Wanita diukur dari
kesetiaannya, Nduk...
kalimat itu terngiang. Kutatap bayangan di cermin. Menelusuri setiap detail dari apa yang terpantul. Ada beberapa kerut halus di sudut mata, garis senyumku juga mulai terlukis nyata. Kuraih sisir kayu yang tergeletak di meja, lalu mulai menyisir helai demi helai rambutku. Sudah saatnya aku mewarnai rambut lagi, bathinku. Kutemukan beberapa helai putih di dekat telinga kanan.
kalimat itu terngiang. Kutatap bayangan di cermin. Menelusuri setiap detail dari apa yang terpantul. Ada beberapa kerut halus di sudut mata, garis senyumku juga mulai terlukis nyata. Kuraih sisir kayu yang tergeletak di meja, lalu mulai menyisir helai demi helai rambutku. Sudah saatnya aku mewarnai rambut lagi, bathinku. Kutemukan beberapa helai putih di dekat telinga kanan.
Kamu tau apa arti
setia itu?..
kembali suara itu mengisi kepalaku.
kembali suara itu mengisi kepalaku.
“Eyang buyut telah
menjanda sejak usia dua puluh tujuh tahun, dan sampai usia hampir tujuh puluh
tahun, eyang tidak pernah bisa menggantikan posisi Romo Buyutmu dengan
laki-laki lain.”
Aku menghela nafas,
berusaha melegakan sesuatu yang tiba-tiba terasa mencekat tenggorokan.
Eyang buyut, nenek
dan seorang budhe ku, para wanita yang memutuskan menjaga kesetiaan pada
pasangannya bahkan sampai saat maut memisahkan. Mereka memilih untuk menjanda
selama sisa hidupnya; tidak ada yang bisa menggantikan posisi, Romo buyut, kakek
juga pakdhe, itulah bentuk kesetiaan mereka, menjaga kesakralan janji setia
bahkan saat harus menjalani kehidupan ini “sendiri”.
Aku beranjak dari
meja rias, berjalan menuju sisi ranjang.
Termenung, berusaha menganalisa apa yang ada dalam kepala. Kuedarkan
pandangan menyapu seluruh ruang kamar, dan terhenti pada meja ukir di sudut
ruangan, disana berjajar beberapa foto dalam bingkai-bingkai berwarna hitam dan
perak. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa begitu kosong. Sebuah kehampaan yang
menyelimuti saat memandangi foto-foto
itu. Satu diantaranya saat pernikahanku, beberapa lagi foto-foto saat berlibur
di beberapa tempat. Kesemuanya hanya berisi kami berdua, aku dan Radja; suamiku.
Kembali sebuah desakan terasa menohok dadaku.
Tidak...saat ini aku tidak akan menangis, aku harus berpikir secara rasional untuk mampu mengambil sebuah keputusan, atau justru keputusan ini harusnya aku ambil dengan mempertimbangkan perasaan terdalam? Tanyaku pada diri sendiri. Kugeleng-gelengkan kepala berusaha menepis suara-suara yang kembali memenuhi kepalaku.
Tidak...saat ini aku tidak akan menangis, aku harus berpikir secara rasional untuk mampu mengambil sebuah keputusan, atau justru keputusan ini harusnya aku ambil dengan mempertimbangkan perasaan terdalam? Tanyaku pada diri sendiri. Kugeleng-gelengkan kepala berusaha menepis suara-suara yang kembali memenuhi kepalaku.
Apa yang sebenarnya
yang aku cari dalam hidup ini?
Pertanyaan itu muncul begitu saja. Kebahagiaan, bisikku pada diri sendiri.. Sebuah jawaban bias, sebuah suara lain dalam kepala menyalahkan, itu jawaban umum dari semua orang. Kebahagiaan sebuah kata yang membutuhkan penjelasan, perwujudan, hal yang lebih nyata dari sekedar suatu perasaan yang tak terukur. Aku mencintai Radja, sangat mencintainya, sepenuh hati, jiwa dan ragaku. mungkin dalam beberapa hal aku begitu menjunjung konsep tentang wanita jawa, “garwo” (sigaraning nyowo) yang artinya separuh nyawa dari pasangan. Begitulah aku menyadari keberadaanku sebagai wanita. Itulah bentuk nyata dari kata “bahagia” ku selama ini. Dan kini aku mempertanyakan tentang konsep bahagia itu sendiri. Kebahagiaan-ku, terdengar sedikit egois, karena kini aku jadi berpikir bahwa kebahagiaan suamiku, (mungkin) lebih penting dari kebahagiaanku sendiri. Benarkah? Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan, tiba-tiba aku merasa begitu lelah. Lelah dengan segala konsep, teori dan filosofi yang berusaha aku jejalkan dalam kepala.
Pertanyaan itu muncul begitu saja. Kebahagiaan, bisikku pada diri sendiri.. Sebuah jawaban bias, sebuah suara lain dalam kepala menyalahkan, itu jawaban umum dari semua orang. Kebahagiaan sebuah kata yang membutuhkan penjelasan, perwujudan, hal yang lebih nyata dari sekedar suatu perasaan yang tak terukur. Aku mencintai Radja, sangat mencintainya, sepenuh hati, jiwa dan ragaku. mungkin dalam beberapa hal aku begitu menjunjung konsep tentang wanita jawa, “garwo” (sigaraning nyowo) yang artinya separuh nyawa dari pasangan. Begitulah aku menyadari keberadaanku sebagai wanita. Itulah bentuk nyata dari kata “bahagia” ku selama ini. Dan kini aku mempertanyakan tentang konsep bahagia itu sendiri. Kebahagiaan-ku, terdengar sedikit egois, karena kini aku jadi berpikir bahwa kebahagiaan suamiku, (mungkin) lebih penting dari kebahagiaanku sendiri. Benarkah? Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan, tiba-tiba aku merasa begitu lelah. Lelah dengan segala konsep, teori dan filosofi yang berusaha aku jejalkan dalam kepala.
Karena kamu wanita,
maka kesetiaan begitu penting, itu konsep sederhana yang kupahami. Lalu
bagaimana dengan laki-laki? Mengapa kata kesetiaan tidak terlalu menjadi
“beban” bagi mereka? Tiba-tiba saja aku merasa iri dengan Hawa. Dia yang
tercipta “hanya” untuk mendampingi Adam,
tak perlu merasa khawatir bahwa cintanya
akan dibagi pada perempuan lain. Takdir telah menuliskan bahwa mereka menjadi
pasangan. Meyakini bahwa tulang rusuk Adam yang hilang, terwujud dalam sosok
Hawa. Yah, karena takdir, telah begitu “baik” bagi mereka. Takdir? Bahkan aku
kini mempermasalahkan takdir, apa hakku untuk mempertanyakan hal itu? Takdirku
adalah sebagai seorang wanita, yang
telah menikah selama lima belas tahun dengan laki-laki yang dicintai sepenuh
hati, dengan sebuah kenyataan bahwa aku tidak mampu memberikan keturunan.
Dengan keadaan itu, apakah aku masih punya hak untuk menuntut “kesetiaan” dari
laki-laki yang aku cintai. Bahwa ternyata ketulusan dan kesetiaan, tidak cukup
mampu membayar kebahagiaan suamiku. Airmata
itu tak mampu aku bendung lagi, mengalir begitu saja dari kedua mataku, dan
dalam hati aku berharap tangisan ini akan mampu membasahi hatiku yang terasa
kering.
“Ijinkan aku
menikah lagi...”
kalimat pendek itu ternyata mampu membawa efek dahsyat bagi duniaku saat itu. Dalam beberapa detik aku merasa langit runtuh menimpaku. Kutatap wajah Radja lekat-lekat. Mencari kedalam matanya, benarkah itu yang baru saja diucapkannya? Kuraih cangkir teh dihadapanku, meminumnya seteguk dan merasakan duri-duri kecil seakan menusuki tenggorokan. Kuhela nafas panjang, memberi ruang lebih banyak pada oksigen memenuhi paru-paru. Susah payah kucoba mengukir sebuah senyum di wajah. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya.
kalimat pendek itu ternyata mampu membawa efek dahsyat bagi duniaku saat itu. Dalam beberapa detik aku merasa langit runtuh menimpaku. Kutatap wajah Radja lekat-lekat. Mencari kedalam matanya, benarkah itu yang baru saja diucapkannya? Kuraih cangkir teh dihadapanku, meminumnya seteguk dan merasakan duri-duri kecil seakan menusuki tenggorokan. Kuhela nafas panjang, memberi ruang lebih banyak pada oksigen memenuhi paru-paru. Susah payah kucoba mengukir sebuah senyum di wajah. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya.
“Aku mencintaimu
sepenuh hati, Nayla... tidak akan ada seorang pun yang akan bisa menggantikan
posisimu dalam hatiku..tapi...”
“Aku tau dan tak
perlu penjelasan...” potongku cepat. Aku tidak mau mendengar kalimat yang lebih
menyakitkan lagi.
“Maafkan aku...”
tiba-tiba Radja telah duduk bersimpuh, dan memegang erat-erat kedua telapak tanganku. Kepalanya tertunduk sambil menciumi jemariku, kurasakan airmatanya membasahi punggung tanganku. Kuusap lembut rambutnya. Dia seperti anak kecil yang menangis karena telah kehilangan mainannya.
tiba-tiba Radja telah duduk bersimpuh, dan memegang erat-erat kedua telapak tanganku. Kepalanya tertunduk sambil menciumi jemariku, kurasakan airmatanya membasahi punggung tanganku. Kuusap lembut rambutnya. Dia seperti anak kecil yang menangis karena telah kehilangan mainannya.
“Beri aku waktu
untuk berpikir...” akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirku.
Hening.
Masing-masing dari kami larut dalam pikiran sendiri.
“Kamu tau bahwa orang tuaku yang ingin agar...aku...tapi,
sebenarnya...”
Aku hanya diam,
menunggu apapun yang akan dikatakannya lagi. Tapi ternyata dia tidak mampu
meneruskan kalimatnya. Kami kembali tenggelam dalam sepi.
Hari-hari
selanjutnya adalah kesepian yang sebenarnya. Aku meminta waktu “sendiri”.
Sebenarnya aku berharap Radja membiarkanku untuk pergi dari rumah sementara
waktu, untuk menenangkan pikiran. Tapi dia tak mau itu. Dia memilih untuk
dirinya yang sementara pergi, entah kemana, mungkin ke rumah orang tua, atau
justru ke rumah “calon mempelainya”. Kugeleng-gelengkan kepala berusaha menepis
pemikiran yang terasa menyakiti diriku sendiri.
Dan tinggal sendiri
di rumah, justru semacam “hukuman” bagiku.
Segala hal yang ada di rumah ini, hanya semakin mengingatkanku pada
kebersamaan bersama Radja. Seringkali saat tak tahu apa yang harus kulakukan
untuk menghabiskan waktu, kukeluarkan semua baju-bajunya dari dalam lemari,
lalu kusetrika kembali satu persatu. Menelusuri setiap bagian dari pakaiannya,
sambil membayangkan momen-momen saat dia memakainya, terkadang kuciumi sambil
berharap ada sisa bau tubuhnya yang tertinggal disana. Dan kenyataan
selanjutnya adalah rasa sesak yang semakin membuncah dan mengalirkan airmata,
lalu aku hanya terduduk sendiri disudut ruangan sambil menangis tersedu-sedu.
Sarapan pagi ini,
kembali aku tercenung sendiri. Hanya denting suara sendok saat mengaduk kopi
yang mengisi kekosongan. Kuoles perlahan selembar roti dengan mentega. Kenangan
itu berkelebat begitu saja. Radja tidak suka saat aku mengoles lembar rotinya dengan
terlalu banyak mentega, aku sudah tau pasti takaran untuk mentega, selai atau
seberapa kering aku harus memanggangnya. Aku selalu menyukai segala detail yang
harus aku lakukan untuk melayaninya. Kini yang terasa sangat menyakitkan bahwa
segala cinta dan perasaan yang kumiliki harus dihargai “hanya” sebatas rahimku. Laki-laki mungkin memang tercipta untuk
selalu dimengerti dan wanita harus berusaha selalu mengerti, seberapapun
pahitnya itu. Aku tak tau mana yang lebih mengerikan, hidup dalam kesendirian
dan kesepian selama sisa hidup ataukah membayarnya dengan segala
ketidaknyamanan atas ego dan kecemburuan? Tak ada yang lebih baik dari
keduanya.
Kami duduk berdua,
saling berhadapan. Radja tampak jauh lebih kurus dari saat terakhir aku
melihatnya. Matanya tampak cekung, aku tau ini juga bukan hal yang mudah untuk
dirinya. Kucoba menghadirkan sebuah senyum, dia membalasnya sambil memegang
erat kedua telapak tanganku.
“aku mencintaimu,
mungkin aku tak perlu mengatakannya...kau cukup bisa merasakan itu...”
kuhela nafas, mencoba mengatur kalimatku.
kuhela nafas, mencoba mengatur kalimatku.
“aku merasa takut
untuk hidup sendiri...”
kutunggu reaksinya. Tapi Radja hanya diam sambil menatap mataku.
kutunggu reaksinya. Tapi Radja hanya diam sambil menatap mataku.
“permintaanmu untuk
menikah lagi sungguh sangat menyakitiku...tapi aku sadar tak punya cukup pilihan,
mungkin ini termasuk bagian dari takdirku..”
Radja menghela
nafas, terdengar begitu berat..
“aku ingin kau
bahagia, itu sebuah hal sederhana yang merangkumkan segala perasaanku untukmu
atas apa yang telah kulakukan selama ini. Ternyata tak mudah menukar perasaan
ini dengan kenyataan yang kau sodorkan padaku. Aku harus memilih antara
kebahagiaanmu dan kebahagianku sendiri. Dan sungguh, aku berusaha untuk tidak
egois, tapi aku juga punya hak untuk adil pada diriku sendiri..”
“aku mengijinkanmu
untuk menikah lagi..”
kalimat itu terasa mengiris hatiku sendiri. Radja tampak terkesiap, menatap wajahku lekat-lekat seakan mencari kesungguhan atas kalimat itu. Kubiarkan keheningan membelenggu, sejenak kembali menimbang antara hati dan kenyataan, antara rasa cinta dan ego ku sebagai manusia. Setiap manusia pada akhirnya harus sendiri, itu hanya masalah waktu, setiap kita akan mampu menghadapi segala kepahitan, bahwa kita harus mampu mencintai diri sendiri untuk memberikan separuhnya pada orang lain karena setiap orang berhak untuk bahagia.
kalimat itu terasa mengiris hatiku sendiri. Radja tampak terkesiap, menatap wajahku lekat-lekat seakan mencari kesungguhan atas kalimat itu. Kubiarkan keheningan membelenggu, sejenak kembali menimbang antara hati dan kenyataan, antara rasa cinta dan ego ku sebagai manusia. Setiap manusia pada akhirnya harus sendiri, itu hanya masalah waktu, setiap kita akan mampu menghadapi segala kepahitan, bahwa kita harus mampu mencintai diri sendiri untuk memberikan separuhnya pada orang lain karena setiap orang berhak untuk bahagia.
Kembali kutatap
wajah sosok yang telah menemani dan mengisi hari-hariku selama sekian belas
tahun dalam kehidupanku. Kuyakinkan diri bahwa aku masih sangat mencintainya.
Dan semakin yakin dengan keputusan ini.
“ceraikan aku...”
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar