Senin, 05 November 2012

Namanya: Agus


Namanya Agus. Nama yang biasa kan? Nama yang bisa kau temui diantara nama tetangga, teman sepermainan, atau bahkan nama kakak laki-lakimu, saudara dekat ataupun jauh. Nama yang hampir selalu ada disetiap kelas pada masa sekolah, dari Taman Kanak-Kanak sampai kuliah.
Dia seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi swasta di kotaku. Itu juga biasa, tak ada yang terlalu istimewa. Aku mengenalnya (mungkin lebih tepat sekedar tau tentang dirinya) saat berkunjung ke rumah kost seorang teman.
Kamarnya terletak paling ujung di deretan kamar-kamar yang lain. Aku sekedar tau, waktu dia lewat di depan kamar temanku ini, saat aku dan beberapa teman bercanda, tertawa terbahak-bahak mengomentari segala hal yang terjadi dengan dunia lewat kacamata idealisme mahasiswa.
“Namanya Agus…”. Temanku tiba-tiba membisikkan itu, mungkin dia menyadari beberapa pasang mata dari kami, para mahasiswi tampak begitu ingin tau dengan sosoknya. Tinggi, putih, rambut tebal dan bersahaja (mungkin ini hanya penilaian subyektif saja; yang aku simpulkan dari penampilan, gaya berpakaian dan sikapnya yang terlihat tenang). Kami sekelompok mahasiswa yang menilai segala sesuatu dari apa yang kami lihat (dan itu cukup manusiawi kurasa) manggut-manggut, tersenyum, dengan pemikiran masing-masing, lalu mulai saling melirik, dengan tatapan -lumayan juga-
“Dia simpenan tante-tante…” kalimat pendek ini menimbulkan reaksi berbeda.
Ada yang terbelalak, sambil mengatakan “hah…!!”
Ada yang memasang tampang polos lugu dan mengatakan “maksudnya?”
Ada yang hanya melirik sekilas dan dari mulutnya hanya terdengar gumaman “mmhh…” lalu kembali asyik di depan komputer.
Tapi sebagian besar lainnya bereaksi sangat ingin tahu dan mengatakan “ceritain dooongg..”
Temanku ini tampak puas dengan pernyataan pendeknya.
“Biasanya tiap hari Selasa, Kamis, Sabtu, ‘tante’nya datang…”
“Yahh.. hari ini ga ada jadwal dong,..”
Temanku yang tampak paling tidak peduli dan hanya sibuk dengan komputernya justru memberikan reaksi spontan saat itu.
“Besok kita ngumpul lagi yuk, habis praktikum..” sebuah suara lain juga terdengar antusias.
Lalu bersahutan segala ide, pendapat, sekedar opini yang saling melengkapi satu sama lain, diselingi derai tawa. Saat itu kami menemukan sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas.

Apa yang terbayang dalam benakmu dengan label “tante”? seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut disisir tinggi, dandanan tebal, memakai perhiasan berlebihan dengan tubuh yang sudah tidak masuk kategori langsing? Yah, jujur saja itu juga yang pertama kali ada dipikiranku tentang sosok “tante”nya Agus. Tapi hari itu, segala definisi tante yang terimaginasi di otakku berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang aku lihat.
“Ssstt….itu…!” temenku berbisik sambil matanya memberi kode agar aku memperhatikan seseorang yang sedang melintas di depan kamarnya. Seorang wanita yang aku perkirakan berusia pertengahan empat puluhan. Tubuhnya kecil agak kurus, kulit sawo matang, rambut sebahu dengan penampilan yang sangat biasa. Berjalan agak tergesa sambil membawa sebuah tas jinjing yang tampak “penuh”.
“Kamu ga salah? Jangan-jangan itu kakak atau sodaranya..? “ aku protes pada temanku, merasa tidak rela dengan ketidaksesuaian antara imagi yang kuciptakan sendiri dengan sosok nyata yang aku lihat, menyangkut definisi: tante.
Temanku tersenyum sinis.
“Coba deh perhatikan sebentar lagi…”
Aku hanya melirik sekilas ke temanku itu dan mengikuti apa yang dikatakannya, memperhatikan apa yang terjadi berikutnya.
Sampai di depan kamar si Agus yang sedang tertutup, wanita itu mengetuk pintunya, tak lama kemudian dibuka dan sekilas tampak sosok Agus yang terlihat baru bangun tidur. Wanita itu langsung masuk, tanpa memperhatikan sekitar, lalu pintu kamar ditutup rapat.
Entahlah aku tidak tahu pasti apa yang terjadi selanjutnya. Saat itu pikiranku mulai menganalisa, tentang informasi minim yang aku miliki, beberapa potongan kejadian singkat yang aku lihat dengan imajinasi sendiri.
Rumah kost milik temanku ini memang memberikan kebebasan para penghuninya untuk membiarkan teman dari lawan jenis bisa keluar masuk kesana. Kamar Agus yang paling kecil diantara kamar-kamar lain (ini informasi dari temanku) berukuran hanya dua kali tiga meter. Apa yang mereka lakukan dalam kamar sempit itu dengan kondisi pintu tertutup rapat, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.
“Mereka bisa berjam-jam di dalam sana…” temanku memberikan argumen seakan mengerti keraguanku atas analisanya.
Aku hanya diam, berusaha mencari kalimat tepat untuk mematahkan “teori” menyangkut hubungan antara Agus dengan “tante”nya yang sudah terlanjur terlekatkan pada mereka, tapi aku belum bisa menemukannya.
“Semua biaya dan kebutuhan Agus, si tante itu yang menanggung…”
”Kamu tau darimana?” nada suaraku terdengar menyelidik..
“Agus sendiri yang cerita”
“Agus cerita soal tante itu?...”
“Gak secara langsung sih, dia bilang, itu kakaknya”
“Ya, mungkin emang kakaknya?” balasku cepat.
“Kamu ini pura-pura bodoh atau memang naïf, sih…” temanku tampak mulai sedikit emosi karena bisa membaca ketidakpercayaanku atas apa yang dikatakannya tentang Agus.
Aku sedang tidak ingin berdebat. Jadi kubiarkan saja hal itu. Bukan urusanku, gumamku, berusaha meyakinkan diri sendiri atas dorongan rasa ingin tau yang mulai menari-nari menggodaku.
Selanjutnya aku hanya jadi lebih sering berkunjung ke rumah kost temanku ini; dengan beberapa alasan meminjam buku, mengembalikan diktat, menjemput kuliah, mengantarnya, alasan sekedar lewat dan beberapa alasan lain yang sama tidak pentingnya. Tapi selalu kupilih hari Selasa, Kamis dan Sabtu, selalu kusempatkan untuk sekedar menengok ke arah kamar Agus disana, dan seringkali kulihat sepasang sandal wanita (yang dengan pasti kuyakini adalah milik “tante”nya) ada di depan kamar Agus saat pintunya tertutup rapat. Terkadang (walaupun sangat jarang) aku melihat mereka berdua duduk di sebuah kursi kecil sekedar ngobrol dengan sikap yang sangat biasa. Pernah satu waktu kulihat Agus duduk sendiri sambil tampak asyik bermain Handphone. “Barang baru dari tante…” itu ucapan sinis yang kuingat keluar dari mulut temanku. Dan aku tidak berniat untuk membahas lebih lanjut mengenai Agus, jadi aku hanya diam tidak menanggapi lebih jauh. Hanya itu beberapa fakta yang aku tahu mengenai mereka.
Dan kemudian segala keingin tahuan itu mulai meluntur seiring dengan tumpukan tugas-tugas dan kesibukan kehidupan pribadiku sendiri. Cerita tentang Agus dan “tante”nya tak lagi terlalu menarik minatku, setiap orang punya “kisah”nya sendiri, hanya itu yang jadi kesimpulan akhirku (lebih untuk menekan keingintahuan yang kadang melintas lagi)
Sampai pada suatu siang, saat aku menerima sebuah telepon.
“Aku gak masuk hari ini, tolong titip absen, yaaa.. Agus kecelakaan, dia meninggal dunia hari ini….” Panas matahari yang menyengat,  aku tercekat, mulut terasa kering tak mampu berkata-kata. Selanjutnya aku tak lagi mendengar dengan jelas kalimat-kalimat dari temanku itu, aku larut dalam pikiranku sendiri. Terbayang sosok Agus, “tante”nya dan pintu kamar yang tertutup.

Sudah tiga hari sejak kudengar kabar kematian Agus, aku belum bertemu dengan temanku lagi. Selama itu pula kupendam segala rasa ingin tau mengenai detail kejadian kecelakaan tragis yang menimpa Agus. Akhirnya setelah kurasa aku tak mampu menahan rasa ingin tahu, sore itu aku pergi ke rumah kost temanku, ke tempat dimana seseorang bernama Agus pernah tinggal dan mengisi hari-hari sebelum kematiannya.
Entah sebuah kebetulan atau mungkin segala di dunia ini memang telah terencanakan, sesampainya di rumah kost itu, kulihat “tante” Agus sedang duduk di bangku tempat mereka berdua biasa terlihat ngobrol. Disampingnya ada sebuah tas yang cukup besar. Tampaknya dia baru selesai mengemasi beberapa barang dari kamar Agus. Sang tante tampak hanya diam, duduk, merenung, menatap kedepan dengan pandangan kosong. Entah mengapa jauh di lubuk hatiku aku seperti ikut merasakan kesedihan mendalam karena kehilangan. Mungkin hubungan mereka berdua tidak sesederhana apa yang orang-orang lihat dan nilai. Mungkin ada cerita yang jauh lebih indah daripada sekedar hasrat nafsu dari dua anak manusia yang berbeda lawan jenis. Mungkin hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu tentang makna perasaan mereka.
Sebuah nama.
Sebuah kisah.
“Adakah yang salah dengan cinta?”


* Terinspirasi dari kisah yang sebenarnya. Merindukan masa-masa kuliah, saat otak dijejali segala macam teori dan idealisme dunia.


2 komentar:

  1. Terus itu "tantenya" tante beneran apa "tante tantean" mba?
    Masih penasaran aja..takutnya suudzon ke agus mba..kan ga enak..orangnya uda engga ada..��

    BalasHapus
  2. Hahaha..aku juga ga yakin dek, tapi kayaknya seperti cerita adanya itu..

    BalasHapus