RAHASIA CINTA
Mendung menggayut di cakrawala, langit seakan merasakan
kemuraman sore ini. gedung-gedung tinggi, rumah-rumah, jalanan yang padat oleh
kendaraan yang berjajar-jajar laksana semut menuju sarang, semua tampak
abu-abu. Matahari begitu lelah memancarkan sinarnya, seiring titik-titik air
yang tercurah dari kelamnya angkasa. Aku melihatnya pada sebuah ketinggian, di
tempat parkir tertinggi dari sebuah pusat perbelanjaan, salah satu tempat kita
biasa menikmati keindahan dunia dari atas.
Aku menyatu dengan alam, menyerap semua apa yang bisa
kuindra, mengalir seiring darahku, berharap kan ada kehangatan disana bersama luapan
memori yang memenuhi pikiranku. Sepotong demi sepotong kenangan itu kembali
hadir berputar-putar seakan aku sedang mengendarai mesin waktu, menuju tiap
titik masa lalu yang membawa kisahnya sendiri, tapi tetap dengan subyek yang
sama, Kau dan Aku.
“selamat senja, jika
jantung serupa kayu, mungkin kau telah dipahatnya melalui debar menjadi sesuatu
selain puisi”
Itu rangkaian kalimat indah pertama yang kau kirimkan
padaku. Dan itu benar-benar menyentuh.
Kurasakan hatiku bergetar, dadaku berdetak lebih kencang dan tiba-tiba saja aku
merasa sesak nafas. Seakan paru-paruku dipenuhi oleh udara musim semi yang
penuh keharuman bunga, hingga tak tersisa ruang untuk bernafas. Waktu seakan
terhenti sejenak dan kemudian dunia berjalan melambat, semua mengikuti irama
alam senja itu. Gerimis selayaknya tirai rakasasa mengantar bumi menuju satu
sisi waktu, perlahan menuju temaramnya malam. Denting air yang menabuh
dedaunan, bau tanah basah dan kemudian lampu-lampu jalanan mulai menyala, cahayanya
yang terbias tetesan air seperti ratusan kunang-kunang, beriring mendekatiku
menambah keindahan simphony alam senja itu, yang seakan ikut mengantarku memasuki
sebuah dunia baru, yang selama ini bahkan tak berani aku impikan.
Dan begitulah, setiap hari hidupku penuh dengan puisi. Aku
begitu “mabuk” dengan segala tentang dirimu, kau adalah pengembara yang telah
menyelamatkan dunia mimpiku yang perlahan mulai pudar dengan desakan realita.
Kau ajarkan aku tentang CINTA.
Tatapanmu adalah embun
di langit subuh. Mawar berkaca-kaca mengembun rindumu yang teduh. Pagi pun tak
tahu, berapa butir embun kutitipkan pada kuntum, sebab rindu aku pun tak mampu
menghitungnya. Kelak ada pagi, tanpa embun, tanpa kuntum, hanya mata kita
saling peluk, dengan sinar cinta yang lebih hangat dari matahari.
Namun tak ada merpati
untuk kutitipkan rindu, maka jantungku kuberi sayap, berdegup sendiri terbang
menuju kamu. Rinduku kerap hinggap di reranting bulu matamu, ingin menikmati
senja dan matahari yang tenggelam di sudut matamu.
Aku menangis membaca puisi ini. Diantara puluhan puisi yang
menghujani hari-hariku, ini salah satu yang membuatku akhirnya memutuskan untuk
“menerimamu”. Disamping kata-katamu yang kau katakan sambil menatap tajam
kedalam kedua mataku, “bila kemustahilan itu mahal harganya, mengapa kita tidak
mencoba kemungkinan?” dan aku mengangguk sebagai tanda menyetujui hal itu.
Entah apa yang membuatku berani menjalaninya, karena aku sangat tahu segala
konsekuensinya.
Tahukah kau? Setelah hari itu, aku benar-benar menjalani
sebuah kehidupan dalam dua dunia, antara dunia mimpi dan dunia nyata. Tak bisa
kupungkiri bahwa dirimu adalah “pelengkapku” aku baru benar-benar memahami arti
“soulmate” yang sesungguhnya setelah mengenalmu. Kita benar-benar seperti
potongan hati yang saling menemukan pasangannya. Seni, filosofi, pandanganmu
tentang dunia, begitu banyak hal yang bahkan aku tak perlu jelaskan padamu,
tapi kau begitu memahaminya. Kau adalah aku dan aku adalah kau.
“aku mencintaimu…” hampir setiap saat kau ingatkan aku
tentang hal itu. Segala perasaan bercampur aduk menyatu dalam diriku. Bahkan
rasa marah yang meluap atas kehadiranmu dalam kehidupanku. Kau yang telah
menawarkan dunia itu padaku, dan anehnya aku merasa menjadi lebih baik. Aku
kembali menemukan ke-aku-an ku yang sebenarnya melalui dirimu. Tak bisa
kupungkiri, hari-hari saat bersamamu adalah hal terindah dalam hidupku.
Perlahan seiring waktu aku berusaha menemukan sendiri teori
tentang kita, yang mungkin tak lebih dari sekedar pembenaran atas apa yang
telah kita lalui. Mungkin telah kutemukan keseimbangan dalam hidup. Tentang
hitam putih, benar-salah, Yin dan Yang, bahwa memang harus selalu ada dua sisi
yang bertentangan untuk merasakan sebuah “kelengkapan”, seperti sebuah koin
dengan dua sisinya, seperti laut dan pantai, siang dan malam. Dan memang tidak
seharusnya yang satu ingin menguasai atas yang lain. Biarlah mereka ada pada peran
dan tempatnya masing-masing karena itulah kehidupan.
Namun banyak hal yang menjadi rahasia alam. Manusia boleh
angkuh dan sombong menyusun rencana. Tapi Tuhan yang maha memiliki atas apa
yang ada di dunia. Begitu juga dengan hidupku. Dari sesosok wanita sehat
jasmani dengan begitu banyak harapan dan impian, tiba-tiba harus menerima
kenyataan atas takdir yang tak mungkin aku pungkiri.
Tubuhku kini tak lebih dari sebatang pohon jati yang sedang
meranggas, hitam, kering tanpa daun. Kanker itu telah merampas semuanya dari
diriku, kecuali cintamu (mungkin).
Aku sekarat. Kata-kata itu begitu
menyakitkan untuk dipahami. Tapi itulah kenyataannya sekarang. Saat aku berkaca
yang tampak di bayangan cermin adalah sosok wanita pasangan frankenstein, sama
buruknya seperti itu. Kulit muka dan beberapa bagian tubuhku tampak gosong,
kering dan seakan bila disentuh akan meluruh, sungguh mengerikan. Aku tak
berani menyisir rambutku, karena bahkan saat aku memegangnya dengan sangat
pelan dan hati-hati, puluhan atau bahkan ratusan helai akan tertinggal di
telapak tanganku, meninggalkan botak di kepala yang tak pernah berani
kupikirkan apakah helai-helai itu akan tumbuh kembali. Beginilah hidupku, tak
pernah terbayang aku akan berakhir tragis seperti ini, menyerah pada rasa sakit.
.“apakah ini hukuman untukku…?”
aku meluncurkan kalimat yang telah sekian lama kusimpan sendiri di sudut-sudut
hatiku.
Dan kau menggeleng kuat-kuat,
memandangku dengan tatapanmu yang selalu mampu membawa rasa hangat dalam
hatiku.
“cinta tak pernah salah” tegasnya.
“tidak untuk cinta kita…” aku
mengatakan dengan suara lemah seperti bisikan.
“cinta diatas penghianatan..” aku
mengatakannya dengan begitu kejam dan hal itu sungguh-sungguh menyakitkan
terutama untuk diriku sendiri.
“Aku takut..sangat takut...,
tolong jangan tinggalkan aku”
Kulihat mata teduh itu mulai
berkaca-kaca. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menggigit bibir bawahnya,
tertunduk, dan sebulir air bening jatuh dari matanya. Dia menggenggam tanganku
erat. Entah mengapa seakan aku bisa mendengar degup jantungnya yang berdetak
begitu kencang. Kutarik tangannya menempelkanya pada pipiku yang terasa kering.
Tangannya begitu hangat, kehangatan yang menjalar keseluruh tubuh, hati dan
jiwaku, menggetarkan semua syarafku. Aku butuh kekuatan itu, tapi sampai kapan
aku akan bertahan? Tanganku gemetar. Tak mampu menggenggam tangannya lebih erat.
Perlahan dia mendorong kursi
rodaku menuju sisi paling dekat dengan
pemandangan yang terhampar. Kurapatkan sweaterku, udara dingin terasa menusuk
syaraf dan tulang-tulangku.
“Apakah kau kedinginan..” dia
berlutut dihadapanku, tatapannya tampak penuh kecemasan.
Aku tak mampu mengatakan apa-apa
selain menatapnya dengan pandangan yang perlahan mengabur karena genangan air
mata.
“Aku mencintaimu…” kukatakan itu
dengan sepenuh hatiku.
Dia hanya diam, menghela nafas,
tampak sekuat tenaga menahan perasaannya.
“Kuambilkan
jaket di mobil ya..?” tanyanya seraya berdiri.
“Jangan….!
Tolong jangan pergi…” nafasku terasa berat.
“Tolong peluk
aku saja…aku mohon…” mungkin ini untuk terakhir kalinya, kalimat itu kusimpan
sendiri.
Dia menatapku,
bisa kulihat jelas matanya yang basah oleh air mata. Perlahan dia mendekat,
merengkuhkan kedua tangannya untuk memelukku. Membenamkan kepalaku ke dadanya,
seperti dulu saat kita saling berbagi duka tentang dunia dan kehidupan nyata.
Kaulah penyelamatku, yang selalu bisa mendengar segala keluh kesahku,
mengalirkan kekuatan padaku dengan cintamu. Cinta yang dengan ikhlas dan sabar
menerima, cinta seorang teman dan sahabat, cinta seorang kekasih tanpa hasrat,
karena dirimu selalu mampu menjagaku dari hal-hal diluar batas itu. Kau selalu
bilang aku begitu berharga buatmu dan dirimu tak akan pernah sanggup
merusaknya.
“aku
mencintaimu, Rena…dulu, sekarang, nanti dan sampai kapan pun, tolong jangan
pergi. Kau telah memberi kekuatan padaku untuk menjalani hari dengan
senyumanmu. Percayalah, aku tak mengharapkan apa-apa selain senyuman di
wajahmu. Senyum itu yang telah menampung hidupku…” kata-katanya bercampur
dengan isakan.
Aku samar-samar
mendengarnya, seiring gelap yang tiba-tiba melingkupi. Badanku menggigil
kedinginan dan perlahan aku merasa semakin ringan, seperti kapas yang
diterbangkan angin, melayang di udara. Aku melihat tubuhku yang terduduk di
kursi roda, dipeluk erat oleh Dewangga dengan isak tangis yang tertahan.
Dan disana
beberapa meter dari tempat Dewangga, kulihat Aldo, suamiku dan Sinta, istri
Dewangga, menatap dengan pandangan yang tak mampu kujelaskan.
Cinta telah
mengajariku tentang banyak hal, dari dua sisinya yang hitam dan putih, tentang
kesetiaan dan penghianatan, tentang dosa dan kesucian.
-
Tamat -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar