Sabtu, 27 April 2013

SEPASANG CINTA


Sang Wanita:
Aku mencintainya... tak ada kalimat yang paling tepat menggambarkan segala perasaanku untuknya. Dia laki-laki sempurna, dengan segala ambisi dan cita-citanya. Wajahnya selalu penuh semangat saat bercerita tentang mimpinya. Dan aku akan selalu mendengarkan dengan seksama, dalam setiap detail sambil sesekali membisikkan doa-doa. Lalu dia akan meraih kepalaku, menciumi rambutku dan berbisik “I love U...”. sebuah potongan kisah sempurna pada suatu masa dalam kehidupan.
Lalu tragedi itu terjadi. Sebuah kecelakaan di suatu petang, merubah kehidupanku. Seperti cat hitam yang tertuang begitu saja diatas lukisan sempurna sebuah rumah dengan langitnya yang berpelangi. Hitam... Pekat..
Sebagian tulang belakangnya remuk, menyebabkan beberapa syarafnya tak berfungsi. Dia lumpuh. Sosok tegapnya kini tertunduk lesu pada sebuah kursi roda.
Tak ada yang berubah pada hati dan perasaanku. Aku masih sangat mencintainya, sama seperti sebelumnya, apapun keadaan dirinya kini, perasaan itu tak berkurang sedikitpun.
Seringkali pada tidur malamnya, dia tiba-tiba terbangun, dengan tubuh basah oleh keringat dan nafas yang terburu, lalu mengeluhkan rasa nyeri di punggung belakang dan kedua kakinya. Aku seringkali tak tau harus berbuat apa saat melihatnya seperti itu. Hanya bisa memeluknya, sambil merasakan airmata yang perlahan menetes di pipiku. Aku tak mau dia melihatku dalam kesedihan, aku takut itu hanya akan menyakitinya.
Awalnya dia masih “bisa” mengucapkan kalimat pendek, tapi kemudian hanya satu, dua patah kata dan sekarang dia hanya diam, seringkali wajahnya tanpa ekspresi. Sesekali terdengar suara “hemm...” dari mulutnya, tapi itupun sangat jarang.
Aku tau sebenarnya tak ada masalah dengan organ-organ tubuh untuk berkomunikasi pada dirinya. Dokter sangat yakin saat mengatakan itu. Lalu aku mulai menyadari, bahwa mungkin dirinya hanya merasa kecewa. Marah pada dunia, atau lebih tepat mungkin pada takdirnya.
Jadi setiap sore aku mengajaknya berjalan di taman, menikmati udara segar dan pepohonan. Sambil mendorong kursi rodanya, aku bercerita tentang apa saja. Aku tau dia mendengarkan, dia hanya “tidak mau” memberi respon atas apapun yang aku katakan.
Lalu kami berdua berteduh di sebuah pohon rindang, tempat favorit kita dulu. Terkadang aku membawakan beberapa potong kue kesukaannya, menyuapinya sambil terus bercerita dan memandangi kedua matanya.
Lain waktu aku hanya duduk dekat kakinya, mengelus punggung tangannya, memainkan jemarinya, lalu merebahkan kepalaku di pangkuannya. Seringkali aku berharap, dia akan membelai rambutku seperti dulu. Tapi dia hanya diam.
Tak apa, semua yang kulakukan hanya ingin agar dia mampu merasakan bahwa aku mencintainya, apapun keadaannya, karena bagiku, cinta sudah cukup memenuhi untuk cinta itu sendiri.

Sang Pria:
Aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya. Tak ada alasan untuk aku tidak jatuh cinta padanya. Senyumnya, sepasang matanya yang berbinar setiap kali bercerita, gayanya saat berusaha merajuk, tertawa, bahkan saat marah, semua itu cukup membuatku berdebar dan “hidup”.  Aku merasa begitu lengkap sebagai laki-laki saat berada di dekatnya. Aku sanggup melakukan apa saja demi dirinya.
Kususun semua mimpi dan harapan setinggi mungkin, demi dia. Segala hal untuk dirinya.
Lalu tragedi itu terjadi.
Hidupku berubah karena kecelakaan itu. Tak pernah terbayangkan, diriku akan menjadi sesosok tak berguna di kursi roda.
Bagaimana aku bisa melindungi dirinya? Sedangkan untuk menolong diri sendiri aku tak mampu? Dan sungguh, ini sangat menyakitkan. Jauh lebih sakit dari apapun yang kurasakan secara fisik.
Aku mencintainya.
Kalimat itu sekarang tak berarti apa-apa, hanya sebuah harapan kosong, bahwa aku mampu mendampingi dia sampai renta, menjaganya dari apapun yang bisa menyakitinya, memberikan segala apa yang diinginkannya, mewujudkan sebuah dunia indah tanpa cela, selayaknya dirinya bagiku.
Dan lihat, betapa bodohnya dia dengan segala apa yang dilakukannya untukku. Apa dia tak bisa melihat dengan jelas keadaanku sekarang. Sungguh dia telah buta oleh rasa belas kasihan. Tak bisakah dia berpikir lebih rasional, apa yang diharapkannya pada laki-laki cacat sepertiku?
Sampai kapan pun aku hanya akan menjadi bebannya.
Ketidakberdayaan ini seakan justru membangkitkan segala aura negatif dalam diriku. Aku menjadi begitu pemarah sekaligus pencemburu, dadaku bergemuruh, nafasku sesak dan hatiku diliputi perasaan takut kehilangan, setiap kali dia berbicara dengan dokter itu. Bukan.. bukan hanya dokter itu, aku cemburu pada semua orang yang berada didekatnya, yang selalu memandangnya dengan sayang, berusaha meyakinkan dirinya untuk menguatkan. Dan setiap kali itu terjadi aku merasa hanya sebagai seonggok sampah yang harus dia bawa-bawa kemana pun dia pergi. Aku benci diriku sendiri.
Lalu aku berusaha agar dia membenciku. Aku tak mau bicara dengannya, aku berusaha tidak peduli dengan segala apa yang dilakukannya. Mungkin itu jauh lebih baik untuk dirinya. Aku tak ingin melihatnya bersedih. Tapi justru aku orang yang paling sering membuatnya menangis karena ketidakberdayaanku.
Tolong singkirkan aku dari hidupmu, karena aku tak mempu melihatmu dalam kesedihan.
Itu kalimat yang ingin kuteriakkan padanya, tapi selalu tercekat dalam tenggorokanku. Aku tak pernah merasa mampu melakukannya..
Aku ingin dia membenciku, karena aku merasa cintaku hanya akan menyakitinya. Karena bagiku, cinta tak akan punya arti bila tak lagi bisa saling mengisi.

-          Tamat    -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar