Siang itu hari Jum’at, diluar
panas tampak begitu menyengat, dan saya menikmati dinginnya AC kantor, tanpa
peluh tapi penuh keluh di kepala. Hari itu saya merasa sangat malas dan sibuk
dengan pikiran-pikiran tidak penting yang memenuhi otak. Tiba –tiba diluar saya
melihat satpam tampak sedang berbicara agak keras pada seseorang, menjelaskan
ini itu (dan saya sedang tidak merasa tertarik untuk tahu).
Tak lama kemudian, masuklah
seseorang. Tubuhnya kecil, tingginya tidak melebihi pinggang saya. Kurus, hitam
legam. Entahlah saat melihat pertama kali, dirinya mengingatkan saya pada
penggambaran (maaf) sosok jin (dalam buku “Berdialog dengan Jin”) telinganya
sedikit meruncing. Jemari kaki dan tangannya besar, tampak tidak proporsional
dengan tubuhnya yang kerdil.
Dia tersenyum, saya perhatikan
lebih mendetail, secara penampilan, sebenarnya dia cukup bersih dan rapi.
Rambutnya tersisir licin ke belakang, bajunya (kemeja yang warnanya mulai
pudar) dimasukkan ke dalam celana panjangnya.
“Saya mau tanya soal tabungan dan
deposito, bu..” katanya sambil tersenyum, beberapa giginya tampak sudah
tanggal.
Don’t judge a book from the
cover, kalimat itu sudah saya baca dan dengar ratusan kali selama hidup saya,
tapi sungguh tak mudah saat harus memaknainya saat itu. Teori jauh lebih mudah
daripada praktek. Satu yang ada dipikiran saya saat itu “apa dia waras?” –benar
kan ? Saya
menilai pria kecil ini masih sebatas apa yang saya lihat.
Tapi saya punya tugas disini,
baiklah akan saya jalankan sesuai standar layanan (seadanya). Saat saya
menjelaskan ini itu, dia tampak mengangguk-angguk, entah mengerti atau justru
bingung dengan penjelasan saya. Sesekali dia protes soal suku bunga yang
rendah, dalam beberapa hal saya merasa dia cukup memahami apa yang saya
sampaikan –berarti dia tidak gila atau kurang “pintar”-, secara umum dia normal
menyangkut pemikiran, sejujurnya hati kecil saya harus mengakui hal itu, tapi
masih saja saya terjebak dalam penilaian menyangkut sosoknya.
Setelah tampak puas dengan apa
yang saya sampaikan, dia pun berpamitan. Fiuh,…. ternyata benar dia hanya
sekedar bertanya, bathin saya. Lalu saya pun bersiap untuk makan siang (ini jam
istirahat dan saya benar-benar tidak mau terlambat).
Saya belum menyelesaikan makan
bekal siang, ketika satpam memberitahu bahwa bapak kecil tadi kembali. Dengan
bersungut-sungut saya bilang pada satpam “suruh tunggu aja deh, paling bentar
lagi dia bakal pulang”. Dan satpam mengangguk. Saya berniat sedikit
berlama-lama istirahat (bukankah saya punya hak atas itu?) tapi lagi-lagi hati
kecil saya seakan protes dan mengatakan; kamu punya tugas untuk dikerjakan,
please..jangan childish!!
Saya pun kembali ke meja kerja
(masih setengah hati).
Bapak kecil itu sudah duduk manis
sambil memegang bungkusan plastik berwarna hitam. Saat melihat saya, dia
berdiri, tersenyum (lagi) kemudian mengeluarkan sesuatu yang dibungkus koran
dari dalam kantong plastiknya.
“Saya jadi nabung, bu…” dia
mengatakan itu sambil membuka bungkusan koran yang didalamnya ternyata berisi
bungkusan2 yang lebih kecil. Ada
beberapa tumpuk bungkusan kecil di depan mata saya, dan saya masih bingung
harus mengatakan apa.
“ohya, maaf uangnya saya bungkus
seperti ini, masing-masing isinya satu jutaan..” katanya seakan mengerti dengan
tatapan saya.
“saya mau deposito saja bu, gak
tahu jumlahnya berapa, nanti ibu hitung saja, kira-kira sekitar empat puluh
jutaan”
Setelah beberapa saat saya bisa
menguasai diri (dan merutuki diri atas pemikiran “jahat” saya tadi). Saya mulai
melakukan tugas, membukakan rekening untuk bapak kecil itu.
“Bapak kerja dimana?” tanya saya
mencairkan suasana, sekaligus berusaha menebus sikap saya sebelumnya.
“Saya kerja di Dolly, bu….” Saya
agak tersentak dengan nama tempat pusat “lendir” terbesar di Asia Tengara itu.
“Kerja apa, pak?” tanya saya lagi
semakin ingin tahu.
“Jualan rempeyek, bu…” jawabnya
polos, sekali lagi sambil tersenyum.
“Hasilnya lumayan, bu..tapi
sayangnya sebentar lagi Dolly kan
mau ditutup sama pemerintah, ‘cewek-ceweknya’ dikasih pesangon”.
Sejenak saya menghentikan
aktifitas membuka bungkusan-bungkusan kecil (yang ternyata benar berisi uang
lembaran ratusan dan lima
puluh ribuan). Jumlah seluruhnya mencapai empat puluh enam juta.
“Bu, ini sampahnya biar saya yang
buang, maaf jadi bikin kotor….”
“Loh, gak usah pak, nanti ada
yang mbersihkan kok..”
Dia menatap saya, seakan berusaha
mencari kesungguhan atas kalimat saya.
Saya tersenyum, entahlah
tiba-tiba saya menyukai kepolosan laki-laki kecil ini.
Ohya, namanya Pak Hery. Dia
bercerita panjang lebar tentang “profesi”nya yang selain berjualan rempeyek dia
juga terkadang juga memijat orang-orang di Dolly. Dia juga bercerita “sedikit”
tentang para wanita di Dolly, pelanggannya, cara-cara yang digunakan untuk
membuat para pelanggan ‘bertahan” dengan diselipin candaan ringan, saya harus
akui pak Hery punya sisi menarik menyangkut caranya bercerita, begitu ringan,
begitu lepas, polos, lugu tapi juga terlihat bahwa dia seorang pekerja keras.
“Berapa lama bapak mengumpulkan
uang sebanyak ini, pak…?” tanya saya (sangat) ingin tahu.
“Lama, bu, sekitar empat
tahunan.”
“selama ini uangnya disimpen
dimana, pak?”
“saya punya tempat penyimpanan
khusus yang cuman saya sendiri yang tahu. Istri saya sudah meninggal, anak saya
dua. Tapi mereka juga gak tahu kalo saya punya uang ini. nanti kalo saya
meninggal uangnya bisa diurus buat anak saya kan ? Ga pake ke pengadilan-pengadilan gitu kan , Bu”
kalimat-kalimatnya begitu polos.
“Bisa kok, pak..ga usah kuatir.
Daripada uangnya disimpan di rumah kan
malah gak aman pak, bisa rusak juga lho.”
“iyya, bu..makanya saya kasih
kapur barus di tempat simpan uangnya bu, biar gak dimakan rayap. Saya juga
kuatir kalo lama disimpan nanti bisa gak laku kalo ganti uang yang baru.”
Saya tersenyum (untuk kali ini
dengan tulus).
“saya bener-bener susah kalo
Dolly jadi ditutup, bu..” mukanya kali ini terlihat sedikit muram.
“Kan bapak bisa jualan rempeyek ditempat
lain..” saya (berusaha) menghibur.
“Tapi gak bisa dapat banyak kayak
di Dolly, bu.. sehari saya bisa dapat seratus sampe dua ratus ribu, kemaren
malah saya habis dapat rejeki dari orang kapal. Tapi ya sudahlah, rejeki kan sudah ada yang
ngatur..” kalimatnya terlihat tulus.
Tak ada yang kebetulan di dunia
ini, saya mempercayainya. Mungkin hari itu saya dipertemukan dengan pak Hery,
agar saya bercermin atas kekerdilan jiwa dan pikiran saya. Agar saya belajar
tentang semangat dan ketulusan dan memahami lebih dalam tentang menilai
seseorang tidak hanya dari penampilan luar saja.
Dan diam-diam di sudut hati saya
berbisik: Semoga Dolly tidak jadi ditutup, agar pak Hery masih bisa mengais
rejeki dari sana ,
agar lebih banyak orang yang belajar dari dunia yang dikatakan penuh dosa, tapi
menyimpan begitu banyak asa dan bahagia yang sederhana. Amien.
Luar biasa...
BalasHapus