Karina:
Aku tergugu di sudut kamar. Tubuhku bergetar hebat. Kupeluk erat
kedua lututku, berharap dapat menahan organ2 dalam tubuh yang seakan mendesak
keluar dari tempatnya. Kepalaku terasa berdenyut2, isak tangis yg menyesakkan
membuat bahuku terguncang guncang, aku tak punya kontrol lagi atas tubuhku
sendiri. Penghianatan, yah.. satu kata yang hanya terdiri dari beberapa huruf
itu ternyata memiliki reaksi yang cukup dahsyat atas tubuh manusia.
Padahal aku telah begitu sering
mendengarnya, melihat atau sekedar selentingan2 disekitar, televisi, koran,
majalah begitu mudah aku menemukan tema ini,
seakan hal semacam itu hanyalah bunga dalam kehidupan.Tapi sungguh,
sungguh segalanya berbeda saat aku harus mengalaminya sendiri.
Kulihat dia disana, , lelaki yang aku cintai dengan sepenuh jiwa
ragaku, diam mematung di sudut tempat tidur. Seakan tubuhnya terpaku, lengket
dengan ranjang yang selama ini menjadi saksi keintiman cinta kita. Matanya
tampak menerawang. Kosong. Apa yang ada dipikirannya saat melakukan "hal
itu"? Secara sadar menghianati aku
yang telah belasan tahun setia mendampinginya. Itu yang terus menerus memenuhi
otakku, menimbulkan gema yang menyakitkan,
menusuk nusuk hati dan jantungku.
Aku wanita yang mandiri secara financial, aku punya karierku
sendiri, tapi sebisa mungkin aku selalu menjadi istri dan ibu yang baik. Aku
selalu berusaha sempurna dalam segala hal. Terbukti dua anakku punya prestasi
yang bagus di sekolahnya. Semuanya aku jalani dengan ikhlas, peran ganda sebagi
wanita karier, istri sekaligus ibu. Tapi tak pernah terbayangkan dalam benakku
bahwa aku harus menjalani peran ini, peran sebagai seorang istri yang
dikhianati oleh seorang lelaki yang telah belasan tahun menjadi suaminya.
Dan kini dia menyerahkan semua bebannya ke pundakku. Terserah
apa yg akan kau lakukan? Hanya itu yang dia lontarkan. Aku bahkan tak tahu lagi
atas apa yang kurasakan saat ini.
Aku bahkan tak punya kekuatan lagi untuk berdiri. Seakan
tulang-tulangku telah dilolosi dari tubuh. Cinta dan kesetiaan ternyata begitu
menyakitkan. Memaksa untuk mengesampingkan keegoisan, walaupun hal itu harus
ditukar dengan perasaan remuk redam. Satu sisi hatiku mengatakan: manusia tak
luput dari dosa, mungkin dia hanya khilaf, seperti yang dikatakannya. Maaf?
Hanya kata-kata maaf, apa itu cukup untuk menebus apa yang telah dia lakukan?
Satu sisi lain menentangnya. Ini tidak semudah membalik telapak tangan, bukan
hanya persoalan hitam dan putih, aku terjepit diantara warna abu-abu, antara
cinta dan harga diriku sebagai seorang wanita.
Herman:
Aku memang benar-benar seorang pengecut. Begitu teganya telah
menghianati wanita yang selama ini telah begitu baik. Dia wanita yang sempurna.
Aku selalu nyaman berada di dekatnya. Tapi kenapa aku begitu tega menyakitinya
seperti ini. Semua gara-gara gadis itu. Yah, seharusnya dia tidak masuk dalam
kehidupanku. Bukan, seharusnya aku tidak "membiarkannya" merusak
kehidupanku. Hanya karena kekhilafan sesaat, aku telah menghancurkan
pernikahanku sendiri. Begitu mudahnya manusia tergelincir dalam lumpur dosa.
Aku hanya manusia biasa, sebuah pembenaran atas kekonyolan yang harus kubayar
mahal. Gadis itu, yah..gadis itu menawarkan racunnya, dan dengan bodohnya aku
menerima racun itu. Kini aku harus merasakan akibatnya. Aku takut kehilangan wanita yang telah
menjadi ibu dari anak-anakku. Itu akan sangat menyakitkan. Tapi yang lebih
menyakitkan saat aku harus melihatnya teduduk lemas, tanpa henti menangis,
menanyakan apa salahnya sampai aku begitu kejam melakukan hal ini kepadanya.
Sungguh aku tak mampu harus mengatakan apa, karena semua terjadi begitu saja.
Yah, begitu saja..
Laura:
Aku terlahir cantik, dan itu bukan suatu kesalahan. Itu
anugerah...anugerah besar yang memang seharusnya aku nikmati. Dan aku
menikmatinya dengan cara menggunakan sebaik mungkin. Aku tahu bagaimana
memanfaatkan kecantikanku, aku bisa mendapatkan semua pria yang aku inginkan.
Pengacara, Insinyur, pejabat negara, eksekutif muda, semua jenis laki-laki. Aku tidak terlalu
peduli dengan status mereka. Pernikahan? Aku menganggapnya hanya sebagai status
rapuh yang tidak terlalu penting dalam hal ini. Aku tidak pernah berharap
banyak dari hubungan-hubungan yang pernah aku jalani. Semua hanya sementara,
pada tempat dan waktu yang seharusnya. Aku tahu kapan saatnya memulai dan kapan
harusnya diakhiri. Setiap lelaki memiliki sisi “liar” dalam dirinya, dan itu
kelemahan mereka.
Lalu aku bertemu dengan dia. Awalnya tidak ada yang istimewa,
dia tak lebih dari seorang klien. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku begitu
terobsesi dengan dirinya. Aku ingin memilikinya. Aku ingin tahu seperti apa
keluarganya, istri, anak-anaknya...sesuatu yang tak pernah aku alami
sebelumnya. Dan setelah sesuatu terjadi diantara kita, dia hanya bilang, ini
sebuah kesalahan -sesuatu yang seharusnya tak boleh terjadi- dan kemudian dia
ingin semuanya berakhir, begitu saja. Tidak ada yang pernah memperlakukan aku
seperti ini, aku yang punya hak untuk memutuskan kapan sesuatu dimulai dan
kapan harus berakhir.
1. Pertemuan
Suasana cafe masih tampak sepi. Hanya ada beberapa meja yang
sudah terisi. Disebuah sudut dekat kasir tampak seorang ibu muda sedang
bercanda dengan anaknya yang berumur sekitar 3 tahun. Sang suami tampak begitu
menikmati peristiwa di depannya, tertawa bahagia sambil sesekali menatap mesra
istrinya. Laura tersenyum melihat hal itu. Sebenarnya dia juga tidak terlalu
memahami mengapa dirinya begitu senang melihatnya, mungkinkah jauh di lubuk
hatinya dia juga memimpikan pemandangan yang ada dihadapannya saat ini? Dia
tidak terlalu peduli. Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan.
Disisi lain tampak seorang eksekutif muda duduk sendirian,
memandangi blackberry nya, tapi sesekali dia melirik ke arah Laura yang duduk
sendiri. Mata eksekutif muda itu tampak
mengerling dan tersenyum menggoda Laura.
Mungkin di lain waktu aku akan menanggapi “ajakan” itu, tapi
tidak saat ini dan mungkin nanti ke depannya tak akan pernah lagi, bathin
Laura. Hari ini dia akan bertemu dengan Karina. Istri sah dari lelaki yang
“mungkin” dicintainya. Terlalu dalam untuk mengkategorikan apa yang
dirasakannya sebagai sebuah cinta. Bagi Laura hidup tak lebih dari menang dan
kalah. Tapi itulah kenyataannya sekarang. Dia rela menyingkirkan keegoisannya
untuk bertemu dengan Karina. Dari awal Laura memang tak punya niatan untuk “bersembunyi”.
Bahkan dirinya sendiri yang memberitahu Karina bahwa diantara dia dan Herman
telah terjadi sesuatu. Dan hari ini Laura merasa penting memberitahu Karina
tentang detail hubungan yang telah dijalaninya dengan Herman. Seorang wanita
pasti akan sangat terluka mengetahui laki-laki yang telah belasan tahun menjadi
suami, telah menduakan cintanya. Dan Laura berharap dengan pertemuan ini,
Karina akan bisa menerima keadaan, dan menerima kenyataan bahwa memang dirinya
lebih segala-galanya dari Karina. Dikeluarkannya sebuah kaca kecil, mematut
sebentar dirinya didepan cermin kecil itu, menambah pulasan bibirnya dengan
lipstik berwarna pink muda. Laura tersenyum sinis, dalam hati dia sangat yakin
bahwa dialah yang akan menang.
Karina menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran
jantungnya yang tak menentu. Keringat dingin keluar melalui pori-pori jemari
tangannya. Dipejamkannya mata sejenak, menyandarkan kepala di jok mobilnya,
telinganya terasa berdenging-denging, perasaan galau tak menentu masih menyergap
hatinya. Aku tetap harus melalui ini, batin Karina. Ini adalah proses yang
harus dia jalani, walau sungguh terasa berat, tapi dia yakin bahwa ini yang
terbaik.
Ditariknya nafas dalam sekali lagi. Tissue yang berada
digenggamannya telah hancur basah oleh keringat dan remasannya, persis sama
dengan perasaannya yang remuk redam. Perlahan dibukanya pintu mobil, turun
dengan hati-hati, mencoba menggapai keseimbangan dalam dirinya. Kaki-kakinya
masih terasa sangat berat untuk melangkah.
Aku pasti bisa melalui semua ini, tegasnya kembali dalam hati.
Mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dalam dirinya. Dan dia pun melangkah
masuk menuju cafe dimana wanita yang telah menjadi duri dalam rumah tangganya
menunggu disana.
Jantung Laura terasa berdetak lebih cepat saat dilihatnya
sesosok wanita memasuki pintu cafe. Dia berusaha mengingat ingat apakah wanita
itu adalah sosok yang pernah dilihatnya di dompet Herman. Laura masih diam tak
bereaksi, tapi saat melihat wanita itu tampak mengedarkan pandangannya seperti
mencari-cari seseorang, dia mulai yakin, bahwa wanita itu adalah Karina.
Sedikit ragu dilambaikannya tangan ke arah wanita itu, dan dilihatnya wanita
itu tersenyum ke arahnya, sebuah senyum tipis yang dipaksakan, pasti untuk
menutupi luka hatinya, bathin Laura, dan dia membalasnya dengan senyum termanis
yang dia miliki, hatinya semakin yakin dia lebih pantas untuk Herman.
Perlahan tapi pasti Karina berjalan menuju tempat duduk Laura.
Entah darimana tiba-tiba dia memiliki kekuatan itu. Perasaannya sedikit terasa
lebih ringan dibandingkan saat dia memasuki pintu cafe tadi. Mungkin saat
manusia dihadapkan pada kenyataan pahit, justru disitulah kekuatannya akan
muncul, batin Karina.
Akhirnya sampailah Karina dihadapan Laura. Sosok Laura sedikit
lebih muda dari apa yang dibayangkannya. Dan harus diakuinya bahwa Laura memang
cantik, kecantikan yang bisa membuat lelaki manapun bertekuk lutut di
hadapannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak dimiliki oleh wanita lain.
Sesuatu yang seakan menjadi magnet bagi para lelaki. Tatapan matanya
menunjukkan bahwa dia cukup cerdas. Umurnya Karina perkirakan sekitar awal dua
puluh tahunan. Tapi Karina yakin ada banyak hal yang telah dilalui Laura hingga
dia tampak jauh lebih matang dari usianya. Dan entah mengapa tiba-tiba dia
justru merasa kasihan pada gadis itu. Sorot mata Laura yang tajam tetap tak
bisa menyembunyikan bahwa dirinya teramat sangat kesepian, dan dunia telah
bertindak begitu kejam sampai dia harus melalui hidupnya seperti ini.
“Selamat Siang...” kata Karina seraya menarik kursi di depan
Laura.
Laura buru-buru berdiri sambil mengulurkan tangannya untuk
berjabat tangan. Disadarinya tindakan ini pasti terlihat sedikit aneh, berjabat
tangan dan berusaha bersikap manis pada wanita yang menjadi istri sah dari laki-laki
yang sedang didekatinya. Sejenak dia tidak berharap banyak bila seandainya
Karina tidak menyambut uluran tangannya. Tapi diluar dugaan, wanita itu
tersenyum (lagi) dan menjabat tangannya dengan tenang (bukankah seharusnya dia
menampar aku? bathin Laura). Hal ini termasuk diluar bayangan, Karina tampak
terlalu tenang menghadapi dirinya.
“Laura...”
“Karina..”
mereka berdua duduk berhadapan, seorang pelayan cafe mendekati
meja sambil membawa daftar menu.
“Orange juice aja dulu, mbak....” kata Karina tanpa melihat ke
daftar menu yang disodorkan padanya.
Pelayan cafe itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka
berdua.
Laura masih diam, hanya sibuk mengetuk-ngetukkan jari
telunjuknya di meja. Diliriknya Karina. Wanita itu sedang menatap dirinya.
Laura memperkirakan usia Karina hampir dua kali lipat umurnya. Tapi dia masih
tampak cantik. Aura wanita yang tegar, berpendidikan dan berkelas terpancar
dari diri Karina. Sejenak Laura merasa dirinya sedikit terintimidasi. Diluar
bayangannya bahwa Karina ternyata adalah sosok yang mempesona. Cara Karina
menatap dirinya bukan tatapan benci seorang wanita kepada wanita lain yang
berusaha menhancurkan rumah tangganya, tapi lebih seperti seorang ibu yang
sedang memarahi anaknya yang telah berbuat kesalahan besar.
Huh, tapi siapa yang peduli? Aku bahkan lupa bahwa ada sosok
yang bernama ibu, sisi batin Laura yang lain
memberontak. Tante Lince adalah sosok ibu baginya, seorang wanita yang
sejak Laura berumur 14 tahun telah
mengenalkannya pada dunia yang sekarang dijalaninya, dan dia telah mati karena
over dosis beberapa tahun yang lalu.
“Apa yang kamu inginkan...” Karina mulai membuka percakapan.
Laura tidak menjawab, dia terdiam membiarkan pertanyaan itu
tergantung sejenak.
“Saya mencintai Bapak...” kalimat itu meluncur begitu saja dari
bibir Laura, dan sejujurnya itulah yang mungkin dirasakannya saat ini.
Karina masih diam tak bereaksi.
Laura meraih tas Prada nya, mengeluarkan sebungkus rokok dari
sana, mengambil sebatang dan buru-buru menyulutnya, dia khawatir Karina akan
melihat tangannya yang mulai bergetar.
Diisapnya dalam-dalam rokok yang terselip dijarinya. Berharap
nikotin akan memenuhi paru-parunya dan membuat otaknya bisa berpikir lebih
tenang. Tapi sungguh ternyata tidak mudah menenangkan debaran jantungnya sendiri.
Tangannya masih terasa sedikit gemetar.
“Dan apa kamu yakin Herman juga mencintaimu...” Suara Karina
terdengar tetap tenang dan datar.
“Uhuk..uhuk...” segumpal asap rokok masuk ke dalam kerongkongan
Laura tanpa sempat dikontrolnya. Rasa panas menjalar di tenggorokan. Buru-buru
diraihnya secangkir cappucino yang mulai dingin dihadapannya.
Karina tetap tenang, menunggu jawaban dari Laura.
Pembicaraan mereka terhenti sejenak saat pelayan cafe datang
membawa orange juice. Karina tersenyum pada pelayan cafe sambil mengucapkan
terima kasih, dia menunggu sampai pelayan cafe itu pergi kemudian kembali
memandang Laura untuk menagih jawaban atas pertanyaannya.
Laura menghela nafas, kembali menghisap rokoknya dalam-dalam
lalu menghembuskannya begitu saja. Asap rokok abu-abu pekat bergulung di udara,
sesaat membatasi pandangan mereka berdua kemudian menghilang perlahan.
Tampaknya Laura sengaja melakukan hal itu.
Laura tersenyum sinis, dia mulai bisa menguasai dirinya kembali,
entah karena nikotin dari rokok atau dia mulai bisa mengikuti ritme permainan
yang ditawarkan oleh Karina.
“Apa ibu Karina yakin bapak juga masih mencintai Ibu?” Laura
mengatakan hal itu sambil sedikit mencondongkan badannya ke depan, mendekatkan
wajahnya ke wajah Karina, menatap tajam tepat pada kedua bola mata Karina.
Laura mulai mendapatkan kepercayaan dirinya lagi.
Diluar dugaan Karina justru tertawa kecil sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan kalimat yang dilontarkan Laura sebagai
sebuah lelucon.
Karina tidak segera menjawab, dia meraih gelas berisi orange
juice nya, mengaduk-aduk sebentar kemudian meminumnya.
“Bagi kami orang dewasa yang telah belasan tahun menjadi
pasangan, cinta atau tidak cinta bukanlah suatu hal yang penting lagi.
Pernikahan membuat kami dewasa, dan tidak lagi berpikir egois untuk memikirkan
perasaan masing-masing. Kebahagiaan bagi kami adalah kebahagiaan dari
anak-anak. Selama belasan tahun terikat dalam komitmen membuat kami lebih
memahami arti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak lagi posesif atas satu
dengan yang lainnya. Herman adalah sosok suami sekaligus ayah yang baik. Tapi
dia tetaplah seorang laki-laki, yang tak lebih dari seorang anak kecil yang
terperangkap dalam sosok tubuh orang dewasa. Ada kenakalan dan sisi liar dalam
dirinya yang sewaktu-waktu muncul, dan aku mohon maaf bila hal itu sempat
membuatmu tidak nyaman. Percayalah, apa yang terjadi diantara kalian hanyalah
sebuah kecerobohan kecil yang sangat bijaksana bila dilupakan”. Kata-kata
Karina mengalir tenang, masuk ke telinga Laura, menimbulkan gema yang seakan
memenuhi sudut-sudut hati dan jiwanya. Laura tidak pernah membayangkan bahwa
hal ini yang akan dia terima.
Laura tertegun, ditatapnya lekat-lekat Karina, kemarahan mulai
menguasai dirinya. Banyak hal yang dilaluinya dalam hidup dan sebagian besar
adalah kepahitan. Apa yang baru saja dikatakan Karina benar-benar menyentuh ego
dan harga dirinya sebagai wanita. Tidak ada kata-kata pedas yang dilontarkan
Karina terhadapnya, tapi justru hal itulah yang sangat menusuk.
Laura menghela nafas, mencoba untuk menenangkan detak
jantungnya. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu, dia berusaha mencari kata-kata
yang tepat untuk membalas, tapi dia tak menemukannya. Dia matikan rokoknya
dengan sangat kasar, berdiri dan berjalan mendekat kearah Karina, saat tepat
berada di samping Karina, Laura sedikit membungkukkan badannya lalu mendekatkan
bibirnya ke telinga Karina.
“Saya selalu mendapatkan apa yang saya inginkan…” bisik Laura.
Kemudian dia berlalu begitu saja, menuju pintu keluar café.
Karina masih terdiam, sejenak pikirannya terasa kosong. Beberapa
detik kemudian kepalanya mulai terasa berdenyut-denyut kembali. Dia menutup
wajah dengan kedua telapak tangannya.
Sesuatu yang hangat terasa mengalir pelan dari sudut matanya.
Semua memang tak semudah apa yang dibayangkan, tapi setelah dijalani dia
semakin tahu hal apa yang harus dihadapinya nanti, dan itu dirasakannya semakin
berat.
2. Bidadari
Laura menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kecil
berbentuk minimalis. Rumah itu tidak tampak terlalu menonjol diantara rumah
yang lain. Bentuknya hampir sama dengan rumah-rumah disampingnya.
Dia turun berjalan perlahan menuju pintu pagar, membukanya dan
langsung memasuki rumah. Mobilnya dibiarkan terparkir begitu saja diluar. Sudah
hampir dua tahun Laura menyewa rumah itu. Rumah yang terletak sedikit di
pinggir kota itu merupakan surga baginya. Lingkungannya tidak terlalu ramai dan
tidak terlalu peduli, dan itu yang terpenting. Walaupun dia tak pernah
sekalipun membawa klien-kliennya ke rumah. Baginya rumah ini adalah batas
antara kenyataan dan mimpinya.
Sebuah ruang tamu mungil yang hanya terdiri dari sebuah sofa
berwarna coklat tua yang dilengkapi dengan bantal kecil berwarna orange terang,
meja kaca kecil di sudut dan karpet tebal bermotif kulit macan menutupi
sebagian lantainya. Sebuah lukisan besar bergambar laut saat senja, dan perahu
kecil yang berada tepat di tengah matahari jingga, tampak tergantung di
dinding.
Penyekat dari kayu memisahkan ruang tamu dengan semacam ruang
yang berfungsi sebagai ruang tengah sekaligus ruang makan, terdapat dua buah
kursi dan sebuah meja kecil yang terbuat dari besi yang dihiasi dengan lilitan
rotan. Tepat disamping ruangan itu terdapat pintu menuju kamar Laura.
Saat memasuki ruang kamar itu, semua orang akan serasa berada di
sebuah kamar boneka Barbie. Jendela besar yang menghadap pada sebuah taman kecil.
Tirainya berwarna pink terang. Dinding kamar bagian bawah ditutup dengan
wallpaper berwarna pink pucat bergaris-garis putih dan bagian atasnya berwarna
senada yang berhias bunga bunga kecil berwarna pink.
Sebuah ranjang besar yang terbuat dari besi bercat putih
tertutup rapi dengan bedcover berwarna ungu muda bergaris-garis putih dan merah
muda. Disamping tempat tidur terdapat sebuah meja kecil yang juga berwarna
putih dilengkapi kaca besar berfungsi sebagai meja rias. Diatasnya berbagai
macam botol parfum dan peralatan make up tertata rapi disana.
Semua gambaran klasik tentang sebuah kamar boneka terwujud dari
kamar ini. Sentuhan modern tertempel di dinding kamar, sebuah televisi layar
datar berukuran cukup besar tergantung menghadap tempat tidur.
Laura menuju dvd player yang terletak tepat dibawah televisi
layar datarnya. Memilih sebuah disk dan mulai menyalakannya. Suara Andrea
Bocelli memenuhi ruangan kamar.
Dia merebahkan diri diatas tempat tidur. Pandangannya menatap
langit-langit kamar. Pikirannya terasa kosong. Suara telpon genggam dari dalam
tasnya sejenak mengusik lamunan.
Dilihatnya nama si penelepon. Marcel, dan dia langsung memencet
tombol reject dengan ibu jari tangan kanannya. Beberapa saat kemudian terdengar
nada yang sama, nama penelepon yang sama, dan Laura mengulangi apa yang telah
dilakukannya tadi. Akhirnya tidak tedengar lagi suara dari telepon genggam itu.
Suara Andrea Bocelli masih menggema di seluruh ruangan kamar.
Sepi terasa menggigit dan menusuk-nusuk tubuhnya. Kesunyian yang merasuk ke
hati dan jiwa. Sejenak dia merasa begitu lelah.
Tiba-tiba dia merasa melihat sesosok mahluk bersayap, terbang
mendekat ke arahnya. Sayapnya tampak begitu indah, berkilau-kilau tertimpa
sinar matahari. Sayap itu seperti kain tipis transparan dan membiaskan pelangi
yang indah. Sosok itu kini semakin dekat, dan semakin terlihat raut wajahnya.
Sejenak Laura merasa tersentak, wajah itu seperti dikenalnya, wajah yang tak
asing bagi dirinya. Laura masih berusaha mengingat-ingat ketika kemudian
terdengar sosok itu memanggil namanya, perlahan.
Laura tersentak, wajah itu adalah wajah Karina.
Kengerian terasa menggulung dirinya, sesak dan keringat dingin
membasahi seluruh tubuhnya. Nafasnya terengah-engah, dan samar-samar terdengar
suara telepon genggamnya, jauh..tapi semakin lama semakin terasa dekat.
Laura berusaha menggapai-gapai kesadarannya, dan akhirnya dia
baru tersadar telah bermimpi. Sejenak dia berusaha mengembalikan kesadaran.
Telepon genggamnya masih mengeluarkan suara nada panggilan masuk.
Laura mengusap keringat yang membasahi kening dengan punggung
tangannya. Kengerian atas mimpi masih menguasai dirinya.
Secara reflek diraihnya telpon genggamnya, tanpa melihat pada
layar siapa sang penelepon
“Halo, sayang....” terdengar suara genit di seberang sana.
Laura menarik napas lega. Suara Trisa cukup mengembalikan
kesadarannya.
Trisa adalah teman, sahabat sekaligus saudara bagi Laura. Mereka
berdua sama-sama “dibesarkan” oleh tante Lince. Hanya saja setahun ini Trisa
menjalani kehidupan yang “hampir normal”. Dia menjadi simpanan seorang
pengusaha kaya berumur setengah abad yang mencukupi segala kebutuhan hidupnya,
entah sampai kapan karena Laura tahu, tak ada yang abadi dalam dunianya.
Mungkin tahun depan, bulan depan atau besok kalau si pengusaha kaya telah bosan
dengan Trisa, dia akan dengan sangat mudah mendepak Trisa dari apartemennya.
Begitulah... Laura merasa tak ada yang bisa dibandingkan antara
Trisa dan dirinya, keduanya sama-sama menjalani kehidupan semu bahwa
kehidupannya hanyalah untuk hari ini, tak ada esok karena esok adalah
ketidakpastian. Hanya mungkin satu hal yang membuat Laura sedikit lebih
beruntung daripada Trisa, bahwa pada akhirnya dia mulai bisa merasakan “cinta”.
Yah, tapi sebuah “cinta” yang salah, sisi bathin Laura yang lain
mengatakan hal itu dengan sinis.
Salah? Bukankah cinta tak pernah salah dalam memilih? Siapa yang
bisa menentukan salah dan benar?
“Haluuu, ciiiinnn? Aduuuhhh...kok ga ada suara siiiihhh...?”
suara Trisa membuyarkan lamunan Laura.
“Ada apa?” suaranya terdengar serak.
“Kita jalan yuk, si Om lagi keluar negri nih, jadi aku
free...boseeeennn..”
“Aku lagi males nih...”
“Haduuuhhh...please deh...pokoknya aku jemput ntar jam sembilan
ya..”
“Mmmmmhh.... gak usah deh, ntar kita ketemuan aja disana, tempat
biasa kan..?” putus Laura, dia sedang malas berdebat.
“ok deh...see u...”
Klik. Suara telpon ditutup. Laura menghela nafas. Terdiam
sejenak kemudian bergegas masuk ke kamar mandi, menanggalkan pakaiannya,
menyalakan shower dan mulai menikmati kucuran air yang membasahi tubuhnya.
Gemericik suara air berpadu
dengan suara tenor Andrea Bocelly yang sedang melantunkan Time to Say
Goodbye.
Entah mengapa tiba-tiba Laura merasa hidupnya begitu sepi.
Hari-hari panjang yang telah dilaluinya, pertemuannya dengan Herman, kata-kata
Karina, semuanya terasa bercampur aduk dalam otaknya. Kepalanya terasa riuh
rendah oleh suara-suara hatinya sendiri, dan suara Karina yang dengan nyata
mengatakan dirinya tidak cukup berharga untuk Herman. Benarkah aku tidak pantas
untuk Herman? Tidak...itu tidak benar...itu salah....jawab sisi batinnya yang
lain, karena sebenarnya kamu tidak akan pernah berharga untuk siapa pun, suara
bathinnya dengan kejam mengatakan itu.
Air masih mengucur deras dari pancuran. Seiring dengan air mata
Laura yang terus menerus menetes. Dia merasakan tubuhnya mulai merosot dan
kemudian terduduk di lantai kamar mandi. Dia menangis tersedu sedu disana,
merasakan kehampaan luar biasa yang mendera jiwanya.
3. Cinta Pertama
Ruangan itu begitu luas. Sebuah meja kayu jati besar yang
berukir pada sisi-sisinya mendominasi ruangan tersebut. Lemari besar berkaca di
sebelah kanan ruangan, penuh berisi buku-buku tebal. Di sebelah kiri terdapat
sebuah lemari pendek yang tingginya kira-kira sepinggang orang dewasa,
bentuknya memanjang sekitar satu setengah meter, diatasnya berjajar rapi
foto-foto dalam bingkai berbagai ukuran. Ada foto pernikahan Herman dan Karina.
Foto Reza putra pertama Herman dalam kostum basketnya, foto Rizky putra
keduanya sedang tertawa lebar sambil memegang ikan kecil, hasil pancingannya.
Foto Herman dan Karina di dekat menara Eiffel, foto Reza dan Rizky yang sedang
mendekap erat Herman dan Karina, dan beberapa foto mereka berempat dengan latar
belakang beberapa tempat di luar negeri. Sekejap orang akan bisa menebak bahwa
Herman memiliki ikatan keluarga yang sangat kuat, tipe “family man” dan
kehidupan pernikahannya sungguh sangat bahagia.
Herman tercenung dibalik meja kerjanya. Tangan kirinya memegangi
pelipis, tangan kanannya memencet tombol-tombol keyboard komputernya sambil
matanya menatap pada layar komputer yang mati. Dia memang tidak sedang
mengerjakan sesuatu. Pikirannya terasa kalut, perasaan bingung, sedih, marah
dan kecewa yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri telah membebaninya
beberapa hari ini.
Sebagai seorang Dewan Rakyat yang terhormat, Heman sebenarnya
sangat dekat dengan hal-hal berbau wanita simpanan, perselingkuhan, teman tidur
semalam dan hal-hal semacam itu. Tapi dia bukan tipe seperti itu. Dia memiliki
seorang istri cantik yang nyaris sempurna di matanya dan dua orang anak
laki-laki yang mulai beranjak remaja, kehidupan pernikahannya hampir tiada cela
dan cobaan berat selama 16 tahun berjalan.
Herman bertemu Karina saat keduanya sama-sama menjadi mahasiswa
ilmu politik di sebuah Perguruan Tinggi Negri yang cukup bergengsi di negeri
ini. Herman yang saat itu menjabat sebagai ketua Senat, menjadi pusat perhatian
sebagian besar gadis-gadis di kampus. Dia memiliki semua kriteria untuk menjadi
idola. Badannya tinggi walaupun bisa dikategorikan agak kurus, wajahnya yang
tampan, sorot mata tajam, sikap cueknya dan wawasannya yang luas. Sudah menjadi
rahasia umum, bila para mahasiswi di kampus itu ikut aktif dalam politik
kampus, sebagian hanya ingin bisa lebih dekat dengan Herman. Gaya bicara Heman,
pandangan matanya yang kadang tampak dingin dan senyumnya yang jarang
ditampilkan, cukup membuat para mahasiswi tergila-gila padanya. Bahkan ada
beberapa yang dengan sangat “terbuka” menyatakan cinta, walaupun hanya sebatas
dari surat-surat cinta, yang pada akhirnya menjadi penghuni keranjang sampah di
kamar kost Herman.
Herman tak pernah merasa sekalipun berniat untuk dekat atau
hanya sekedar bermain-main dengan para gadis yang jadi pemujanya. Kehidupannya
sangat serius, bahkan terlalu serius. Otaknya banyak diisi dengan idealisme dan
cita-cita besarnya atas negeri ini. Herman menyadari bahwa dirinya merupakan
sosok yang cenderung perfeksionist dalam segala hal, termasuk percintaan.
Seorang wanita disampingnya bukan hanya cantik secara fisik tapi juga harus
cerdas. Baginya kecerdasan memiliki sisi seksi tersendiri bagi seorang wanita.
Dan kemudian dia bertemu dengan Karina.
Awal pertemuannya dengan Karina, tidak ada yang terlalu
istimewa. Memang Karina memiliki wajah yang lumayan menarik. Kulit tubuhnya
terang tampak sangat kontras dengan rambutnya yang hitam legam, hidung dan
bibirnya mungil. Satu hal yang menurut Herman paling menarik saat itu adalah
sepasang mata Karina yang tidak dapat menyembunyikan kecerdasannya. Saat itu
Karina adalah ketua redaksi majalah kampus. Pembawaannya tenang, senyum
dibibirnya tampak selalu diobral pada semua orang, itu menurut Herman. Saat itu
Herman menjadi nara sumber Karina untuk program amal di kampus. Entah bagaimana
awalnya, obrolan santai itu tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Mereka saling
mengajukan teori mengenai kelas ekonomi dalam masyarakat, dan keduanya tidak
ada yang mau mengalah. Beberapa teman yang melihat kejadian tersebut hanya
tersenyum dan geleng-geleng kepala, mereka tahu Herman dan Karina sama-sama
keras kepala.
Pertemuan pertama yang berisi perdebatan itu justru membuat
Herman merasa tertarik dengan Karina, dan untuk pertama kalinya dia mulai ingin
tahu lebih dalam tentang seorang wanita. Bukan
suatu hal yang sulit untuk mencari informasi mengenai Karina, dia
termasuk sosok yang cukup dikenal. Tapi justru Herman agak terkejut dengan
reputasi Karina. Beberapa nama pria berderet mengikuti nama Karina. Ternyata
Karina terkenal “dekat” dengan beberapa mahasiswa. Kisah cintanya tak pernah
terdengar lama. Dan yang lebih membuat Herman tertegun saat mendengar nama
salah satu dosen muda sedang sangat dekat dengan Karina. Padahal dosen tersebut
sudah memiliki seorang istri dan anak diluar kota. Kelak Herman akhirnya tahu
bahwa sebenarnya kedekatan sang dosen dengan Karina hanyalah rumor semata, yang
timbul karena Karina selalu menjadi satu-satunya mahasiswa yang mendapat nilai
A pada mata kuliah dosen tersebut, padahal dia terkenal sangat pelit dalam
memberikan nilai. Seringkali sang dosen dengan bangga memberikan komentar pada
tulisan-tulisan Karina pada tugasnya. Mungkin juga memang dalam hati sang dosen
menyimpan “sesuatu yang istimewa” terhadap Karina, tapi Karina tidak pernah
menganggapnya sebagai satu hal yang bisa diperhitungkan.
Karina merupakan tipe wanita yang tahu bagaimana membuat
laki-laki jatuh hati padanya. Dan itu bukanlah suatu kesengajaan. Deretan
panjang mantan-mantannya adalah karena mereka para lelaki “tidak cukup tahu”
bagaimana memperlakukan Karina seharusnya.
Pada dasarnya Karina adalah sosok yang sangat mandiri. Dia bukan
tipe yang suka merajuk untuk ditemani atau diantar kesana kemari. Dan dia tipe
wanita yang tidak mudah jatuh cinta. Bagi sebagian laki-laki yang mendekati
Karina mereka berusaha mendekatinya dengan cara menunjukkan rasa kagum pada
pemikiran-pemikiran Karina. Mereka akan menerima apapun yang diungkapkan
Karina. Padahal justru hal itulah yang membuat Karina tidak mau mempertahankan
hubungan. Laki-laki yang lemah dan menerima dominasinya sebagai wanita justru
membuatnya kehilangan rasa. Dan sosok yang bisa mengimbanginya adalah Herman.
Herman mampu membuatnya merasa “terhormat” tanpa mengorbankan
egonya sebagai laki-laki. Pemikiran Herman yang cenderung idealis mampu membuat
Karina terpesona.
Herman tersenyum mengingat masa lalunya bersama Karina. Aku
mencintainya.. desisnya perlahan, tanpa sadar mengucapkan hal itu saat
membayangkan sosok Karina. Dan mengapa aku begitu tega menyakiti hati wanita
yang aku cintai? Herman kembali merasakan kekalutan menyelimuti pikirannya.
Kepalanya terasa berat dan jantungnya berdetak lebih kencang. Dia seperti
terlempar kembali pada beberapa waktu lalu saat sebuah kesalahan telah memporak
porandakan kehidupan pernikahannya.
Saat itu Herman mendapat tugas keluar kota untuk beberapa hari. Dan
hal itu bukan suatu hal yang terlalu istimewa. Seperti biasa Karina menyiapkan
berbagai keperluan Herman sebelum berangkat. Rutinitas yang tak pernah luntur
setelah sekian tahun pernikahan mereka walau sesibuk apapun Karina dengan
pekerjaannya, dia masih melakukan hal-hal kecil semacam itu. Kecupan dan
pelukan hangatnya bagaikan tameng kesetiaan yang selalu melingkupi Herman
selama berjauhan dengan keluarga.
Namun terkadang manusia tak pernah tahu apa yang akan terjadi.
Begitu banyak hal-hal diluar jangkauan pikiran yang menguji dan mendesak sisi
lemah manusia. Malam itu Herman kembali ke kamar hotel dengan pikiran lelah
setelah menyelesaikan rapat yang memakan waktu berjam-jam. Perlahan dia membuka
pintu kamar hotelnya, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati di atas tempat
tidur hotel itu ada seorang wanita muda yang memakai pakaian tipis,
menyunggingkan senyum menggoda saat menyadari kehadiran Herman di kamar itu.
Herman sempat tertegun tak bisa berpikir, yang terlintas di benaknya, pertama
adalah bahwa dia akan melakukan protes keras ke manajer hotel atas
kelancangannya memberikan kunci kamar hotelnya pada orang asing. Kedua, dia
yakin ada yang berniat “bermain-main” dengannya, karena sebagian besar rekan
kerjanya tahu bahwa dia bukan tipe laki-laki semacam itu.
Tiba-tiba sebuah sms masuk, Herman membacanyanya, dari nomor
yang tidak dikenal, “hadiah kecil dari seorang teman” kalimat pendek itu mulai
membuka pikiran Herman tentang keberadaan gadis itu di kamarnya. Herman hanya
masih belum bisa memastikan siapa si pengirim sms dan niat yang ada
dibelakangnya. Mungkinkah orang itu memang berniat “berbaik hati” pada Herman
namun dengan cara yang salah, mungkin juga hal ini semacam jebakan untuk
dirinya. Tapi apapun motif dibalik keberadaan gadis itu dikamarnya, Herman sama
sekali tidak tertarik dengan apa yang ada dihadapannya saat ini.
Perlahan Herman mendekati tempat tidur itu, memandang gadis itu
sejenak, lalu dengan tenang mengambil sebuah selimut besar lalu menutupkannya
pada tubuh gadis itu.
“Berpakaianlah dan anda bisa pergi dari sini, mohon maaf saya
tidak membutuhkan anda, mungkin ada kesalahan dari seseorang yang telah
mengirimkan anda kesini..”
Gadis itu tampak terkejut dengan sikap Herman. Dia hanya
tertegun berharap bahwa Herman hanya bercanda atau kemudian berubah pikiran.
Tapi Herman tetap berdiri di samping ranjang, tersenyum dan mengatakan:
“saya serius, pergilah..”
Perlahan gadis itu turun dari ranjang, berjalan pelan menuju
kamar mandi dengan masih memegang erat selimut yang membungkus tubuhnya. Tak
ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tampaknya dia masih sangat bingung
dengan situasi yang baru saja dialaminya. Beberapa saat kemudian dia keluar
dari kamar mandi dengan memakai pakaian lengkap.
Herman masih berdiri di samping ranjang. Kedua tangannya
dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya. Kemudian saat melihat gadis itu
sudah keluar dari kamar mandi, bergegas dia berjalan ke pintu kamar hotel,
membuka pintunya.
“Terima kasih, selamat malam..” kalimatnya dikatakan dengan
sangat formal.
Herman menutup pintu kamar hotel tersebut. Berjalan gontai
menuju tempat tidur. Pikirannya terasa kosong atau malah terlalu penuh, Herman
sendiri tidak mampu memastikan. Dinyalakannya televisi, mengganti-ganti
salurannya beberapa kali, tak ada acara televisi yang menarik minatnya.
Kemudian dia mengambil telepon selular di saku baju kemejanya. Terdengar nada
tut beberapa kali. Lama tidak diangkat. Kemudian Herman mencoba menelepon lagi.
“Halo....” suara yang begitu dikenalnya.
“Lagi ngapain, Ma? Lama banget ngangkat telponnya...?”
“Tadi dari kamar Rizky, gimana..Pa, ada kabar apa?
“Aku kangen, Ma...”
Terdengar suara tawa kecil diseberang.
“Kamu habis bikin dosa apa, Pa?”
Herman merasakan darahnya berdesir.
“Kangen sama istri sendiri kok malah dicurigai, sih?”
Karina kembali tertawa.
“Ya udah..istirahat ya...jangan lupa minum vitamin, besok aku
juga harus berangkat pagi-pagi, ada rapat di kantor..”
“I love you...” bisik Herman.
“Love you too...” Klik.
Herman menarik nafas panjang, sebagian beban yang mengganjal
terasa hilang. Dia mulai memejamkan matanya, kelelahan begitu menyelimuti dan
akhirnya dia tertidur.
4. Sebuah Kesalahan
Keesokan harinya, Herman kembali menjalani aktivitasnya. Dia
mulai dengan menghadiri rapat dengan pejabat daerah, dilanjutkan dengan
kunjungan ke beberapa tempat dan rapat
lagi dengan anggota dewan yang lain sampai menjelang pukul sebelas malam.
Herman baru selesai mandi dan bersiap merebahkan diri ke tempat
tidur, ketika dia mendengar ketukan di kamar hotelnya. Jarum jam menunjukkan
hampir tepat tengah malam. Sejenak Herman berfikir siapa yang mau menemuinya
malam-malam begini. Sempat terpikir mungkin beberapa teman mengajaknya untuk
keluar jalan-jalan menikmati suasana kota di malam hari, tapi biasanya mereka
menelepon dulu. Perlahan dia berjalan menuju pintu kamar hotel, untuk
membukanya.
Herman terkesiap saat melihat gadis yang tadi malam berada di
tempat tidurnya berdiri di depan pintu kamar. Gadis itu tersenyum ragu-ragu.
Menunggu reaksi Herman selanjutnya.
Herman mendengus kesal. Tangan kanannya memegang kepala, seakan
menahan agar emosinya tidak membuat kepalanya pecah. Matanya mulai menunjukkan kemarahan. Sebelum
Herman sempat mengeluarkan kata-kata, gadis itu membuka mulutnya.
“Saya tahu Bapak tidak membutuhkan saya saat ini...”
“Tapi kenapa kamu masih saja datang kesini...” suara Herman
terdengar kesal.
“Tolong, biarkan saya menjelaskannya Pak...” gadis itu memandang
tajam Herman.
“Saya hanya menjalankan tugas...” gadis itu menghela nafas,
seakan ada batu besar yang menghimpit dadanya.
“Terserah kalau memang Bapak tidak 'menginginkan' saya...tapi
saya tidak akan pergi dari sini...saya sudah dibayar untuk ini..”
“Ya Tuhan...siapa yang menyuruhmu..?” Herman berusaha menahan
suaranya, yang mulai meninggi karena emosi.
Gadis itu hanya menggeleng. Wajahnya tampak dingin dan beku.
Herman benar-benar kehilangan kesabaran. Tanpa bicara lagi dia
langsung masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam.
Di dalam kamar hotel, Herman gelisah. Berkali kali dia berusaha
memejamkan mata, tapi rasa kantuknya telah hilang, menguap entah kemana.
Otaknya berpikir keras untuk apa yang harus dilakukannya menghadapi situasi
ini. Dia berbaring dengan gelisah, sambil memainkan remote televisi dan
sekali-kali mengganti salurannya. Kepalanya mulai terasa berdenyut-denyut,
tenggorokannya kering.
Herman bangkit dari tempat tidur, berjalan perlahan menuju
lemari es kecil yang terletak di sudut kamar. Dibukanya sebotol air mineral
dingin dan menenggaknya sampai hanya tersisa setengah. Entah mengapa tiba-tiba
dia ingin melihat keluar apakah gadis itu memang masih disana. Ragu-ragu dia
menuju pintu kamar, sempat diliriknya jam dinding yang tergantung di atas
tempat tidur. Sudah hampir jam satu malam, bathinnya. Saat tepat di depan pintu
kamar, hatinya merasa ragu untuk membuka, lalu dia membatalkan niatnya untuk
membuka pintu. Dia kembali berjalan menuju ranjang, duduk di sisi nya sambil
masih memegang botol air mineralnya. Herman merasa jantungnya berdetak lebih
kencang. Kemudian dia berdiri, meletakkan botol air mineralnya pada sebuah meja
kecil disamping ranjang lalu menuju jendela besar di kamar hotel itu yang
tertutup oleh tirai berwarna merah marun. Dibukanya perlahan salah satu sisi
tirai, di depannya terhampar suasana kota di malam hari, kerlap kerlip lampu
seperti kunang-kunang yang bertebaran. Langit tampak muram, hitam jelaga tanpa
terlihat bintang sama sekali. Hanya sepotong bulan sabit pucat yang sinarnya
juga tampak lemah tertutup serpihan awan kelabu.
Gadis itu masih menunggu di depan pintu. Kaki-kakinya mulai
merasa lelah berdiri. Setelah sekian lama bersandar di depan pintu, kini dia
memutuskan untuk duduk di lantai. Memeluk lututnya dengan kedua tangan. Dia
mengenakan celana jeans ketat berwarna biru tua dan jaket bermodel overcoat
merah darah. Sebuah scarf bermotif abstrak menutup lehernya, cukup membantu
menahan rasa dingin yang menggigit. Entah sudah berapa lama dia menunggu. Dia
bahkan tak ingin tahu. Inilah peran yang harus dijalaninya saat ini. Dia
menarik scrafnya untuk menutupi sebagian wajahnya, hawa dingin mulai terasa
menggelitik hidung. Digosok-gosokkannya kedua telapak tangan, berharap ada hawa
hangat yang akan menjalar dari sana.
Seorang office boy berjalan pelan di koridor sepanjang
kamar-kamar hotel sambil membawa kereta dorong berisi alat-alat kebersihan, dia
tampak terkejut melihat gadis itu terduduk di depan pintu kamar. Mulutnya sudah
terbuka, bersiap untuk menawarkan bantuan, saat kemudian dilihatnya tatapan
“mengusir” dari gadis itu, membuat si office boy mengurungkan niatnya. Dia
berjalan pelan kembali sambil menunduk, dalam hati dia mereka-reka kejadian
yang membuat gadis secantik itu berada di luar kamar tengah malam begini.
Gadis itu menundukkan kepala, menahan dengan kedua lututnya,
rasa kantuk mulai menyerang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk
tetap terjaga. Dia ingin merokok, tapi kemudian membatalkan niatnya. Lalu dia
membuka tas, dan mengambil sebungkus permen pedas, dibukanya, memasukkan ke
dalam mulut dan menikmati sensasi hangat dari permen tersebut. Tiba-tiba dia
merasa ingin buang air kecil. Ditahannya hasrat itu. Tapi hawa dingin justru
membuat hasratnya semakin menjadi-jadi. Dia menggerak-gerakkan kakinya yang
mulai terasa kaku, perlahan berdiri dan menyandarkan tubuhnya di depan pintu
kamar. Dia tidak tahan lagi, maka diketuknya pintu kamar itu. Sepi. Kembali
diketuknya pintu kamar, dia berusaha mengalihkan pikiran atas hasrat ke kamar
kecilnya dengan terus menggerak-gerakkan kaki. Wajahnya ditempelkan ke pintu
kamar tersebut, rasanya dia hampir menyerah, dan memutuskan untuk pergi, saat
kemudian terdengar suara pintu dibuka.
“Saya mohon, saya mau pinjam toiletnya...” katanya tanpa basa
basi dan langsung menuju ke toilet. Dia berjalan cepat sesudah menubruk pelan
tubuh Herman, yang masih tertegun. Gadis itu tahu Herman bukan sosok yang
kejam, maka dia membuang pikiran Herman tidak akan mengijinkannya menggunakan
toilet di kamarnya, dan dia berjanji
dalam hati bahwa setelah selesai dari toilet dia akan kembali menunggu di luar.
Tak lama kemudian gadis itu keluar dari toilet. Herman duduk di
sebuah sofa di sudut kamar, dia masih tidak beranjak dari tempatnya, saat gadis
itu menoleh ke arahnya.
“Terima kasih, Pak...saya akan kembali menunggu diluar” katanya
tegas dan bersiap melangkah ke pintu.
“Tunggu...”
Gadis itu menahan langkah, hati kecilnya tersenyum.
“Duduklah..” Herman memberi isyarat dengan anggukan, menyuruh
gadis itu duduk.
Ragu-ragu gadis itu duduk di sisi tempat tidur, posisi mereka
berdua tidak terlalu berdekatan, mereka saling menghadap, berseberangan satu
sama lain.
Herman menatapnya, dia masih sangat muda dan... cantik.
“Siapa namamu?”
“Laura..” jawab gadis itu pendek.
Hening sejenak.
“Apa saya boleh merokok...” tanya Laura.
Herman tampak berpikir sejenak, kemudian dia mengangguk.
“Siapa yang menyuruhmu?”
Laura berpura-pura tidak mendengar, dia sibuk membuka tas dan
mencari-cari rokoknya, lalu mengeluarkan sebatang, menyalakan dan mulai
menghisapnya perlahan.
“Jujur, sebenarnya saya juga tidak tahu..” dia menggelengkan
kepala, memberikan penegasan atas apa yang dia katakan.
“selama ini Marcel yang mengurus semuanya, saya hanya
menjalankan 'tugas' saya”
Laura kembali menghisap rokoknya lalu mengedarkan pandangan
mencari-cari asbak, tapi dia tidak
melihatnya disekitar ruangan. Herman beranjak dari tempat duduk, berjalan
menuju toilet, mengambil sebuah asbak kecil kemudian meletakkannya disamping
Laura. Aroma harum tubuh Laura sempat tercium oleh Herman, hatinya berdesir,
lalu dia kembali ke sofa tempat dia duduk sebelumnya.
Sepi sejenak. Laura masih menikmati rokoknya, menunggu reaksi
Herman selanjutnya. Tapi Herman masih diam, tangan kirinya menopang pada
sandaran sofa, wajahnya menunjukkan sedang berpikir keras.
“saya minta maaf...” suara Laura terdengar sangat lirih, lebih
mirip dengan bisikan.
Herman masih diam, hanya memandanginya, dia tahu tangan Laura
gemetar.
“kamu tau berapa lama kamu menunggu di luar..?”
Laura menggeleng, menurutnya itu pertanyaan yang tidak perlu
dijawab. Bukan hal yang penting apa yang harus dilaluinya tadi, karena hasil
akhir lah yang menentukan.
“Aku tidak mengira kalau kamu benar-benar menunggu..”
“Mengapa kamu melakukan semua ini...?”
Laura tersenyum.
“Saya sudah bilang dari awal, bahwa saya hanya menjalankan
tugas”.
“kamu gadis yang keras kepala” kata Herman sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Berapa umurmu..?”
“Bulan depan tepat dua puluh satu tahun”
Tiba-tiba Herman berdiri, Laura merasa jantungnya berdetak lebih
kencang, dia sudah mengalami hal-hal semacam ini ratusan kali, terjebak dalam
suasana yang jauh lebih intim dari sekedar “bicara” dengan lawan jenisnya, tapi
entah mengapa dia merasakan kegugupan yang teramat sangat. Herman memiliki
pesona besar sebagai seorang pria yang sudah matang. Garis-garis halus di wajah
Herman, sikap tenangnya, cara bicara dan
perlakuan Herman yang cukup “menghargai” justru membuat Laura merasa salah
tingkah.
Laura sudah membayangkan detail-detail yang akan dilakukannya
bila Herman “memintanya”, tapi diluar dugaan ternyata Herman hanya berjalan
menuju meja kecil di dekat ranjang untuk mengambil sebotol air mineral.
“Mau minum...?” tawar Herman.
Laura mengangguk, tenggorokannya terasa sangat kering.
Herman berjalan menuju lemari es, mengambil sebotol air mineral
dan menyerahkannya pada Laura.
“terima kasih...” kata Laura pelan.
Herman mengangguk dan kembali ke tempatnya duduk. Dia menatap
Laura lalu menghela nafas panjang.
“begini...menurutku kamu pulang saja, katakan pada orang yang
telah menyuruhmu datang kesini bahwa kamu telah melakukan tugas..” Herman
berhenti sejenak, menghela nafas, berpikir, mencoba mencari kata-kata yang
tepat.
Laura masih menunggu apa yang akan dikatakan Herman selanjutnya,
tapi ternyata Herman justru berdiri mengambil dompet dari celananya,
mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu kemudian menyerahkannya pada
Laura.
Laura tertegun saat melihat lembaran uang itu disodorkan ke
arahnya.
Sejenak Laura merasa aliran darahnya naik ke kepala. Dia mencoba
menahan diri.
Hening menyergap. Herman masih berdiri sambil tetap mengulurkan
lembaran uangnya.
Laura tidak beranjak dari tempatnya duduk. Dihisapnya rokok
sekali lagi kemudian mematikannya di asbak.
“Saya mohon maaf, pak...tapi saya tidak akan meninggalkan kamar
bapak, paling tidak sampai besok pagi, terserah apabila bapak tidak 'menginginkan'
saya, mungkin kita bisa hanya sekedar ngobrol, atau apa saja, saya bersedia
menemani bapak”
Herman menelan ludah. Pikirannya terasa buntu untuk sesaat.
Bagaimanapun dia seorang laki-laki normal.
“Saya harus beristirahat...” Herman mengatakan itu pelan.
“Kalau bapak keberatan saya berada didalam kamar, saya bersedia
untuk menunggu diluar..” Laura mengatakan hal itu dengan yakin. Walaupun hati
kecilnya tahu Herman tidak akan se tega itu terhadap dirinya.
“Saya sudah berkeluarga...” Herman berusaha membuat tindakannya
masuk akal.
Laura menatap Herman tajam kemudian terdengar derai tawa dari
mulutnya, seakan Herman baru saja mengungkapkan sebuah lelucon. Dia merasa
heran dengan tingkah Laura.
“Dari awal saya tahu bapak orang baik-baik, dan saya rasa bapak
tidak perlu menjelaskan hal itu pada saya..” Laura mengatakan itu seiring
dengan sisa tawanya.
“Apa menurut bapak hal itu penting bagi saya? Bapak salah...saya
hanya berusaha bersikap profesional, melaksanakan tugas saya..titik hanya itu,
dan saya tidak akan peduli dengan kehidupan pribadi bapak...”
Herman masih diam, menunggu kata-kata Laura selanjutnya.
“menurut bapak, apa arti kesetiaan?”
Herman memandang Laura, kemudian menggeleng.
“Saya tidak perlu menjelaskan pada anda..”
“Kenapa pak? Karena saya hanya seorang wanita panggilan,
kupu-kupu malam? Yang tidak perlu banyak tahu soal apapun mengenai kesetiaan
atau pemikiran mendalam tentang sebuah hubungan antar manusia? Karena sebagian
besar manusia hanya memandang saya sebagai sebuah “alat” demi hasrat mereka?
Bahwa mereka beranggapan, saya seakan tidak punya hati dan otak untuk berpikir
tentang kata agung 'kesetiaan'?”
Herman tercenung, dia tidak mengira Laura bisa mengungkapkan
pemikiran seperti itu.
“Saya sudah banyak belajar dalam umur saya yang masih belum
banyak ini. Dan terus terang saya sangat terkesan dengan sikap bapak, saya
yakin bapak memiliki kehidupan keluarga yang bahagia, dan seorang istri yang
sempurna...”
Laura terdiam sejenak, mencoba mengatur kata-kata.
“Tapi hal ini diluar itu...kesetiaan jauh lebih dalam daripada
sekedar 'kekhilafan' atas hasrat seorang laki-laki..”
Herman merasakan jantungnya berdetak lebih kencang, saat Laura
menatapnya. Gadis ini ternyata cukup cerdas untuk seorang wanita penghibur.
“Baiklah kalau begitu, mungkin kita bisa ngobrol sebentar...”
Herman diam sejenak.
“Menurutku kamu cukup cerdas, untuk ukuran gadis seumuran
denganmu”
Laura tersenyum.
“Hidup yang memaksa saya belajar”
“Maaf, bapak ingin mengatakan pemikiran saya tidak sesuai dengan
usia atau dengan profesi saya?” Laura mengatakannya dengan sinis.
Herman menggeleng.
“Entahlah, menurutmu bagaimana?”
“banyak yang memandang hina profesi saya, padahal saya justru
belajar banyak dari sini. Saya belajar tentang sifat-sifat dasar manusia,
terutama laki-laki..”
Herman menghela nafas, dia sendiri tidak yakin dengan apa yang
dirasakannya saat ini, tapi jauh di lubuk hatinya ada kekaguman atas sosok
Laura yang berusaha disembunyikannya rapat-rapat. Rasanya terlalu cepat untuk
menilai seorang wanita penghibur yang cukup cerdas hanya dari beberapa kalimat
yang diungkapkannya, bathin Herman berusaha mendasari apa yang dirasakannya
dengan logika.
“Kadang saya berfikir, mengapa selalu kami para wanita malam
yang disalahkan? Yang harus menanggung dosa besar dan siap dengan api neraka
karena profesi ini...bagaimana dengan para klien kami? Apa mereka juga cukup
suci dengan 'memakai' kami? Padahal apa yang kami lakukan adalah sekedar untuk
mencari nafkah...mungkin bapak menganggap apa yang saya ungkapkan hanya untuk
pembenaran atas 'dosa' yang saya tanggung...terserah saja..itu hak setiap orang
untuk menilai, dan mengapa 'dosa' ini cenderung melekat pada perempuan? Kadang
saya berfikir mungkin memang kodrat wanita bahwa dirinya diukur dari kesetiaan
dan hal itu tidak berlaku bagi laki-laki, hasrat hanyalah hasrat yang tidak ada
hubungannya dengan arti kata kesetiaan...maaf kalau saya terlalu banyak
bicara...”
Herman menggeleng pelan, dia tidak tahu harus mengatakan apa.
“Sudah berapa lama kamu seperti ini...” akhirnya kalimat itu yang
keluar dari mulut Herman.
“Sudah lama, cukup lama untuk bisa mengerti berbagai jenis tipe
laki-laki...”
Herman tersenyum
“Yah, saya tahu, terlihat jelas dari caramu bicara...”
Tiba-tiba Laura berdiri, berjalan pelan menuju jendela besar
kamar hotel tersebut, kemudian berdiri mematung, menatap keluar dengan
pandangan yang sulit dijelaskan. Herman hanya memandangi Laura dari tempatnya
duduk.
“Saya selalu menyukai malam....entah mengapa, mungkin karena
kehidupan saya dimulai dari sini...saat semua orang mulai melepaskan
kepenatannya setelah seharian berlari mengejar hari, saya justru sebaliknya
baru memulai semuanya, tapi saya berusaha menerimanya sebagai peran yang harus
saya jalani, karena hidup tak lebih dari bermain sandiwara, dan tak ada gunanya
berusaha menyangkal peran yang harus kita jalankan, paling tidak saya hanya
akan menjalani apa yang harus saya jalani...”
Laura menoleh ke arah Herman.
“Apa bapak merasa lelah...? silahkan bapak beristirahat, saya
hanya akan menunggu disini...” kata Laura.
“Rasa kantukku sudah hilang dari tadi...” Herman tertawa kecil.
Laura membalasnya dengan tawa pula.
“Begitulah para lelaki saat berdekatan dengan saya...” Laura
mengatakan itu sambil menggedikkan bahunya.
Suasana formal mulai mencair diantara mereka berdua.
“boleh saya bertanya sesuatu...?” tanya Laura
“hmmmm..coba saja, tapi aku berhak tidak menjawab kalau
menurutku pertanyaan tersebut bukan sesuatu yang pantas dijawab....”
Laura mencibir dalam hati, ego laki-laki...bathinnya.
“Apa bapak bahagia...?”
Hening sejenak.
“kamu sendiri bagaimana? Apa kamu cukup bahagia dengan hidupmu
dan duniamu saat ini..?” balas Herman.
“kenapa bapak malah balik bertanya? Ini pertanyaan buat
bapak....”
Herman tampak berpikir sejenak dan langsung mengagguk dengan
tegas.
“Yah, aku bahagia...” jawabannya terdengar pasti.
“kamu sendiri bagaimana...?” Herman mengembalikan pertanyaan
Laura.
“Sejauh ini saya cukup bahagia dengan apa yang saya
jalani....karena sebenarnya menurut saya bahagia atau tidak sebenarnya
tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapi hidup”
“Saya suka jawabanmu....” kata Herman sambil memandang Laura,
kagum.
Laura balas memandang Herman kemudian perlahan dia berjalan
mendekat ke arah tempat Herman duduk. Dia bersimpuh dihadapan Herman kemudian
menyentuh lembut tangan Herman.
Herman hanya diam, otaknya terasa mati. Dia tidak mampu berpikir
apa-apa lagi.
Laura masih memegang tangan Herman, mempermainkan jari-jemari
Herman, mengusap lembut cincin pernikahan di jari manis Herman dan tersenyum
saat mendapati Herman menatapnya sebagaimana tatapan seorang laki-laki pada
wanita.
Perlahan Laura bangkit mendekatkan wajahnya pada wajah Herman
dan mencium lembut bibir Herman.
Herman seakan terpaku di tempatnya duduk, tubuhnya terasa beku,
hasratnya menggelora selayaknya laki-laki. Bau parfum Laura menerobos
hidungnya, memenuhi kepalanya dengan sensasi dimana logika tak mampu lagi
membedakan antara benar dan salah. Dia seakan melayang, terbawa oleh nafsu
mengikuti permainan yang ditawarkan Laura. Dan kenyataannya pertahanannya sebagai
seorang laki-laki telah runtuh. Mungkin ini bukan sebuah kesalahan mungkin ini
memang sesuatu yang memang seharusnya terjadi dan bukankah setiap manusia tak
luput dari dosa dan khilaf?
Hitam jelaga alam menjadi saksi sebuah dosa. Tentang hasrat atau
logika yang berlaku antara hubungan dua manusia. Dan apakah itu benar-benar
dosa? Tentang kekhilafan, tentang nafsu dasar manusia yang paling manusiawi
dimana tak ada lagi batas norma karena yang tersisa hanyalah hasrat membara
disela desah nafas, cucuran keringat dan pergulatan tubuh sebagaimana manusia
lahir kedunia, hanya saja mereka telah bergelimang oleh lumpur dosa yang
menghitamkan kesetiaan dan nilai-nilai yang seharusnya dijaga antara lawan
jenis yang berbeda.
Mereka berdua telah larut dalam keintiman, waktu seakan
berhenti, dunia seakan menjadi milik mereka berdua, karena dosa dan kenikmatan
adalah racun yang memabukkan manusia.
Pagi menjelang. Herman menatap keluar jendela kamar hotel.
Matahari telah tinggi menyebarkan sinar mengisi relung-relung bumi dengan
kehangatannya. Sebuah dosa telah terjadi. Herman menyadari ini adalah kesalahan
terbesar dalam hidupnya. Membiarkan nafsunya menguasai diri, hingga dia telah
kehilangan kontrol untuk tetap berpegang teguh pada “kesetiaan”.
Aku hanya manusia biasa..
aku hanyalah seorang laki-laki normal, sisi bathinnya mencoba
membela diri.
Herman sendiri tidak menyangka bahwa dia bisa begitu mudahnya
“tergelincir” ke lembah dosa.
Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang.
Laura melingkarkan tangannya ke pinggang Herman dengan lembut.
Tapi perlahan Herman melepaskannya. Dia berbalik kemudian menatap Laura tajam.
“Yang terjadi semalam adalah sebuah kesalahan...” Herman menelan
ludah, mencoba membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Dosa itu terasa
membakar hati, jiwa dan pikirannya.
Laura menatap Herman tepat di kedua bola matanya, berusaha
mencari kejujuran disana. Bagi Laura yang terjadi tadi malam adalah anugerah
baginya. Entah mengapa dia tidak bisa menempatkan Herman hanya sebagai seorang
klien. Dia merasakan debaran-debaran aneh, kegugupan, bahagia bercampur
kesyahduan saat Herman menyentuhnya. Suatu hal yang belum pernah dia rasakan
sebelumnya. Dan Herman mengatakan bahwa yang telah terjadi adalah sebuah
kesalahan.
Ada rasa sakit dalam hati Laura, pahit dan getir yang dirasakan
jauh dalam lubuk hatinya. Dia berharap ini adalah sebuah awal dari hubungan
yang “mungkin indah”, tapi ternyata sebaliknya, Herman hanya menganggapnya
sebagai sesuatu yang harus diakhiri.
Laura menundukkan kepala, mencoba menahan rasa panas di
wajahnya, hatinya tersayat dan sesuatu yang bening terasa mengalir di pipinya.
Dia sebenarnya juga tidak tahu pasti mengapa dia menangis, bukankah apa yang
dijalaninya selama ini adalah sebuah “peran”? Sebuah permainan yang dia tahu
pada akhirnya memang segera berakhir, lalu untuk apa air mata ini? Bukankah dia
sudah terlalu sering untuk merasakan kejamnya dunia? Lalu mengapa dia jadi
begitu cengeng hanya karena sesuatu hal yang tak lebih dari “rutinitas”nya
setiap malam?
Perasaan hati seringkali adalah misteri. Sesuatu yang sulit
disatukan dengan logika. Dan saat ini Laura berharap dia akan mampu
mengembalikan logika pada tempatnya. Dia bukanlah siapa-siapa, selain hanya aib
dunia yang selalu berusaha disingkirkan, inilah perannya dan dia berharap pada
satu sisi hatinya yang sunyi bahwa dia akan bisa menerima kenyataan ini dengan
ikhlas.
Herman masih menatap Laura. Dia sama sekali tidak mengerti
mengapa Laura menangis. Tapi saat ini dia benar-benar merasa tidak mampu
berpikir lagi. Perasaan bersalahnya pada Karina sungguh terasa sangat berat
untuk ditanggung. Terbayang dalam benak Herman, wajah Karina dan anak-anaknya.
Semua sudah terlambat. Sesal selalu datang setelah semuanya terjadi.
“aku minta maaf...” Herman mengatakannya dengan pelan, sangat
pelan, seakan-akan kalimat itu sebuah bisikan untuk dirinya sendiri. Karena
Herman sendiri tidak yakin atas apa yang diucapkannya.
Air mata Laura semakin deras mengalir. Dia hanya menggelengkan
kepala sambil menggigit bibir bawahnya berusaha untuk menahan rasa sakit dalam
hatinya.
“Sebenarnya bapak tidak perlu mengatakan hal itu..bukankah dari
awal kita berdua tahu apa peran saya saat ini? Saya sendiri juga mengerti
mengapa saya menangis...”
Sepi sejenak. Laura berusaha mengatur nafasnya. Diusapnya dengan
kasar air mata yang tersisa di pipi dan matanya.
“Justru seharusnya saya yang minta maaf pada bapak...”
Herman hanya diam, tak bereaksi.
Laura segera berlalu dari hadapan Herman, bergegas masuk ke
kamar mandi. Tapi sebentar kemudian dia keluar, meraih tas kemudian mencari
rokok di dalamnya, lalu dia kembali masuk ke kamar mandi.
Laura menyulut rokoknya dan menghisap perlahan. Dia menatap
bayangan dirinya di cermin. Rambutnya masih tampak acak-acakan. Sisa-sisa make
up nya sebagian masih tertinggal di wajah. Maskara dan eyelinernya telah
luntur, menyisakan bayangan hitam di garis bawah matanya. Aku terlihat seperti
setan, bathinnya. Yah, bukankah profesinya saat ini selalu menjadikannya peran
antagonis? Karena apapun yang dirasakannya tak pernah jadi hal penting bagi
orang lain? Kenikmatan sesaat yang dia tawarkan hanyalah pelepas dahaga para
lelaki, tak ada yang memakai hati dan perasaan, semua hanya berdasarkan pada
nafsu dan hasrat. Dan justru saat Laura mulai merasakan keintiman secara fisik
yang mampu menggetarkan hatinya, dia harus rela melepaskan “seseorang” itu.
Mungkin ini hukuman atas dosanya selama ini, sebelum dirinya merasakan panasnya
api neraka, dia harus melalui sakitnya siksa dunia karena “cinta”? Laura
memukul-mukul kepalanya sendiri. Cinta...? apa aku sudah gila? Pikirnya. Apa
orang semacam aku berhak dan pantas mendapatkan itu? Atau hanya sekedar
memikirkannya?
Perlahan dia duduk di lantai kamar mandi. Laura menundukkan
kepala, menahan dengan kedua lututnya dan merasakan deraian air mata yang
mengalir di pipi.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar mandi. Laura
tersentak, terbawa kembali ke alam nyata tentang keberadaannya saat ini.
“Laura..., satu jam lagi aku harus keluar, kalau kau memang
masih mau disini....”
Suara Herman terhenti sejenak, tampaknya dia sedang berpikir.
Laura bangkit, membuka pintu dan langsung memeluk Herman.
Herman terkejut dengan sikap Laura tapi tetap berdiri mematung.
Laura memeluk erat Herman. Dia ingin untuk sesaat waktu
berhenti, membiarkan kehangatan yang mengalir akan dapat mencairkan kebekuan
hatinya selama ini. Membawa pagi yang akan menghantarkan mentari menyinari
dunianya yang kelam tanpa ada cahaya yang mungkin dapat menuntunnya dari lembah
yang gelap pekat. Karena saat ini untuk pertama kali, dia merasakan bahwa
kekuatan cinta mampu mengubah semua pemikirannya tentang dunia. Dan sayangnya,
rasa itu hadir dan terikat pada sosok yang “hampir tidak mungkin” untuk
dimiliki.
5. Firasat
Karina melirik jam di pergelangan tangannya, hemmmm..sudah
hampir jam delapan malam, waktu berjalan begitu cepat saat bekerja, gumamnya.
Dia meregangkan tangan dan kakinya, berusaha mengurangi penat akibat duduk
berlama-lama selama seharian ini. Herman belum menelepon. Entah mengapa
awalnya, dia juga tidak terlalu memikirkannya. Mungkin Herman masih sibuk. Tapi
entah mengapa, tiba-tiba Karina merasa ada yang mengganjal dihatinya.
Apa yang salah dengan hari ini, Karina bertanya pada diri
sendiri. Dia mencoba mengingat-ingat segala sesuatu yang telah dialaminya.
Tidak ada yang terlalu istimewa, semua berjalan sesuai dengan jadwalnya. Apa
aku telah melupakan sesuatu? Gumamnya lagi, tapi dia merasa semua telah
berjalan normal dan sesuai rencana.
Karina meraih telepon selularnya dan mulai mencoba menelepon.
Tapi belum sempat terdengar nada tunggu, buru-buru dia mematikan teleponnya
saat melihat Yeni rekan sekantornya melambaikan tangan untuk mengajaknya
pulang.
Karina merebahkan diri di atas tempat tidur, dengan masih
memegang buku yang sedang dibacanya. Sudah jam 11 malam, tapi Herman tak
kunjung masuk ke kamar. Dari tadi dia masih tampak sibuk di ruang kerja. Sempat
terpikir oleh Karina untuk menghampiri Herman dan mengajaknya tidur, tapi
niatnya segera diurungkan saat melihat Herman terlihat sangat serius dengan apa yang
sedang dikerjakan. Entah mengapa Karina merasa akhir-akhir ini Herman sengaja
menghindar darinya. Semenjak kepulangan Herman beberapa hari yang lalu, Karina
merasa ada yang berubah pada diri Herman. Pada awalnya Karina tidak terlalu
merisaukan hal itu, tapi entah mengapa hati kecilnya selalu membisikkan ada
sesuatu.
Karina memutuskan untuk turun dari tempat tidur berjalan menuju
ruang kerja Herman. Herman masih tampak di depan komputernya. Karina mendekati
Herman dan langsung melingkarkan tangannya pada leher Heman.
“Sibuk, Pa...?” bisiknya lembut.
“dikit...” Herman masih tidak melepaskan pandangannya dari
komputernya.
“ini tentang apa sih? Kok kayaknya serius banget beberapa hari
ini...”
“biasa aja kok..Ma...”
Herman sejenak menghentikan aktifitasnya menatap layar komputer.
Dia berdiri melepaskan pelukan Karina perlahan.
“Mau kemana, Pa?”
“toilet..” jawab Herman pendek.
Karina menghela nafas sambil menatap punggung Herman.
Pasti ada sesuatu, bisik Karina pada bathinnya sendiri. Belasan
tahun dia menjalani pernikahan dengan Herman, dan kali ini dia tahu ada sesuatu
yang disembunyikan Herman darinya. Darah Karina terasa berdesir. Apakah Herman
terlibat sesuatu? Berita-berita di koran dan posisi suaminya sebagai seorang
Dewan Rakyat sangat memungkinkan terjadi hal-hal semacam itu. Walau Karina tahu
pasti bahwa Herman adalah sosok yang kuat, idealis dan cenderung perfeksionist
dalam pekerjaannya. Tapi bukankah orang-orang sejenis itu justru yang
seringkali menjadi “korban”?
Semoga ini hanya perasaanku saja, bathin Karina.
Karina melihat Herman memasuki kamar. Perlahan mendekati tempat
tidur, menarik selimut dan kemudian berbaring disamping Karina.
Karina hanya melirik sekilas, dan kemudian berpura-pura kembali
membaca buku di tangannya.
“Apa ada sesuatu, Pa...?” Karina mengatakan itu tanpa menoleh
pada Herman, matanya masih mengarah pada buku, seakan-akan pertanyaannya hanya
dikatakan sambil lalu.
Herman tidak menjawab, dia hanya mengeluarkan suara hemm..pelan
sambil memejamkan matanya.
Karina segera meletakkan bukunya. Berbaring disamping Herman,
memandang wajah Herman sambil mengelus lembut pipi Herman.
Herman membuka matanya, menyentuh tangan Karina yang masih
membelai pipinya. Digenggamnya lembut tangan Karina sambil membalas tatapan
Karina. Entah mengapa Herman merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Beberapa hari ini dia merasa tak sanggup menatap wajah Karina. Hatinya terasa
tersayat setiap kali Karina mendekatinya. Sesuatu yang terasa aneh, mengingat
mereka telah menikah selama belasan tahun.
Dan saat ini Karina memandangnya dengan penuh harap atas
pertanyaan pendek yang dilontarkannya. Ada apa dengan dirinya? Herman sendiri
merasa tidak yakin atas apa yang akan dikatakannya nanti. Sebuah kejujuran atau
kebohongan yang memang seharusnya dilakukan demi sesuatu yang lebih besar, demi
kebaikan bersama, demi cintanya pada Karina, demi anak-anak dan demi
keluarganya. Hatinya selalu terasa sesak setiap kali dia mengingat hal ini. Dan
kini Karina mungkin telah merasakan perubahannya akhir-akhir ini. Tapi Herman
tahu pasti tak ada yang lebih baik dari kebohongan saat ini, bahwa sampai kapan
pun dia akan menutup rapat “kekhilafannya” itu. Dan dia tahu pasti itu bukan
sesuatu yang mudah dilakukan. Tapi bukankah setiap orang punya rahasia?
“Ga ada apa2, Ma...semua baik-baik aja, kok...” akhirnya kalimat
itu yang keluar dari bibirnya.
Karina menghela nafas, seakan-akan ada beban yang dipendamnya.
Dia tahu Herman menyembunyikan sesuatu, tapi saat ini tampaknya Herman belum
ingin berbagi dengan dirinya. Dan dia tidak ingin mendesaknya. Biarlah suatu
saat nanti dia akan tahu dengan sendirinya.
Keheningan menggayut diantara mereka, saling larut dengan
pikirannya masing-masing. Dan malam pun berjalan merambat. Biarlah waktu yang
memiliki jawaban atas semua.
6. Ciuman di Bibir
“Kamu bener-bener kacau beberapa hari ini..” Trisa terdengar
menggerutu
Laura mengacak pelan rambutnya seakan berusaha mengusir segala
kekalutan yang memenuhi kepalanya.
“sebenernya ada apa sih…?” suara Trisa terdengar kuatir.
“Kamu terlibat hutang? Atau ada yang mengancam kamu…?”
Laura hanya menggeleng.
Suara musik yang riuh rendah mengaburkan suara Trisa.
Laura tidak mempedulikan pertanyaan Trisa. Dia menggerakkan
pelan tubuhnya mengikuti alunan musik, berusaha menghibur diri sendiri.
Dihisapnya rokok dalam-dalam. Tapi gundah itu masih terasa
memenuhi hatinya. Apa yang telah terjadi dengan diriku? Berkali-kali bathin
Laura meneriakkan pertanyaan itu. Tapi sampai kini dia sendiri belum menemukan
jawaban yang pasti.
Laura meraih gelas berisi soft drink di depannya. Malam ini dia
sedang tidak ingin mabuk. Dia ingin menganalisa secara sadar apa yang sedang
dirasakannya akhir-akhir ini.
Berusaha memisahkan batas antara kehidupan nyata dan dunia mimpi
yang ada di angannya.
Pun saat dia berada di keramaian, kini dia merasa begitu
kesepian, merasa begitu asing dengan dunia yang telah dijalaninya selama ini.
Entah mengapa semua terasa begitu aneh setelah dia mengenal Herman. Laura
merasa mulai jenuh dan benci dengan kehidupannya kini. Mungkinkah aku sudah
gila? tanyanya pada diri sendiri.
“Aku pulang ya?” Kata Laura tiba-tiba, dan langsung berdiri,
bersiap meninggalkan Trisa.
Trisa tampak terkejut dengan sikap Laura.
“Hei..kita baru saja sampai…”
“Aku capek nih…” Laura langsung berjalan menuju pintu keluar,
melewati beberapa kerumunan kecil orang-orang yang sedang menikmati malam,
diiringi hentakan musik dan remang-remang lampu.
“Hei….tunggu…” suara Trisa terdengar jauh di belakang.
Tepat di depan pintu, Trisa berhasil meraih tangan Laura.
“Ada apa sih? Kamu bener-bener gak mau cerita?”
Laura menatap Trisa tepat pada kedua matanya. Dibalik riasan
mata tebal dan maskara hitam yang tampak agak berlebihan Laura melihat
kesungguhan disana, dan siapa lagi yang bisa diajak “bicara”? Selama ini Trisa
lah yang selalu sabar dan penuh perhatian mendengar segala keluh kesahnya.
Tiba-tiba entah mengapa Laura ingin memeluk Trisa.
Didekapnya erat Trisa, dan sebutir air mata menetes di pipi
Laura.
Trisa masih diliputi kebingungan dengan apa yang terjadi atas Laura,
tapi dia membalas pelukan Laura dan membelai pelan punggung sahabatnya itu.
“Ada café kecil diujung jalan ini, mungkin kita bisa disana”
Trisa berbisik pada Laura, sambil mengendurkan pelukannya, dan
dia semakin bingung saat melihat Laura menangis.
Mereka memasuki sebuah cafe kecil yang letaknya tepat di ujung
jalan. Suasananya belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang tampak
asyik mengobrol.
Laura dan Trisa sengaja mengambil tempat di sudut cafe. Laura
duduk di sofa beludru berwarna coklat tua dan Trisa berada tepat dihadapannya.
Mereka hanya dipisahkan dengan sebuah meja kecil. Seorang gadis yang mengenakan
stelan serba hitam dan celemek merah mendekati mereka.
“Selamat malam, mau pesan apa, Kak?” tanyanya ramah.
Trisa menoleh ke arah Laura yang hanya diam mengamati
sekeliling, tapi Trisa tau pasti pikiran Laura sedang tidak disini.
“Cappucino aja deh, dua..”
Gadis itu mengangguk dan segera pergi dari situ.
“Ada apa sih?.....” Trisa bertanya, suaranya dibuat setenang
mungkin.
Laura memandang Trisa seakan mencari kepastian atas pertanyaan
itu, karena dia sendiri juga tidak yakin atas apa yang dirasakannya. Semuanya
terasa begitu rumit baginya.
“Mungkin....aku ingin berhenti...”
Trisa tampak terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan Laura,
tapi dia tetap berusaha menjaga sikap, khawatir Laura merasa tidak nyaman
dengan apa yang baru saja diungkapkannya.
“Maksudmu...?” Trisa berpura-pura tidak mengerti, dia hanya
ingin meyakinkan atas apa yang baru saja didengarnya.
“Aku lelah, jenuh, dan seringkali berpikir sampai kapan aku akan
seperti ini. Suatu saat aku akan menjadi tua, dan tak kan ada lagi yang mau
'memakaiku'....”
Trisa menelan ludah. Dia tampak berpikir sejenak.
“Semua orang tidak ada yang mau selamanya seperti ini...kamu
tahu pasti itu...tapi apa yang bisa kita perbuat? Saat ini memang hanya ini
yang kita bisa, apa ada yang mengganggumu akhir-akhir ini?”
Laura menggeleng lemah. Dia tahu pasti jawaban itu yang akan
keluar dari mulut Trisa.
“Aku jatuh cinta....” suara Laura terdengar sangat pelan dan
tidak yakin.
Seketika alis Trisa terangkat, menatap lekat-lekat Laura,
mencoba mencari kepastian dari wajah Laura atas apa yang baru saja didengarnya.
Laura mengangguk, meyakinkan Trisa.
“Siapa...?”
“seorang klien...” suara Laura terdengar lirih.
Trisa menghela nafas panjang, sebongkah batu besar seakan-akan
baru saja menghimpit dadanya.
“kau mencium bibirnya...?” tiba-tiba Trisa mengatakan hal itu.
Laura tampak terkejut dengan pertanyaan Trisa, dan sedetik
kemudian mengangguk lemah.
Trisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, seakan dia ingin
menolak apa yang baru saja didengar. Kemudian ditangkupkannya tangan menutupi
wajah, dia seperti baru saja mendengar bencana.
“Aku kan sudah pernah mengingatkanmu soal itu? Dari awal kita
hidup dari 'dunia' ini, dan inilah akibatnya, kau mulai pakai perasaan saat
menjalankan pekerjaan, dan kau tahu itu sebuah kesalahan, kesalahan yang
fatal..”
“Tapi..aku benar-benar tidak mampu menahan diriku sendiri, dia
begitu mempesona..”
Trisa menghela nafasnya.
“aku sudah pernah mengingatkan hal ini..berulang kali
malah...sebisa mungkin hindari ciuman bibir...karena dari situ semuanya bisa
berubah, kamu akan 'melakukannya' dengan hatimu....”
Laura diam tak bergeming. Dirinya seakan terlempar kembali pada
saat hal itu terjadi.
“Bibirnya terasa hangat, waktu seakan mencair oleh
kehangatannya, masuk ke relung hatiku yang terasa dingin sekian lama. Dia
melakukannya dengan hati-hati, menyentuhku lembut seakan-akan aku begitu rapuh
dan akan hancur karena sentuhannya. Dan aku memang benar-benar larut, seakan
ingin menyatu dengan dirinya...”
Trisa bengong, mulutnya ternganga, dia begitu terbawa dengan apa
yang baru saja diceritakan Laura. Entah perasaannya atau memang kejadian itu
begitu indah dalam bayangan Trisa, suatu hal yang belum dirasakannya setelah
sekian lama berganti-ganti dengan laki-laki yang tak terhitung berapa
jumlahnya. Dan entah mengapa ada rasa iri
terselip di sudut hatinya. Bercinta baginya adalah sesuatu yang begitu
mudah, semudah menjentikkan jarinya, tapi “melakukannya” dengan penuh perasaan
dan cinta, benar-benar diluar angan dan bayangan.
“Ini gila...kamu benar-benar jatuh cinta pada laki-laki ini.”
Laura mengangguk.
“Dia sudah beristri, punya dua anak, dan keluarganya tampak
sangat bahagia...”
Trisa merasakan beban dalam hatinya semakin berat. Kini dia
mulai mengerti atas apa yang dirasakan Laura.
“kau tahu itu gak mungkin, sayang...jangan pernah mencoba
berpikir egois untuk memilikinya..” akhirnya Trisa mengatakan itu dengan sangat
pelan.
Laura menggigit bibir bawahnya, sekedar menahan pedih yang
tiba-tiba terasa menyayat hati.
7.
Badai
Karina
membaca sekali lagi pesan yang masuk ke telepon selularnya. Sebuah pesan pendek
berisi pemberitahuan. “sesuatu telah terjadi dengan suami anda”. Karina
berusaha menganalisa kalimat pendek itu. Pesan dikirim dari nomor yang tidak
dikenalnya. Karina sempat berpikir ini mungkin sejenis tindak kejahatan
penipuan yang ujung-ujungnya meminta tebusan sejumlah uang. Tanpa bepikir
panjang lagi, Karina langsung menghubungi Herman, dia sudah mengatur rencana
seandainya hal tersebut benar merupakan penipuan.
“Halo..?
papa gak papa kan ?”
Karina berusaha mengatur suaranya agar tidak terdengar cemas.
“Ya,
ma...ada apa? Aku lagi rapat nih...”
“mmmhh...okey
deh...nanti aja aku cerita..., daagh...”
Klik.
Karina
merenung sejenak. Pikirannya terasa kosong. Kemudian dia berusaha menghubungi
si pengirim sms. Terdengar nada sambung, beberapa saat tapi tetap tak ada yang
mengangkat. Dicobanya sekali lagi untuk menghubungi, tapi hasilnya tetap sama,
tak seorang pun menganggat teleponnya.
Akhirnya
Karina memilih untuk mengabaikannya. Tapi beberapa saat kemudian kembali masuk
sebuah pesan singkat di telepon selularnya. “anda telah dikhianati”.
Degh,
Karina merasa sebuah sengatan dalam dadanya.
Kata-kata
dalam pesan itu begitu singkat dan cukup jelas. Apa ada yang ingin memfitnah
Herman? Bathin Karina. Deburan jantungnya semakin terasa. Dia mencoba
mengaturnya dengan menarik nafas dalam-dalam. Terlepas dari benar atau salah
pesan itu, Karina merasa ini bukan sesuatu yang main-main.
Entah
mengapa tiba-tiba terlintas sikap Herman yang tidak biasa beberapa minggu
terakhir ini. Karina tahu ada sesuatu yang disembunyikan Herman, sesuatu yang
tampaknya sulit untuk dibagi dengan Karina.
Karina
memejamkan mata, membisikkan sebuah doa dalam hatinya. Semua akan baik-baik
saja, Karina..katanya dalam hati mencoba berpikir positif atas apa yang baru
saja di baca pada telepon selularnya.
Lampu
kamar temaram. Karina berbaring di sisi sebelah kiri ranjang. Diliriknya Herman
yang tampak memejamkan mata dengan posisi miring menghadap Karina.
“Pa...udah
mau tidur? Aku mau tanya sesuatu..”
“Mmmmhh...”
Herman mengatakan itu tanpa membuka matanya.
“Akhir-akhir
ini entah mengapa aku merasa papa jadi aneh...apa gak ada yang papa ingin
ceritakan?”
Herman
membuka matanya, tapi mulutnya tetap diam, menunggu kata-kata Karina
berikutnya.
“Gak
ada apa-apa, ma...” kalimat itu yang meluncur setelah sebuah helaan nafas
panjang.
“hari
ini ada yang mengirim sms aneh ke handphone ku...” Karina mencoba mengatur
suaranya agar tetap terdengar tenang.
Hening
sejenak, hanya terdengar suara nafas dan degup jantung masing-masing.
“sms
aneh gimana...?” suara Herman memecah kebekuan.
Karina
meraih handphone nya dan menyerahkan pada Herman.
“coba
papa baca sendiri...”
Herman
menerima dan membaca pesan singkat yang ditunjukkan Karina. Cukup lama dia
terdiam, merenung, membaca berkali-kali isi pesan singkat itu, sambil otaknya
berusaha mengatur kata-kata yang cukup bisa diterima akal sebagai jawaban atas
apa yg tertulis dalam sms itu.
“mungkin
orang iseng atau salah kirim, ma...” Herman mengatakan itu tanpa berani menatap
Karina, dia berpura-pura meletakkan handphone ke meja kecil di samping tempat
tidur.
Karina
terdiam, menghela nafas dan kemudian menatap lekat-lekat Herman.
“Entah
mengapa aku ngerasa akhir-akhir ini papa agak berbeda...”
“maksudmu...?”
“Papa
seperti menyembunyikan sesuatu dari aku..”
“mmmh...mungkin
itu cuman perasaanmu aja, ma...aku agak capek akhir-akhir ini, banyak persoalan
di dewan...”
Karina
menghela nafas.
“Kita
berumah tangga bukan baru satu-dua tahun, pa...aku tahu persis dirimu...”
Karina sengaja menggantung kalimatnya.
Karina
mengulurkan tangannya berusaha memeluk Herman, degup jantung Herman sangat
terasa di dadanya.
Herman
meraih kepala Karina dan mengecup keningnya lembut. Ada sesak dalam dadanya, pikirannya buntu,
otaknya terasa mati. Dipeluknya erat Karina.
..maaf..kata-kata
itu memenuhi kepala Herman. Haruskah dirinya berterus terang? Herman tahu pasti
Karina tidak akan menerima begitu saja apa yang dikatakannya. Karina cukup
cerdas untuk bisa membaca apa yang telah terjadi akhir-akhir ini dengannya.
Tapi Herman benar-benar 'belum' merasa siap, atau bahkan tidak akan pernah siap
akan hal itu. Apakah keterusterangannya nanti bisa membuat keadaan menjadi
lebih baik? Karena dia sendiri merasa begitu sangat tersiksa “menyembunyikan”
hal itu pada Karina. Apa yang akan dikatakannya pada Karina? Mengatakan bahwa
apa yang telah terjadi tidak lebih hanyalah sebuah kekhilafan hasrat seorang
laki-laki? Tentang sebuah “jebakan” yang termakan olehnya karena pesona gadis
itu? Atau memang sesuatu yang terjadi begitu saja dan bisa dialami setiap
laki-laki manapun dalam kondisi seperti itu..?
Herman
mempererat pelukannya. Dia sangat yakin tak akan menukar Karina dengan apapun
di dunia ini. Apa yang terjadi dengan Laura bukanlah apa-apa, semua tak lebih
dari sekedar hasrat.
Karina
masih terdiam dalam pelukan Herman. Dia semakin yakin telah terjadi sesuatu
pada suaminya. Benarkah apa yang dibacanya pada sms itu? Sungguh sulit
dipercaya kalau Herman sampai menghianatinya. Apa yang salah dengan diriku
selama ini? Seperti apa wanita itu? Berapa lama mereka berhubungan, dimana
mereka saling mengenal, apa saja yang telah mereka lakukan. Jantung Karina
terasa berdegub kencang membayangkan hal itu. Sekarang dirinya bimbang harus
tetap berpura-pura bahwa memang tidak terjadi sesuatu dengan Herman atau
berusaha mendesak Herman untuk mengatakan yang sebenarnya. Bagaimanapun
kejujuran diatas segalanya, walaupun itu tidak selalu berarti memperbaiki
keadaan.
Perlahan
Karina meregangkan pelukan Herman, meletakkan kedua telapak tangannya pada pipi
Herman dan menatap lekat tepat pada mata Herman.
“ceritakan
yang sebenarnya, Pa. .sepahit
apapun itu aku akan berusaha untuk menerima...” kalimat itu meluncur perlahan
dari bibir Karina.
Herman
menelan ludah, bibirnya kelu. Hatinya masih dipenuhi kebimbangan untuk berterus
terang atau tetap berusaha menutupi, tapi dia tahu tak mungkin lagi menutupi
hal ini dari Karina. Mungkin memang sudah saatnya mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi. Dia tahu Karina wanita yang bijaksana dan berpandangan
luas, dia berharap Karina bisa memahami situasi atas apa yang terjadi. Tapi
wanita mana yang bisa menerima “penghianatan”? Sisi bathin Herman yang lain
berontak.
Herman
menghela nafas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya. Dipandanginya Karina
lekat-lekat, wanita yang telah setia mendampingi dirinya selama belasan tahun,
wanita yang telah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan anak-anaknya, dan Herman
semakin yakin dia tidak mungkin terus
menyimpan dosanya, karena itu hanya akan menjadi beban selama hidupnya.
“maafkan
aku, Ma....” bisik Herman
Karina
menghela nafas, dadanya berdebar kencang, dia tahu sebentar lagi ketahanan dan
ketegarannya sebagai seorang wanita akan diuji.
Karina
bangkit dari tempat tidur. Duduk di sisi ranjang berusaha menenangkan hatinya
sendiri. Herman mengikuti apa yang dilakukan Karina, bangkit dari tempat tidur
kemudian berjalan perlahan, duduk bersimpuh di lantai menatap Karina sambil
menggenggam erat tangan Karina. Perlahan diciumnya tangan itu, sudut matanya
telah basah. Penyesalan yang menusuk-nusuk hatinya selama ini berusaha
dilepasnya melalui air mata.
Karina
masih diam, pikirannya dipenuhi suara-suara tentang kesetiaan dan penghianatan.
“siapa wanita itu?” suaranya tercekat, sekuat apapun dia berusaha tegar tapi
tak mampu menahan air matanya yang mulai meleleh. Dunianya terasa
berputar-putar.
“Maafkan
aku, ma..aku khilaf...semuanya terjadi begitu saja...dan itu hanya terjadi
sekali...” Herman terdiam tak tahu harus mengatakan apalagi atau bagaimana cara
dia mengatakannya agar tidak menyakiti hati Karina, tapi otaknya benar-benar
buntu, dia merasa tak mampu menemukan kata dan kalimat yang tepat untuk
menggambarkan situasi saat itu terjadi, karena semuanya terjadi begitu saja.
Tiba-tiba
Karina berdiri, disentaknya dengan keras tangan Herman, hatinya benar-benar
terluka, dia tahu bahwa hal ini yang akan dihadapinya, tapi tetap saja ada
sebilah pisau yang terasa menusuk hati saat dia mendengarnya sendiri dari mulut
Herman, karena pada awalnya Karina berharap bahwa ini hanyalah perasaannya
saja, bahwa sebenarnya Herman tak akan pernah menghianatinya.
Karina
bejalan ke sudut kamar, menatap keluar jendela yang tirainya setengah terbuka.
Berusaha mengendalikan emosinya yang meluap-luap. Ini terlalu menyakitkan,
setegar apapun dia berusaha.
8.
Anugerah dan Malapetaka
Laura
menelusuri deretan angka-angka di kalender. Sesekali bibirnya bergumam sendiri,
menghitung-hitung dengan jarinya dan kemudian menghela nafas panjang. Wajahnya
masih terlihat datar, lalu bergegas dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Dibacanya seksama petunjuk penggunaan benda kecil itu, kemudian masuk ke kamar
mandi. Beberapa menit kemudian entah mengapa Laura merasa akan ada perubahan
besar dalam hidupnya. Ditatapnya lekat-lekat testpack kehamilan di tangan
kanannya. Wajahnya begitu cerah menatap benda kecil itu, dua garis merah cukup
membuat hatinya terasa dipenuhi bunga-bunga segar musim semi. Entah mengapa dia
begitu merasa “ringan” saat ini. Hidupnya yang terasa kosong tiba-tiba seperti
menemukan sebuah sinar yang mungkin akan mengisi hari-hari suramnya selama ini.
Ini
adalah anugerah, pekiknya dalam hati.
Karina
terdiam mematung memandangi tumpukan buku dihadapannya. Gejolak bathinnya
beberapa hari ini berusaha diredamnya dengan menenggelamkan diri dalam
buku-buku. Menekuri setiap huruf, kata, dan menjejalkan dalam otaknya untuk
sekedar menemukan sebuah rangkaian kalimat yang mungkin akan mampu meringankan
beban yang dirasakannya akhir-akhir ini.
Perasaan
yang terhianati, apa yang bisa ditelaah dengan akal sehat mengenai itu? Selain
rasa sesak, ketidaknyamanan saat tidur, detak jantung yang tidak teratur,
pusing kepala yang semakin sering datang, kesemuanya hanya menyangkut keadaan
fisik yang mengalami efek dari perasaan itu sendiri. Padahal Karina menyadari
bahwa dirinya membutuhkan lebih dari sekedar definisi “sakit” atas fisik. Dia
ingin sebuah “pencerahan” tentang apa yang sedang dialaminya saat ini. Sebuah
kekuatan baru untuknya menjalani hari-hari ke depan yang pasti tidak sama lagi
setelah apa yang terjadi.
Berhari-hari
dia membaca buku, merenung, mengendapkan apa yang dibaca dan dirasakannya saat
ini, hingga sampai pada satu kesimpulan mungkin waktu yang akan mampu
menyembuhkannya.
“ikhlas”
itu satu kata yang banyak ditemukannya dalam berbagai literatur yang dibacanya.
Tapi tahu apa para penulis buku itu tentang definisi “ikhlas” itu sendiri
selain hanya rangkaian enam huruf yang berusaha diwujudkan untuk mewakili
perasaan atas “kelapangan hati” tentang sebuah dosa?
Bukan
hal mudah untuk bisa menerima keadaan bahwa seorang yang kita beri kepercayaan
sepenuh hati dan raga, bisa “menanggalkan” hal itu dengan mudahnya demi sebuah
kenikmatan sesaat. Mungkinkan itu hanya sekedar hasrat liar laki-laki? Atau
jebakan suasana? Atau sebuah pembuktian ego diri?
Karina
menghela nafas panjang berusaha mengisi penuh paru-parunya dengan oksigen,
kepalanya kembali terasa berdenyut-denyut.
9.
Pembenaran
“Apa
yang kau harapkan dari aku, Pa..?” tiba-tiba Karina meluncurkan kalimat itu.
Herman
tampak terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan Karina.
“Maksudmu
apa, Ma..?”
“Bagaimana
sikapku dalam masalah ini? Apa yang Papa harapkan...?”
Herman
terdiam. Tercenung sejenak kemudian menatap mata Karina dalam-dalam.
“Ga
ada, Ma...” Herman mengatakannya seraya menggelengkan kepala.
“Aku
tak punya hak untuk meminta hal itu. Aku sadar dosa yang aku lakukan cukup
dalam melukai perasaanmu. Mungkin satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah
bagaimana agar aku bisa menghapus luka itu...dan aku sangat sadar bahwa bukan
hal yang mudah untuk melaluinya. Sungguh, aku tak pernah punya niat untuk
menyakitimu. Aku juga sangat tersiksa dengan dosa ini, akan aku lakukan apa saja
untuk bisa menebusnya, tapi yang paling membuatku sakit adalah melihat air
matamu yang terus mengalir atas perbuatanku. Sungguh aku juga sangat tersiksa
atas kekhilafan yang telah aku lakukan...”
Karina
mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Hatinya masih terasa sesak.
Bibirnya bergetar, berusaha mengucapkan sesuatu. Tapi yang keluar dari mulutnya
hanya serupa gumaman yang dirinya sendiri juga tidak tahu apa yang ingin
diungkapkannya.
Hening
sejenak menyelimuti mereka berdua. Kamar itu terasa begitu dingin.
“Aku
berusaha memahaminya sebagai sebuah kekhilafan, Pa..” suara Karina mencairkan
kebisuan diantara mereka.
“berusaha
mengerti bahwa ada perbedaan besar dari sebuah hasrat dengan kesetiaan. Tentang
kebutuhan laki-laki dan keinginan hati untuk menjaga kesucian pernikahan. Tapi
siapa yang menentukan batas ukuran itu? Beberapa hari ini aku berusaha
menempatkan diriku dalam situasimu. Berusaha berfikir sebagai seorang laki-laki
yang terjebak dalam sebuah kamar dengan seorang wanita cantik yang merelakan
seluruh tubuhnya untuk dinikmati, dan keadaanmu sangat memungkinkan untuk
itu...” Sejenak Karina menggantung kalimatnya.
“Please,
Ma....jangan terus siksa dirimu dengan ini...”
“Tolong
biarkan aku meneruskan ini...” suara Karina mulai meninggi.
“aku
bahkan tidak percaya pada diriku sendiri.. ternyata perlahan aku bisa
menerimanya, menerima hal itu sebagai sebuah kekhilafan..”
Karina
menghela nafas.
“Tapi
itu bukan berarti bisa begitu saja menghapus luka dalam hatiku... rasa sakit
itu masih tinggal dan aku sendiri juga tidak tahu akan bertahan sampai kapan..
bahkan mungkin tak akan pernah hilang. Dan selama aku melalui proses ini
mungkin tidak akan mudah bagi diriku menerimamu seperti dulu lagi. Sampai
kapanpun aku tidak akan bisa berpura-pura menipu diri seakan hal itu tak pernah
terjadi...”
Sejenak
keheningan menyergap.
“apa
yang terlintas dalam benakmu saat 'melakukan' itu...?” Karina menatap Herman
dengan sinis.
Tak
ada jawaban. Herman berharap apa yang baru didengarnya hanyalah sekadar
halusinasinya sendiri. Bahwa sebenarnya pertanyaan itu tak pernah dilontarkan
oleh Karina, tapi ternyata itu memang kenyataan. Herman menatap wajah Karina,
dia sedang menunggu apapun yang akan keluar dari mulutnya, sebagai pengakuan
dari seorang laki-laki yang berkhianat atas janji suci.
Lama
Herman tercenung, menemukan rangkaian kata yang sekiranya tak akan melukai
Karina, tapi itu sangat mustahil. Apapun yang dikatakannya pasti akan menyakiti
Karina.
Herman
menggelengkan kepalanya setelah beberapa saat. Tapi dia belum berani menatap
wajah Karina lagi. Kepalanya tertunduk, menatap lantai marmer di kamarnya.
“Apa
sedikitpun tak terlihat dalam pikiranmu tentang aku dan anak-anak...? apa
memang semudah itu 'kekhilafan'...? tolong bantu aku meredakan rasa marah
ini...aku juga tersiksa dan ingin menghilangkannya....” suara Karina
melengking, emosinya tercurah, jiwanya terbakar amarah dan cemburu.
Tiba-tiba
saja Herman memeluk Karina, direngkuhnya kepala Karina dalam dekapan. Tubuh
Karina terguncang-guncang seiring isakan tangisnya. Hasratnya ingin berontak
dari dekapan Herman, tapi tubuhnya tak kuasa lepas dari pelukan itu. Akhirnya
dia hanya pasrah, membiarkan airmatanya membasahi dada Herman, sambil berharap
bahwa suaminya itu memahami seberapa dalam “rasa sakit”nya atas perbuatan itu.
10.
Sebuah Akhir
Mobil
sedan berwarna hitam itu masih terparkir di pelataran gedung Dewan Rakyat,
berjajar rapi bersama mobil-mobil mewah lainnya. Pemandangan yang khas dari
sebuah potret “kemapanan” para wakil rakyat. Suasana sore itu tampak muram
karena mendung yang menggelayut di atas kota .
Laura
masih berada dalam mobilnya, sudah sejak sejam yang lalu. Dia melakukan
peregangan ringan dengan tangan dan kakinya, sekedar mengusir penat dan rasa
bosan yang mulai menyerang. Matanya tak lepas dari mobil sedan hitam dengan
nomor polisi yang sudah dihapalnya diluar kepala. Sesekali diketuk-ketukkannya
ibu jari dan telunjuknya pada setir mobil, mengikuti irama dari musik yang
mengalir dari radio yang diputarnya. Dia sudah merasa sangat jenuh dan hampir
memutuskan untuk kembali, saat dilihatnya sosok yang begitu dikenalnya selama
ini walau hanya sekedar dalam mimpi-mimpinya.
Herman
berjalan tenang menuju mobilnya. Dia baru saja membuka pintu mobil dan bersiap
masuk ke dalam ketika disadarinya ada seseorang sedang melihat ke arahnya.
Jantungnya seakan berhenti beberapa detik. Sentakan atas rasa keterkejutan,
membuatnya hanya mampu diam dan tak mampu berpikir. Tapi perasaannya mengatakan
ada sesuatu yang buruk akan menimpanya. Entah kenapa, Herman merasa hidupnya
dekat dengan kesialan sejak bertemu dengan gadis itu. Dan dia mulai berdoa
dalam hati bahwa kesialan itu akan segera berakhir hari ini.
“Saya
mau bicara, pak...”
“mmmhh...apa
yang kamu inginkan..” Herman berusaha menyembunyikan gelisah dengan menghela
nafas panjang.
Laura
tidak segera menjawab. Dia membuka tas mengeluarkan sebuah amplop kecil berisi
sesuatu di dalamnya.
“Saya
ingin bapak melihat ini...” Laura berkata seraya menyerahkan amplop itu.
Herman
ragu-ragu menerimanya. Ada kekhawatiran bahwa Laura akan terus menariknya dalam
permainan kalau dia menuruti keinginan wanita itu, tapi dia juga berpikir bahwa
mungkin dia bisa mengakhirinya hari ini, menegaskan akan keberadaan wanita itu
dalam hidupnya hanya memberikan beban, dan apa yang terjadi tidak lebih dari
sebuah “kesialan” yang dialaminya. Dan ini mungkin bisa diawali dengan apa yang
diserahkan Laura saat ini dengan satu syarat bahwa wanita itu akan segera pergi
dari hidupnya.
Herman
menghela nafas lagi.
“Aku
mau menerimanya dengan satu syarat, bahwa kamu berjanji tidak akan pernah
mengganggu kehidupanku lagi”.. Herman merasakan jantungnya berdetak cepat saat
mengatakan itu, emosi telah membuat darahnya terasa berdesir-desir.
Laura
hanya diam, menatap tajam ke mata Herman, lalu tersenyum sinis.
“Bapak
berharap bahwa amplop kecil ini adalah sebuah akhir, padahal itu bisa jadi
sebuah awal. Sesuatu bisa dimulai dari sini” Laura mengatakan itu sambil
mengacungkan benda kecil itu. Dalam diri Laura, dia merasa begitu yakin bahwa
apa yang dibawanya akan bisa mengubah sikap Herman atas dirinya. Bahwa sesuatu
didalam amplop kecil itu seakan sebuah jimat untuk Laura mendapatkan Herman
seutuhnya.
Herman
tidak mau berdebat lagi, diraihnya amplop kecil itu dari tangan Laura dengan
sedikit kasar, menghela nafas sambil tampak berpikir sejenak, lalu mulai
membukanya.
Herman
melihat sebuah alat test kehamilan yang menunjukkan dua garis merah di atasnya.
Tak
ada kata-kata yang keluar dari mulut Herman, dan Laura masih menunggu, dia
merasa jantungnya berdetak lebih kencang, ada kekhawatiran dalam hatinya,
sesuatu yang tidak dirasakan sebelumnya. Beberapa jam sebelum menuju kantor
Herman, Laura merasa bahwa dia akan menjadi seorang pemenang. Apa yang
diimpikannya selama ini tentang Herman akan menjadi kenyataan. Walaupun Laura
sadar bahwa jalan yang dilaluinya tidak akan mudah, tapi dia begitu yakin
Herman akan menjadi miliknya, dengan cara apapun. Tapi sikap Herman yang
dilihatnya saat ini mampu mengacaukan pikiran Laura atas keyakinannya beberapa
waktu yang lalu.
“Apa
ini sebuah lelucon...” suara Herman terdengar datar.
Laura
menatap Herman dengan pandangan tak mengerti. Apa yang lucu dari semua ini.
“Ini
anak bapak…” Laura mengatakannya tanpa ragu sambil menatap tajam Herman.
“Dan
menurutmu akan percaya begitu saja dengan apa yang baru saja dengan apa yang
kamu katakana?”
Bapak
HARUS percaya, karena itu kebenarannya…”
“Maaf,
aku harus mengatakan ini..siapa yang bisa menjamin kalau janin yang kau kandung
adalah darah dagingku, ini menyangkut profesimu…” Herman berusaha menenangkan
hatinya sendiri. Tapi gemuruh yang ada dalam dadanya semakin terasa. Rasa takut
sedang melingkupinya kini.
Laura
diam, bibirnya bergetar menahan segala perasaan dalam dirinya. Ini menyakitkan,
terlalu menyakitkan baginya. Dengan segala mimpi dan harapan yang telah dia simpan
dan bawa sampai disini lalu harus menghadapi kenyataan yang jauh dari
bayangannya. Dia mulai merutuki dirinya sendiri yang terlalu naïf. Cinta
seringkali membuat orang jadi bodoh…! Jeritnya dalam hati.
“Tolong
pergi dari kehidupanku..aku mohon padamu, itu sebuah kesalahan besar dalam
hidupku, kuharap dirimu bisa mengerti..” suara Herman terdengar lirih, seakan
dia sendiri tak yakin dengan apa yang baru saja dikatakannya, memohon pada
seseorang atas sebuah kesalahan.
Laura
masih diam. Kemudian melangkah pergi menjauh, berjalan pelan menuju mobilnya,
Herman
menarik nafas lega. Dia sendiri tidak menduga akan semudah itu Laura pergi,
dengan sebuah kalimat permohonan darinya.
Herman
bersiap masuk ke mobilnya, saat kemudian terdengar sebuah teriakan.
“Saya
mencintai bapak…. Saya benar-benar jatuh cinta pada bapak. Banyak hal yang
bapak tidak tahu bahwa perasaan ini memiliki arti besar dalam kehidupan saya..
“
Herman
menoleh dan terkejut dengan apa yang apa yang dilihatnya. Laura sedang memegang
sebuah botol berisi cairan di tangan kiri dan tangan kanannya memegang pemantik
api.
“Apa
yang kamu lakukan…?” Herman ragu-ragu mendekat.
Keributan
itu tampak mengundang perhatian beberapa orang yang sedang berada di pelataran parkir
tersebut. Beberapa orang mendekat tapi tidak berani mengambil tindakan.
Laura
masih berteriak-teriak, wajahnya basah oleh airmata, rambutnya kusut masai, dan
kedua tangannya masih memegang botol kecil berbau bensin dan pemantik api.
“Laura,
tolong…jangan lakukan itu, kamu cukup cerdas untuk bisa berpikir panjang”
Herman berusaha mendekat, mencoba meraih tangan Laura yang memegang pemantik
tapi Laura menghindar.
“Terima
kasih.. atas apa yang pernah terjadi, bapak tidak akan pernah bisa melupakan
dan menghapus begitu saja apa yang sudah terjadi. Terima saja kenyataan itu
bapak Herman yang terhormat…!! Itu dosa yang harus kau tanggung seumur hidupmu,
…”
Laura
mengucapkan kalimat itu seraya menyiramkan cairan di botol kesekujur tubuhnya,
dan langsung menyulut pemantik api kearah tubuhnya.
Api
berkobar, membakar tubuh wanita itu, semua orang yang menyaksikan
berteriak-teriak, sebagian berusaha menyelamatkan, sebagian berlarian
menghindar dari kobaran api ditubuh Laura. Herman hanya tercengang menyaksikan
apa yang ada dihadapannya.
“penyesalan
selalu datang terlambat….”
Behind
the scene:
Thank’s
buat yang udah support sampai selesainya cerpen (panjang) ini. Maaf agak lama
penyelesaiannya.
Thank’s
juga buat temen-temen yang sudah “rela” di survey demi ke-realistisan cerita.
Cerita
ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tempat dan cerita hanya kebetulan
Tayangan
ini hanya untuk hiburan semata