Namanya Agus. Nama yang biasa kan ? Nama yang bisa kau
temui diantara nama tetangga, teman sepermainan, atau bahkan nama kakak
laki-lakimu, saudara dekat ataupun jauh. Nama yang hampir selalu ada disetiap
kelas pada masa sekolah, dari Taman Kanak-Kanak sampai kuliah.
Dia seorang mahasiswa di salah
satu Perguruan Tinggi swasta di kotaku. Itu juga biasa, tak ada yang terlalu
istimewa. Aku mengenalnya (mungkin lebih tepat sekedar tau tentang dirinya)
saat berkunjung ke rumah kost seorang teman.
Kamarnya terletak paling ujung di
deretan kamar-kamar yang lain. Aku sekedar tau, waktu dia lewat di depan kamar
temanku ini, saat aku dan beberapa teman bercanda, tertawa terbahak-bahak
mengomentari segala hal yang terjadi dengan dunia lewat kacamata idealisme
mahasiswa.
“Namanya Agus…”. Temanku
tiba-tiba membisikkan itu, mungkin dia menyadari beberapa pasang mata dari
kami, para mahasiswi tampak begitu ingin tau dengan sosoknya. Tinggi, putih,
rambut tebal dan bersahaja (mungkin ini hanya penilaian subyektif saja; yang
aku simpulkan dari penampilan, gaya
berpakaian dan sikapnya yang terlihat tenang). Kami sekelompok mahasiswa yang
menilai segala sesuatu dari apa yang kami lihat (dan itu cukup manusiawi
kurasa) manggut-manggut, tersenyum, dengan pemikiran masing-masing, lalu mulai
saling melirik, dengan tatapan -lumayan juga-
“Dia simpenan tante-tante…”
kalimat pendek ini menimbulkan reaksi berbeda.
Tapi sebagian besar lainnya
bereaksi sangat ingin tahu dan mengatakan “ceritain dooongg..”
Temanku ini tampak puas dengan
pernyataan pendeknya.
“Biasanya tiap hari Selasa,
Kamis, Sabtu, ‘tante’nya datang…”
“Yahh.. hari ini ga ada jadwal
dong,..”
Temanku yang tampak paling tidak
peduli dan hanya sibuk dengan komputernya justru memberikan reaksi spontan saat
itu.
“Besok kita ngumpul lagi yuk,
habis praktikum..” sebuah suara lain juga terdengar antusias.
Lalu bersahutan segala ide,
pendapat, sekedar opini yang saling melengkapi satu sama lain, diselingi derai
tawa. Saat itu kami menemukan sesuatu yang cukup menarik untuk dibahas.
Apa yang terbayang dalam benakmu
dengan label “tante”? seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut disisir tinggi, dandanan tebal,
memakai perhiasan berlebihan dengan tubuh yang sudah tidak masuk kategori
langsing? Yah, jujur saja itu juga yang pertama kali ada dipikiranku tentang
sosok “tante”nya Agus. Tapi hari itu, segala definisi tante yang terimaginasi
di otakku berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang aku lihat.
“Ssstt….itu…!” temenku berbisik
sambil matanya memberi kode agar aku memperhatikan seseorang yang sedang
melintas di depan kamarnya. Seorang wanita yang aku perkirakan berusia
pertengahan empat puluhan. Tubuhnya kecil agak kurus, kulit sawo matang, rambut
sebahu dengan penampilan yang sangat biasa. Berjalan agak tergesa sambil
membawa sebuah tas jinjing yang tampak “penuh”.
“Kamu ga salah? Jangan-jangan itu
kakak atau sodaranya..? “ aku protes pada temanku, merasa tidak rela dengan
ketidaksesuaian antara imagi yang kuciptakan sendiri dengan sosok nyata yang
aku lihat, menyangkut definisi: tante.
Temanku tersenyum sinis.
“Coba deh perhatikan sebentar
lagi…”
Aku hanya melirik sekilas ke
temanku itu dan mengikuti apa yang dikatakannya, memperhatikan apa yang terjadi
berikutnya.
Sampai di depan kamar si Agus
yang sedang tertutup, wanita itu mengetuk pintunya, tak lama kemudian dibuka
dan sekilas tampak sosok Agus yang terlihat baru bangun tidur. Wanita itu
langsung masuk, tanpa memperhatikan sekitar, lalu pintu kamar ditutup rapat.
Entahlah aku tidak tahu pasti apa
yang terjadi selanjutnya. Saat itu pikiranku mulai menganalisa, tentang
informasi minim yang aku miliki, beberapa potongan kejadian singkat yang aku
lihat dengan imajinasi sendiri.
Rumah kost milik temanku ini
memang memberikan kebebasan para penghuninya untuk membiarkan teman dari lawan
jenis bisa keluar masuk kesana. Kamar Agus yang paling kecil diantara
kamar-kamar lain (ini informasi dari temanku) berukuran hanya dua kali tiga
meter. Apa yang mereka lakukan dalam kamar sempit itu dengan kondisi pintu
tertutup rapat, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.
“Mereka bisa berjam-jam di dalam sana …” temanku memberikan argumen
seakan mengerti keraguanku atas analisanya.
Aku hanya diam, berusaha mencari
kalimat tepat untuk mematahkan “teori” menyangkut hubungan antara Agus dengan
“tante”nya yang sudah terlanjur terlekatkan pada mereka, tapi aku belum bisa menemukannya.
“Semua biaya dan kebutuhan Agus,
si tante itu yang menanggung…”
”Kamu tau darimana?” nada suaraku terdengar menyelidik..
”Kamu tau darimana?” nada suaraku terdengar menyelidik..
“Agus sendiri yang cerita”
“Agus cerita soal tante itu?...”
“Gak secara langsung sih, dia
bilang, itu kakaknya”
“Ya, mungkin emang kakaknya?”
balasku cepat.
“Kamu ini pura-pura bodoh atau
memang naïf, sih…” temanku tampak mulai sedikit emosi karena bisa membaca
ketidakpercayaanku atas apa yang dikatakannya tentang Agus.
Aku sedang tidak ingin berdebat.
Jadi kubiarkan saja hal itu. Bukan urusanku, gumamku, berusaha meyakinkan diri
sendiri atas dorongan rasa ingin tau yang mulai menari-nari menggodaku.
Selanjutnya aku hanya jadi lebih
sering berkunjung ke rumah kost temanku ini; dengan beberapa alasan meminjam
buku, mengembalikan diktat, menjemput kuliah, mengantarnya, alasan sekedar
lewat dan beberapa alasan lain yang sama tidak pentingnya. Tapi selalu kupilih
hari Selasa, Kamis dan Sabtu, selalu kusempatkan untuk sekedar menengok ke arah
kamar Agus disana, dan seringkali kulihat sepasang sandal wanita (yang dengan
pasti kuyakini adalah milik “tante”nya) ada di depan kamar Agus saat pintunya
tertutup rapat. Terkadang (walaupun sangat jarang) aku melihat mereka berdua
duduk di sebuah kursi kecil sekedar ngobrol dengan sikap yang sangat biasa.
Pernah satu waktu kulihat Agus duduk sendiri sambil tampak asyik bermain
Handphone. “Barang baru dari tante…” itu ucapan sinis yang kuingat keluar dari
mulut temanku. Dan aku tidak berniat untuk membahas lebih lanjut mengenai Agus,
jadi aku hanya diam tidak menanggapi lebih jauh. Hanya itu beberapa fakta yang
aku tahu mengenai mereka.
Dan kemudian segala keingin
tahuan itu mulai meluntur seiring dengan tumpukan tugas-tugas dan kesibukan
kehidupan pribadiku sendiri. Cerita tentang Agus dan “tante”nya tak lagi
terlalu menarik minatku, setiap orang punya “kisah”nya sendiri, hanya itu yang
jadi kesimpulan akhirku (lebih untuk menekan keingintahuan yang kadang melintas
lagi)
Sampai pada suatu siang, saat aku
menerima sebuah telepon.
“Aku gak masuk hari ini, tolong
titip absen, yaaa.. Agus kecelakaan, dia meninggal dunia hari ini….” Panas
matahari yang menyengat, aku tercekat,
mulut terasa kering tak mampu berkata-kata. Selanjutnya aku tak lagi mendengar
dengan jelas kalimat-kalimat dari temanku itu, aku larut dalam pikiranku
sendiri. Terbayang sosok Agus, “tante”nya dan pintu kamar yang tertutup.
Sudah tiga hari sejak kudengar
kabar kematian Agus, aku belum bertemu dengan temanku lagi. Selama itu pula
kupendam segala rasa ingin tau mengenai detail kejadian kecelakaan tragis yang
menimpa Agus. Akhirnya setelah kurasa aku tak mampu menahan rasa ingin tahu,
sore itu aku pergi ke rumah kost temanku, ke tempat dimana seseorang bernama
Agus pernah tinggal dan mengisi hari-hari sebelum kematiannya.
Entah sebuah kebetulan atau
mungkin segala di dunia ini memang telah terencanakan, sesampainya di rumah
kost itu, kulihat “tante” Agus sedang duduk di bangku tempat mereka berdua
biasa terlihat ngobrol. Disampingnya ada sebuah tas yang cukup besar. Tampaknya
dia baru selesai mengemasi beberapa barang dari kamar Agus. Sang tante tampak
hanya diam, duduk, merenung, menatap kedepan dengan pandangan kosong. Entah mengapa
jauh di lubuk hatiku aku seperti ikut merasakan kesedihan mendalam karena
kehilangan. Mungkin hubungan mereka berdua tidak sesederhana apa yang
orang-orang lihat dan nilai. Mungkin ada cerita yang jauh lebih indah daripada
sekedar hasrat nafsu dari dua anak manusia yang berbeda lawan jenis. Mungkin
hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu tentang makna perasaan mereka.
Sebuah nama.
Sebuah kisah.
“Adakah yang salah dengan cinta?”
* Terinspirasi dari kisah yang
sebenarnya. Merindukan masa-masa kuliah, saat otak dijejali segala macam teori
dan idealisme dunia.
Terus itu "tantenya" tante beneran apa "tante tantean" mba?
BalasHapusMasih penasaran aja..takutnya suudzon ke agus mba..kan ga enak..orangnya uda engga ada..��
Hahaha..aku juga ga yakin dek, tapi kayaknya seperti cerita adanya itu..
BalasHapus