Selasa, 11 Oktober 2011

tentang sebuah cinta


TENTANG SEBUAH CINTA


Kupandangi sosok didepanku. Rambutnya acak-acakan menutupi sebagian wajah. Matanya seakan tenggelam tertutup alis tebal dan tonjolan tulang pipinya. Hidung mancungnya semakin mempertegas wajah tirusnya. Dia tampak begitu berbeda dengan 10 tahun yang lalu saat terakhir kali kita bertemu. Selang infus terpasang di tangan kirinya. Dia terlihat begitu lemah dan pucat. Tak bisa kupungkiri aku merindukan saat pertemuan dengannya. Walaupun itu selalu mampu aku pendam dalam-dalam, menutupinya dengan logika dan realita yang ada, bahwa itu adalah satu hal yang tak mungkin terjadi. Tapi hari ini ternyata semua terjadi. Aku bisa bertemu kembali dengannya walaupun keadaannya sangat jauh dari apa yang aku bayangkan. Potongan-potongan memori bersamanya kembali mengisi benakku.

Awal kita bertemu dia adalah mahasiswa jurusan teknik sipil. Dan aku mahasiswi diploma jurusan sekretaris. Seorang teman memperkenalkannya padaku. Rambutnya hampir menutupi tengkuk, sorot matanya tajam, terkesan cuek. Kita baru dua kali bertemu ketika tiba-tiba di suatu sore,dia mengatakan “mau ga jadi pacarku?”. Aku benar-benar tergelak saat itu. Kupandangi wajahnya kupikir dia bercanda, tapi kulihat mata tajamnya menatapku dengan sungguh-sungguh. Akhirnya aku hanya bisa bilang “ya, kita jalani aja dulu.” Begitulah awalnya, sesederhana itu. Kemudian semua berjalan dengan apa adanya. Rutinitas makan bersama, antar jemput dari kost ke tempat kuliah, nonton bareng, seperti kebanyakan dua orang yang sedang menjalani sebuah hubungan. Cinta? Kita bahkan tak pernah membahasnya, kita sama-sama beranggapan bahwa cinta itu hanya pantas dilekatkan pada ikatan batin orang tua dan anaknya. Tak ada cinta diantara dua orang berbeda lawan jenis yang baru saling mengenal. Kita hanya dikondisikan oleh situasi dan keadaan bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Dan aku menikmatinya. Tak ada beban tak ada target bahwa hubungan ini akan dibawa ke jenjang yang lebih serius. Dia bukan tipe lelaki romantis, tapi cukup bisa membuatku selalu merasa ada yang hilang setiap kali kita tak bertemu. Hal-hal kecil yang dia lakukan, kerlingan mata, senyum manisnya, genggaman erat tangannya, memberi warna hari-hariku bersamanya. Terkadang ada perdebatan saat kita membahas tentang “perbedaan” diantara kita. Dan ujung-ujungnya akan jadi pertengkaran lalu muncul pemikiran bahwa mungkin ini saatnya untuk berpisah, tapi pada akhirnya kita berdua akan sama-sama menangis seperti anak kecil yang akan dipisahkan dengan mainan kesayangannya. Lalu dia akan memelukku erat dan mengatakan “Tolong, jangan tinggalkan aku, Nisa”. Selalu itu yang terjadi, sampai akhirnya kita berdua sama-sama tahu bahwa tak ada yang perlu dibenahi dalam hubungan ini, biarlah semua berjalan seperti apa adanya. Kita berusaha bisa saling mengerti dan mengesampingkan ego untuk mempengaruhi dan mengklaim mana yang lebih baik. Aku tetap dengan keyakinanku begitupun dengan dirinya.
 Tanpa terasa 5 tahun berlalu, kita mulai sibuk dengan urusan kita masing-masing. Dia mulai sibuk dengan tugas akhir dan aku memulai rutinitas sebagai sekretaris di sebuah perusahaan kecil. Saatnya kita dihadapkan pada dunia nyata. Kemana arah hubungan ini. Kita berdua saling memahami orangtua tak akan bisa mengerti tentang hubungan kita. Sebuah cerita klasik tentang dua  anak manusia berbeda keyakinan yang saling mengasihi adalah tidak mungkin untuk disatukan dalam pernikahan.
“Nisa..?” suara lemahnya membuyarkan lamunanku. Matanya tampak terkejut dengan kehadiranku tapi dia tersenyum, masih senyumnya yang dulu. Aku berusaha sekuat tenaga menahan air mata. Ada begitu banyak kata yang ingin aku ungkapkan, tapi tenggorokanku tercekat. Aku harusnya mampu menahan diri, sebagai wanita dewasa aku harus bisa menjaga logika tentang situasi yang ada saat ini. Semuanya telah berbeda. Tapi hatiku tak mampu, melihat apa yang ada dihadapanku. “Blih...” suaraku lebih terdengar seperti bisikan. Dia kembali tersenyum memberi isyarat kepadaku untuk lebih mendekat. Tangannya meraih tanganku, menggenggamnya erat seperti dulu. Aku tak mampu lagi menahan air mata. Aku merindukannya, walaupun kerinduan itu harus aku pendam dalam-dalam. Dia masih memandangku, aku tahu dia juga memendam kerinduan itu. “Tolong, jangan pergi Nisa” kalimat yang sama seperti belasan tahun yang lalu. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Maafkan aku, Blih...?” sahutku lirih. Air mataku semakin deras mengalir. Dia hanya menggeleng lemah.

Semburat warna merah di langit. Matahari perlahan menuju peraduannya, membekaskan warna jingga berpadu abu-abu kelam, lukisan alam yang begitu indah. Desir angin pantai memainkan kain kerudungku. Suara ombak yang berkejaran menuju pantai, diselingi suara burung yang bersiap pulang ke sarangnya. Aku begitu mengagumi pemandangan ini, begitu juga Blih. Nama lengkapnya Ida Bagus Suhendra Wibawa. Ibunya seorang wanita Jawa, Ayahnya seorang kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam tatanan masyarakat di Bali. Aku tidak pernah tahu lebih mendalam tentang latar belakang keluarganya, atau mungkin lebih tepatnya tidak mau tahu tentang hal itu. Apa yang salah dari rasa saling tertarik antara dua orang  yang berbeda keyakinan. Apakah rasa saling menyayangi dalam hati bisa memilih mana orang yang seharusnya kita pilih? 
Aku juga tidak pernah berpikir bahwa rasa ini akan begitu mendalam. Semua berjalan apa adanya, seperti air mengalir, tanpa tau akan bermuara kemana. Tapi hidup seringkali tak bisa seperti yang kita inginkan. Pada akhirnya aku dan Blih harus menyerah pada satu keadaan bahwa kita memang harus berpisah. Satu alasan yang mendasari saat itu adalah kita tak ingin lebih menyakiti satu sama lain. Bukankan cinta tak harus saling memiliki? Kalimat sederhana yang berulang kali kita ucapkan saat itu, yang sebenarnya hanya untuk menghibur diri, membohongi hati, dan mencoba memberi kekuatan satu sama lain, sambil berharap bahwa rasa itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Aku memutuskan untuk kembali ke kotaku, meninggalkan dirinya dan ribuan kenangan yang pernah terpahat di sepanjang jalan dan sudut-sudut kota ini. Ternyata itu bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Setiap hari aku masih berharap mendengar suaranya lewat telpon, terkadang saat hati sudah tak mampu menahan, aku akan menghubunginya sekedar mendengar suara “halo” diseberang sana dan sisanya kita akan sama-sama menangis tanpa berkata apa-apa.

Pada akhirnya waktu juga yang mengajari kita untuk bisa menerima kenyataan, Walau jauh di lubuk hatiku ada ruang kosong yang tak mampu aku isi dengan beberapa yang lain sebagai pengganti Blih. Semua aku jalani tanpa rasa. Lalu aku bertemu dengan Mas Yudi. Dia adalah salah satu klien di perusahaan tempatku bekerja. Sosoknya yang tenang dan cara bicaranya yang kalem membuatku merasa nyaman saat di dekatnya. Usianya berpaut 7 tahun di atasku. Dan entah mengapa orang tuaku begitu menyukainya. Mungkin karena pembawaannya yang sopan dan bersahaja. Setelah kurang lebih 6 bulan kita berkenalan, kemudian dia melamarku. Aku tidak tahu pasti tentang perasaan yang kurasakan. Saat itu aku hanya berpikir bahwa dia adalah lelaki yang pantas menjadi suamiku, mapan secara materi, tingkah lakunya baik, orang tuaku menyukainya, dan mungkin aku berharap dia akan jadi ayah yang baik untuk anak-anakku.
Aku menitipkan undangan pernikahanku pada seorang teman, untuk Blih. Tapi dia tidak memberi kabar apa-apa. Apa yang kulakukan karena aku berharap bahwa Blih akan bisa berpikir realistis sepertiku, bahwa kita seharusnya memang berusaha untuk membuka hati kita pada orang lain. Dan begitulah pada akhirnya aku jalani hari-hariku bersama mas Yudi tanpa pernah ada kabar sedikitpun  dari Blih. Sampai kemudian 2 hari yang lalu seorang wanita meneleponku.
“Halo? Bener ini Nisa...?” suaranya agak terbata-bata.
“Iyya...maaf, siapa ya?”
“Ini mama, Nisa...mmmmhh..mamanya Blih...” suaranya terdengar semakin jauh.
Degh...!! darahku berdesir, jantungku berdetak lebih cepat. Sejenak aku merasa seperti kehilangan kendali, terlempar ke masa belasan tahun yang lalu. Aku belum bisa mengucapkan kata-kata ketika suara diseberang sana terdengar lagi.
“Halo..Nisa..? kamu masih disitu?”
“Yaaa...ma..mmhh...tante..?” aku begitu gugup menjawabnya.
“Blih sakit, Nisa...” suaranya mulai bergetar. Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara isak tangis yang semakin lama semakin jelas.
“Blih sakit parah, Nisa..tante nggak tahu lagi harus bagaimana, tante cuma minta tolong sekali ini saja, jenguk dia, Nisa..”
Aku terhenyak, tak mampu berkata apa-apa. Yang kulakukan berikutnya hanya mencatat alamat rumah sakit dan ruangan tempat Blih dirawat.
Aku berjalan menyusuri pantai. Semburat merah di langit telah hilang berganti dengan kelam. Beberapa bintang berkelip, rembulan pucat tampak tertutup sepotong awan.
Suasana kantin rumah sakit pagi ini masih tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati sarapan atau minuman hangat. Kuaduk-aduk secangkir kopi di depanku, sambil melirik wajah wanita dihadapanku. Dia tampak kurus, wajahnya menunjukkan keletihan. Aku bisa merasakan apa yang dialaminya sekarang. Anak semata wayangnya sedang berjuang melawan maut.
“Terima kasih Nisa mau datang menjenguk”. Kalimat ini sudah kudengar beberapa kali sejak kemarin pertama kalinya aku menjenguk Blih. Aku hanya mengangguk.
“Tante tidak pernah berpikir akan seperti ini jadinya”, matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tak tahu harus mengatakan apa, hatiku masih bimbang dengan segala perasaan yang campur aduk sejak kemarin melihat kondisi Blih.
“Kita berdoa aja, tante...” akhirnya itu yang terucap dari bibirku.
“Awalnya tante tidak tahu soal penyakitnya. Kamu kan tahu dia bukan orang yang terbuka. Tante baru tahu kalo dia sakit parah waktu secara tidak sengaja menemukan obat-obatan di kamarnya. Dia terkena tumor otak, Nisa. Dan yang bikin tante sedih, dia menolak untuk dioperasi.” Air mata membasahi pipi wanita itu.
“Tante tahu Blih mencintaimu, dari dulu sampai sekarang” dia berhenti sejenak lalu menatapku lekat-lekat.
“Tante ikhlas kalau kalian berdua menikah..”
Tiba-tiba aku merasa kepalaku berdenyut-denyut, dadaku seakan ditimpa beban ratusan kilo. Aku sama sekali tidak mengira atas apa yang baru saja dikatakannya.
“Tapi, tante...persoalannya tidak semudah itu”
Wanita itu kembali menangis, kuraih tissue dan kuserahkan kepadanya.
“Maafkan tante, Nisa..tante cuman bingung gak tau harus gimana lagi, tante nggak mau kehilangan dia secepat ini”. Tangisnya semakin keras.
Aku berusaha bersikap tenang, tapi airmataku terus mengalir tanpa mampu aku tahan lagi.
Kuraih tangan wanita itu, “Blih pasti kuat, tante..” hanya itu yang mampu aku katakan.

Kumasuki ruangan itu. Bau obat terasa menyengat. Dan kulihat sosoknya disana, sungguh berbeda dengan keadaannya kemarin. Rambutnya telah dipangkas habis, ada beberapa selang lagi yang dipasang di tubuhnya. Dia memberi isyarat agar aku masuk. Aku mencoba untuk tersenyum tapi mataku mulai berkaca-kaca.
“Aku lucu ya kalo gundul?” Blih mencoba bercanda.
Aku hanya menggeleng, berusaha sekuat tenaga agar air mataku tidak jatuh.
Kuraih tangannya sambil terus menatapnya.
“Aku percaya Blih pasti kuat” suaraku terdengar bergetar.
Kemudian aku mengeluarkan sesuatu dari balik saku bajuku.
Blih tampak terkejut lalu tersenyum melihat sesuatu yang ada ditanganku. Sebuah kalung sederhana,  talinya terbuat dari kulit dan liontinnya berbentuk papan surfing mungil yang dulu biasa Blih pakai. Dia memberikannya padaku saat kita memutuskan untuk berpisah.
“Kamu masih menyimpannya?”
Aku mengangguk.
“Tapi baunya sudah aneh banget” jawabku.
Blih tertawa tapi kemudian tampak meringis menahan sakit. Aku tahu dia menderita.
“Mungkin ini bisa jadi 'jimat' Blih”..?” aku sudah tak mampu menahan air mataku.
Dia tersenyum, membenahi letak duduknya dan berusaha meraih kepalaku. Aku mendekat, lalu dia mengelus lembut kepalaku.
“Aku tahu aku nggak akan hidup lebih lama lagi, Nisa. Aku mau melakukan operasi, hanya karena tidak tega melihat mama yang menangis setiap hari memintaku untuk melakukan operasi demi kesembuhanku. Aku sudah cukup belajar banyak dalam hidup ini. Tentang bagaimana mencintai dan dicintai, termasuk belajar untuk ikhlas saat melihat orang yang aku cintai bahagia dengan orang lain. Tapi aku tidak pernah menyesal mencintaimu, Nisa... kau adalah hal terindah yang pernah mengisi kehidupanku”.
Aku hanya mampu tertunduk sambil terus menangis di sisi tempat tidurnya. Kalimatnya begitu tenang. Hatiku terasa remuk redam.Tiba-tiba dua orang perawat memasuki kamar.
“Mohon maaf, bu..kami mau mengecek kondisi bapak Suhendra sebelum menjalani operasi”.
Aku hanya mengangguk ke arah mereka.
Blih meraih tanganku kemudian mengecupnya.
“Terima kasih, Nisa.” ucapnya lirih.
Aku merasa sudah tidak tahan lagi melihatnya, segera kutinggalkan ruangan itu sambil terus menangis.

Mendung tebal menggayut dikotaku. Mataku masih terasa sembab karena air mata. Kulayangkan pandanganku melalui jendela taksi yang membawaku pulang ke rumah. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Hujan pertama di awal musim penghujan ini.
“Berhenti disini aja, Pak” kataku pada supir taksi.
Dia nampak keheranan. “rumahnya yang mana bu? Hujannya deras lho..”
“Nggak pa-pa, saya turun sini aja, pak...makasih”. Kuserahkan uang untuk membayarnya.
Aku keluar dari taksi berjalan perlahan. Hujan deras mengguyurku. Seiring dengan air mataku yang terus mengalir. Aku hanya berharap bahwa rasa ini akan mencair terbawa air hujan yang membasahiku.
Selamat Jalan, Blih.
Beristirahatlah dengan tenang.
Aku terus berjalan menuju rumah, sambil mengingat semua kenangan yang pernah aku jalani bersama Blih. Tanpa terasa aku sudah berada di teras rumah. Kupencet bel, tak lama mas Yudi keluar, lelaki yang selama 3 tahun ini menjadi suamiku. Dia nampak terkejut dengan kondisiku yang basah kuyup. Tapi kemudian dia mendekapku erat.
“Menangislah kalau itu bisa membuatmu lega, Nisa..aku tahu semua yang telah terjadi, percayalah semua akan baik-baik saja”.
Kehangatan serasa mengaliri hati dan tubuhku. Terima kasih, Blih. Terima kasih atas semua yang pernah kita lalui bersama. Terima kasih telah mengajariku untuk mencintai dan dicintai. Kini baru aku sadari bahwa Tuhan selalu punya rencana luar biasa untukku. Tuhan mengambil sesuatu dari diri kita untuk menukarnya dengan sesuatu yang jauh lebih indah dari yang pernah kita bayangkan. Mungkin kita hanya harus belajar ikhlas dan sabar bahwa sesuatu itu akan hadir dalam hidup kita.

-Tamat-
by: nukhee
*) Blih: panggilan kakak laki-laki di Bali

1 komentar: