Pagi yang cerah. Mentari
menyinari setiap celah tanpa lelah. Di sebuah sudut rumah, tampak cicak dan
burung kenari saling bercerita tentang harapan dan cita.
“Aku ingin punya sayap, seperti
dirimu; jadi aku bisa terbang mengejar nyamuk-nyamuk gemuk, tidak harus
menunggu saat mereka lengah dan mendekat ke dinding” ujar cicak pada burung
kenari.
“Untuk apa punya sayap kalo
tubuhmu terkurung dalam sangkar ini? kau masih beruntung bisa merayap dan
melihat seluruh isi rumah, sedangkan aku? Pandanganku hanya sebatas halaman
depan rumah ini.’
Sejenak cicak diam. Lalu berkata
lagi.
“Tapi kau tetap lebih beruntung,
dianugerahi tubuh indah dan manis seperti yang kau miliki, manusia begitu
menyukai dan sayang pada dirimu, sedangkan aku? Kau tau mereka akan
berteriak-teriak jijik setiap kali melihatku.”
Burung kenari menjawab:
“Justru karena tubuh indahku, aku
terkurung dalam sangkar ini. Kau tak tau betapa sakitnya menyadari punya sayap
tapi tak bisa terbang kemanapun, terpenjara karena ego manusia.”
Hening sejenak.
‘Tapi aku tetap ingin punya
sayap..” bisik cicak.
“dan aku ingin kebebasan..” balas
burung kenari.
Suatu hari, sang manusia lupa
menutup sangkar burung kenari, cicak yang melihatnya pun, langsung berteriak:
“hai, burung cantik cepatlah
keluar dari sangkarmu, pergilah melihat dunia luas, aku akan selalu menunggu
ceritamu disini.”
Dengan tergesa burung kenari
keluar dari sangkarnya, mengepakkan sayap, terbang menuju dunia luas. Dia tak
sabar ingin merasakan berkicau di atas pepohonan, bermain dengan kupu-kupu,
terbang menembus awan, menghirup udara kebebasan.
Satu hari, dua hari, seminggu
telah berlalu, cicak masih menunggu, menanti cerita burung kenari tentang duia,
tentang mimpi dan kebebasannya.
Hingga pada hari ke delapan mereka
berpisah. Sore itu tiba-tiba cicak melihat burung kenari di sudut rumah, tampak
kusut, lelah, bulu-bulunya kusam penuh debu, warnanya tak lagi kuning cerah,
beberapa bagian tubuhnya tercabik dan sayap kirinya terlihat patah.
“Apa yang terjadi denganmu? Kau
terlihat kacau..” ujar cicak dengan penuh keterkejutan.
Burung kenari diam sejenak,
matanya tampak basah.
“sungguh aku menyesal
meninggalkan sangkarku. Dunia luar ternyata begitu kejam, aku terlalu lama
hidup nyaman dalam sangkar itu, dan tak pernah siap hidup liar hanya demi kata
kebebasan”
Cicak menatap iba burung kenari.
“Dunia seringkali tak seindah
imajinasi dan mimpi. Kau tau, seandainya aku punya sayap, aku tak pernah
berniat meninggalkan rumah ini, aku ingin punya sayap hanya supaya lebih mudah
menangkap nyamuk. Tapi kalo aku pikir lagi, tak punya sayap pun aku masih bisa
makan cukup, hanya dengan sabar menanti naymuk-nyamuk yang lelah terbang
menempel ke dinding dan aku akan menangkapnya. Kini aku baru menyadari apalah
arti mimpi jika pada akhirnya hanya akan menyakiti diri sendiri.
Perlahan cicak melihat tubuh
burung kenari semakin lemah, napasnya tinggal satu satu, lalu tak lama kemudian
tampak tak bergerak lagi. Kaku. Burung kecil itu telah mati. Tak lama kemudian
terlihat iring-iringan semut mulai mendekati bangkai burung itu. Mereka mulai
merubung, menikmati, menjalankan tugasnya dalam rangkaian proses rantai
kehidupan.
Cicak merenung. Hidup ini memang tentang peran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar