsung memencet tombol reject dengan ibu jari tangan kanannya. Beberapa saat kemudian terdengar nada yang sama, nama penelepon yang sama, dan Laura mengulangi apa yang telah dilakukannya tadi. Akhirnya tidak tedengar lagi suara dari telepon genggam itu.
Suara Andrea Bocelli masih menggema di seluruh ruangan kamar. Sepi terasa menggigit dan menusuk-nusuk tubuhnya. Kesunyian yang merasuk ke hati dan jiwa. Sejenak dia merasa begitu lelah.
Tiba-tiba dia merasa melihat sesosok mahluk bersayap, terbang mendekat ke arahnya. Sayapnya tampak begitu indah, berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Sayap itu seperti kain tipis transparan dan membiaskan pelangi yang indah. Sosok itu kini semakin dekat, dan semakin terlihat raut wajahnya. Sejenak Laura merasa tersentak, wajah itu seperti dikenalnya, wajah yang tak asing bagi dirinya. Laura masih berusaha mengingat-ingat ketika kemudian terdengar sosok itu memanggil namanya, perlahan.
Laura tersentak, wajah itu adalah wajah Karina.
Kengerian terasa menggulung dirinya, sesak dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Nafasnya terengah-engah, dan samar-samar terdengar suara telepon genggamnya, jauh..tapi semakin lama semakin terasa dekat.
Laura berusaha menggapai-gapai kesadarannya, dan akhirnya dia baru tersadar telah bermimpi. Sejenak dia berusaha mengembalikan kesadaran. Telepon genggamnya masih mengeluarkan suara nada panggilan masuk.
Laura mengusap keringat yang membasahi kening dengan punggung tangannya. Kengerian atas mimpi masih menguasai dirinya.
Secara reflek diraihnya telpon genggamnya, tanpa melihat pada layar siapa sang penelepon
“Halo, sayang....” terdengar suara genit di seberang sana.
Laura menarik napas lega. Suara Trisa cukup mengembalikan kesadarannya.
Trisa adalah teman, sahabat sekaligus saudara bagi Laura. Mereka berdua sama-sama “dibesarkan” oleh tante Lince. Hanya saja setahun ini Trisa menjalani kehidupan yang “hampir normal”. Dia menjadi simpanan seorang pengusaha kaya berumur setengah abad yang mencukupi segala kebutuhan hidupnya, entah sampai kapan karena Laura tahu, tak ada yang abadi dalam dunianya. Mungkin tahun depan, bulan depan atau besok kalau si pengusaha kaya telah bosan dengan Trisa, dia akan dengan sangat mudah mendepak Trisa dari apartemennya.
Begitulah... Laura merasa tak ada yang bisa dibandingkan antara Trisa dan dirinya, keduanya sama-sama menjalani kehidupan semu bahwa kehidupannya hanyalah untuk hari ini, tak ada esok karena esok adalah ketidakpastian. Hanya mungkin satu hal yang membuat Laura sedikit lebih beruntung daripada Trisa, bahwa pada akhirnya dia mulai bisa merasakan “cinta”.
Yah, tapi sebuah “cinta” yang salah, sisi bathin Laura yang lain mengatakan hal itu dengan sinis.
Salah? Bukankah cinta tak pernah salah dalam memilih? Siapa yang bisa menentukan salah dan benar?
“Haluuu, ciiiinnn? Aduuuhhh...kok ga ada suara siiiihhh...?” suara Trisa membuyarkan lamunan Laura.
“Ada apa?” suaranya terdengar serak.
“Kita jalan yuk, si Om lagi keluar negri nih, jadi aku free...boseeeennn..”
“Aku lagi males nih...”
“Haduuuhhh...please deh...pokoknya aku jemput ntar jam sembilan ya..”
“Mmmmmhh.... gak usah deh, ntar kita ketemuan aja disana, tempat biasa kan..?” putus Laura, dia sedang malas berdebat.
“ok deh...see u...”
Klik. Suara telpon ditutup. Laura menghela nafas. Terdiam sejenak kemudian bergegas masuk ke kamar mandi, menanggalkan pakaiannya, menyalakan shower dan mulai menikmati kucuran air yang membasahi tubuhnya.
Gemericik suara air berpadu  dengan suara tenor Andrea Bocelly yang sedang melantunkan Time to Say Goodbye.
Entah mengapa tiba-tiba Laura merasa hidupnya begitu sepi. Hari-hari panjang yang telah dilaluinya, pertemuannya dengan Herman, kata-kata Karina, semuanya terasa bercampur aduk dalam otaknya. Kepalanya terasa riuh rendah oleh suara-suara hatinya sendiri, dan suara Karina yang dengan nyata mengatakan dirinya tidak cukup berharga untuk Herman. Benarkah aku tidak pantas untuk Herman? Tidak...itu tidak benar...itu salah....jawab sisi batinnya yang lain, karena sebenarnya kamu tidak akan pernah berharga untuk siapa pun, suara bathinnya dengan kejam mengatakan itu.
Air masih mengucur deras dari pancuran. Seiring dengan air mata Laura yang terus menerus menetes. Dia merasakan tubuhnya mulai merosot dan kemudian terduduk di lantai kamar mandi. Dia menangis tersedu sedu disana, merasakan kehampaan luar biasa yang mendera jiwanya.


3. Cinta Pertama

Ruangan itu begitu luas. Sebuah meja kayu jati besar yang berukir pada sisi-sisinya mendominasi ruangan tersebut. Lemari besar berkaca di sebelah kanan ruangan, penuh berisi buku-buku tebal. Di sebelah kiri terdapat sebuah lemari pendek yang tingginya kira-kira sepinggang orang dewasa, bentuknya memanjang sekitar satu setengah meter, diatasnya berjajar rapi foto-foto dalam bingkai berbagai ukuran. Ada foto pernikahan Herman dan Karina. Foto Reza putra pertama Herman dalam kostum basketnya, foto Rizky putra keduanya sedang tertawa lebar sambil memegang ikan kecil, hasil pancingannya. Foto Herman dan Karina di dekat menara Eiffel, foto Reza dan Rizky yang sedang mendekap erat Herman dan Karina, dan beberapa foto mereka berempat dengan latar belakang beberapa tempat di luar negeri. Sekejap orang akan bisa menebak bahwa Herman memiliki ikatan keluarga yang sangat kuat, tipe “family man” dan kehidupan pernikahannya sungguh sangat bahagia.
Herman tercenung dibalik meja kerjanya. Tangan kirinya memegangi pelipis, tangan kanannya memencet tombol-tombol keyboard komputernya sambil matanya menatap pada layar komputer yang mati. Dia memang tidak sedang mengerjakan sesuatu. Pikirannya terasa kalut, perasaan bingung, sedih, marah dan kecewa yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri telah membebaninya beberapa hari ini.
Sebagai seorang Dewan Rakyat yang terhormat, Heman sebenarnya sangat dekat dengan hal-hal berbau wanita simpanan, perselingkuhan, teman tidur semalam dan hal-hal semacam itu. Tapi dia bukan tipe seperti itu. Dia memiliki seorang istri cantik yang nyaris sempurna di matanya dan dua orang anak laki-laki yang mulai beranjak remaja, kehidupan pernikahannya hampir tiada cela dan cobaan berat selama 16 tahun berjalan.
Herman bertemu Karina saat keduanya sama-sama menjadi mahasiswa ilmu politik di sebuah Perguruan Tinggi Negri yang cukup bergengsi di negeri ini. Herman yang saat itu menjabat sebagai ketua Senat, menjadi pusat perhatian sebagian besar gadis-gadis di kampus. Dia memiliki semua kriteria untuk menjadi idola. Badannya tinggi walaupun bisa dikategorikan agak kurus, wajahnya yang tampan, sorot mata tajam, sikap cueknya dan wawasannya yang luas. Sudah menjadi rahasia umum, bila para mahasiswi di kampus itu ikut aktif dalam politik kampus, sebagian hanya ingin bisa lebih dekat dengan Herman. Gaya bicara Heman, pandangan matanya yang kadang tampak dingin dan senyumnya yang jarang ditampilkan, cukup membuat para mahasiswi tergila-gila padanya. Bahkan ada beberapa yang dengan sangat “terbuka” menyatakan cinta, walaupun hanya sebatas dari surat-surat cinta, yang pada akhirnya menjadi penghuni keranjang sampah di kamar kost Herman.
Herman tak pernah merasa sekalipun berniat untuk dekat atau hanya sekedar bermain-main dengan para gadis yang jadi pemujanya. Kehidupannya sangat serius, bahkan terlalu serius. Otaknya banyak diisi dengan idealisme dan cita-cita besarnya atas negeri ini. Herman menyadari bahwa dirinya merupakan sosok yang cenderung perfeksionist dalam segala hal, termasuk percintaan. Seorang wanita disampingnya bukan hanya cantik secara fisik tapi juga harus cerdas. Baginya kecerdasan memiliki sisi seksi tersendiri bagi seorang wanita. Dan kemudian dia bertemu dengan Karina.
Awal pertemuannya dengan Karina, tidak ada yang terlalu istimewa. Memang Karina memiliki wajah yang lumayan menarik. Kulit tubuhnya terang tampak sangat kontras dengan rambutnya yang hitam legam, hidung dan bibirnya mungil. Satu hal yang menurut Herman paling menarik saat itu adalah sepasang mata Karina yang tidak dapat menyembunyikan kecerdasannya. Saat itu Karina adalah ketua redaksi majalah kampus. Pembawaannya tenang, senyum dibibirnya tampak selalu diobral pada semua orang, itu menurut Herman. Saat itu Herman menjadi nara sumber Karina untuk program amal di kampus. Entah bagaimana awalnya, obrolan santai itu tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Mereka saling mengajukan teori mengenai kelas ekonomi dalam masyarakat, dan keduanya tidak ada yang mau mengalah. Beberapa teman yang melihat kejadian tersebut hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala, mereka tahu Herman dan Karina sama-sama keras kepala.
Pertemuan pertama yang berisi perdebatan itu justru membuat Herman merasa tertarik dengan Karina, dan untuk pertama kalinya dia mulai ingin tahu lebih dalam tentang seorang wanita. Bukan  suatu hal yang sulit untuk mencari informasi mengenai Karina, dia termasuk sosok yang cukup dikenal. Tapi justru Herman agak terkejut dengan reputasi Karina. Beberapa nama pria berderet mengikuti nama Karina. Ternyata Karina terkenal “dekat” dengan beberapa mahasiswa. Kisah cintanya tak pernah terdengar lama. Dan yang lebih membuat Herman tertegun saat mendengar nama salah satu dosen muda sedang sangat dekat dengan Karina. Padahal dosen tersebut sudah memiliki seorang istri dan anak diluar kota. Kelak Herman akhirnya tahu bahwa sebenarnya kedekatan sang dosen dengan Karina hanyalah rumor semata, yang timbul karena Karina selalu menjadi satu-satunya mahasiswa yang mendapat nilai A pada mata kuliah dosen tersebut, padahal dia terkenal sangat pelit dalam memberikan nilai. Seringkali sang dosen dengan bangga memberikan komentar pada tulisan-tulisan Karina pada tugasnya. Mungkin juga memang dalam hati sang dosen menyimpan “sesuatu yang istimewa” terhadap Karina, tapi Karina tidak pernah menganggapnya sebagai satu hal yang bisa diperhitungkan.
Karina merupakan tipe wanita yang tahu bagaimana membuat laki-laki jatuh hati padanya. Dan itu bukanlah suatu kesengajaan. Deretan panjang mantan-mantannya adalah karena mereka para lelaki “tidak cukup tahu” bagaimana memperlakukan Karina seharusnya.
Pada dasarnya Karina adalah sosok yang sangat mandiri. Dia bukan tipe yang suka merajuk untuk ditemani atau diantar kesana kemari. Dan dia tipe wanita yang tidak mudah jatuh cinta. Bagi sebagian laki-laki yang mendekati Karina mereka berusaha mendekatinya dengan cara menunjukkan rasa kagum pada pemikiran-pemikiran Karina. Mereka akan menerima apapun yang diungkapkan Karina. Padahal justru hal itulah yang membuat Karina tidak mau mempertahankan hubungan. Laki-laki yang lemah dan menerima dominasinya sebagai wanita justru membuatnya kehilangan rasa. Dan sosok yang bisa mengimbanginya adalah Herman.
Herman mampu membuatnya merasa “terhormat” tanpa mengorbankan egonya sebagai laki-laki. Pemikiran Herman yang cenderung idealis mampu membuat Karina terpesona.
Herman tersenyum mengingat masa lalunya bersama Karina. Aku mencintainya.. desisnya perlahan, tanpa sadar mengucapkan hal itu saat membayangkan sosok Karina. Dan mengapa aku begitu tega menyakiti hati wanita yang aku cintai? Herman kembali merasakan kekalutan menyelimuti pikirannya. Kepalanya terasa berat dan jantungnya berdetak lebih kencang. Dia seperti terlempar kembali pada beberapa waktu lalu saat sebuah kesalahan telah memporak porandakan kehidupan pernikahannya.

Saat itu Herman mendapat tugas keluar kota untuk beberapa hari. Dan hal itu bukan suatu hal yang terlalu istimewa. Seperti biasa Karina menyiapkan berbagai keperluan Herman sebelum berangkat. Rutinitas yang tak pernah luntur setelah sekian tahun pernikahan mereka walau sesibuk apapun Karina dengan pekerjaannya, dia masih melakukan hal-hal kecil semacam itu. Kecupan dan pelukan hangatnya bagaikan tameng kesetiaan yang selalu melingkupi Herman selama berjauhan dengan keluarga.
Namun terkadang manusia tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Begitu banyak hal-hal diluar jangkauan pikiran yang menguji dan mendesak sisi lemah manusia. Malam itu Herman kembali ke kamar hotel dengan pikiran lelah setelah menyelesaikan rapat yang memakan waktu berjam-jam. Perlahan dia membuka pintu kamar hotelnya, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati di atas tempat tidur hotel itu ada seorang wanita muda yang memakai pakaian tipis, menyunggingkan senyum menggoda saat menyadari kehadiran Herman di kamar itu. Herman sempat tertegun tak bisa berpikir, yang terlintas di benaknya, pertama adalah bahwa dia akan melakukan protes keras ke manajer hotel atas kelancangannya memberikan kunci kamar hotelnya pada orang asing. Kedua, dia yakin ada yang berniat “bermain-main” dengannya, karena sebagian besar rekan kerjanya tahu bahwa dia bukan tipe laki-laki semacam itu.
Tiba-tiba sebuah sms masuk, Herman membacanyanya, dari nomor yang tidak dikenal, “hadiah kecil dari seorang teman” kalimat pendek itu mulai membuka pikiran Herman tentang keberadaan gadis itu di kamarnya. Herman hanya masih belum bisa memastikan siapa si pengirim sms dan niat yang ada dibelakangnya. Mungkinkah orang itu memang berniat “berbaik hati” pada Herman namun dengan cara yang salah, mungkin juga hal ini semacam jebakan untuk dirinya. Tapi apapun motif dibalik keberadaan gadis itu dikamarnya, Herman sama sekali tidak tertarik dengan apa yang ada dihadapannya saat ini.
Perlahan Herman mendekati tempat tidur itu, memandang gadis itu sejenak, lalu dengan tenang mengambil sebuah selimut besar lalu menutupkannya pada tubuh gadis itu.
“Berpakaianlah dan anda bisa pergi dari sini, mohon maaf saya tidak membutuhkan anda, mungkin ada kesalahan dari seseorang yang telah mengirimkan anda kesini..”
Gadis itu tampak terkejut dengan sikap Herman. Dia hanya tertegun berharap bahwa Herman hanya bercanda atau kemudian berubah pikiran. Tapi Herman tetap berdiri di samping ranjang, tersenyum dan mengatakan:
“saya serius, pergilah..”
Perlahan gadis itu turun dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi dengan masih memegang erat selimut yang membungkus tubuhnya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tampaknya dia masih sangat bingung dengan situasi yang baru saja dialaminya. Beberapa saat kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan memakai pakaian lengkap.
Herman masih berdiri di samping ranjang. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya. Kemudian saat melihat gadis itu sudah keluar dari kamar mandi, bergegas dia berjalan ke pintu kamar hotel, membuka pintunya.
“Terima kasih, selamat malam..” kalimatnya dikatakan dengan sangat formal.
Herman menutup pintu kamar hotel tersebut. Berjalan gontai menuju tempat tidur. Pikirannya terasa kosong atau malah terlalu penuh, Herman sendiri tidak mampu memastikan. Dinyalakannya televisi, mengganti-ganti salurannya beberapa kali, tak ada acara televisi yang menarik minatnya. Kemudian dia mengambil telepon selular di saku baju kemejanya. Terdengar nada tut beberapa kali. Lama tidak diangkat. Kemudian Herman mencoba menelepon lagi.
“Halo....” suara yang begitu dikenalnya.
“Lagi ngapain, Ma? Lama banget ngangkat telponnya...?”
“Tadi dari kamar Rizky, gimana..Pa, ada kabar apa?
“Aku kangen, Ma...”
Terdengar suara tawa kecil diseberang.
“Kamu habis bikin dosa apa, Pa?”
Herman merasakan darahnya berdesir.
“Kangen sama istri sendiri kok malah dicurigai, sih?”
Karina kembali tertawa.
“Ya udah..istirahat ya...jangan lupa minum vitamin, besok aku juga harus berangkat pagi-pagi, ada rapat di kantor..”
“I love you...” bisik Herman.
“Love you too...” Klik.
Herman menarik nafas panjang, sebagian beban yang mengganjal terasa hilang. Dia mulai memejamkan matanya, kelelahan begitu menyelimuti dan akhirnya dia tertidur.


4. Sebuah Kesalahan

Keesokan harinya, Herman kembali menjalani aktivitasnya. Dia mulai dengan menghadiri rapat dengan pejabat daerah, dilanjutkan dengan kunjungan ke beberapa tempat dan  rapat lagi dengan anggota dewan yang lain sampai menjelang pukul sebelas malam.
Herman baru selesai mandi dan bersiap merebahkan diri ke tempat tidur, ketika dia mendengar ketukan di kamar hotelnya. Jarum jam menunjukkan hampir tepat tengah malam. Sejenak Herman berfikir siapa yang mau menemuinya malam-malam begini. Sempat terpikir mungkin beberapa teman mengajaknya untuk keluar jalan-jalan menikmati suasana kota di malam hari, tapi biasanya mereka menelepon dulu. Perlahan dia berjalan menuju pintu kamar hotel, untuk membukanya.
Herman terkesiap saat melihat gadis yang tadi malam berada di tempat tidurnya berdiri di depan pintu kamar. Gadis itu tersenyum ragu-ragu. Menunggu reaksi Herman selanjutnya.
Herman mendengus kesal. Tangan kanannya memegang kepala, seakan menahan agar emosinya tidak membuat kepalanya pecah.  Matanya mulai menunjukkan kemarahan. Sebelum Herman sempat mengeluarkan kata-kata, gadis itu membuka mulutnya.
“Saya tahu Bapak tidak membutuhkan saya saat ini...”
“Tapi kenapa kamu masih saja datang kesini...” suara Herman terdengar kesal.
“Tolong, biarkan saya menjelaskannya Pak...” gadis itu memandang tajam Herman.
“Saya hanya menjalankan tugas...” gadis itu menghela nafas, seakan ada batu besar yang menghimpit dadanya.
“Terserah kalau memang Bapak tidak 'menginginkan' saya...tapi saya tidak akan pergi dari sini...saya sudah dibayar untuk ini..”
“Ya Tuhan...siapa yang menyuruhmu..?” Herman berusaha menahan suaranya, yang mulai meninggi karena emosi.
Gadis itu hanya menggeleng. Wajahnya tampak dingin dan beku.
Herman benar-benar kehilangan kesabaran. Tanpa bicara lagi dia langsung masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam.

Di dalam kamar hotel, Herman gelisah. Berkali kali dia berusaha memejamkan mata, tapi rasa kantuknya telah hilang, menguap entah kemana. Otaknya berpikir keras untuk apa yang harus dilakukannya menghadapi situasi ini. Dia berbaring dengan gelisah, sambil memainkan remote televisi dan sekali-kali mengganti salurannya. Kepalanya mulai terasa berdenyut-denyut, tenggorokannya kering.
Herman bangkit dari tempat tidur, berjalan perlahan menuju lemari es kecil yang terletak di sudut kamar. Dibukanya sebotol air mineral dingin dan menenggaknya sampai hanya tersisa setengah. Entah mengapa tiba-tiba dia ingin melihat keluar apakah gadis itu memang masih disana. Ragu-ragu dia menuju pintu kamar, sempat diliriknya jam dinding yang tergantung di atas tempat tidur. Sudah hampir jam satu malam, bathinnya. Saat tepat di depan pintu kamar, hatinya merasa ragu untuk membuka, lalu dia membatalkan niatnya untuk membuka pintu. Dia kembali berjalan menuju ranjang, duduk di sisi nya sambil masih memegang botol air mineralnya. Herman merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Kemudian dia berdiri, meletakkan botol air mineralnya pada sebuah meja kecil disamping ranjang lalu menuju jendela besar di kamar hotel itu yang tertutup oleh tirai berwarna merah marun. Dibukanya perlahan salah satu sisi tirai, di depannya terhampar suasana kota di malam hari, kerlap kerlip lampu seperti kunang-kunang yang bertebaran. Langit tampak muram, hitam jelaga tanpa terlihat bintang sama sekali. Hanya sepotong bulan sabit pucat yang sinarnya juga tampak lemah tertutup serpihan awan kelabu.

Gadis itu masih menunggu di depan pintu. Kaki-kakinya mulai merasa lelah berdiri. Setelah sekian lama bersandar di depan pintu, kini dia memutuskan untuk duduk di lantai. Memeluk lututnya dengan kedua tangan. Dia mengenakan celana jeans ketat berwarna biru tua dan jaket bermodel overcoat merah darah. Sebuah scarf bermotif abstrak menutup lehernya, cukup membantu menahan rasa dingin yang menggigit. Entah sudah berapa lama dia menunggu. Dia bahkan tak ingin tahu. Inilah peran yang harus dijalaninya saat ini. Dia menarik scrafnya untuk menutupi sebagian wajahnya, hawa dingin mulai terasa menggelitik hidung. Digosok-gosokkannya kedua telapak tangan, berharap ada hawa hangat yang akan menjalar dari sana.
Seorang office boy berjalan pelan di koridor sepanjang kamar-kamar hotel sambil membawa kereta dorong berisi alat-alat kebersihan, dia tampak terkejut melihat gadis itu terduduk di depan pintu kamar. Mulutnya sudah terbuka, bersiap untuk menawarkan bantuan, saat kemudian dilihatnya tatapan “mengusir” dari gadis itu, membuat si office boy mengurungkan niatnya. Dia berjalan pelan kembali sambil menunduk, dalam hati dia mereka-reka kejadian yang membuat gadis secantik itu berada di luar kamar tengah malam begini.
Gadis itu menundukkan kepala, menahan dengan kedua lututnya, rasa kantuk mulai menyerang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk tetap terjaga. Dia ingin merokok, tapi kemudian membatalkan niatnya. Lalu dia membuka tas, dan mengambil sebungkus permen pedas, dibukanya, memasukkan ke dalam mulut dan menikmati sensasi hangat dari permen tersebut. Tiba-tiba dia merasa ingin buang air kecil. Ditahannya hasrat itu. Tapi hawa dingin justru membuat hasratnya semakin menjadi-jadi. Dia menggerak-gerakkan kakinya yang mulai terasa kaku, perlahan berdiri dan menyandarkan tubuhnya di depan pintu kamar. Dia tidak tahan lagi, maka diketuknya pintu kamar itu. Sepi. Kembali diketuknya pintu kamar, dia berusaha mengalihkan pikiran atas hasrat ke kamar kecilnya dengan terus menggerak-gerakkan kaki. Wajahnya ditempelkan ke pintu kamar tersebut, rasanya dia hampir menyerah, dan memutuskan untuk pergi, saat kemudian terdengar suara pintu dibuka.
“Saya mohon, saya mau pinjam toiletnya...” katanya tanpa basa basi dan langsung menuju ke toilet. Dia berjalan cepat sesudah menubruk pelan tubuh Herman, yang masih tertegun. Gadis itu tahu Herman bukan sosok yang kejam, maka dia membuang pikiran Herman tidak akan mengijinkannya menggunakan toilet di kamarnya,  dan dia berjanji dalam hati bahwa setelah selesai dari toilet dia akan kembali menunggu di luar.

Tak lama kemudian gadis itu keluar dari toilet. Herman duduk di sebuah sofa di sudut kamar, dia masih tidak beranjak dari tempatnya, saat gadis itu menoleh ke arahnya.
“Terima kasih, Pak...saya akan kembali menunggu diluar” katanya tegas dan bersiap melangkah ke pintu.
“Tunggu...”
Gadis itu menahan langkah, hati kecilnya tersenyum.
“Duduklah..” Herman memberi isyarat dengan anggukan, menyuruh gadis itu duduk.
Ragu-ragu gadis itu duduk di sisi tempat tidur, posisi mereka berdua tidak terlalu berdekatan, mereka saling menghadap, berseberangan satu sama lain.
Herman menatapnya, dia masih sangat muda dan... cantik.
“Siapa namamu?”
“Laura..” jawab gadis itu pendek.
Hening sejenak.
“Apa saya boleh merokok...” tanya Laura.
Herman tampak berpikir sejenak, kemudian dia mengangguk.
“Siapa yang menyuruhmu?”
Laura berpura-pura tidak mendengar, dia sibuk membuka tas dan mencari-cari rokoknya, lalu mengeluarkan sebatang, menyalakan dan mulai menghisapnya perlahan.
“Jujur, sebenarnya saya juga tidak tahu..” dia menggelengkan kepala, memberikan penegasan atas apa yang dia katakan.
“selama ini Marcel yang mengurus semuanya, saya hanya menjalankan 'tugas' saya”
Laura kembali menghisap rokoknya lalu mengedarkan pandangan mencari-cari  asbak, tapi dia tidak melihatnya disekitar ruangan. Herman beranjak dari tempat duduk, berjalan menuju toilet, mengambil sebuah asbak kecil kemudian meletakkannya disamping Laura. Aroma harum tubuh Laura sempat tercium oleh Herman, hatinya berdesir, lalu dia kembali ke sofa tempat dia duduk sebelumnya.
Sepi sejenak. Laura masih menikmati rokoknya, menunggu reaksi Herman selanjutnya. Tapi Herman masih diam, tangan kirinya menopang pada sandaran sofa, wajahnya menunjukkan sedang berpikir keras.
“saya minta maaf...” suara Laura terdengar sangat lirih, lebih mirip dengan bisikan.
Herman masih diam, hanya memandanginya, dia tahu tangan Laura gemetar.
“kamu tau berapa lama kamu menunggu di luar..?”
Laura menggeleng, menurutnya itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Bukan hal yang penting apa yang harus dilaluinya tadi, karena hasil akhir lah yang menentukan.
“Aku tidak mengira kalau kamu benar-benar menunggu..”
“Mengapa kamu melakukan semua ini...?”
Laura tersenyum.
“Saya sudah bilang dari awal, bahwa saya hanya menjalankan tugas”.
“kamu gadis yang keras kepala” kata Herman sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Berapa umurmu..?”
“Bulan depan tepat dua puluh satu tahun”
Tiba-tiba Herman berdiri, Laura merasa jantungnya berdetak lebih kencang, dia sudah mengalami hal-hal semacam ini ratusan kali, terjebak dalam suasana yang jauh lebih intim dari sekedar “bicara” dengan lawan jenisnya, tapi entah mengapa dia merasakan kegugupan yang teramat sangat. Herman memiliki pesona besar sebagai seorang pria yang sudah matang. Garis-garis halus di wajah Herman, sikap tenangnya, cara bicara  dan perlakuan Herman yang cukup “menghargai” justru membuat Laura merasa salah tingkah.
Laura sudah membayangkan detail-detail yang akan dilakukannya bila Herman “memintanya”, tapi diluar dugaan ternyata Herman hanya berjalan menuju meja kecil di dekat ranjang untuk mengambil sebotol air mineral.
“Mau minum...?” tawar Herman.
Laura mengangguk, tenggorokannya terasa sangat kering.
Herman berjalan menuju lemari es, mengambil sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Laura.
“terima kasih...” kata Laura pelan.
Herman mengangguk dan kembali ke tempatnya duduk. Dia menatap Laura lalu menghela nafas panjang.
“begini...menurutku kamu pulang saja, katakan pada orang yang telah menyuruhmu datang kesini bahwa kamu telah melakukan tugas..” Herman berhenti sejenak, menghela nafas, berpikir, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Laura masih menunggu apa yang akan dikatakan Herman selanjutnya, tapi ternyata Herman justru berdiri mengambil dompet dari celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu kemudian menyerahkannya pada Laura.
Laura tertegun saat melihat lembaran uang itu disodorkan ke arahnya.
Sejenak Laura merasa aliran darahnya naik ke kepala. Dia mencoba menahan diri.
Hening menyergap. Herman masih berdiri sambil tetap mengulurkan lembaran uangnya.
Laura tidak beranjak dari tempatnya duduk. Dihisapnya rokok sekali lagi kemudian mematikannya di asbak.
“Saya mohon maaf, pak...tapi saya tidak akan meninggalkan kamar bapak, paling tidak sampai besok pagi, terserah apabila bapak tidak 'menginginkan' saya, mungkin kita bisa hanya sekedar ngobrol, atau apa saja, saya bersedia menemani bapak”
Herman menelan ludah. Pikirannya terasa buntu untuk sesaat. Bagaimanapun dia seorang laki-laki normal.
“Saya harus beristirahat...” Herman mengatakan itu pelan.
“Kalau bapak keberatan saya berada didalam kamar, saya bersedia untuk menunggu diluar..” Laura mengatakan hal itu dengan yakin. Walaupun hati kecilnya tahu Herman tidak akan se tega itu terhadap dirinya.
“Saya sudah berkeluarga...” Herman berusaha membuat tindakannya masuk akal.
Laura menatap Herman tajam kemudian terdengar derai tawa dari mulutnya, seakan Herman baru saja mengungkapkan sebuah lelucon. Dia merasa heran dengan tingkah Laura.
“Dari awal saya tahu bapak orang baik-baik, dan saya rasa bapak tidak perlu menjelaskan hal itu pada saya..” Laura mengatakan itu seiring dengan sisa tawanya.
“Apa menurut bapak hal itu penting bagi saya? Bapak salah...saya hanya berusaha bersikap profesional, melaksanakan tugas saya..titik hanya itu, dan saya tidak akan peduli dengan kehidupan pribadi bapak...”
Herman masih diam, menunggu kata-kata Laura selanjutnya.
“menurut bapak, apa arti kesetiaan?”
Herman memandang Laura, kemudian menggeleng.
“Saya tidak perlu menjelaskan pada anda..”
“Kenapa pak? Karena saya hanya seorang wanita panggilan, kupu-kupu malam? Yang tidak perlu banyak tahu soal apapun mengenai kesetiaan atau pemikiran mendalam tentang sebuah hubungan antar manusia? Karena sebagian besar manusia hanya memandang saya sebagai sebuah “alat” demi hasrat mereka? Bahwa mereka beranggapan, saya seakan tidak punya hati dan otak untuk berpikir tentang kata agung 'kesetiaan'?”
Herman tercenung, dia tidak mengira Laura bisa mengungkapkan pemikiran seperti itu.
“Saya sudah banyak belajar dalam umur saya yang masih belum banyak ini. Dan terus terang saya sangat terkesan dengan sikap bapak, saya yakin bapak memiliki kehidupan keluarga yang bahagia, dan seorang istri yang sempurna...”
Laura terdiam sejenak, mencoba mengatur kata-kata.
“Tapi hal ini diluar itu...kesetiaan jauh lebih dalam daripada sekedar 'kekhilafan' atas hasrat seorang laki-laki..”
Herman merasakan jantungnya berdetak lebih kencang, saat Laura menatapnya. Gadis ini ternyata cukup cerdas untuk seorang wanita penghibur.
“Baiklah kalau begitu, mungkin kita bisa ngobrol sebentar...” Herman diam sejenak.
“Menurutku kamu cukup cerdas, untuk ukuran gadis seumuran denganmu”
Laura tersenyum.
“Hidup yang memaksa saya belajar”
“Maaf, bapak ingin mengatakan pemikiran saya tidak sesuai dengan usia atau dengan profesi saya?” Laura mengatakannya dengan sinis.
Herman menggeleng.
“Entahlah, menurutmu bagaimana?”
“banyak yang memandang hina profesi saya, padahal saya justru belajar banyak dari sini. Saya belajar tentang sifat-sifat dasar manusia, terutama laki-laki..”
Herman menghela nafas, dia sendiri tidak yakin dengan apa yang dirasakannya saat ini, tapi jauh di lubuk hatinya ada kekaguman atas sosok Laura yang berusaha disembunyikannya rapat-rapat. Rasanya terlalu cepat untuk menilai seorang wanita penghibur yang cukup cerdas hanya dari beberapa kalimat yang diungkapkannya, bathin Herman berusaha mendasari apa yang dirasakannya dengan logika.
“Kadang saya berfikir, mengapa selalu kami para wanita malam yang disalahkan? Yang harus menanggung dosa besar dan siap dengan api neraka karena profesi ini...bagaimana dengan para klien kami? Apa mereka juga cukup suci dengan 'memakai' kami? Padahal apa yang kami lakukan adalah sekedar untuk mencari nafkah...mungkin bapak menganggap apa yang saya ungkapkan hanya untuk pembenaran atas 'dosa' yang saya tanggung...terserah saja..itu hak setiap orang untuk menilai, dan mengapa 'dosa' ini cenderung melekat pada perempuan? Kadang saya berfikir mungkin memang kodrat wanita bahwa dirinya diukur dari kesetiaan dan hal itu tidak berlaku bagi laki-laki, hasrat hanyalah hasrat yang tidak ada hubungannya dengan arti kata kesetiaan...maaf kalau saya terlalu banyak bicara...”
Herman menggeleng pelan, dia tidak tahu harus mengatakan apa.
“Sudah berapa lama kamu seperti ini...” akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Herman.
“Sudah lama, cukup lama untuk bisa mengerti berbagai jenis tipe laki-laki...”
Herman tersenyum
“Yah, saya tahu, terlihat jelas dari caramu bicara...”
Tiba-tiba Laura berdiri, berjalan pelan menuju jendela besar kamar hotel tersebut, kemudian berdiri mematung, menatap keluar dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Herman hanya memandangi Laura dari tempatnya duduk.
“Saya selalu menyukai malam....entah mengapa, mungkin karena kehidupan saya dimulai dari sini...saat semua orang mulai melepaskan kepenatannya setelah seharian berlari mengejar hari, saya justru sebaliknya baru memulai semuanya, tapi saya berusaha menerimanya sebagai peran yang harus saya jalani, karena hidup tak lebih dari bermain sandiwara, dan tak ada gunanya berusaha menyangkal peran yang harus kita jalankan, paling tidak saya hanya akan menjalani apa yang harus saya jalani...”


Laura menoleh ke arah Herman.
“Apa bapak merasa lelah...? silahkan bapak beristirahat, saya hanya akan menunggu disini...” kata Laura.
“Rasa kantukku sudah hilang dari tadi...” Herman tertawa kecil.
Laura membalasnya dengan tawa pula.
“Begitulah para lelaki saat berdekatan dengan saya...” Laura mengatakan itu sambil menggedikkan bahunya.
Suasana formal mulai mencair diantara mereka berdua.
“boleh saya bertanya sesuatu...?” tanya Laura
“hmmmm..coba saja, tapi aku berhak tidak menjawab kalau menurutku pertanyaan tersebut bukan sesuatu yang pantas dijawab....”
Laura mencibir dalam hati, ego laki-laki...bathinnya.
“Apa bapak bahagia...?”
Hening sejenak.
“kamu sendiri bagaimana? Apa kamu cukup bahagia dengan hidupmu dan duniamu saat ini..?” balas Herman.
“kenapa bapak malah balik bertanya? Ini pertanyaan buat bapak....”
Herman tampak berpikir sejenak dan langsung mengagguk dengan tegas.
“Yah, aku bahagia...” jawabannya terdengar pasti.
“kamu sendiri bagaimana...?” Herman mengembalikan pertanyaan Laura.
“Sejauh ini saya cukup bahagia dengan apa yang saya jalani....karena sebenarnya menurut saya bahagia atau tidak sebenarnya tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapi hidup”
“Saya suka jawabanmu....” kata Herman sambil memandang Laura, kagum.
Laura balas memandang Herman kemudian perlahan dia berjalan mendekat ke arah tempat Herman duduk. Dia bersimpuh dihadapan Herman kemudian menyentuh lembut tangan Herman.
Herman hanya diam, otaknya terasa mati. Dia tidak mampu berpikir apa-apa lagi.
Laura masih memegang tangan Herman, mempermainkan jari-jemari Herman, mengusap lembut cincin pernikahan di jari manis Herman dan tersenyum saat mendapati Herman menatapnya sebagaimana tatapan seorang laki-laki pada wanita.
Perlahan Laura bangkit mendekatkan wajahnya pada wajah Herman dan mencium lembut bibir Herman.
Herman seakan terpaku di tempatnya duduk, tubuhnya terasa beku, hasratnya menggelora selayaknya laki-laki. Bau parfum Laura menerobos hidungnya, memenuhi kepalanya dengan sensasi dimana logika tak mampu lagi membedakan antara benar dan salah. Dia seakan melayang, terbawa oleh nafsu mengikuti permainan yang ditawarkan Laura. Dan kenyataannya pertahanannya sebagai seorang laki-laki telah runtuh. Mungkin ini bukan sebuah kesalahan mungkin ini memang sesuatu yang memang seharusnya terjadi dan bukankah setiap manusia tak luput dari dosa dan khilaf?
Hitam jelaga alam menjadi saksi sebuah dosa. Tentang hasrat atau logika yang berlaku antara hubungan dua manusia. Dan apakah itu benar-benar dosa? Tentang kekhilafan, tentang nafsu dasar manusia yang paling manusiawi dimana tak ada lagi batas norma karena yang tersisa hanyalah hasrat membara disela desah nafas, cucuran keringat dan pergulatan tubuh sebagaimana manusia lahir kedunia, hanya saja mereka telah bergelimang oleh lumpur dosa yang menghitamkan kesetiaan dan nilai-nilai yang seharusnya dijaga antara lawan jenis yang berbeda.
Mereka berdua telah larut dalam keintiman, waktu seakan berhenti, dunia seakan menjadi milik mereka berdua, karena dosa dan kenikmatan adalah racun yang memabukkan manusia.


Pagi menjelang. Herman menatap keluar jendela kamar hotel. Matahari telah tinggi menyebarkan sinar mengisi relung-relung bumi dengan kehangatannya. Sebuah dosa telah terjadi. Herman menyadari ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Membiarkan nafsunya menguasai diri, hingga dia telah kehilangan kontrol untuk tetap berpegang teguh pada “kesetiaan”.
Aku hanya manusia biasa..
aku hanyalah seorang laki-laki normal, sisi bathinnya mencoba membela diri.
Herman sendiri tidak menyangka bahwa dia bisa begitu mudahnya “tergelincir” ke lembah dosa.
Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang.
Laura melingkarkan tangannya ke pinggang Herman dengan lembut. Tapi perlahan Herman melepaskannya. Dia berbalik kemudian menatap Laura tajam.
“Yang terjadi semalam adalah sebuah kesalahan...” Herman menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Dosa itu terasa membakar hati, jiwa dan pikirannya.
Laura menatap Herman tepat di kedua bola matanya, berusaha mencari kejujuran disana. Bagi Laura yang terjadi tadi malam adalah anugerah baginya. Entah mengapa dia tidak bisa menempatkan Herman hanya sebagai seorang klien. Dia merasakan debaran-debaran aneh, kegugupan, bahagia bercampur kesyahduan saat Herman menyentuhnya. Suatu hal yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dan Herman mengatakan bahwa yang telah terjadi adalah sebuah kesalahan.
Ada rasa sakit dalam hati Laura, pahit dan getir yang dirasakan jauh dalam lubuk hatinya. Dia berharap ini adalah sebuah awal dari hubungan yang “mungkin indah”, tapi ternyata sebaliknya, Herman hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang harus diakhiri.
Laura menundukkan kepala, mencoba menahan rasa panas di wajahnya, hatinya tersayat dan sesuatu yang bening terasa mengalir di pipinya. Dia sebenarnya juga tidak tahu pasti mengapa dia menangis, bukankah apa yang dijalaninya selama ini adalah sebuah “peran”? Sebuah permainan yang dia tahu pada akhirnya memang segera berakhir, lalu untuk apa air mata ini? Bukankah dia sudah terlalu sering untuk merasakan kejamnya dunia? Lalu mengapa dia jadi begitu cengeng hanya karena sesuatu hal yang tak lebih dari “rutinitas”nya setiap malam?
Perasaan hati seringkali adalah misteri. Sesuatu yang sulit disatukan dengan logika. Dan saat ini Laura berharap dia akan mampu mengembalikan logika pada tempatnya. Dia bukanlah siapa-siapa, selain hanya aib dunia yang selalu berusaha disingkirkan, inilah perannya dan dia berharap pada satu sisi hatinya yang sunyi bahwa dia akan bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas.
Herman masih menatap Laura. Dia sama sekali tidak mengerti mengapa Laura menangis. Tapi saat ini dia benar-benar merasa tidak mampu berpikir lagi. Perasaan bersalahnya pada Karina sungguh terasa sangat berat untuk ditanggung. Terbayang dalam benak Herman, wajah Karina dan anak-anaknya. Semua sudah terlambat. Sesal selalu datang setelah semuanya terjadi.
“aku minta maaf...” Herman mengatakannya dengan pelan, sangat pelan, seakan-akan kalimat itu sebuah bisikan untuk dirinya sendiri. Karena Herman sendiri tidak yakin atas apa yang diucapkannya.
Air mata Laura semakin deras mengalir. Dia hanya menggelengkan kepala sambil menggigit bibir bawahnya berusaha untuk menahan rasa sakit dalam hatinya.
“Sebenarnya bapak tidak perlu mengatakan hal itu..bukankah dari awal kita berdua tahu apa peran saya saat ini? Saya sendiri juga mengerti mengapa saya menangis...”
Sepi sejenak. Laura berusaha mengatur nafasnya. Diusapnya dengan kasar air mata yang tersisa di pipi dan matanya.
“Justru seharusnya saya yang minta maaf pada bapak...”
Herman hanya diam, tak bereaksi.
Laura segera berlalu dari hadapan Herman, bergegas masuk ke kamar mandi. Tapi sebentar kemudian dia keluar, meraih tas kemudian mencari rokok di dalamnya, lalu dia kembali masuk ke kamar mandi.
Laura menyulut rokoknya dan menghisap perlahan. Dia menatap bayangan dirinya di cermin. Rambutnya masih tampak acak-acakan. Sisa-sisa make up nya sebagian masih tertinggal di wajah. Maskara dan eyelinernya telah luntur, menyisakan bayangan hitam di garis bawah matanya. Aku terlihat seperti setan, bathinnya. Yah, bukankah profesinya saat ini selalu menjadikannya peran antagonis? Karena apapun yang dirasakannya tak pernah jadi hal penting bagi orang lain? Kenikmatan sesaat yang dia tawarkan hanyalah pelepas dahaga para lelaki, tak ada yang memakai hati dan perasaan, semua hanya berdasarkan pada nafsu dan hasrat. Dan justru saat Laura mulai merasakan keintiman secara fisik yang mampu menggetarkan hatinya, dia harus rela melepaskan “seseorang” itu. Mungkin ini hukuman atas dosanya selama ini, sebelum dirinya merasakan panasnya api neraka, dia harus melalui sakitnya siksa dunia karena “cinta”? Laura memukul-mukul kepalanya sendiri. Cinta...? apa aku sudah gila? Pikirnya. Apa orang semacam aku berhak dan pantas mendapatkan itu? Atau hanya sekedar memikirkannya?
Perlahan dia duduk di lantai kamar mandi. Laura menundukkan kepala, menahan dengan kedua lututnya dan merasakan deraian air mata yang mengalir di pipi.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar mandi. Laura tersentak, terbawa kembali ke alam nyata tentang keberadaannya saat ini.
“Laura..., satu jam lagi aku harus keluar, kalau kau memang masih mau disini....”
Suara Herman terhenti sejenak, tampaknya dia sedang berpikir.
Laura bangkit, membuka pintu dan langsung memeluk Herman.
Herman terkejut dengan sikap Laura tapi tetap berdiri mematung.
Laura memeluk erat Herman. Dia ingin untuk sesaat waktu berhenti, membiarkan kehangatan yang mengalir akan dapat mencairkan kebekuan hatinya selama ini. Membawa pagi yang akan menghantarkan mentari menyinari dunianya yang kelam tanpa ada cahaya yang mungkin dapat menuntunnya dari lembah yang gelap pekat. Karena saat ini untuk pertama kali, dia merasakan bahwa kekuatan cinta mampu mengubah semua pemikirannya tentang dunia. Dan sayangnya, rasa itu hadir dan terikat pada sosok yang “hampir tidak mungkin” untuk dimiliki.


5. Firasat

Karina melirik jam di pergelangan tangannya, hemmmm..sudah hampir jam delapan malam, waktu berjalan begitu cepat saat bekerja, gumamnya. Dia meregangkan tangan dan kakinya, berusaha mengurangi penat akibat duduk berlama-lama selama seharian ini. Herman belum menelepon. Entah mengapa awalnya, dia juga tidak terlalu memikirkannya. Mungkin Herman masih sibuk. Tapi entah mengapa, tiba-tiba Karina merasa ada yang mengganjal dihatinya.
Apa yang salah dengan hari ini, Karina bertanya pada diri sendiri. Dia mencoba mengingat-ingat segala sesuatu yang telah dialaminya. Tidak ada yang terlalu istimewa, semua berjalan sesuai dengan jadwalnya. Apa aku telah melupakan sesuatu? Gumamnya lagi, tapi dia merasa semua telah berjalan normal dan sesuai rencana.
Karina meraih telepon selularnya dan mulai mencoba menelepon. Tapi belum sempat terdengar nada tunggu, buru-buru dia mematikan teleponnya saat melihat Yeni rekan sekantornya melambaikan tangan untuk mengajaknya pulang.

Karina merebahkan diri di atas tempat tidur, dengan masih memegang buku yang sedang dibacanya. Sudah jam 11 malam, tapi Herman tak kunjung masuk ke kamar. Dari tadi dia masih tampak sibuk di ruang kerja. Sempat terpikir oleh Karina untuk menghampiri Herman dan mengajaknya tidur, tapi niatnya segera diurungkan saat melihat Herman     terlihat sangat serius dengan apa yang sedang dikerjakan. Entah mengapa Karina merasa akhir-akhir ini Herman sengaja menghindar darinya. Semenjak kepulangan Herman beberapa hari yang lalu, Karina merasa ada yang berubah pada diri Herman. Pada awalnya Karina tidak terlalu merisaukan hal itu, tapi entah mengapa hati kecilnya selalu membisikkan ada sesuatu.
Karina memutuskan untuk turun dari tempat tidur berjalan menuju ruang kerja Herman. Herman masih tampak di depan komputernya. Karina mendekati Herman dan langsung melingkarkan tangannya pada leher Heman.
“Sibuk, Pa...?” bisiknya lembut.
“dikit...” Herman masih tidak melepaskan pandangannya dari komputernya.
“ini tentang apa sih? Kok kayaknya serius banget beberapa hari ini...”
“biasa aja kok..Ma...”
Herman sejenak menghentikan aktifitasnya menatap layar komputer. Dia berdiri melepaskan pelukan Karina perlahan.
“Mau kemana, Pa?”
“toilet..” jawab Herman pendek.
Karina menghela nafas sambil menatap punggung Herman.
Pasti ada sesuatu, bisik Karina pada bathinnya sendiri. Belasan tahun dia menjalani pernikahan dengan Herman, dan kali ini dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Herman darinya. Darah Karina terasa berdesir. Apakah Herman terlibat sesuatu? Berita-berita di koran dan posisi suaminya sebagai seorang Dewan Rakyat sangat memungkinkan terjadi hal-hal semacam itu. Walau Karina tahu pasti bahwa Herman adalah sosok yang kuat, idealis dan cenderung perfeksionist dalam pekerjaannya. Tapi bukankah orang-orang sejenis itu justru yang seringkali menjadi “korban”?
Semoga ini hanya perasaanku saja, bathin Karina.

Karina melihat Herman memasuki kamar. Perlahan mendekati tempat tidur, menarik selimut dan kemudian berbaring disamping Karina.
Karina hanya melirik sekilas, dan kemudian berpura-pura kembali membaca buku di tangannya.
“Apa ada sesuatu, Pa...?” Karina mengatakan itu tanpa menoleh pada Herman, matanya masih mengarah pada buku, seakan-akan pertanyaannya hanya dikatakan sambil lalu.
Herman tidak menjawab, dia hanya mengeluarkan suara hemm..pelan sambil memejamkan matanya.
Karina segera meletakkan bukunya. Berbaring disamping Herman, memandang wajah Herman sambil mengelus lembut pipi Herman.
Herman membuka matanya, menyentuh tangan Karina yang masih membelai pipinya. Digenggamnya lembut tangan Karina sambil membalas tatapan Karina. Entah mengapa Herman merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Beberapa hari ini dia merasa tak sanggup menatap wajah Karina. Hatinya terasa tersayat setiap kali Karina mendekatinya. Sesuatu yang terasa aneh, mengingat mereka telah menikah selama belasan tahun.
Dan saat ini Karina memandangnya dengan penuh harap atas pertanyaan pendek yang dilontarkannya. Ada apa dengan dirinya? Herman sendiri merasa tidak yakin atas apa yang akan dikatakannya nanti. Sebuah kejujuran atau kebohongan yang memang seharusnya dilakukan demi sesuatu yang lebih besar, demi kebaikan bersama, demi cintanya pada Karina, demi anak-anak dan demi keluarganya. Hatinya selalu terasa sesak setiap kali dia mengingat hal ini. Dan kini Karina mungkin telah merasakan perubahannya akhir-akhir ini. Tapi Herman tahu pasti tak ada yang lebih baik dari kebohongan saat ini, bahwa sampai kapan pun dia akan menutup rapat “kekhilafannya” itu. Dan dia tahu pasti itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Tapi bukankah setiap orang punya rahasia?
“Ga ada apa2, Ma...semua baik-baik aja, kok...” akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirnya.
Karina menghela nafas, seakan-akan ada beban yang dipendamnya. Dia tahu Herman menyembunyikan sesuatu, tapi saat ini tampaknya Herman belum ingin berbagi dengan dirinya. Dan dia tidak ingin mendesaknya. Biarlah suatu saat nanti dia akan tahu dengan sendirinya.
Keheningan menggayut diantara mereka, saling larut dengan pikirannya masing-masing. Dan malam pun berjalan merambat. Biarlah waktu yang memiliki jawaban atas semua.


6. Ciuman di Bibir

“Kamu bener-bener kacau beberapa hari ini..” Trisa terdengar menggerutu
Laura mengacak pelan rambutnya seakan berusaha mengusir segala kekalutan yang memenuhi kepalanya.
“sebenernya ada apa sih…?” suara Trisa terdengar kuatir.
“Kamu terlibat hutang? Atau ada yang mengancam kamu…?”
Laura hanya menggeleng.
Suara musik yang riuh rendah mengaburkan suara Trisa.
Laura tidak mempedulikan pertanyaan Trisa. Dia menggerakkan pelan tubuhnya mengikuti alunan musik, berusaha menghibur diri sendiri.
Dihisapnya rokok dalam-dalam. Tapi gundah itu masih terasa memenuhi hatinya. Apa yang telah terjadi dengan diriku? Berkali-kali bathin Laura meneriakkan pertanyaan itu. Tapi sampai kini dia sendiri belum menemukan jawaban yang pasti.
Laura meraih gelas berisi soft drink di depannya. Malam ini dia sedang tidak ingin mabuk. Dia ingin menganalisa secara sadar apa yang sedang dirasakannya akhir-akhir ini.
Berusaha memisahkan batas antara kehidupan nyata dan dunia mimpi yang ada di angannya.
Pun saat dia berada di keramaian, kini dia merasa begitu kesepian, merasa begitu asing dengan dunia yang telah dijalaninya selama ini. Entah mengapa semua terasa begitu aneh setelah dia mengenal Herman. Laura merasa mulai jenuh dan benci dengan kehidupannya kini. Mungkinkah aku sudah gila? tanyanya pada diri sendiri.
“Aku pulang ya?” Kata Laura tiba-tiba, dan langsung berdiri, bersiap meninggalkan Trisa.
Trisa tampak terkejut dengan sikap Laura.
“Hei..kita baru saja sampai…”
“Aku capek nih…” Laura langsung berjalan menuju pintu keluar, melewati beberapa kerumunan kecil orang-orang yang sedang menikmati malam, diiringi hentakan musik dan remang-remang lampu.
“Hei….tunggu…” suara Trisa terdengar jauh di belakang.
Tepat di depan pintu, Trisa berhasil meraih tangan Laura.
“Ada apa sih? Kamu bener-bener gak mau cerita?”
Laura menatap Trisa tepat pada kedua matanya. Dibalik riasan mata tebal dan maskara hitam yang tampak agak berlebihan Laura melihat kesungguhan disana, dan siapa lagi yang bisa diajak “bicara”? Selama ini Trisa lah yang selalu sabar dan penuh perhatian mendengar segala keluh kesahnya.
Tiba-tiba entah mengapa Laura ingin memeluk Trisa.
Didekapnya erat Trisa, dan sebutir air mata menetes di pipi Laura.
Trisa masih diliputi kebingungan dengan apa yang terjadi atas Laura, tapi dia membalas pelukan Laura dan membelai pelan punggung sahabatnya itu.
“Ada café kecil diujung jalan ini,  mungkin kita bisa disana”
Trisa berbisik pada Laura, sambil mengendurkan pelukannya, dan dia semakin bingung saat melihat Laura menangis.

Mereka memasuki sebuah cafe kecil yang letaknya tepat di ujung jalan. Suasananya belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang tampak asyik mengobrol.
Laura dan Trisa sengaja mengambil tempat di sudut cafe. Laura duduk di sofa beludru berwarna coklat tua dan Trisa berada tepat dihadapannya. Mereka hanya dipisahkan dengan sebuah meja kecil. Seorang gadis yang mengenakan stelan serba hitam dan celemek merah mendekati mereka.
“Selamat malam, mau pesan apa, Kak?” tanyanya ramah.
Trisa menoleh ke arah Laura yang hanya diam mengamati sekeliling, tapi Trisa tau pasti pikiran Laura sedang tidak disini.
“Cappucino aja deh, dua..”
Gadis itu mengangguk dan segera pergi dari situ.
“Ada apa sih?.....” Trisa bertanya, suaranya dibuat setenang mungkin.
Laura memandang Trisa seakan mencari kepastian atas pertanyaan itu, karena dia sendiri juga tidak yakin atas apa yang dirasakannya. Semuanya terasa begitu rumit baginya.
“Mungkin....aku ingin berhenti...”
Trisa tampak terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan Laura, tapi dia tetap berusaha menjaga sikap, khawatir Laura merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja diungkapkannya.
“Maksudmu...?” Trisa berpura-pura tidak mengerti, dia hanya ingin meyakinkan atas apa yang baru saja didengarnya.
“Aku lelah, jenuh, dan seringkali berpikir sampai kapan aku akan seperti ini. Suatu saat aku akan menjadi tua, dan tak kan ada lagi yang mau 'memakaiku'....”
Trisa menelan ludah. Dia tampak berpikir sejenak.
“Semua orang tidak ada yang mau selamanya seperti ini...kamu tahu pasti itu...tapi apa yang bisa kita perbuat? Saat ini memang hanya ini yang kita bisa, apa ada yang mengganggumu akhir-akhir ini?”
Laura menggeleng lemah. Dia tahu pasti jawaban itu yang akan keluar dari mulut Trisa.
“Aku jatuh cinta....” suara Laura terdengar sangat pelan dan tidak yakin.
Seketika alis Trisa terangkat, menatap lekat-lekat Laura, mencoba mencari kepastian dari wajah Laura atas apa yang baru saja didengarnya.
Laura mengangguk, meyakinkan Trisa.
“Siapa...?”
“seorang klien...” suara Laura terdengar lirih.
Trisa menghela nafas panjang, sebongkah batu besar seakan-akan baru saja menghimpit dadanya.
“kau mencium bibirnya...?” tiba-tiba Trisa mengatakan hal itu.
Laura tampak terkejut dengan pertanyaan Trisa, dan sedetik kemudian mengangguk lemah.
Trisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, seakan dia ingin menolak apa yang baru saja didengar. Kemudian ditangkupkannya tangan menutupi wajah, dia seperti baru saja mendengar bencana.
“Aku kan sudah pernah mengingatkanmu soal itu? Dari awal kita hidup dari 'dunia' ini, dan inilah akibatnya, kau mulai pakai perasaan saat menjalankan pekerjaan, dan kau tahu itu sebuah kesalahan, kesalahan yang fatal..”
“Tapi..aku benar-benar tidak mampu menahan diriku sendiri, dia begitu mempesona..”
Trisa menghela nafasnya.
“aku sudah pernah mengingatkan hal ini..berulang kali malah...sebisa mungkin hindari ciuman bibir...karena dari situ semuanya bisa berubah, kamu akan 'melakukannya' dengan hatimu....”
Laura diam tak bergeming. Dirinya seakan terlempar kembali pada saat hal itu terjadi.
“Bibirnya terasa hangat, waktu seakan mencair oleh kehangatannya, masuk ke relung hatiku yang terasa dingin sekian lama. Dia melakukannya dengan hati-hati, menyentuhku lembut seakan-akan aku begitu rapuh dan akan hancur karena sentuhannya. Dan aku memang benar-benar larut, seakan ingin menyatu dengan dirinya...”
Trisa bengong, mulutnya ternganga, dia begitu terbawa dengan apa yang baru saja diceritakan Laura. Entah perasaannya atau memang kejadian itu begitu indah dalam bayangan Trisa, suatu hal yang belum dirasakannya setelah sekian lama berganti-ganti dengan laki-laki yang tak terhitung berapa jumlahnya. Dan entah mengapa ada rasa iri  terselip di sudut hatinya. Bercinta baginya adalah sesuatu yang begitu mudah, semudah menjentikkan jarinya, tapi “melakukannya” dengan penuh perasaan dan cinta, benar-benar diluar angan dan bayangan.
“Ini gila...kamu benar-benar jatuh cinta pada laki-laki ini.”
Laura mengangguk.
“Dia sudah beristri, punya dua anak, dan keluarganya tampak sangat bahagia...”
Trisa merasakan beban dalam hatinya semakin berat. Kini dia mulai mengerti atas apa yang dirasakan Laura.
“kau tahu itu gak mungkin, sayang...jangan pernah mencoba berpikir egois untuk memilikinya..” akhirnya Trisa mengatakan itu dengan sangat pelan.
Laura menggigit bibir bawahnya, sekedar menahan pedih yang tiba-tiba terasa menyayat hati.


7. Badai

Karina membaca sekali lagi pesan yang masuk ke telepon selularnya. Sebuah pesan pendek berisi pemberitahuan. “sesuatu telah terjadi dengan suami anda”. Karina berusaha menganalisa kalimat pendek itu. Pesan dikirim dari nomor yang tidak dikenalnya. Karina sempat berpikir ini mungkin sejenis tindak kejahatan penipuan yang ujung-ujungnya meminta tebusan sejumlah uang. Tanpa bepikir panjang lagi, Karina langsung menghubungi Herman, dia sudah mengatur rencana seandainya hal tersebut benar merupakan penipuan.
“Halo..? papa gak papa kan?” Karina berusaha mengatur suaranya agar tidak terdengar cemas.
“Ya, ma...ada apa? Aku lagi rapat nih...”
“mmmhh...okey deh...nanti aja aku cerita..., daagh...”
Klik.
Karina merenung sejenak. Pikirannya terasa kosong. Kemudian dia berusaha menghubungi si pengirim sms. Terdengar nada sambung, beberapa saat tapi tetap tak ada yang mengangkat. Dicobanya sekali lagi untuk menghubungi, tapi hasilnya tetap sama, tak seorang pun menganggat teleponnya.
Akhirnya Karina memilih untuk mengabaikannya. Tapi beberapa saat kemudian kembali masuk sebuah pesan singkat di telepon selularnya. “anda telah dikhianati”.
Degh, Karina merasa sebuah sengatan dalam dadanya.
Kata-kata dalam pesan itu begitu singkat dan cukup jelas. Apa ada yang ingin memfitnah Herman? Bathin Karina. Deburan jantungnya semakin terasa. Dia mencoba mengaturnya dengan menarik nafas dalam-dalam. Terlepas dari benar atau salah pesan itu, Karina merasa ini bukan sesuatu yang main-main.
Entah mengapa tiba-tiba terlintas sikap Herman yang tidak biasa beberapa minggu terakhir ini. Karina tahu ada sesuatu yang disembunyikan Herman, sesuatu yang tampaknya sulit untuk dibagi dengan Karina.
Karina memejamkan mata, membisikkan sebuah doa dalam hatinya. Semua akan baik-baik saja, Karina..katanya dalam hati mencoba berpikir positif atas apa yang baru saja di baca pada telepon selularnya.

Lampu kamar temaram. Karina berbaring di sisi sebelah kiri ranjang. Diliriknya Herman yang tampak memejamkan mata dengan posisi miring menghadap Karina.
“Pa...udah mau tidur? Aku mau tanya sesuatu..”
“Mmmmhh...” Herman mengatakan itu tanpa membuka matanya.
“Akhir-akhir ini entah mengapa aku merasa papa jadi aneh...apa gak ada yang papa ingin ceritakan?”
Herman membuka matanya, tapi mulutnya tetap diam, menunggu kata-kata Karina berikutnya.
“Gak ada apa-apa, ma...” kalimat itu yang meluncur setelah sebuah helaan nafas panjang.
“hari ini ada yang mengirim sms aneh ke handphone ku...” Karina mencoba mengatur suaranya agar tetap terdengar tenang.
Hening sejenak, hanya terdengar suara nafas dan degup jantung masing-masing.
“sms aneh gimana...?” suara Herman memecah kebekuan.
Karina meraih handphone nya dan menyerahkan pada Herman.
“coba papa baca sendiri...”
Herman menerima dan membaca pesan singkat yang ditunjukkan Karina. Cukup lama dia terdiam, merenung, membaca berkali-kali isi pesan singkat itu, sambil otaknya berusaha mengatur kata-kata yang cukup bisa diterima akal sebagai jawaban atas apa yg tertulis dalam sms itu.
“mungkin orang iseng atau salah kirim, ma...” Herman mengatakan itu tanpa berani menatap Karina, dia berpura-pura meletakkan handphone ke meja kecil di samping tempat tidur.
Karina terdiam, menghela nafas dan kemudian menatap lekat-lekat Herman.
“Entah mengapa aku ngerasa akhir-akhir ini papa agak berbeda...”
“maksudmu...?”
“Papa seperti menyembunyikan sesuatu dari aku..”
“mmmh...mungkin itu cuman perasaanmu aja, ma...aku agak capek akhir-akhir ini, banyak persoalan di dewan...”
Karina menghela nafas.
“Kita berumah tangga bukan baru satu-dua tahun, pa...aku tahu persis dirimu...” Karina sengaja menggantung kalimatnya.
Karina mengulurkan tangannya berusaha memeluk Herman, degup jantung Herman sangat terasa di dadanya.
Herman meraih kepala Karina dan mengecup keningnya lembut. Ada sesak dalam dadanya, pikirannya buntu, otaknya terasa mati. Dipeluknya erat Karina.
..maaf..kata-kata itu memenuhi kepala Herman. Haruskah dirinya berterus terang? Herman tahu pasti Karina tidak akan menerima begitu saja apa yang dikatakannya. Karina cukup cerdas untuk bisa membaca apa yang telah terjadi akhir-akhir ini dengannya. Tapi Herman benar-benar 'belum' merasa siap, atau bahkan tidak akan pernah siap akan hal itu. Apakah keterusterangannya nanti bisa membuat keadaan menjadi lebih baik? Karena dia sendiri merasa begitu sangat tersiksa “menyembunyikan” hal itu pada Karina. Apa yang akan dikatakannya pada Karina? Mengatakan bahwa apa yang telah terjadi tidak lebih hanyalah sebuah kekhilafan hasrat seorang laki-laki? Tentang sebuah “jebakan” yang termakan olehnya karena pesona gadis itu? Atau memang sesuatu yang terjadi begitu saja dan bisa dialami setiap laki-laki manapun dalam kondisi seperti itu..?
Herman mempererat pelukannya. Dia sangat yakin tak akan menukar Karina dengan apapun di dunia ini. Apa yang terjadi dengan Laura bukanlah apa-apa, semua tak lebih dari sekedar hasrat.
Karina masih terdiam dalam pelukan Herman. Dia semakin yakin telah terjadi sesuatu pada suaminya. Benarkah apa yang dibacanya pada sms itu? Sungguh sulit dipercaya kalau Herman sampai menghianatinya. Apa yang salah dengan diriku selama ini? Seperti apa wanita itu? Berapa lama mereka berhubungan, dimana mereka saling mengenal, apa saja yang telah mereka lakukan. Jantung Karina terasa berdegub kencang membayangkan hal itu. Sekarang dirinya bimbang harus tetap berpura-pura bahwa memang tidak terjadi sesuatu dengan Herman atau berusaha mendesak Herman untuk mengatakan yang sebenarnya. Bagaimanapun kejujuran diatas segalanya, walaupun itu tidak selalu berarti memperbaiki keadaan.
Perlahan Karina meregangkan pelukan Herman, meletakkan kedua telapak tangannya pada pipi Herman dan menatap lekat tepat pada mata Herman.
“ceritakan yang sebenarnya, Pa..sepahit apapun itu aku akan berusaha untuk menerima...” kalimat itu meluncur perlahan dari bibir Karina.
Herman menelan ludah, bibirnya kelu. Hatinya masih dipenuhi kebimbangan untuk berterus terang atau tetap berusaha menutupi, tapi dia tahu tak mungkin lagi menutupi hal ini dari Karina. Mungkin memang sudah saatnya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia tahu Karina wanita yang bijaksana dan berpandangan luas, dia berharap Karina bisa memahami situasi atas apa yang terjadi. Tapi wanita mana yang bisa menerima “penghianatan”? Sisi bathin Herman yang lain berontak.
Herman menghela nafas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya. Dipandanginya Karina lekat-lekat, wanita yang telah setia mendampingi dirinya selama belasan tahun, wanita yang telah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan anak-anaknya, dan Herman semakin yakin dia tidak mungkin  terus menyimpan dosanya, karena itu hanya akan menjadi beban selama hidupnya.
“maafkan aku, Ma....” bisik Herman
Karina menghela nafas, dadanya berdebar kencang, dia tahu sebentar lagi ketahanan dan ketegarannya sebagai seorang wanita akan diuji.
Karina bangkit dari tempat tidur. Duduk di sisi ranjang berusaha menenangkan hatinya sendiri. Herman mengikuti apa yang dilakukan Karina, bangkit dari tempat tidur kemudian berjalan perlahan, duduk bersimpuh di lantai menatap Karina sambil menggenggam erat tangan Karina. Perlahan diciumnya tangan itu, sudut matanya telah basah. Penyesalan yang menusuk-nusuk hatinya selama ini berusaha dilepasnya melalui air mata.
Karina masih diam, pikirannya dipenuhi suara-suara tentang kesetiaan dan penghianatan. “siapa wanita itu?” suaranya tercekat, sekuat apapun dia berusaha tegar tapi tak mampu menahan air matanya yang mulai meleleh. Dunianya terasa berputar-putar.
“Maafkan aku, ma..aku khilaf...semuanya terjadi begitu saja...dan itu hanya terjadi sekali...” Herman terdiam tak tahu harus mengatakan apalagi atau bagaimana cara dia mengatakannya agar tidak menyakiti hati Karina, tapi otaknya benar-benar buntu, dia merasa tak mampu menemukan kata dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi saat itu terjadi, karena semuanya terjadi begitu saja.
Tiba-tiba Karina berdiri, disentaknya dengan keras tangan Herman, hatinya benar-benar terluka, dia tahu bahwa hal ini yang akan dihadapinya, tapi tetap saja ada sebilah pisau yang terasa menusuk hati saat dia mendengarnya sendiri dari mulut Herman, karena pada awalnya Karina berharap bahwa ini hanyalah perasaannya saja, bahwa sebenarnya Herman tak akan pernah menghianatinya.
Karina bejalan ke sudut kamar, menatap keluar jendela yang tirainya setengah terbuka. Berusaha mengendalikan emosinya yang meluap-luap. Ini terlalu menyakitkan, setegar apapun dia berusaha.



8. Anugerah dan Malapetaka

Laura menelusuri deretan angka-angka di kalender. Sesekali bibirnya bergumam sendiri, menghitung-hitung dengan jarinya dan kemudian menghela nafas panjang. Wajahnya masih terlihat datar, lalu bergegas dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Dibacanya seksama petunjuk penggunaan benda kecil itu, kemudian masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian entah mengapa Laura merasa akan ada perubahan besar dalam hidupnya. Ditatapnya lekat-lekat testpack kehamilan di tangan kanannya. Wajahnya begitu cerah menatap benda kecil itu, dua garis merah cukup membuat hatinya terasa dipenuhi bunga-bunga segar musim semi. Entah mengapa dia begitu merasa “ringan” saat ini. Hidupnya yang terasa kosong tiba-tiba seperti menemukan sebuah sinar yang mungkin akan mengisi hari-hari suramnya selama ini.
Ini adalah anugerah, pekiknya dalam hati.


Karina terdiam mematung memandangi tumpukan buku dihadapannya. Gejolak bathinnya beberapa hari ini berusaha diredamnya dengan menenggelamkan diri dalam buku-buku. Menekuri setiap huruf, kata, dan menjejalkan dalam otaknya untuk sekedar menemukan sebuah rangkaian kalimat yang mungkin akan mampu meringankan beban yang dirasakannya akhir-akhir ini.
Perasaan yang terhianati, apa yang bisa ditelaah dengan akal sehat mengenai itu? Selain rasa sesak, ketidaknyamanan saat tidur, detak jantung yang tidak teratur, pusing kepala yang semakin sering datang, kesemuanya hanya menyangkut keadaan fisik yang mengalami efek dari perasaan itu sendiri. Padahal Karina menyadari bahwa dirinya membutuhkan lebih dari sekedar definisi “sakit” atas fisik. Dia ingin sebuah “pencerahan” tentang apa yang sedang dialaminya saat ini. Sebuah kekuatan baru untuknya menjalani hari-hari ke depan yang pasti tidak sama lagi setelah apa yang terjadi.
Berhari-hari dia membaca buku, merenung, mengendapkan apa yang dibaca dan dirasakannya saat ini, hingga sampai pada satu kesimpulan mungkin waktu yang akan mampu menyembuhkannya.
“ikhlas” itu satu kata yang banyak ditemukannya dalam berbagai literatur yang dibacanya. Tapi tahu apa para penulis buku itu tentang definisi “ikhlas” itu sendiri selain hanya rangkaian enam huruf yang berusaha diwujudkan untuk mewakili perasaan atas “kelapangan hati” tentang sebuah dosa?
Bukan hal mudah untuk bisa menerima keadaan bahwa seorang yang kita beri kepercayaan sepenuh hati dan raga, bisa “menanggalkan” hal itu dengan mudahnya demi sebuah kenikmatan sesaat. Mungkinkan itu hanya sekedar hasrat liar laki-laki? Atau jebakan suasana? Atau sebuah pembuktian ego diri?
Karina menghela nafas panjang berusaha mengisi penuh paru-parunya dengan oksigen, kepalanya kembali terasa berdenyut-denyut.


9. Pembenaran

“Apa yang kau harapkan dari aku, Pa..?” tiba-tiba Karina meluncurkan kalimat itu.
Herman tampak terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan Karina.
“Maksudmu apa, Ma..?”
“Bagaimana sikapku dalam masalah ini? Apa yang Papa harapkan...?”
Herman terdiam. Tercenung sejenak kemudian menatap mata Karina dalam-dalam.
“Ga ada, Ma...” Herman mengatakannya seraya menggelengkan kepala.
“Aku tak punya hak untuk meminta hal itu. Aku sadar dosa yang aku lakukan cukup dalam melukai perasaanmu. Mungkin satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah bagaimana agar aku bisa menghapus luka itu...dan aku sangat sadar bahwa bukan hal yang mudah untuk melaluinya. Sungguh, aku tak pernah punya niat untuk menyakitimu. Aku juga sangat tersiksa dengan dosa ini, akan aku lakukan apa saja untuk bisa menebusnya, tapi yang paling membuatku sakit adalah melihat air matamu yang terus mengalir atas perbuatanku. Sungguh aku juga sangat tersiksa atas kekhilafan yang telah aku lakukan...”
Karina mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Hatinya masih terasa sesak. Bibirnya bergetar, berusaha mengucapkan sesuatu. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya serupa gumaman yang dirinya sendiri juga tidak tahu apa yang ingin diungkapkannya.
Hening sejenak menyelimuti mereka berdua. Kamar itu terasa begitu dingin.
“Aku berusaha memahaminya sebagai sebuah kekhilafan, Pa..” suara Karina mencairkan kebisuan diantara mereka.
“berusaha mengerti bahwa ada perbedaan besar dari sebuah hasrat dengan kesetiaan. Tentang kebutuhan laki-laki dan keinginan hati untuk menjaga kesucian pernikahan. Tapi siapa yang menentukan batas ukuran itu? Beberapa hari ini aku berusaha menempatkan diriku dalam situasimu. Berusaha berfikir sebagai seorang laki-laki yang terjebak dalam sebuah kamar dengan seorang wanita cantik yang merelakan seluruh tubuhnya untuk dinikmati, dan keadaanmu sangat memungkinkan untuk itu...” Sejenak Karina menggantung kalimatnya.
“Please, Ma....jangan terus siksa dirimu dengan ini...”
“Tolong biarkan aku meneruskan ini...” suara Karina mulai meninggi.
“aku bahkan tidak percaya pada diriku sendiri.. ternyata perlahan aku bisa menerimanya, menerima hal itu sebagai sebuah kekhilafan..”
Karina menghela nafas.
“Tapi itu bukan berarti bisa begitu saja menghapus luka dalam hatiku... rasa sakit itu masih tinggal dan aku sendiri juga tidak tahu akan bertahan sampai kapan.. bahkan mungkin tak akan pernah hilang. Dan selama aku melalui proses ini mungkin tidak akan mudah bagi diriku menerimamu seperti dulu lagi. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa berpura-pura menipu diri seakan hal itu tak pernah terjadi...”
Sejenak keheningan menyergap.
“apa yang terlintas dalam benakmu saat 'melakukan' itu...?” Karina menatap Herman dengan sinis.
Tak ada jawaban. Herman berharap apa yang baru didengarnya hanyalah sekadar halusinasinya sendiri. Bahwa sebenarnya pertanyaan itu tak pernah dilontarkan oleh Karina, tapi ternyata itu memang kenyataan. Herman menatap wajah Karina, dia sedang menunggu apapun yang akan keluar dari mulutnya, sebagai pengakuan dari seorang laki-laki yang berkhianat atas janji suci.
Lama Herman tercenung, menemukan rangkaian kata yang sekiranya tak akan melukai Karina, tapi itu sangat mustahil. Apapun yang dikatakannya pasti akan menyakiti Karina.
Herman menggelengkan kepalanya setelah beberapa saat. Tapi dia belum berani menatap wajah Karina lagi. Kepalanya tertunduk, menatap lantai marmer di kamarnya.
“Apa sedikitpun tak terlihat dalam pikiranmu tentang aku dan anak-anak...? apa memang semudah itu 'kekhilafan'...? tolong bantu aku meredakan rasa marah ini...aku juga tersiksa dan ingin menghilangkannya....” suara Karina melengking, emosinya tercurah, jiwanya terbakar amarah dan cemburu.
Tiba-tiba saja Herman memeluk Karina, direngkuhnya kepala Karina dalam dekapan. Tubuh Karina terguncang-guncang seiring isakan tangisnya. Hasratnya ingin berontak dari dekapan Herman, tapi tubuhnya tak kuasa lepas dari pelukan itu. Akhirnya dia hanya pasrah, membiarkan airmatanya membasahi dada Herman, sambil berharap bahwa suaminya itu memahami seberapa dalam “rasa sakit”nya atas perbuatan itu.



10. Sebuah Akhir

Mobil sedan berwarna hitam itu masih terparkir di pelataran gedung Dewan Rakyat, berjajar rapi bersama mobil-mobil mewah lainnya. Pemandangan yang khas dari sebuah potret “kemapanan” para wakil rakyat. Suasana sore itu tampak muram karena mendung yang menggelayut di atas kota.
Laura masih berada dalam mobilnya, sudah sejak sejam yang lalu. Dia melakukan peregangan ringan dengan tangan dan kakinya, sekedar mengusir penat dan rasa bosan yang mulai menyerang. Matanya tak lepas dari mobil sedan hitam dengan nomor polisi yang sudah dihapalnya diluar kepala. Sesekali diketuk-ketukkannya ibu jari dan telunjuknya pada setir mobil, mengikuti irama dari musik yang mengalir dari radio yang diputarnya. Dia sudah merasa sangat jenuh dan hampir memutuskan untuk kembali, saat dilihatnya sosok yang begitu dikenalnya selama ini walau hanya sekedar dalam mimpi-mimpinya.
Herman berjalan tenang menuju mobilnya. Dia baru saja membuka pintu mobil dan bersiap masuk ke dalam ketika disadarinya ada seseorang sedang melihat ke arahnya. Jantungnya seakan berhenti beberapa detik. Sentakan atas rasa keterkejutan, membuatnya hanya mampu diam dan tak mampu berpikir. Tapi perasaannya mengatakan ada sesuatu yang buruk akan menimpanya. Entah kenapa, Herman merasa hidupnya dekat dengan kesialan sejak bertemu dengan gadis itu. Dan dia mulai berdoa dalam hati bahwa kesialan itu akan segera berakhir hari ini.
“Saya mau bicara, pak...”
“mmmhh...apa yang kamu inginkan..” Herman berusaha menyembunyikan gelisah dengan menghela nafas panjang.
Laura tidak segera menjawab. Dia membuka tas mengeluarkan sebuah amplop kecil berisi sesuatu di dalamnya.
“Saya ingin bapak melihat ini...” Laura berkata seraya menyerahkan amplop itu.
Herman ragu-ragu menerimanya. Ada kekhawatiran bahwa Laura akan terus menariknya dalam permainan kalau dia menuruti keinginan wanita itu, tapi dia juga berpikir bahwa mungkin dia bisa mengakhirinya hari ini, menegaskan akan keberadaan wanita itu dalam hidupnya hanya memberikan beban, dan apa yang terjadi tidak lebih dari sebuah “kesialan” yang dialaminya. Dan ini mungkin bisa diawali dengan apa yang diserahkan Laura saat ini dengan satu syarat bahwa wanita itu akan segera pergi dari hidupnya.
Herman menghela nafas lagi.
“Aku mau menerimanya dengan satu syarat, bahwa kamu berjanji tidak akan pernah mengganggu kehidupanku lagi”.. Herman merasakan jantungnya berdetak cepat saat mengatakan itu, emosi telah membuat darahnya terasa berdesir-desir.
Laura hanya diam, menatap tajam ke mata Herman, lalu tersenyum sinis.
“Bapak berharap bahwa amplop kecil ini adalah sebuah akhir, padahal itu bisa jadi sebuah awal. Sesuatu bisa dimulai dari sini” Laura mengatakan itu sambil mengacungkan benda kecil itu. Dalam diri Laura, dia merasa begitu yakin bahwa apa yang dibawanya akan bisa mengubah sikap Herman atas dirinya. Bahwa sesuatu didalam amplop kecil itu seakan sebuah jimat untuk Laura mendapatkan Herman seutuhnya.
Herman tidak mau berdebat lagi, diraihnya amplop kecil itu dari tangan Laura dengan sedikit kasar, menghela nafas sambil tampak berpikir sejenak, lalu mulai membukanya.
Herman melihat sebuah alat test kehamilan yang menunjukkan dua garis merah di atasnya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Herman, dan Laura masih menunggu, dia merasa jantungnya berdetak lebih kencang, ada kekhawatiran dalam hatinya, sesuatu yang tidak dirasakan sebelumnya. Beberapa jam sebelum menuju kantor Herman, Laura merasa bahwa dia akan menjadi seorang pemenang. Apa yang diimpikannya selama ini tentang Herman akan menjadi kenyataan. Walaupun Laura sadar bahwa jalan yang dilaluinya tidak akan mudah, tapi dia begitu yakin Herman akan menjadi miliknya, dengan cara apapun. Tapi sikap Herman yang dilihatnya saat ini mampu mengacaukan pikiran Laura atas keyakinannya beberapa waktu yang lalu.
“Apa ini sebuah lelucon...” suara Herman terdengar datar.
Laura menatap Herman dengan pandangan tak mengerti. Apa yang lucu dari semua ini.
“Ini anak bapak…” Laura mengatakannya tanpa ragu sambil menatap tajam Herman.
“Dan menurutmu akan percaya begitu saja dengan apa yang baru saja dengan apa yang kamu katakana?”
Bapak HARUS percaya, karena itu kebenarannya…”
“Maaf, aku harus mengatakan ini..siapa yang bisa menjamin kalau janin yang kau kandung adalah darah dagingku, ini menyangkut profesimu…” Herman berusaha menenangkan hatinya sendiri. Tapi gemuruh yang ada dalam dadanya semakin terasa. Rasa takut sedang melingkupinya kini.
Laura diam, bibirnya bergetar menahan segala perasaan dalam dirinya. Ini menyakitkan, terlalu menyakitkan baginya. Dengan segala mimpi dan harapan yang telah dia simpan dan bawa sampai disini lalu harus menghadapi kenyataan yang jauh dari bayangannya. Dia mulai merutuki dirinya sendiri yang terlalu naïf. Cinta seringkali membuat orang jadi bodoh…! Jeritnya dalam hati.
“Tolong pergi dari kehidupanku..aku mohon padamu, itu sebuah kesalahan besar dalam hidupku, kuharap dirimu bisa mengerti..” suara Herman terdengar lirih, seakan dia sendiri tak yakin dengan apa yang baru saja dikatakannya, memohon pada seseorang atas sebuah kesalahan.
Laura masih diam. Kemudian melangkah pergi menjauh, berjalan pelan menuju mobilnya,
Herman menarik nafas lega. Dia sendiri tidak menduga akan semudah itu Laura pergi, dengan sebuah kalimat permohonan darinya.
Herman bersiap masuk ke mobilnya, saat kemudian terdengar sebuah teriakan.
“Saya mencintai bapak…. Saya benar-benar jatuh cinta pada bapak. Banyak hal yang bapak tidak tahu bahwa perasaan ini memiliki arti besar dalam kehidupan saya.. “
Herman menoleh dan terkejut dengan apa yang apa yang dilihatnya. Laura sedang memegang sebuah botol berisi cairan di tangan kiri dan tangan kanannya memegang pemantik api.
“Apa yang kamu lakukan…?” Herman ragu-ragu mendekat.
Keributan itu tampak mengundang perhatian beberapa orang yang sedang berada di pelataran parkir tersebut. Beberapa orang mendekat tapi tidak berani mengambil tindakan.
Laura masih berteriak-teriak, wajahnya basah oleh airmata, rambutnya kusut masai, dan kedua tangannya masih memegang botol kecil berbau bensin dan pemantik api.
“Laura, tolong…jangan lakukan itu, kamu cukup cerdas untuk bisa berpikir panjang” Herman berusaha mendekat, mencoba meraih tangan Laura yang memegang pemantik tapi Laura menghindar.
“Terima kasih.. atas apa yang pernah terjadi, bapak tidak akan pernah bisa melupakan dan menghapus begitu saja apa yang sudah terjadi. Terima saja kenyataan itu bapak Herman yang terhormat…!! Itu dosa yang harus kau tanggung seumur hidupmu, …”
Laura mengucapkan kalimat itu seraya menyiramkan cairan di botol kesekujur tubuhnya, dan langsung menyulut pemantik api kearah tubuhnya.
Api berkobar, membakar tubuh wanita itu, semua orang yang menyaksikan berteriak-teriak, sebagian berusaha menyelamatkan, sebagian berlarian menghindar dari kobaran api ditubuh Laura. Herman hanya tercengang menyaksikan apa yang ada dihadapannya.
“penyesalan selalu datang terlambat….”


Behind the scene:
Thank’s buat yang udah support sampai selesainya cerpen (panjang) ini. Maaf agak lama penyelesaiannya.
Thank’s juga buat temen-temen yang sudah “rela” di survey demi ke-realistisan cerita.
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tempat dan cerita hanya kebetulan
Tayangan ini hanya untuk hiburan semata
And…don’t try this at home…ok?! Hehehhehe…