Sabtu, 24 November 2012

Aku Seorang Pelacur




Aku seorang pelacur. Yah, ini sebutan untukku. Mungkin untuk para pria apa yang terbayang dalam benak mereka tentangku adalah: pelepasan hasrat, kenikmatan sesaat, keliaran, sesuatu yang terbayar dengan beberapa lembar uang. Dan bagi para wanita (baik-baik) kata pelacur mungkin akan menimbulkan “kebencian”, rasa jijik, penyakit, penghianatan, kasta terendah dalam norma kewanitaan. Terserahlah, setiap orang punya hak untuk menilai, tapi inilah kenyataannya, inilah hidupku, peran yang mungkin harus aku jalani di dunia ini.
Aku juga manusia. Apakah ini terdengar berlebihan? Aku juga punya hati, perasaan dan pemikiran, disamping seonggok raga yang aku gunakan untuk melanjutkan hidup, sebagai “modal” dalam pekerjaanku. Sebenarnya tidak terlalu rumit, justru sangat sederhana, karena ini hanya menyangkut persoalan “perut”. Terdengar sebagai sebuah penyederhanaan, atau pembenaran? Pasti. Karena sebagai seorang manusia yang (pernah) belajar agama, aku pun cukup tahu  apa yang harus kubayar di akhirat nanti; dibakar di api neraka yang paling dasar, merasakan kesakitan yang teramat sangat terus menerus tanpa ada akhir. Tapi tak tahukah mereka bahwa apa yang aku jalani di dunia ini pun sudah terasa sebagai “neraka”? melakukan sesuatu yang dinilai sakral bagi sebagian orang yang bernorma, melalui proses yang bernama pernikahan, sebagai ukuran kesetiaan, dan juga mungkin yang menjadi batas antara sifat manusia dan binatang (yaitu bisa melepas hasrat nafsu tanpa hati, perasaan dan pikiran), tapi aku melakukannya sebagai suatu pekerjaan, sebagaimana penyapu jalan dengan sapu nya, sebagaimana pelukis dengan cat warna warni nya, sebagaimana tukang masak dengan pisau nya. Aku melakukan “pekerjaan” ini dengan tubuhku, ini hanya tentang daging dan lendir. Dan tak tahukah kalian bahwa seringkali itu juga terasa menyakitkan? Inilah “neraka”ku, merasakan kehampaan jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit itu sendiri.
Bila sebagian (orang yang beruntung) bisa memaknai aktifitas tempat tidur mereka sebagai pengungkapan rasa cinta dan kasih sayang, aku melakukan itu demi lembaran-lembaran uang yang berarti penyambung hidup esok hari dan sedikit simpanan buat sekolah Upik di kampung.
Ada sedikit beban yang terasa menggayut setiap aku mengingat wajah polos itu. Upik, tahun depan masuk Sekolah Dasar, aku harus lebih banyak menyisihkan uang, karena ingin memasukkannya ke sekolah bagus yang punya latar belakang pendidikan agama. Mungkin sebagian dari kalian tertawa mendengarnya, tak apa. Tapi apa salah bila seorang pelacur sepertiku tak pernah menginginkan anaknya akan menjalani kehidupan seperti yang aku jalani? aku ingin Upik jadi seseorang yang beragama, berbudi luhur, berakhlak baik. Bukan,…bukan agar kelak dia bisa menebus dosa-dosaku atas apa yang aku jalankan untuk menghidupi dan menyekolahkannya, biarlah dosa itu kutanggung sendiri. Ini tentang hidup Upik sendiri, aku hanya ingin dia menjadi “benar” di mata dunia.

Usiaku tiga puluh tahun, sudah cukup tua untuk profesiku ini. dengan semakin banyaknya gadis-gadis belasan tahun yang juga mengadu nasib di tempat ini, dengan kerutan-kerutan halus di wajah, aku tak tahu kenapa aku terlihat jauh lebih tua dari umurku. Mungkin karena sari pati ku yang telah habis dihisap para lelaki, atau karena dosa-dosa yang harus kutanggung? aku tak terlalu peduli, bagiku satu dua lelaki yang mau memakaiku dalam sehari sudah cukup, mereka juga tidak terlalu peduli dengan wajah saat di tempat tidur. Ini hanya tentang uang. Tolong jangan mencoba menceramahiku tentang mencari uang dengan halal dan benar. Aku telah mencobanya, dan semua tidak sesederhana sekian teori yang disodorkan oleh orang-orang pintar itu. Mereka sempat bisa menjejali otak kami para penjaja tubuh dengan mimpi hidup wajar dan normal sebagai pribadi yang bisa diterima masyarakat, tapi kenyataannya tak pernah sesederhana itu. Hidup seringkali jauh lebih rumit dari teori. Biarlah, ini kehidupan yang harus dijalani saat ini. Aku sendiri memilih rajin untuk menerima suntikan ini itu dan melakukan hal-hal menyangkut kebersihan tubuh seperti yang disarankan ibu dokter yang sesekali berkunjung. Inilah kehidupan “wajar” dan “normal” untuk ukuran orang-orang berpikiran pendek dan sederhana sepertiku.

Lama kupandangi bayangan di cermin itu. Terkadang aku butuh berbicara dengan diri sendiri seperti ini, sekedar menjaga “kewarasan” yang seringkali bergumul antara kehidupan nyata, ego sebagai manusia, dan keinginan menjadi “benar”. Kutunggu akan ada air yang menggenang di kedua mataku, seiring sesak yang mendesak saat sekali lagi kubisikkan nama “Upik”, tapi ternyata tidak. Aku telah cukup kuat menjalani, memahami, memaknai apa yang memang menjadi peranku saat ini. Bisa jadi karena hatiku telah mati, mengeras menjadi batu ditempa kenyataan.
Perlahan kupoles lipstik berwarna merah darah ke bibirku, ini saatnya memakai topeng kehidupan: tersenyum, sesekali tertawa genit, pandangan merajuk, rengekan manja (yang bahkan membuatku terasa ingin muntah saat melakukannya) tapi ini hanyalah sekedar topeng, yang akan segera kulepaskan saat kuhapus riasan di wajahku. Ini saatnya bekerja…

Temaram, bau menyengat minuman keras dan rokok, suara musik yang menghentak. Aku memilih menunggu di luar, di tempat yang mudah terlihat, semoga malam ini aku beruntung. Tiga hari yang lalu aku terpaksa “libur” karena rutinitas bulanan. Kuhisap dalam-dalam cigaretku, panas menjalar ke tenggorokan. Malam ini terasa lembab setelah bumi tersiram hujan sore tadi. Sudah hampir dua jam aku berdiri dan sesekali duduk atau menyandarkan tubuhku ke tembok, tapi belum ada yang mengajakku. Aku sedang tidak ingin bergenit-genit di dalam ruangan, bersaing dengan para gadis belasan tahun yang pasti jauh lebih mudah mendapat pelanggan.
“Marni…?” sebuah suara cukup mengejutkanku. Kutengadahkan wajah melihat siapa yang memanggil namaku. Aku merasa seperti pernah mengenalnya, tapi entah dimana aku belum bisa mengingatnya.
“Bener kamu Marni, kan…? Aku Bagyo, teman SMA mu dulu..”
“Owhh…yaaa..eh,…mmhh…aku agak lupa,..”
“Kita dulu pernah sekelas, tapi kamu tidak melanjutkan saat kenaikan kelas dua, aku ingat kamu pernah juara kelas waktu itu, tapi sayangnya tiba-tiba memutuskan untuk berhenti” laki-laki itu tampak begitu antusias saat bercerita.
Apa yang diharapkannya dari cerita itu? Memberiku luka lama, atas ketidakberdayaan diri pada kenyataan? Aku terpaksa berhenti sekolah karena bapak mati jadi korban tabrak lari, dan aku punya tiga orang adik yang harus makan, terpaksa aku terima ajakan seorang tetangga untuk bekerja di kota.
“Aku tidak mengira dirimu punya ingatan yang begitu kuat, sampai bisa mengingatku sedetail itu..” kukatakan itu sangat pelan, bahkan aku hampir tidak bisa mendengar suaraku sendiri.
“Aku dulu pernah naksir kamu…” dia menyambung kalimatnya dengan tawa.
Terasa sedikit menyakitkan bagiku, entah mengapa? Karena dia melihatku sekarang seperti ini? sebagai seonggok raga yang bisa dia “beli” sewaktu-waktu?
“Apa kamu mau memakaiku?” kutatap wajahnya lekat, seiring rasa pahit yang terasa menguasai lidahku, mungkin karena rokok.
Dia balas menatap, tepat pada kedua mataku, lalu pandangannya mulai turun memandangi tubuh. Dia tersenyum sinis, menenggak botol bir di tangan kirinya, pandangannya masih tak lepas dari (tubuh)ku.
“Sebenarnya aku lebih suka yang masih muda, masih seger, kamu sudah tua, tapi demi masa lalu, bolehlah…” seringainya, sambil menarik tanganku.
Kugigit bibir bawahku, sambil terus berkata dalam hati, ini tentang pekerjaan, ini tentang uang, ini demi Upik. Ini hanya salah satu “neraka” yang harus aku lalui hari ini. Kalimat itu terus kuulang sampai menimbulkan gema dalam pikiranku, memenuhi otak, menelusuri darah dan tinggal dalam setiap sel di tubuhku.

Entah ini hari apa, seingatku sudah beberapa bulan sejak terakhir kali aku bertemu Bagyo. Kehidupanku berjalan seperti biasa, sangat biasa, masih seputaran hasrat para lelaki, topeng, dan terkadang “neraka” dalam bathin. Bulan depan aku berencana pulang menengok Upik sambil menitipkan uang untuk biaya sekolahnya pada Emak. Beberapa hari ini entah mengapa perasaanku terasa tidak enak, aku hanya merasa sangat ingin pulang.
Aku sudah bersiap untuk berangkat, sebentar kupatut diri di kaca. Kaos tanpa lengan, rok pendek jins, sepatu tumit tinggi, lengkap dengan riasan menor yang menjadi topengku. Lalu di depan pintu kulihat dua orang sosok yang kukenal.
“Paklek? Kenapa kesini…?” aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, ditambah dengan sosok kecil disampingnya yang sedang menatapku tak berkedip.
“Aku mau mengantar Upik sekaligus memberi kabar buruk…” suara adik bungsu Emak itu terdengar bergetar.
“Emakmu meninggal seminggu yang lalu…..”
Hening.
Aku masih menunggu.
“Selama beberapa hari ini Upik tinggal bersamaku, tapi….bulekmu sepertinya agak keberatan dia tinggal di rumah. Adik-adikmu, aku juga tidak tau dimana, aku tahu keberadaanmu dari Bagyo, yang katanya bertemu kamu disini…”
Aku merasa kosong. Entah mengapa, aku menunggu rasa sedih itu akan menguasai diri, membuatku pingsan atau menangis meraung-raung mendengar semuanya, tapi ternyata tidak. Aku hanya tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Kualihkan pandanganku pada sosok disamping Paklek. Wajah polos dan lugunya yang selalu membuatku merasa kuat menjalani apapun di dunia ini. Dia masih menatapku lekat. Perlahan aku berjalan mendekatinya, merengkuh tubuh kecilnya dalam pelukanku. Tapi dia hanya diam tak bergeming. Dingin. Aku hanya mendengar dia berbisik perlahan.
“Kata orang-orang …ibu seorang pelacur”.
Aku merasa seperti jatuh ke dalam sebuah lobang hitam tanpa dasar. Tuhan, saat ini aku hanya ingin mati.

- Tamat -

3 komentar: