Jumat, 30 November 2012

Serpihan Kisah


Tentara muda itu mengerang memegangi bahu kanannya. Darah segar masih mengucur. Rasa nyeri terasa menghujam seluruh tubuhnya. Luka tertembus timah panas meninggalkan bekas berupa lubang kehitaman bercampur darah. Peluh membasahi tubuhnya. Dia berada di tengah puing-puing bangunan, suara sirine yang menjauh, bau terbakar menyatu dengan anyir darah. Asap masih membumbung di beberapa atap rumah. Perang dan kehancuran. Itu yang terlintas di benaknya.
Pasukannya kocar kacir entah kemana. Beberapa diantaranya tampak tergeletak tak jauh dari tempatnya terbaring. Perlahan si tentara berusaha bangkit, tapi dia seakan kehilangan seluruh energi. Rasa nyeri masih menguasai. Sebentar lagi mungkin akan datang pasukan dari pihak musuh; membawanya, menyiksanya, bila masih beruntung mungkin dia dibiarkan hidup beberapa lama, tapi kemungkinan besar dia akan mati, mungkin ini menjelang akhir hidupnya, saatnya berdoa pada Tuhan yang dikenalnya.

Tentara itu merasa pusing dan mual, karena dia kehilangan banyak darah. Tenggorokannya kering, serasa terbakar. Nafasnya tersengal-sengal, pandangan mulai mengabur. Tiba-tiba samar dia melihat sesosok  gadis berdiri di dekatnya, diam, hanya memandangi.
Mungkin aku mulai berhalusinasi, pikir si tentara muda. Dipicingkannya mata, mengusap perlahan, berusaha memastikan bahwa yang dilihatnya memang nyata.
Tampak mulai jelas sekarang, berdiri didekatnya, seorang gadis berusia sekitar lima belas tahunan dengan baju lusuh, kotor, selembar kerudung tampak menutupi rambutnya. Wajah gadis itu terlihat coreng moreng oleh debu dan abu kebakaran.
Gadis itu masih diam, menatap tentara muda yang mulai mengerang kesakitan, tampaknya si tentara berharap suara yang keluar dari mulutnya akan mengurangi rasa sakit yang diderita.
Lalu gadis itu merunduk, melihat luka tembak di bahu kanan tentara itu. Dan sekejap kemudian dia pergi dari hadapan si tentara.
Tentara itu menghela nafas lega. Entah mengapa tadi dia merasa begitu ketakutan. Syukurlah dia pergi, bathin si tentara. Tapi belum berapa lama, gadis itu telah kembali dengan membawa pisau dan sebotol cairan.
Matilah aku, pikir si tentara.
Gadis itu semakin dekat, si tentara menahan nafas, degup jantungnya semakin kencang. Ternyata kematian begitu menakutkan, bathinnya. Dipejamkannya mata, mulutnya komat kamit membaca berbagai doa yang diingatnya.
Saat kembali membuka mata, dilihatnya gadis itu sedang memperhatikan lukanya dengan serius.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya si tentara gusar.
Gadis itu hanya diam. Tampak berpikir dengan mata yang masih tak lepas dari luka si tentara.
“Hei..apa yang akan kau lakukan? Kau mau membunuhku? Silahkan.. tolong lakukakan saja dengan cepat, kau tak perlu menyiksaku..”
Gadis itu masih diam.
Tentara itu beringsut berusaha menjauhi sang gadis.
Gadis itu menghela nafas, menatap tajam pada si tentara, dengan wajah kesal.
“Membunuhmu tidak akan pernah menghidupkan kembali ayah dan kakak laki-lakiku…” rahangnya tampak mengeras saat mengatakan kalimat itu.
“Diamlah..mungkin akan terasa menyakitkan..” katanya lagi.
Gadis itu menyobek sedikit kain bagian bawah bajunya, dan menyumpalkan ke mulut si tentara,
“Gigit itu, untuk menahan rasa sakit” perintahnya.
Tentara itu diam, kebingungan, belum bisa menerima apa yang dialaminya saat ini bukan sekedar halusinasi.
Sang gadis mengguyurkan cairan berbau alkohol dari botol yang dibawanya ke luka si tentara.
Tak lama kemudian, si tentara merasakan sakit luar biasa saat pisau gadis itu menyayat luka di bahu kanannya. Digigitnya kain dimulutnya untuk menahan nyeri yang terasa diseluruh tubuh. Sesaat dirinya seperti berada antara hidup dan mati.
Tentara itu tak ingat berapa lama dia merasakan siksaan rasa sakit. Saat dia kembali mendapat kesadaran penuh, dia melihat lukanya telah terbalut, di telapak tangannya ada sebutir peluru yang berlumuran darah.

“Minumlah…” kata gadis itu seraya mengulurkan sebotol air mineral, entah darimana gadis itu mendapatkannya.
“Kau sempat pingsan sebentar tadi” kata gadis itu, dengan raut muka dingin, jemarinya masih dipenuhi darah.
“Kenapa kau lakukan ini?” tanya si tentara masih tak mengerti.
“Kau seharusnya membunuhku dari tadi…bukankah aku musuhmu?”
Gadis itu menatapnya tajam.
“Dendam tak akan membuatku merasa lebih baik, kematianmu tidak akan pernah bisa membayar apapun. Pergilah ..katakan pada duniamu, perang tak akan membawa kemenangan, selain hanya rasa sakit atas kehancuran dan kehilangan.”
Dan sang gadis pun melangkah pergi.

-Tamat-


-         waktu cari-cari gambar yang pas untuk cerita ini, jujur aja, ada perasaaan miris. Setiap kali mau –klik- next page, dalam hati aku berdoa semoga tidak mendapatkan gambar yang terlalu mengerikan (ternyata aku harus berkali-kali menahan nafas saat melihat gambar-gambar itu).
-         Cerita ini hanya fiksi, wujud keprihatinan atas satu kata pendek yang menyimpan berbagai rasa sakit di dalamnya “PERANG”.


2 komentar:

  1. perang kata "mereka" adalah pilihan terakhir..

    kuot: "perang tak akan membawa kemenangan, selain hanya rasa sakit atas kehancuran dan kehilangan.”

    yaah teori memang lebih mudah dari pada praktek ;p

    BalasHapus