Jumat, 30 November 2012

Serpihan Kisah


Tentara muda itu mengerang memegangi bahu kanannya. Darah segar masih mengucur. Rasa nyeri terasa menghujam seluruh tubuhnya. Luka tertembus timah panas meninggalkan bekas berupa lubang kehitaman bercampur darah. Peluh membasahi tubuhnya. Dia berada di tengah puing-puing bangunan, suara sirine yang menjauh, bau terbakar menyatu dengan anyir darah. Asap masih membumbung di beberapa atap rumah. Perang dan kehancuran. Itu yang terlintas di benaknya.
Pasukannya kocar kacir entah kemana. Beberapa diantaranya tampak tergeletak tak jauh dari tempatnya terbaring. Perlahan si tentara berusaha bangkit, tapi dia seakan kehilangan seluruh energi. Rasa nyeri masih menguasai. Sebentar lagi mungkin akan datang pasukan dari pihak musuh; membawanya, menyiksanya, bila masih beruntung mungkin dia dibiarkan hidup beberapa lama, tapi kemungkinan besar dia akan mati, mungkin ini menjelang akhir hidupnya, saatnya berdoa pada Tuhan yang dikenalnya.

Tentara itu merasa pusing dan mual, karena dia kehilangan banyak darah. Tenggorokannya kering, serasa terbakar. Nafasnya tersengal-sengal, pandangan mulai mengabur. Tiba-tiba samar dia melihat sesosok  gadis berdiri di dekatnya, diam, hanya memandangi.
Mungkin aku mulai berhalusinasi, pikir si tentara muda. Dipicingkannya mata, mengusap perlahan, berusaha memastikan bahwa yang dilihatnya memang nyata.
Tampak mulai jelas sekarang, berdiri didekatnya, seorang gadis berusia sekitar lima belas tahunan dengan baju lusuh, kotor, selembar kerudung tampak menutupi rambutnya. Wajah gadis itu terlihat coreng moreng oleh debu dan abu kebakaran.
Gadis itu masih diam, menatap tentara muda yang mulai mengerang kesakitan, tampaknya si tentara berharap suara yang keluar dari mulutnya akan mengurangi rasa sakit yang diderita.
Lalu gadis itu merunduk, melihat luka tembak di bahu kanan tentara itu. Dan sekejap kemudian dia pergi dari hadapan si tentara.
Tentara itu menghela nafas lega. Entah mengapa tadi dia merasa begitu ketakutan. Syukurlah dia pergi, bathin si tentara. Tapi belum berapa lama, gadis itu telah kembali dengan membawa pisau dan sebotol cairan.
Matilah aku, pikir si tentara.
Gadis itu semakin dekat, si tentara menahan nafas, degup jantungnya semakin kencang. Ternyata kematian begitu menakutkan, bathinnya. Dipejamkannya mata, mulutnya komat kamit membaca berbagai doa yang diingatnya.
Saat kembali membuka mata, dilihatnya gadis itu sedang memperhatikan lukanya dengan serius.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya si tentara gusar.
Gadis itu hanya diam. Tampak berpikir dengan mata yang masih tak lepas dari luka si tentara.
“Hei..apa yang akan kau lakukan? Kau mau membunuhku? Silahkan.. tolong lakukakan saja dengan cepat, kau tak perlu menyiksaku..”
Gadis itu masih diam.
Tentara itu beringsut berusaha menjauhi sang gadis.
Gadis itu menghela nafas, menatap tajam pada si tentara, dengan wajah kesal.
“Membunuhmu tidak akan pernah menghidupkan kembali ayah dan kakak laki-lakiku…” rahangnya tampak mengeras saat mengatakan kalimat itu.
“Diamlah..mungkin akan terasa menyakitkan..” katanya lagi.
Gadis itu menyobek sedikit kain bagian bawah bajunya, dan menyumpalkan ke mulut si tentara,
“Gigit itu, untuk menahan rasa sakit” perintahnya.
Tentara itu diam, kebingungan, belum bisa menerima apa yang dialaminya saat ini bukan sekedar halusinasi.
Sang gadis mengguyurkan cairan berbau alkohol dari botol yang dibawanya ke luka si tentara.
Tak lama kemudian, si tentara merasakan sakit luar biasa saat pisau gadis itu menyayat luka di bahu kanannya. Digigitnya kain dimulutnya untuk menahan nyeri yang terasa diseluruh tubuh. Sesaat dirinya seperti berada antara hidup dan mati.
Tentara itu tak ingat berapa lama dia merasakan siksaan rasa sakit. Saat dia kembali mendapat kesadaran penuh, dia melihat lukanya telah terbalut, di telapak tangannya ada sebutir peluru yang berlumuran darah.

“Minumlah…” kata gadis itu seraya mengulurkan sebotol air mineral, entah darimana gadis itu mendapatkannya.
“Kau sempat pingsan sebentar tadi” kata gadis itu, dengan raut muka dingin, jemarinya masih dipenuhi darah.
“Kenapa kau lakukan ini?” tanya si tentara masih tak mengerti.
“Kau seharusnya membunuhku dari tadi…bukankah aku musuhmu?”
Gadis itu menatapnya tajam.
“Dendam tak akan membuatku merasa lebih baik, kematianmu tidak akan pernah bisa membayar apapun. Pergilah ..katakan pada duniamu, perang tak akan membawa kemenangan, selain hanya rasa sakit atas kehancuran dan kehilangan.”
Dan sang gadis pun melangkah pergi.

-Tamat-


-         waktu cari-cari gambar yang pas untuk cerita ini, jujur aja, ada perasaaan miris. Setiap kali mau –klik- next page, dalam hati aku berdoa semoga tidak mendapatkan gambar yang terlalu mengerikan (ternyata aku harus berkali-kali menahan nafas saat melihat gambar-gambar itu).
-         Cerita ini hanya fiksi, wujud keprihatinan atas satu kata pendek yang menyimpan berbagai rasa sakit di dalamnya “PERANG”.


Sabtu, 24 November 2012

Aku Seorang Pelacur




Aku seorang pelacur. Yah, ini sebutan untukku. Mungkin untuk para pria apa yang terbayang dalam benak mereka tentangku adalah: pelepasan hasrat, kenikmatan sesaat, keliaran, sesuatu yang terbayar dengan beberapa lembar uang. Dan bagi para wanita (baik-baik) kata pelacur mungkin akan menimbulkan “kebencian”, rasa jijik, penyakit, penghianatan, kasta terendah dalam norma kewanitaan. Terserahlah, setiap orang punya hak untuk menilai, tapi inilah kenyataannya, inilah hidupku, peran yang mungkin harus aku jalani di dunia ini.
Aku juga manusia. Apakah ini terdengar berlebihan? Aku juga punya hati, perasaan dan pemikiran, disamping seonggok raga yang aku gunakan untuk melanjutkan hidup, sebagai “modal” dalam pekerjaanku. Sebenarnya tidak terlalu rumit, justru sangat sederhana, karena ini hanya menyangkut persoalan “perut”. Terdengar sebagai sebuah penyederhanaan, atau pembenaran? Pasti. Karena sebagai seorang manusia yang (pernah) belajar agama, aku pun cukup tahu  apa yang harus kubayar di akhirat nanti; dibakar di api neraka yang paling dasar, merasakan kesakitan yang teramat sangat terus menerus tanpa ada akhir. Tapi tak tahukah mereka bahwa apa yang aku jalani di dunia ini pun sudah terasa sebagai “neraka”? melakukan sesuatu yang dinilai sakral bagi sebagian orang yang bernorma, melalui proses yang bernama pernikahan, sebagai ukuran kesetiaan, dan juga mungkin yang menjadi batas antara sifat manusia dan binatang (yaitu bisa melepas hasrat nafsu tanpa hati, perasaan dan pikiran), tapi aku melakukannya sebagai suatu pekerjaan, sebagaimana penyapu jalan dengan sapu nya, sebagaimana pelukis dengan cat warna warni nya, sebagaimana tukang masak dengan pisau nya. Aku melakukan “pekerjaan” ini dengan tubuhku, ini hanya tentang daging dan lendir. Dan tak tahukah kalian bahwa seringkali itu juga terasa menyakitkan? Inilah “neraka”ku, merasakan kehampaan jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit itu sendiri.
Bila sebagian (orang yang beruntung) bisa memaknai aktifitas tempat tidur mereka sebagai pengungkapan rasa cinta dan kasih sayang, aku melakukan itu demi lembaran-lembaran uang yang berarti penyambung hidup esok hari dan sedikit simpanan buat sekolah Upik di kampung.
Ada sedikit beban yang terasa menggayut setiap aku mengingat wajah polos itu. Upik, tahun depan masuk Sekolah Dasar, aku harus lebih banyak menyisihkan uang, karena ingin memasukkannya ke sekolah bagus yang punya latar belakang pendidikan agama. Mungkin sebagian dari kalian tertawa mendengarnya, tak apa. Tapi apa salah bila seorang pelacur sepertiku tak pernah menginginkan anaknya akan menjalani kehidupan seperti yang aku jalani? aku ingin Upik jadi seseorang yang beragama, berbudi luhur, berakhlak baik. Bukan,…bukan agar kelak dia bisa menebus dosa-dosaku atas apa yang aku jalankan untuk menghidupi dan menyekolahkannya, biarlah dosa itu kutanggung sendiri. Ini tentang hidup Upik sendiri, aku hanya ingin dia menjadi “benar” di mata dunia.

Usiaku tiga puluh tahun, sudah cukup tua untuk profesiku ini. dengan semakin banyaknya gadis-gadis belasan tahun yang juga mengadu nasib di tempat ini, dengan kerutan-kerutan halus di wajah, aku tak tahu kenapa aku terlihat jauh lebih tua dari umurku. Mungkin karena sari pati ku yang telah habis dihisap para lelaki, atau karena dosa-dosa yang harus kutanggung? aku tak terlalu peduli, bagiku satu dua lelaki yang mau memakaiku dalam sehari sudah cukup, mereka juga tidak terlalu peduli dengan wajah saat di tempat tidur. Ini hanya tentang uang. Tolong jangan mencoba menceramahiku tentang mencari uang dengan halal dan benar. Aku telah mencobanya, dan semua tidak sesederhana sekian teori yang disodorkan oleh orang-orang pintar itu. Mereka sempat bisa menjejali otak kami para penjaja tubuh dengan mimpi hidup wajar dan normal sebagai pribadi yang bisa diterima masyarakat, tapi kenyataannya tak pernah sesederhana itu. Hidup seringkali jauh lebih rumit dari teori. Biarlah, ini kehidupan yang harus dijalani saat ini. Aku sendiri memilih rajin untuk menerima suntikan ini itu dan melakukan hal-hal menyangkut kebersihan tubuh seperti yang disarankan ibu dokter yang sesekali berkunjung. Inilah kehidupan “wajar” dan “normal” untuk ukuran orang-orang berpikiran pendek dan sederhana sepertiku.

Lama kupandangi bayangan di cermin itu. Terkadang aku butuh berbicara dengan diri sendiri seperti ini, sekedar menjaga “kewarasan” yang seringkali bergumul antara kehidupan nyata, ego sebagai manusia, dan keinginan menjadi “benar”. Kutunggu akan ada air yang menggenang di kedua mataku, seiring sesak yang mendesak saat sekali lagi kubisikkan nama “Upik”, tapi ternyata tidak. Aku telah cukup kuat menjalani, memahami, memaknai apa yang memang menjadi peranku saat ini. Bisa jadi karena hatiku telah mati, mengeras menjadi batu ditempa kenyataan.
Perlahan kupoles lipstik berwarna merah darah ke bibirku, ini saatnya memakai topeng kehidupan: tersenyum, sesekali tertawa genit, pandangan merajuk, rengekan manja (yang bahkan membuatku terasa ingin muntah saat melakukannya) tapi ini hanyalah sekedar topeng, yang akan segera kulepaskan saat kuhapus riasan di wajahku. Ini saatnya bekerja…

Temaram, bau menyengat minuman keras dan rokok, suara musik yang menghentak. Aku memilih menunggu di luar, di tempat yang mudah terlihat, semoga malam ini aku beruntung. Tiga hari yang lalu aku terpaksa “libur” karena rutinitas bulanan. Kuhisap dalam-dalam cigaretku, panas menjalar ke tenggorokan. Malam ini terasa lembab setelah bumi tersiram hujan sore tadi. Sudah hampir dua jam aku berdiri dan sesekali duduk atau menyandarkan tubuhku ke tembok, tapi belum ada yang mengajakku. Aku sedang tidak ingin bergenit-genit di dalam ruangan, bersaing dengan para gadis belasan tahun yang pasti jauh lebih mudah mendapat pelanggan.
“Marni…?” sebuah suara cukup mengejutkanku. Kutengadahkan wajah melihat siapa yang memanggil namaku. Aku merasa seperti pernah mengenalnya, tapi entah dimana aku belum bisa mengingatnya.
“Bener kamu Marni, kan…? Aku Bagyo, teman SMA mu dulu..”
“Owhh…yaaa..eh,…mmhh…aku agak lupa,..”
“Kita dulu pernah sekelas, tapi kamu tidak melanjutkan saat kenaikan kelas dua, aku ingat kamu pernah juara kelas waktu itu, tapi sayangnya tiba-tiba memutuskan untuk berhenti” laki-laki itu tampak begitu antusias saat bercerita.
Apa yang diharapkannya dari cerita itu? Memberiku luka lama, atas ketidakberdayaan diri pada kenyataan? Aku terpaksa berhenti sekolah karena bapak mati jadi korban tabrak lari, dan aku punya tiga orang adik yang harus makan, terpaksa aku terima ajakan seorang tetangga untuk bekerja di kota.
“Aku tidak mengira dirimu punya ingatan yang begitu kuat, sampai bisa mengingatku sedetail itu..” kukatakan itu sangat pelan, bahkan aku hampir tidak bisa mendengar suaraku sendiri.
“Aku dulu pernah naksir kamu…” dia menyambung kalimatnya dengan tawa.
Terasa sedikit menyakitkan bagiku, entah mengapa? Karena dia melihatku sekarang seperti ini? sebagai seonggok raga yang bisa dia “beli” sewaktu-waktu?
“Apa kamu mau memakaiku?” kutatap wajahnya lekat, seiring rasa pahit yang terasa menguasai lidahku, mungkin karena rokok.
Dia balas menatap, tepat pada kedua mataku, lalu pandangannya mulai turun memandangi tubuh. Dia tersenyum sinis, menenggak botol bir di tangan kirinya, pandangannya masih tak lepas dari (tubuh)ku.
“Sebenarnya aku lebih suka yang masih muda, masih seger, kamu sudah tua, tapi demi masa lalu, bolehlah…” seringainya, sambil menarik tanganku.
Kugigit bibir bawahku, sambil terus berkata dalam hati, ini tentang pekerjaan, ini tentang uang, ini demi Upik. Ini hanya salah satu “neraka” yang harus aku lalui hari ini. Kalimat itu terus kuulang sampai menimbulkan gema dalam pikiranku, memenuhi otak, menelusuri darah dan tinggal dalam setiap sel di tubuhku.

Entah ini hari apa, seingatku sudah beberapa bulan sejak terakhir kali aku bertemu Bagyo. Kehidupanku berjalan seperti biasa, sangat biasa, masih seputaran hasrat para lelaki, topeng, dan terkadang “neraka” dalam bathin. Bulan depan aku berencana pulang menengok Upik sambil menitipkan uang untuk biaya sekolahnya pada Emak. Beberapa hari ini entah mengapa perasaanku terasa tidak enak, aku hanya merasa sangat ingin pulang.
Aku sudah bersiap untuk berangkat, sebentar kupatut diri di kaca. Kaos tanpa lengan, rok pendek jins, sepatu tumit tinggi, lengkap dengan riasan menor yang menjadi topengku. Lalu di depan pintu kulihat dua orang sosok yang kukenal.
“Paklek? Kenapa kesini…?” aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, ditambah dengan sosok kecil disampingnya yang sedang menatapku tak berkedip.
“Aku mau mengantar Upik sekaligus memberi kabar buruk…” suara adik bungsu Emak itu terdengar bergetar.
“Emakmu meninggal seminggu yang lalu…..”
Hening.
Aku masih menunggu.
“Selama beberapa hari ini Upik tinggal bersamaku, tapi….bulekmu sepertinya agak keberatan dia tinggal di rumah. Adik-adikmu, aku juga tidak tau dimana, aku tahu keberadaanmu dari Bagyo, yang katanya bertemu kamu disini…”
Aku merasa kosong. Entah mengapa, aku menunggu rasa sedih itu akan menguasai diri, membuatku pingsan atau menangis meraung-raung mendengar semuanya, tapi ternyata tidak. Aku hanya tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Kualihkan pandanganku pada sosok disamping Paklek. Wajah polos dan lugunya yang selalu membuatku merasa kuat menjalani apapun di dunia ini. Dia masih menatapku lekat. Perlahan aku berjalan mendekatinya, merengkuh tubuh kecilnya dalam pelukanku. Tapi dia hanya diam tak bergeming. Dingin. Aku hanya mendengar dia berbisik perlahan.
“Kata orang-orang …ibu seorang pelacur”.
Aku merasa seperti jatuh ke dalam sebuah lobang hitam tanpa dasar. Tuhan, saat ini aku hanya ingin mati.

- Tamat -

Cicak dan Burung Kenari


Pagi yang cerah. Mentari menyinari setiap celah tanpa lelah. Di sebuah sudut rumah, tampak cicak dan burung kenari saling bercerita tentang harapan dan cita.

“Aku ingin punya sayap, seperti dirimu; jadi aku bisa terbang mengejar nyamuk-nyamuk gemuk, tidak harus menunggu saat mereka lengah dan mendekat ke dinding” ujar cicak pada burung kenari.

“Untuk apa punya sayap kalo tubuhmu terkurung dalam sangkar ini? kau masih beruntung bisa merayap dan melihat seluruh isi rumah, sedangkan aku? Pandanganku hanya sebatas halaman depan rumah ini.’

Sejenak cicak diam. Lalu berkata lagi.
“Tapi kau tetap lebih beruntung, dianugerahi tubuh indah dan manis seperti yang kau miliki, manusia begitu menyukai dan sayang pada dirimu, sedangkan aku? Kau tau mereka akan berteriak-teriak jijik setiap kali melihatku.”

Burung kenari menjawab:
“Justru karena tubuh indahku, aku terkurung dalam sangkar ini. Kau tak tau betapa sakitnya menyadari punya sayap tapi tak bisa terbang kemanapun, terpenjara karena ego manusia.”

Hening sejenak.
‘Tapi aku tetap ingin punya sayap..” bisik cicak.
“dan aku ingin kebebasan..” balas burung kenari.

Suatu hari, sang manusia lupa menutup sangkar burung kenari, cicak yang melihatnya pun, langsung berteriak:
“hai, burung cantik cepatlah keluar dari sangkarmu, pergilah melihat dunia luas, aku akan selalu menunggu ceritamu disini.”
Dengan tergesa burung kenari keluar dari sangkarnya, mengepakkan sayap, terbang menuju dunia luas. Dia tak sabar ingin merasakan berkicau di atas pepohonan, bermain dengan kupu-kupu, terbang menembus awan, menghirup udara kebebasan.

Satu hari, dua hari, seminggu telah berlalu, cicak masih menunggu, menanti cerita burung kenari tentang duia, tentang mimpi dan kebebasannya.
Hingga pada hari ke delapan mereka berpisah. Sore itu tiba-tiba cicak melihat burung kenari di sudut rumah, tampak kusut, lelah, bulu-bulunya kusam penuh debu, warnanya tak lagi kuning cerah, beberapa bagian tubuhnya tercabik dan sayap kirinya terlihat patah.

“Apa yang terjadi denganmu? Kau terlihat kacau..” ujar cicak dengan penuh keterkejutan.
Burung kenari diam sejenak, matanya tampak basah.
“sungguh aku menyesal meninggalkan sangkarku. Dunia luar ternyata begitu kejam, aku terlalu lama hidup nyaman dalam sangkar itu, dan tak pernah siap hidup liar hanya demi kata kebebasan”

Cicak menatap iba burung kenari.
“Dunia seringkali tak seindah imajinasi dan mimpi. Kau tau, seandainya aku punya sayap, aku tak pernah berniat meninggalkan rumah ini, aku ingin punya sayap hanya supaya lebih mudah menangkap nyamuk. Tapi kalo aku pikir lagi, tak punya sayap pun aku masih bisa makan cukup, hanya dengan sabar menanti naymuk-nyamuk yang lelah terbang menempel ke dinding dan aku akan menangkapnya. Kini aku baru menyadari apalah arti mimpi jika pada akhirnya hanya akan menyakiti diri sendiri.

Perlahan cicak melihat tubuh burung kenari semakin lemah, napasnya tinggal satu satu, lalu tak lama kemudian tampak tak bergerak lagi. Kaku. Burung kecil itu telah mati. Tak lama kemudian terlihat iring-iringan semut mulai mendekati bangkai burung itu. Mereka mulai merubung, menikmati, menjalankan tugasnya dalam rangkaian proses rantai kehidupan.

Cicak merenung. Hidup ini memang tentang peran.


Sabtu, 17 November 2012

Dolly, Rempeyek dan Pak Hery



Siang itu hari Jum’at, diluar panas tampak begitu menyengat, dan saya menikmati dinginnya AC kantor, tanpa peluh tapi penuh keluh di kepala. Hari itu saya merasa sangat malas dan sibuk dengan pikiran-pikiran tidak penting yang memenuhi otak. Tiba –tiba diluar saya melihat satpam tampak sedang berbicara agak keras pada seseorang, menjelaskan ini itu (dan saya sedang tidak merasa tertarik untuk tahu).
Tak lama kemudian, masuklah seseorang. Tubuhnya kecil, tingginya tidak melebihi pinggang saya. Kurus, hitam legam. Entahlah saat melihat pertama kali, dirinya mengingatkan saya pada penggambaran (maaf) sosok jin (dalam buku “Berdialog dengan Jin”) telinganya sedikit meruncing. Jemari kaki dan tangannya besar, tampak tidak proporsional dengan tubuhnya yang kerdil.
Dia tersenyum, saya perhatikan lebih mendetail, secara penampilan, sebenarnya dia cukup bersih dan rapi. Rambutnya tersisir licin ke belakang, bajunya (kemeja yang warnanya mulai pudar) dimasukkan ke dalam celana panjangnya.

“Saya mau tanya soal tabungan dan deposito, bu..” katanya sambil tersenyum, beberapa giginya tampak sudah tanggal.

Don’t judge a book from the cover, kalimat itu sudah saya baca dan dengar ratusan kali selama hidup saya, tapi sungguh tak mudah saat harus memaknainya saat itu. Teori jauh lebih mudah daripada praktek. Satu yang ada dipikiran saya saat itu “apa dia waras?” –benar kan? Saya menilai pria kecil ini masih sebatas apa yang saya lihat.
Tapi saya punya tugas disini, baiklah akan saya jalankan sesuai standar layanan (seadanya). Saat saya menjelaskan ini itu, dia tampak mengangguk-angguk, entah mengerti atau justru bingung dengan penjelasan saya. Sesekali dia protes soal suku bunga yang rendah, dalam beberapa hal saya merasa dia cukup memahami apa yang saya sampaikan –berarti dia tidak gila atau kurang “pintar”-, secara umum dia normal menyangkut pemikiran, sejujurnya hati kecil saya harus mengakui hal itu, tapi masih saja saya terjebak dalam penilaian menyangkut sosoknya.
Setelah tampak puas dengan apa yang saya sampaikan, dia pun berpamitan. Fiuh,…. ternyata benar dia hanya sekedar bertanya, bathin saya. Lalu saya pun bersiap untuk makan siang (ini jam istirahat dan saya benar-benar tidak mau terlambat).

Saya belum menyelesaikan makan bekal siang, ketika satpam memberitahu bahwa bapak kecil tadi kembali. Dengan bersungut-sungut saya bilang pada satpam “suruh tunggu aja deh, paling bentar lagi dia bakal pulang”. Dan satpam mengangguk. Saya berniat sedikit berlama-lama istirahat (bukankah saya punya hak atas itu?) tapi lagi-lagi hati kecil saya seakan protes dan mengatakan; kamu punya tugas untuk dikerjakan, please..jangan childish!!
Saya pun kembali ke meja kerja (masih setengah hati).
Bapak kecil itu sudah duduk manis sambil memegang bungkusan plastik berwarna hitam. Saat melihat saya, dia berdiri, tersenyum (lagi) kemudian mengeluarkan sesuatu yang dibungkus koran dari dalam kantong plastiknya.


“Saya jadi nabung, bu…” dia mengatakan itu sambil membuka bungkusan koran yang didalamnya ternyata berisi bungkusan2 yang lebih kecil. Ada beberapa tumpuk bungkusan kecil di depan mata saya, dan saya masih bingung harus mengatakan apa.

“ohya, maaf uangnya saya bungkus seperti ini, masing-masing isinya satu jutaan..” katanya seakan mengerti dengan tatapan saya.

“saya mau deposito saja bu, gak tahu jumlahnya berapa, nanti ibu hitung saja, kira-kira sekitar empat puluh jutaan”

Setelah beberapa saat saya bisa menguasai diri (dan merutuki diri atas pemikiran “jahat” saya tadi). Saya mulai melakukan tugas, membukakan rekening untuk bapak kecil itu.

“Bapak kerja dimana?” tanya saya mencairkan suasana, sekaligus berusaha menebus sikap saya sebelumnya.
“Saya kerja di Dolly, bu….” Saya agak tersentak dengan nama tempat pusat “lendir” terbesar di Asia Tengara itu.
“Kerja apa, pak?” tanya saya lagi semakin ingin tahu.
“Jualan rempeyek, bu…” jawabnya polos, sekali lagi sambil tersenyum.
“Hasilnya lumayan, bu..tapi sayangnya sebentar lagi Dolly kan mau ditutup sama pemerintah, ‘cewek-ceweknya’ dikasih pesangon”.
Sejenak saya menghentikan aktifitas membuka bungkusan-bungkusan kecil (yang ternyata benar berisi uang lembaran ratusan dan lima puluh ribuan). Jumlah seluruhnya mencapai empat puluh enam juta.
“Bu, ini sampahnya biar saya yang buang, maaf jadi bikin kotor….”
“Loh, gak usah pak, nanti ada yang mbersihkan kok..”
Dia menatap saya, seakan berusaha mencari kesungguhan atas kalimat saya.
Saya tersenyum, entahlah tiba-tiba saya menyukai kepolosan laki-laki kecil ini.
Ohya, namanya Pak Hery. Dia bercerita panjang lebar tentang “profesi”nya yang selain berjualan rempeyek dia juga terkadang juga memijat orang-orang di Dolly. Dia juga bercerita “sedikit” tentang para wanita di Dolly, pelanggannya, cara-cara yang digunakan untuk membuat para pelanggan ‘bertahan” dengan diselipin candaan ringan, saya harus akui pak Hery punya sisi menarik menyangkut caranya bercerita, begitu ringan, begitu lepas, polos, lugu tapi juga terlihat bahwa dia seorang pekerja keras.

“Berapa lama bapak mengumpulkan uang sebanyak ini, pak…?” tanya saya (sangat) ingin tahu.
“Lama, bu, sekitar empat tahunan.”
“selama ini uangnya disimpen dimana, pak?”
“saya punya tempat penyimpanan khusus yang cuman saya sendiri yang tahu. Istri saya sudah meninggal, anak saya dua. Tapi mereka juga gak tahu kalo saya punya uang ini. nanti kalo saya meninggal uangnya bisa diurus buat anak saya kan? Ga pake ke pengadilan-pengadilan gitu kan, Bu” kalimat-kalimatnya begitu polos.
“Bisa kok, pak..ga usah kuatir. Daripada uangnya disimpan di rumah kan malah gak aman pak, bisa rusak juga lho.”
“iyya, bu..makanya saya kasih kapur barus di tempat simpan uangnya bu, biar gak dimakan rayap. Saya juga kuatir kalo lama disimpan nanti bisa gak laku kalo ganti uang yang baru.”
Saya tersenyum (untuk kali ini dengan tulus).
“saya bener-bener susah kalo Dolly jadi ditutup, bu..” mukanya kali ini terlihat sedikit muram.
Kan bapak bisa jualan rempeyek ditempat lain..” saya (berusaha) menghibur.
“Tapi gak bisa dapat banyak kayak di Dolly, bu.. sehari saya bisa dapat seratus sampe dua ratus ribu, kemaren malah saya habis dapat rejeki dari orang kapal. Tapi ya sudahlah, rejeki kan sudah ada yang ngatur..” kalimatnya terlihat tulus.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini, saya mempercayainya. Mungkin hari itu saya dipertemukan dengan pak Hery, agar saya bercermin atas kekerdilan jiwa dan pikiran saya. Agar saya belajar tentang semangat dan ketulusan dan memahami lebih dalam tentang menilai seseorang tidak hanya dari penampilan luar saja.
Dan diam-diam di sudut hati saya berbisik: Semoga Dolly tidak jadi ditutup, agar pak Hery masih bisa mengais rejeki dari sana, agar lebih banyak orang yang belajar dari dunia yang dikatakan penuh dosa, tapi menyimpan begitu banyak asa dan bahagia yang sederhana. Amien.

Senin, 05 November 2012

Namanya: Agus


Namanya Agus. Nama yang biasa kan? Nama yang bisa kau temui diantara nama tetangga, teman sepermainan, atau bahkan nama kakak laki-lakimu, saudara dekat ataupun jauh. Nama yang hampir selalu ada disetiap kelas pada masa sekolah, dari Taman Kanak-Kanak sampai kuliah.
Dia seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi swasta di kotaku. Itu juga biasa, tak ada yang terlalu istimewa. Aku mengenalnya (mungkin lebih tepat sekedar tau tentang dirinya) saat berkunjung ke rumah kost seorang teman.
Kamarnya terletak paling ujung di deretan kamar-kamar yang lain. Aku sekedar tau, waktu dia lewat di depan kamar temanku ini, saat aku dan beberapa teman bercanda, tertawa terbahak-bahak mengomentari segala hal yang terjadi dengan dunia lewat kacamata idealisme mahasiswa.
“Namanya Agus…”. Temanku tiba-tiba membisikkan itu, mungkin dia menyadari beberapa pasang mata dari kami, para mahasiswi tampak begitu ingin tau dengan sosoknya. Tinggi, putih, rambut tebal dan bersahaja (mungkin ini hanya penilaian subyektif saja; yang aku simpulkan dari penampilan, gaya berpakaian dan sikapnya yang terlihat tenang). Kami sekelompok mahasiswa yang menilai segala sesuatu dari apa yang kami lihat (dan itu cukup manusiawi kurasa) manggut-manggut, tersenyum, dengan pemikiran masing-masing, lalu mulai saling melirik, dengan tatapan -lumayan juga-
“Dia simpenan tante-tante…” kalimat pendek ini menimbulkan reaksi berbeda.
Ada yang terbelalak, sambil mengatakan “hah…!!”
Ada yang memasang tampang polos lugu dan mengatakan “maksudnya?”
Ada yang hanya melirik sekilas dan dari mulutnya hanya terdengar gumaman “mmhh…” lalu kembali asyik di depan komputer.
Tapi sebagian besar lainnya bereaksi sangat ingin tahu dan mengatakan “ceritain dooongg..”
Temanku ini tampak puas dengan pernyataan pendeknya.
“Biasanya tiap hari Selasa, Kamis, Sabtu, ‘tante’nya datang…”
“Yahh.. hari ini ga ada jadwal dong,..”
Temanku yang tampak paling tidak peduli dan hanya sibuk dengan komputernya justru memberikan reaksi spontan saat itu.
“Besok kita ngumpul lagi yuk, habis praktikum..” sebuah suara lain juga terdengar antusias.
Lalu bersahutan segala ide, pendapat, sekedar opini yang saling melengkapi satu sama lain, diselingi derai tawa. Saat itu kami menemukan sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas.

Apa yang terbayang dalam benakmu dengan label “tante”? seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut disisir tinggi, dandanan tebal, memakai perhiasan berlebihan dengan tubuh yang sudah tidak masuk kategori langsing? Yah, jujur saja itu juga yang pertama kali ada dipikiranku tentang sosok “tante”nya Agus. Tapi hari itu, segala definisi tante yang terimaginasi di otakku berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang aku lihat.
“Ssstt….itu…!” temenku berbisik sambil matanya memberi kode agar aku memperhatikan seseorang yang sedang melintas di depan kamarnya. Seorang wanita yang aku perkirakan berusia pertengahan empat puluhan. Tubuhnya kecil agak kurus, kulit sawo matang, rambut sebahu dengan penampilan yang sangat biasa. Berjalan agak tergesa sambil membawa sebuah tas jinjing yang tampak “penuh”.
“Kamu ga salah? Jangan-jangan itu kakak atau sodaranya..? “ aku protes pada temanku, merasa tidak rela dengan ketidaksesuaian antara imagi yang kuciptakan sendiri dengan sosok nyata yang aku lihat, menyangkut definisi: tante.
Temanku tersenyum sinis.
“Coba deh perhatikan sebentar lagi…”
Aku hanya melirik sekilas ke temanku itu dan mengikuti apa yang dikatakannya, memperhatikan apa yang terjadi berikutnya.
Sampai di depan kamar si Agus yang sedang tertutup, wanita itu mengetuk pintunya, tak lama kemudian dibuka dan sekilas tampak sosok Agus yang terlihat baru bangun tidur. Wanita itu langsung masuk, tanpa memperhatikan sekitar, lalu pintu kamar ditutup rapat.
Entahlah aku tidak tahu pasti apa yang terjadi selanjutnya. Saat itu pikiranku mulai menganalisa, tentang informasi minim yang aku miliki, beberapa potongan kejadian singkat yang aku lihat dengan imajinasi sendiri.
Rumah kost milik temanku ini memang memberikan kebebasan para penghuninya untuk membiarkan teman dari lawan jenis bisa keluar masuk kesana. Kamar Agus yang paling kecil diantara kamar-kamar lain (ini informasi dari temanku) berukuran hanya dua kali tiga meter. Apa yang mereka lakukan dalam kamar sempit itu dengan kondisi pintu tertutup rapat, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.
“Mereka bisa berjam-jam di dalam sana…” temanku memberikan argumen seakan mengerti keraguanku atas analisanya.
Aku hanya diam, berusaha mencari kalimat tepat untuk mematahkan “teori” menyangkut hubungan antara Agus dengan “tante”nya yang sudah terlanjur terlekatkan pada mereka, tapi aku belum bisa menemukannya.
“Semua biaya dan kebutuhan Agus, si tante itu yang menanggung…”
”Kamu tau darimana?” nada suaraku terdengar menyelidik..
“Agus sendiri yang cerita”
“Agus cerita soal tante itu?...”
“Gak secara langsung sih, dia bilang, itu kakaknya”
“Ya, mungkin emang kakaknya?” balasku cepat.
“Kamu ini pura-pura bodoh atau memang naïf, sih…” temanku tampak mulai sedikit emosi karena bisa membaca ketidakpercayaanku atas apa yang dikatakannya tentang Agus.
Aku sedang tidak ingin berdebat. Jadi kubiarkan saja hal itu. Bukan urusanku, gumamku, berusaha meyakinkan diri sendiri atas dorongan rasa ingin tau yang mulai menari-nari menggodaku.
Selanjutnya aku hanya jadi lebih sering berkunjung ke rumah kost temanku ini; dengan beberapa alasan meminjam buku, mengembalikan diktat, menjemput kuliah, mengantarnya, alasan sekedar lewat dan beberapa alasan lain yang sama tidak pentingnya. Tapi selalu kupilih hari Selasa, Kamis dan Sabtu, selalu kusempatkan untuk sekedar menengok ke arah kamar Agus disana, dan seringkali kulihat sepasang sandal wanita (yang dengan pasti kuyakini adalah milik “tante”nya) ada di depan kamar Agus saat pintunya tertutup rapat. Terkadang (walaupun sangat jarang) aku melihat mereka berdua duduk di sebuah kursi kecil sekedar ngobrol dengan sikap yang sangat biasa. Pernah satu waktu kulihat Agus duduk sendiri sambil tampak asyik bermain Handphone. “Barang baru dari tante…” itu ucapan sinis yang kuingat keluar dari mulut temanku. Dan aku tidak berniat untuk membahas lebih lanjut mengenai Agus, jadi aku hanya diam tidak menanggapi lebih jauh. Hanya itu beberapa fakta yang aku tahu mengenai mereka.
Dan kemudian segala keingin tahuan itu mulai meluntur seiring dengan tumpukan tugas-tugas dan kesibukan kehidupan pribadiku sendiri. Cerita tentang Agus dan “tante”nya tak lagi terlalu menarik minatku, setiap orang punya “kisah”nya sendiri, hanya itu yang jadi kesimpulan akhirku (lebih untuk menekan keingintahuan yang kadang melintas lagi)
Sampai pada suatu siang, saat aku menerima sebuah telepon.
“Aku gak masuk hari ini, tolong titip absen, yaaa.. Agus kecelakaan, dia meninggal dunia hari ini….” Panas matahari yang menyengat,  aku tercekat, mulut terasa kering tak mampu berkata-kata. Selanjutnya aku tak lagi mendengar dengan jelas kalimat-kalimat dari temanku itu, aku larut dalam pikiranku sendiri. Terbayang sosok Agus, “tante”nya dan pintu kamar yang tertutup.

Sudah tiga hari sejak kudengar kabar kematian Agus, aku belum bertemu dengan temanku lagi. Selama itu pula kupendam segala rasa ingin tau mengenai detail kejadian kecelakaan tragis yang menimpa Agus. Akhirnya setelah kurasa aku tak mampu menahan rasa ingin tahu, sore itu aku pergi ke rumah kost temanku, ke tempat dimana seseorang bernama Agus pernah tinggal dan mengisi hari-hari sebelum kematiannya.
Entah sebuah kebetulan atau mungkin segala di dunia ini memang telah terencanakan, sesampainya di rumah kost itu, kulihat “tante” Agus sedang duduk di bangku tempat mereka berdua biasa terlihat ngobrol. Disampingnya ada sebuah tas yang cukup besar. Tampaknya dia baru selesai mengemasi beberapa barang dari kamar Agus. Sang tante tampak hanya diam, duduk, merenung, menatap kedepan dengan pandangan kosong. Entah mengapa jauh di lubuk hatiku aku seperti ikut merasakan kesedihan mendalam karena kehilangan. Mungkin hubungan mereka berdua tidak sesederhana apa yang orang-orang lihat dan nilai. Mungkin ada cerita yang jauh lebih indah daripada sekedar hasrat nafsu dari dua anak manusia yang berbeda lawan jenis. Mungkin hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu tentang makna perasaan mereka.
Sebuah nama.
Sebuah kisah.
“Adakah yang salah dengan cinta?”


* Terinspirasi dari kisah yang sebenarnya. Merindukan masa-masa kuliah, saat otak dijejali segala macam teori dan idealisme dunia.


Jumat, 02 November 2012

Santan dan Ampas


“Hidup itu terkadang seperti memilah santan dan ampasnya.”

Aku memandangmu, tersenyum, malas untuk membahas; merasa aneh, membicarakan filosofi saat menikmati semangkuk es krim yang mulai meleleh.

“Bagaimana kita tau mana yang ampas mana yang santan?”

Itu pertanyaan biasa, datar dan wajar, sesuap es krim meluncur dingin dalam tenggorokan.
Kamu tersenyum memandangku dengan tatapan -aku ingin menciummu-, kubiarkan itu (setiap orang punya mimpi).

“Hidup itu tentang pilihan” katamu lagi.

“Aku mulai bosan dengan kalimat itu” sergahku, dan itu pernyataan jujur.

Kamu tersenyum (lagi).

“Rasa apa yang kau pesan tadi?” kau beralih ke mangkuk es krim yang separuhnya mulai kosong.

“Coklat, vanilla, stroberi” jawabku.

“Mana yang kau pilih untuk kau nikmati terlebih dulu?”

“Suka-suka aku ingin menikmati, aku tak harus menghabiskan satu rasa dulu baru beralih ke rasa yang lain” Egoku kurasakan kental dalam kalimat itu.

“Yaaa…, mungkin seperti itulah, kau punya semangkuk es krim dengan beberapa rasa, tinggal mana yang kau pilih dulu untuk kau nikmati -sesukamu-, seperti juga ampas dan santan, bisa jadi apa yang kau anggap ampas hari ini, akan menjadi santan mu kelak, tinggal bagaimana kau memaknainya dan mana yang ingin kau nikmati dulu..”

Kau memandangku (aku selalu suka tatapan itu) lalu kau dekatkan bibirmu ke bibirku, kurasakan debar seiring kehangatan; dan segala teori-filosofi luruh runtuh, aku hanya ingin bersamamu. Titik.