Sabtu, 17 November 2012

Dolly, Rempeyek dan Pak Hery



Siang itu hari Jum’at, diluar panas tampak begitu menyengat, dan saya menikmati dinginnya AC kantor, tanpa peluh tapi penuh keluh di kepala. Hari itu saya merasa sangat malas dan sibuk dengan pikiran-pikiran tidak penting yang memenuhi otak. Tiba –tiba diluar saya melihat satpam tampak sedang berbicara agak keras pada seseorang, menjelaskan ini itu (dan saya sedang tidak merasa tertarik untuk tahu).
Tak lama kemudian, masuklah seseorang. Tubuhnya kecil, tingginya tidak melebihi pinggang saya. Kurus, hitam legam. Entahlah saat melihat pertama kali, dirinya mengingatkan saya pada penggambaran (maaf) sosok jin (dalam buku “Berdialog dengan Jin”) telinganya sedikit meruncing. Jemari kaki dan tangannya besar, tampak tidak proporsional dengan tubuhnya yang kerdil.
Dia tersenyum, saya perhatikan lebih mendetail, secara penampilan, sebenarnya dia cukup bersih dan rapi. Rambutnya tersisir licin ke belakang, bajunya (kemeja yang warnanya mulai pudar) dimasukkan ke dalam celana panjangnya.

“Saya mau tanya soal tabungan dan deposito, bu..” katanya sambil tersenyum, beberapa giginya tampak sudah tanggal.

Don’t judge a book from the cover, kalimat itu sudah saya baca dan dengar ratusan kali selama hidup saya, tapi sungguh tak mudah saat harus memaknainya saat itu. Teori jauh lebih mudah daripada praktek. Satu yang ada dipikiran saya saat itu “apa dia waras?” –benar kan? Saya menilai pria kecil ini masih sebatas apa yang saya lihat.
Tapi saya punya tugas disini, baiklah akan saya jalankan sesuai standar layanan (seadanya). Saat saya menjelaskan ini itu, dia tampak mengangguk-angguk, entah mengerti atau justru bingung dengan penjelasan saya. Sesekali dia protes soal suku bunga yang rendah, dalam beberapa hal saya merasa dia cukup memahami apa yang saya sampaikan –berarti dia tidak gila atau kurang “pintar”-, secara umum dia normal menyangkut pemikiran, sejujurnya hati kecil saya harus mengakui hal itu, tapi masih saja saya terjebak dalam penilaian menyangkut sosoknya.
Setelah tampak puas dengan apa yang saya sampaikan, dia pun berpamitan. Fiuh,…. ternyata benar dia hanya sekedar bertanya, bathin saya. Lalu saya pun bersiap untuk makan siang (ini jam istirahat dan saya benar-benar tidak mau terlambat).

Saya belum menyelesaikan makan bekal siang, ketika satpam memberitahu bahwa bapak kecil tadi kembali. Dengan bersungut-sungut saya bilang pada satpam “suruh tunggu aja deh, paling bentar lagi dia bakal pulang”. Dan satpam mengangguk. Saya berniat sedikit berlama-lama istirahat (bukankah saya punya hak atas itu?) tapi lagi-lagi hati kecil saya seakan protes dan mengatakan; kamu punya tugas untuk dikerjakan, please..jangan childish!!
Saya pun kembali ke meja kerja (masih setengah hati).
Bapak kecil itu sudah duduk manis sambil memegang bungkusan plastik berwarna hitam. Saat melihat saya, dia berdiri, tersenyum (lagi) kemudian mengeluarkan sesuatu yang dibungkus koran dari dalam kantong plastiknya.


“Saya jadi nabung, bu…” dia mengatakan itu sambil membuka bungkusan koran yang didalamnya ternyata berisi bungkusan2 yang lebih kecil. Ada beberapa tumpuk bungkusan kecil di depan mata saya, dan saya masih bingung harus mengatakan apa.

“ohya, maaf uangnya saya bungkus seperti ini, masing-masing isinya satu jutaan..” katanya seakan mengerti dengan tatapan saya.

“saya mau deposito saja bu, gak tahu jumlahnya berapa, nanti ibu hitung saja, kira-kira sekitar empat puluh jutaan”

Setelah beberapa saat saya bisa menguasai diri (dan merutuki diri atas pemikiran “jahat” saya tadi). Saya mulai melakukan tugas, membukakan rekening untuk bapak kecil itu.

“Bapak kerja dimana?” tanya saya mencairkan suasana, sekaligus berusaha menebus sikap saya sebelumnya.
“Saya kerja di Dolly, bu….” Saya agak tersentak dengan nama tempat pusat “lendir” terbesar di Asia Tengara itu.
“Kerja apa, pak?” tanya saya lagi semakin ingin tahu.
“Jualan rempeyek, bu…” jawabnya polos, sekali lagi sambil tersenyum.
“Hasilnya lumayan, bu..tapi sayangnya sebentar lagi Dolly kan mau ditutup sama pemerintah, ‘cewek-ceweknya’ dikasih pesangon”.
Sejenak saya menghentikan aktifitas membuka bungkusan-bungkusan kecil (yang ternyata benar berisi uang lembaran ratusan dan lima puluh ribuan). Jumlah seluruhnya mencapai empat puluh enam juta.
“Bu, ini sampahnya biar saya yang buang, maaf jadi bikin kotor….”
“Loh, gak usah pak, nanti ada yang mbersihkan kok..”
Dia menatap saya, seakan berusaha mencari kesungguhan atas kalimat saya.
Saya tersenyum, entahlah tiba-tiba saya menyukai kepolosan laki-laki kecil ini.
Ohya, namanya Pak Hery. Dia bercerita panjang lebar tentang “profesi”nya yang selain berjualan rempeyek dia juga terkadang juga memijat orang-orang di Dolly. Dia juga bercerita “sedikit” tentang para wanita di Dolly, pelanggannya, cara-cara yang digunakan untuk membuat para pelanggan ‘bertahan” dengan diselipin candaan ringan, saya harus akui pak Hery punya sisi menarik menyangkut caranya bercerita, begitu ringan, begitu lepas, polos, lugu tapi juga terlihat bahwa dia seorang pekerja keras.

“Berapa lama bapak mengumpulkan uang sebanyak ini, pak…?” tanya saya (sangat) ingin tahu.
“Lama, bu, sekitar empat tahunan.”
“selama ini uangnya disimpen dimana, pak?”
“saya punya tempat penyimpanan khusus yang cuman saya sendiri yang tahu. Istri saya sudah meninggal, anak saya dua. Tapi mereka juga gak tahu kalo saya punya uang ini. nanti kalo saya meninggal uangnya bisa diurus buat anak saya kan? Ga pake ke pengadilan-pengadilan gitu kan, Bu” kalimat-kalimatnya begitu polos.
“Bisa kok, pak..ga usah kuatir. Daripada uangnya disimpan di rumah kan malah gak aman pak, bisa rusak juga lho.”
“iyya, bu..makanya saya kasih kapur barus di tempat simpan uangnya bu, biar gak dimakan rayap. Saya juga kuatir kalo lama disimpan nanti bisa gak laku kalo ganti uang yang baru.”
Saya tersenyum (untuk kali ini dengan tulus).
“saya bener-bener susah kalo Dolly jadi ditutup, bu..” mukanya kali ini terlihat sedikit muram.
Kan bapak bisa jualan rempeyek ditempat lain..” saya (berusaha) menghibur.
“Tapi gak bisa dapat banyak kayak di Dolly, bu.. sehari saya bisa dapat seratus sampe dua ratus ribu, kemaren malah saya habis dapat rejeki dari orang kapal. Tapi ya sudahlah, rejeki kan sudah ada yang ngatur..” kalimatnya terlihat tulus.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini, saya mempercayainya. Mungkin hari itu saya dipertemukan dengan pak Hery, agar saya bercermin atas kekerdilan jiwa dan pikiran saya. Agar saya belajar tentang semangat dan ketulusan dan memahami lebih dalam tentang menilai seseorang tidak hanya dari penampilan luar saja.
Dan diam-diam di sudut hati saya berbisik: Semoga Dolly tidak jadi ditutup, agar pak Hery masih bisa mengais rejeki dari sana, agar lebih banyak orang yang belajar dari dunia yang dikatakan penuh dosa, tapi menyimpan begitu banyak asa dan bahagia yang sederhana. Amien.

1 komentar: