“Hidup itu terkadang seperti
memilah santan dan ampasnya.”
Aku memandangmu, tersenyum, malas
untuk membahas; merasa aneh, membicarakan filosofi saat menikmati semangkuk es
krim yang mulai meleleh.
“Bagaimana kita tau mana yang
ampas mana yang santan?”
Itu pertanyaan biasa, datar dan
wajar, sesuap es krim meluncur dingin dalam tenggorokan.
Kamu tersenyum memandangku dengan
tatapan -aku ingin menciummu-, kubiarkan itu (setiap orang punya mimpi).
“Hidup itu tentang pilihan”
katamu lagi.
“Aku mulai bosan dengan kalimat
itu” sergahku, dan itu pernyataan jujur.
Kamu tersenyum (lagi).
“Rasa apa yang kau pesan tadi?”
kau beralih ke mangkuk es krim yang separuhnya mulai kosong.
“Coklat, vanilla, stroberi”
jawabku.
“Mana yang kau pilih untuk kau
nikmati terlebih dulu?”
“Suka-suka aku ingin menikmati, aku
tak harus menghabiskan satu rasa dulu baru beralih ke rasa yang lain” Egoku
kurasakan kental dalam kalimat itu.
“Yaaa…, mungkin seperti itulah,
kau punya semangkuk es krim dengan beberapa rasa, tinggal mana yang kau pilih
dulu untuk kau nikmati -sesukamu-, seperti juga ampas dan santan, bisa jadi apa
yang kau anggap ampas hari ini, akan menjadi santan mu kelak, tinggal bagaimana
kau memaknainya dan mana yang ingin kau nikmati dulu..”
Kau memandangku (aku selalu suka
tatapan itu) lalu kau dekatkan bibirmu ke bibirku, kurasakan debar seiring
kehangatan; dan segala teori-filosofi luruh runtuh, aku hanya ingin bersamamu.
Titik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar