Sang Wanita:
Aku mencintainya...
tak ada kalimat yang paling tepat menggambarkan segala perasaanku untuknya. Dia
laki-laki sempurna, dengan segala ambisi dan cita-citanya. Wajahnya selalu
penuh semangat saat bercerita tentang mimpinya. Dan aku akan selalu
mendengarkan dengan seksama, dalam setiap detail sambil sesekali membisikkan
doa-doa. Lalu dia akan meraih kepalaku, menciumi rambutku dan berbisik “I love
U...”. sebuah potongan kisah sempurna pada suatu masa dalam kehidupan.
Lalu tragedi itu
terjadi. Sebuah kecelakaan di suatu petang, merubah kehidupanku. Seperti cat
hitam yang tertuang begitu saja diatas lukisan sempurna sebuah rumah dengan
langitnya yang berpelangi. Hitam... Pekat..
Sebagian tulang
belakangnya remuk, menyebabkan beberapa syarafnya tak berfungsi. Dia lumpuh.
Sosok tegapnya kini tertunduk lesu pada sebuah kursi roda.
Tak ada yang
berubah pada hati dan perasaanku. Aku masih sangat mencintainya, sama seperti
sebelumnya, apapun keadaan dirinya kini, perasaan itu tak berkurang sedikitpun.
Seringkali pada
tidur malamnya, dia tiba-tiba terbangun, dengan tubuh basah oleh keringat dan
nafas yang terburu, lalu mengeluhkan rasa nyeri di punggung belakang dan kedua
kakinya. Aku seringkali tak tau harus berbuat apa saat melihatnya seperti itu.
Hanya bisa memeluknya, sambil merasakan airmata yang perlahan menetes di
pipiku. Aku tak mau dia melihatku dalam kesedihan, aku takut itu hanya akan
menyakitinya.
Awalnya dia masih
“bisa” mengucapkan kalimat pendek, tapi kemudian hanya satu, dua patah kata dan
sekarang dia hanya diam, seringkali wajahnya tanpa ekspresi. Sesekali terdengar
suara “hemm...” dari mulutnya, tapi itupun sangat jarang.
Aku tau sebenarnya
tak ada masalah dengan organ-organ tubuh untuk berkomunikasi pada dirinya.
Dokter sangat yakin saat mengatakan itu. Lalu aku mulai menyadari, bahwa
mungkin dirinya hanya merasa kecewa. Marah pada dunia, atau lebih tepat mungkin
pada takdirnya.
Jadi setiap sore
aku mengajaknya berjalan di taman, menikmati udara segar dan pepohonan. Sambil
mendorong kursi rodanya, aku bercerita tentang apa saja. Aku tau dia
mendengarkan, dia hanya “tidak mau” memberi respon atas apapun yang aku
katakan.
Lalu kami berdua
berteduh di sebuah pohon rindang, tempat favorit kita dulu. Terkadang aku
membawakan beberapa potong kue kesukaannya, menyuapinya sambil terus bercerita
dan memandangi kedua matanya.
Lain waktu aku
hanya duduk dekat kakinya, mengelus punggung tangannya, memainkan jemarinya,
lalu merebahkan kepalaku di pangkuannya. Seringkali aku berharap, dia akan
membelai rambutku seperti dulu. Tapi dia hanya diam.
Tak apa, semua yang
kulakukan hanya ingin agar dia mampu merasakan bahwa aku mencintainya, apapun
keadaannya, karena bagiku, cinta sudah cukup memenuhi untuk cinta itu sendiri.
Sang Pria:
Aku jatuh cinta sejak
pertama kali melihatnya. Tak ada alasan untuk aku tidak jatuh cinta padanya.
Senyumnya, sepasang matanya yang berbinar setiap kali bercerita, gayanya saat
berusaha merajuk, tertawa, bahkan saat marah, semua itu cukup membuatku
berdebar dan “hidup”. Aku merasa begitu
lengkap sebagai laki-laki saat berada di dekatnya. Aku sanggup melakukan apa
saja demi dirinya.
Kususun semua mimpi
dan harapan setinggi mungkin, demi dia. Segala hal untuk dirinya.
Lalu tragedi itu
terjadi.
Hidupku berubah
karena kecelakaan itu. Tak pernah terbayangkan, diriku akan menjadi sesosok tak
berguna di kursi roda.
Bagaimana aku bisa
melindungi dirinya? Sedangkan untuk menolong diri sendiri aku tak mampu? Dan
sungguh, ini sangat menyakitkan. Jauh lebih sakit dari apapun yang kurasakan
secara fisik.
Aku mencintainya.
Kalimat itu
sekarang tak berarti apa-apa, hanya sebuah harapan kosong, bahwa aku mampu
mendampingi dia sampai renta, menjaganya dari apapun yang bisa menyakitinya,
memberikan segala apa yang diinginkannya, mewujudkan sebuah dunia indah tanpa
cela, selayaknya dirinya bagiku.
Dan lihat, betapa
bodohnya dia dengan segala apa yang dilakukannya untukku. Apa dia tak bisa
melihat dengan jelas keadaanku sekarang. Sungguh dia telah buta oleh rasa belas
kasihan. Tak bisakah dia berpikir lebih rasional, apa yang diharapkannya pada
laki-laki cacat sepertiku?
Sampai kapan pun aku hanya akan menjadi
bebannya.
Ketidakberdayaan
ini seakan justru membangkitkan segala aura negatif dalam diriku. Aku menjadi
begitu pemarah sekaligus pencemburu, dadaku bergemuruh, nafasku sesak dan
hatiku diliputi perasaan takut kehilangan, setiap kali dia berbicara dengan
dokter itu. Bukan.. bukan hanya dokter itu, aku cemburu pada semua orang yang
berada didekatnya, yang selalu memandangnya dengan sayang, berusaha meyakinkan
dirinya untuk menguatkan. Dan setiap kali itu terjadi aku merasa hanya sebagai
seonggok sampah yang harus dia bawa-bawa kemana pun dia pergi. Aku benci diriku
sendiri.
Lalu aku berusaha
agar dia membenciku. Aku tak mau bicara dengannya, aku berusaha tidak peduli
dengan segala apa yang dilakukannya. Mungkin itu jauh lebih baik untuk dirinya.
Aku tak ingin melihatnya bersedih. Tapi justru aku orang yang paling sering
membuatnya menangis karena ketidakberdayaanku.
Tolong singkirkan
aku dari hidupmu, karena aku tak mempu melihatmu dalam kesedihan.
Itu kalimat yang
ingin kuteriakkan padanya, tapi selalu tercekat dalam tenggorokanku. Aku tak
pernah merasa mampu melakukannya..
Aku
ingin dia membenciku, karena aku merasa cintaku hanya akan menyakitinya. Karena bagiku, cinta tak akan punya arti bila tak lagi bisa saling mengisi.
-
Tamat -