Aku seorang pelacur. Yah, ini
sebutan untukku. Mungkin untuk para pria apa yang terbayang dalam benak mereka tentangku
adalah: pelepasan hasrat, kenikmatan sesaat, keliaran, sesuatu yang terbayar
dengan beberapa lembar uang. Dan bagi para wanita (baik-baik) kata pelacur
mungkin akan menimbulkan “kebencian”, rasa jijik, penyakit, penghianatan, kasta
terendah dalam norma kewanitaan. Terserahlah, setiap orang punya hak untuk
menilai, tapi inilah kenyataannya, inilah hidupku, peran yang mungkin harus aku
jalani di dunia ini.
Aku juga manusia. Apakah ini
terdengar berlebihan? Aku juga punya hati, perasaan dan pemikiran, disamping
seonggok raga yang aku gunakan untuk melanjutkan hidup, sebagai “modal” dalam
pekerjaanku. Sebenarnya tidak terlalu rumit, justru sangat sederhana, karena
ini hanya menyangkut persoalan “perut”. Terdengar sebagai sebuah
penyederhanaan, atau pembenaran? Pasti. Karena sebagai seorang manusia yang
(pernah) belajar agama, aku pun cukup tahu apa yang harus kubayar di akhirat nanti;
dibakar di api neraka yang paling dasar, merasakan kesakitan yang teramat
sangat terus menerus tanpa ada akhir. Tapi tak tahukah mereka bahwa apa yang
aku jalani di dunia ini pun sudah terasa sebagai “neraka”? melakukan sesuatu
yang dinilai sakral bagi sebagian orang yang bernorma, melalui proses yang
bernama pernikahan, sebagai ukuran kesetiaan, dan juga mungkin yang menjadi
batas antara sifat manusia dan binatang (yaitu bisa melepas hasrat nafsu tanpa
hati, perasaan dan pikiran), tapi aku melakukannya sebagai suatu pekerjaan,
sebagaimana penyapu jalan dengan sapu nya, sebagaimana pelukis dengan cat warna
warni nya, sebagaimana tukang masak dengan pisau nya. Aku melakukan “pekerjaan”
ini dengan tubuhku, ini hanya tentang daging dan lendir. Dan tak tahukah kalian
bahwa seringkali itu juga terasa menyakitkan? Inilah “neraka”ku, merasakan
kehampaan jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit itu sendiri.
Bila sebagian (orang yang
beruntung) bisa memaknai aktifitas tempat tidur mereka sebagai pengungkapan
rasa cinta dan kasih sayang, aku melakukan itu demi lembaran-lembaran uang yang
berarti penyambung hidup esok hari dan sedikit simpanan buat sekolah Upik di
kampung.
Usiaku tiga puluh tahun,
sudah cukup tua untuk profesiku ini. dengan semakin banyaknya gadis-gadis
belasan tahun yang juga mengadu nasib di tempat ini, dengan kerutan-kerutan
halus di wajah, aku tak tahu kenapa aku terlihat jauh lebih tua dari umurku.
Mungkin karena sari pati ku yang telah habis dihisap para lelaki, atau karena
dosa-dosa yang harus kutanggung? aku tak terlalu peduli, bagiku satu dua lelaki
yang mau memakaiku dalam sehari sudah cukup, mereka juga tidak terlalu peduli
dengan wajah saat di tempat tidur. Ini hanya tentang uang. Tolong jangan
mencoba menceramahiku tentang mencari uang dengan halal dan benar. Aku telah
mencobanya, dan semua tidak sesederhana sekian teori yang disodorkan oleh
orang-orang pintar itu. Mereka sempat bisa menjejali otak kami para penjaja
tubuh dengan mimpi hidup wajar dan normal sebagai pribadi yang bisa diterima masyarakat,
tapi kenyataannya tak pernah sesederhana itu. Hidup seringkali jauh lebih rumit
dari teori. Biarlah, ini kehidupan yang harus dijalani saat ini. Aku sendiri
memilih rajin untuk menerima suntikan ini itu dan melakukan hal-hal menyangkut
kebersihan tubuh seperti yang disarankan ibu dokter yang sesekali berkunjung.
Inilah kehidupan “wajar” dan “normal” untuk ukuran orang-orang berpikiran
pendek dan sederhana sepertiku.
Lama kupandangi bayangan di
cermin itu. Terkadang aku butuh berbicara dengan diri sendiri seperti ini,
sekedar menjaga “kewarasan” yang seringkali bergumul antara kehidupan nyata,
ego sebagai manusia, dan keinginan menjadi “benar”. Kutunggu akan ada air yang
menggenang di kedua mataku, seiring sesak yang mendesak saat sekali lagi kubisikkan
nama “Upik”, tapi ternyata tidak. Aku telah cukup kuat menjalani, memahami,
memaknai apa yang memang menjadi peranku saat ini. Bisa jadi karena hatiku
telah mati, mengeras menjadi batu ditempa kenyataan.
Perlahan kupoles lipstik berwarna
merah darah ke bibirku, ini saatnya memakai topeng kehidupan: tersenyum,
sesekali tertawa genit, pandangan merajuk, rengekan manja (yang bahkan
membuatku terasa ingin muntah saat melakukannya) tapi ini hanyalah sekedar
topeng, yang akan segera kulepaskan saat kuhapus riasan di wajahku. Ini saatnya
bekerja…
Temaram, bau menyengat minuman
keras dan rokok, suara musik yang menghentak. Aku memilih menunggu di luar, di
tempat yang mudah terlihat, semoga malam ini aku beruntung. Tiga hari yang lalu
aku terpaksa “libur” karena rutinitas bulanan. Kuhisap dalam-dalam cigaretku,
panas menjalar ke tenggorokan. Malam ini terasa lembab setelah bumi tersiram
hujan sore tadi. Sudah hampir dua jam aku berdiri dan sesekali duduk atau
menyandarkan tubuhku ke tembok, tapi belum ada yang mengajakku. Aku sedang
tidak ingin bergenit-genit di dalam ruangan, bersaing dengan para gadis belasan
tahun yang pasti jauh lebih mudah mendapat pelanggan.
“Marni…?” sebuah suara cukup
mengejutkanku. Kutengadahkan wajah melihat siapa yang memanggil namaku. Aku
merasa seperti pernah mengenalnya, tapi entah dimana aku belum bisa
mengingatnya.
“Bener kamu Marni, kan …? Aku Bagyo, teman
SMA mu dulu..”
“Owhh…yaaa..eh,…mmhh…aku agak
lupa,..”
“Kita dulu pernah sekelas, tapi
kamu tidak melanjutkan saat kenaikan kelas dua, aku ingat kamu pernah juara
kelas waktu itu, tapi sayangnya tiba-tiba memutuskan untuk berhenti” laki-laki
itu tampak begitu antusias saat bercerita.
Apa yang diharapkannya dari
cerita itu? Memberiku luka lama, atas ketidakberdayaan diri pada kenyataan? Aku
terpaksa berhenti sekolah karena bapak mati jadi korban tabrak lari, dan aku
punya tiga orang adik yang harus makan, terpaksa aku terima ajakan seorang
tetangga untuk bekerja di kota .
“Aku tidak mengira dirimu punya
ingatan yang begitu kuat, sampai bisa mengingatku sedetail itu..” kukatakan itu sangat pelan, bahkan aku hampir tidak bisa mendengar suaraku sendiri.
“Aku dulu pernah naksir kamu…”
dia menyambung kalimatnya dengan tawa.
Terasa sedikit menyakitkan
bagiku, entah mengapa? Karena dia melihatku sekarang seperti ini? sebagai
seonggok raga yang bisa dia “beli” sewaktu-waktu?
“Apa kamu mau memakaiku?” kutatap
wajahnya lekat, seiring rasa pahit yang terasa menguasai lidahku, mungkin
karena rokok.
Dia balas menatap, tepat pada
kedua mataku, lalu pandangannya mulai turun memandangi tubuh. Dia tersenyum
sinis, menenggak botol bir di tangan kirinya, pandangannya masih tak lepas dari
(tubuh)ku.
“Sebenarnya aku lebih suka yang
masih muda, masih seger, kamu sudah tua, tapi demi masa lalu, bolehlah…”
seringainya, sambil menarik tanganku.
Kugigit bibir bawahku, sambil
terus berkata dalam hati, ini tentang pekerjaan, ini tentang uang, ini demi Upik.
Ini hanya salah satu “neraka” yang harus aku lalui hari ini. Kalimat itu terus
kuulang sampai menimbulkan gema dalam pikiranku, memenuhi otak, menelusuri
darah dan tinggal dalam setiap sel di tubuhku.
Entah ini hari apa, seingatku
sudah beberapa bulan sejak terakhir kali aku bertemu Bagyo. Kehidupanku
berjalan seperti biasa, sangat biasa, masih seputaran hasrat para lelaki,
topeng, dan terkadang “neraka” dalam bathin. Bulan depan aku berencana pulang
menengok Upik sambil menitipkan uang untuk biaya sekolahnya pada Emak. Beberapa
hari ini entah mengapa perasaanku terasa tidak enak, aku hanya merasa sangat
ingin pulang.
Aku sudah bersiap untuk
berangkat, sebentar kupatut diri di kaca. Kaos tanpa lengan, rok pendek jins,
sepatu tumit tinggi, lengkap dengan riasan menor yang menjadi topengku. Lalu di
depan pintu kulihat dua orang sosok yang kukenal.
“Paklek? Kenapa kesini…?” aku
tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, ditambah dengan sosok kecil
disampingnya yang sedang menatapku tak berkedip.
“Aku mau mengantar Upik sekaligus
memberi kabar buruk…” suara adik bungsu Emak itu terdengar bergetar.
“Emakmu meninggal seminggu yang
lalu…..”
Hening.
Aku masih menunggu.
“Selama beberapa hari ini Upik
tinggal bersamaku, tapi….bulekmu sepertinya agak keberatan dia tinggal di
rumah. Adik-adikmu, aku juga tidak tau dimana, aku tahu keberadaanmu dari
Bagyo, yang katanya bertemu kamu disini…”
Aku merasa kosong. Entah mengapa,
aku menunggu rasa sedih itu akan menguasai diri, membuatku pingsan atau
menangis meraung-raung mendengar semuanya, tapi ternyata tidak. Aku hanya tidak
bisa merasakan apa-apa lagi.
Kualihkan pandanganku pada sosok
disamping Paklek. Wajah polos dan lugunya yang selalu membuatku merasa kuat
menjalani apapun di dunia ini. Dia masih menatapku lekat. Perlahan aku berjalan
mendekatinya, merengkuh tubuh kecilnya dalam pelukanku. Tapi dia hanya diam tak
bergeming. Dingin. Aku hanya mendengar dia berbisik perlahan.
“Kata orang-orang …ibu seorang pelacur”.
Aku merasa seperti jatuh ke dalam
sebuah lobang hitam tanpa dasar. Tuhan, saat ini aku hanya ingin mati.
- Tamat -
haiss, sedihh :(
BalasHapusHehehe.. Mereka juga manusia..
BalasHapusYang salah bukan dia, tapi negara yang ga peduli sama rakyatnya
BalasHapus