Tentara muda itu mengerang
memegangi bahu kanannya. Darah segar masih mengucur. Rasa nyeri terasa
menghujam seluruh tubuhnya. Luka tertembus timah panas meninggalkan bekas
berupa lubang kehitaman bercampur darah. Peluh membasahi tubuhnya. Dia berada
di tengah puing-puing bangunan, suara sirine yang menjauh, bau terbakar menyatu
dengan anyir darah. Asap masih membumbung di beberapa atap rumah. Perang dan
kehancuran. Itu yang terlintas di benaknya.
Pasukannya kocar kacir entah
kemana. Beberapa diantaranya tampak tergeletak tak jauh dari tempatnya
terbaring. Perlahan si tentara berusaha bangkit, tapi dia seakan kehilangan
seluruh energi. Rasa nyeri masih menguasai. Sebentar lagi mungkin akan datang
pasukan dari pihak musuh; membawanya, menyiksanya, bila masih beruntung mungkin
dia dibiarkan hidup beberapa lama, tapi kemungkinan besar dia akan mati,
mungkin ini menjelang akhir hidupnya, saatnya berdoa pada Tuhan yang
dikenalnya.
Tentara itu merasa pusing dan
mual, karena dia kehilangan banyak darah. Tenggorokannya kering, serasa
terbakar. Nafasnya tersengal-sengal, pandangan mulai mengabur. Tiba-tiba samar
dia melihat sesosok gadis berdiri di
dekatnya, diam, hanya memandangi.
Mungkin aku mulai berhalusinasi,
pikir si tentara muda. Dipicingkannya mata, mengusap perlahan, berusaha
memastikan bahwa yang dilihatnya memang nyata.
Tampak mulai jelas sekarang,
berdiri didekatnya, seorang gadis berusia sekitar lima belas tahunan dengan baju lusuh, kotor,
selembar kerudung tampak menutupi rambutnya. Wajah gadis itu terlihat coreng
moreng oleh debu dan abu kebakaran.
Gadis itu masih diam, menatap
tentara muda yang mulai mengerang kesakitan, tampaknya si tentara berharap
suara yang keluar dari mulutnya akan mengurangi rasa sakit yang diderita.
Lalu gadis itu merunduk, melihat
luka tembak di bahu kanan tentara itu. Dan sekejap kemudian dia pergi dari
hadapan si tentara.
Tentara itu menghela nafas lega.
Entah mengapa tadi dia merasa begitu ketakutan. Syukurlah dia pergi, bathin si
tentara. Tapi belum berapa lama, gadis itu telah kembali dengan membawa pisau
dan sebotol cairan.
Matilah aku, pikir si tentara.
Gadis itu semakin dekat, si
tentara menahan nafas, degup jantungnya semakin kencang. Ternyata kematian
begitu menakutkan, bathinnya. Dipejamkannya mata, mulutnya komat kamit membaca
berbagai doa yang diingatnya.
Saat kembali membuka mata,
dilihatnya gadis itu sedang memperhatikan lukanya dengan serius.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya
si tentara gusar.
Gadis itu hanya diam. Tampak
berpikir dengan mata yang masih tak lepas dari luka si tentara.
“Hei..apa yang akan kau lakukan?
Kau mau membunuhku? Silahkan.. tolong lakukakan saja dengan cepat, kau tak
perlu menyiksaku..”
Gadis itu masih diam.
Tentara itu beringsut berusaha
menjauhi sang gadis.
Gadis itu menghela nafas, menatap
tajam pada si tentara, dengan wajah kesal.
“Membunuhmu tidak akan pernah
menghidupkan kembali ayah dan kakak laki-lakiku…” rahangnya tampak mengeras
saat mengatakan kalimat itu.
“Diamlah..mungkin akan terasa
menyakitkan..” katanya lagi.
Gadis itu menyobek sedikit kain
bagian bawah bajunya, dan menyumpalkan ke mulut si tentara,
“Gigit itu, untuk menahan rasa
sakit” perintahnya.
Tentara itu diam, kebingungan,
belum bisa menerima apa yang dialaminya saat ini bukan sekedar halusinasi.
Sang gadis mengguyurkan cairan
berbau alkohol dari botol yang dibawanya ke luka si tentara.
Tak lama kemudian, si tentara
merasakan sakit luar biasa saat pisau gadis itu menyayat luka di bahu kanannya.
Digigitnya kain dimulutnya untuk menahan nyeri yang terasa diseluruh tubuh.
Sesaat dirinya seperti berada antara hidup dan mati.
Tentara itu tak ingat berapa lama
dia merasakan siksaan rasa sakit. Saat dia kembali mendapat kesadaran penuh,
dia melihat lukanya telah terbalut, di telapak tangannya ada sebutir peluru yang
berlumuran darah.
“Minumlah…” kata gadis itu seraya
mengulurkan sebotol air mineral, entah darimana gadis itu mendapatkannya.
“Kau sempat pingsan sebentar
tadi” kata gadis itu, dengan raut muka dingin, jemarinya masih dipenuhi darah.
“Kenapa kau lakukan ini?” tanya
si tentara masih tak mengerti.
“Kau seharusnya membunuhku dari
tadi…bukankah aku musuhmu?”
Gadis itu menatapnya tajam.
“Dendam tak akan membuatku merasa
lebih baik, kematianmu tidak akan pernah bisa membayar apapun. Pergilah
..katakan pada duniamu, perang tak akan membawa kemenangan, selain hanya rasa
sakit atas kehancuran dan kehilangan.”
Dan sang gadis pun melangkah
pergi.
-Tamat-
-
waktu cari-cari gambar yang pas untuk cerita ini, jujur
aja, ada perasaaan miris. Setiap kali mau –klik- next page, dalam hati aku
berdoa semoga tidak mendapatkan gambar yang terlalu mengerikan (ternyata aku
harus berkali-kali menahan nafas saat melihat gambar-gambar itu).
-
Cerita ini hanya fiksi, wujud keprihatinan atas satu
kata pendek yang menyimpan berbagai rasa sakit di dalamnya “PERANG”.