Rabu, 03 Oktober 2012

RAHASIA CINTA


RAHASIA CINTA


Mendung menggayut di cakrawala, langit seakan merasakan kemuraman sore ini. gedung-gedung tinggi, rumah-rumah, jalanan yang padat oleh kendaraan yang berjajar-jajar laksana semut menuju sarang, semua tampak abu-abu. Matahari begitu lelah memancarkan sinarnya, seiring titik-titik air yang tercurah dari kelamnya angkasa. Aku melihatnya pada sebuah ketinggian, di tempat parkir tertinggi dari sebuah pusat perbelanjaan, salah satu tempat kita biasa menikmati keindahan dunia dari atas.
Aku menyatu dengan alam, menyerap semua apa yang bisa kuindra, mengalir seiring darahku, berharap kan ada kehangatan disana bersama luapan memori yang memenuhi pikiranku. Sepotong demi sepotong kenangan itu kembali hadir berputar-putar seakan aku sedang mengendarai mesin waktu, menuju tiap titik masa lalu yang membawa kisahnya sendiri, tapi tetap dengan subyek yang sama, Kau dan Aku.

“selamat senja, jika jantung serupa kayu, mungkin kau telah dipahatnya melalui debar menjadi sesuatu selain puisi”

Itu rangkaian kalimat indah pertama yang kau kirimkan padaku. Dan itu benar-benar  menyentuh. Kurasakan hatiku bergetar, dadaku berdetak lebih kencang dan tiba-tiba saja aku merasa sesak nafas. Seakan paru-paruku dipenuhi oleh udara musim semi yang penuh keharuman bunga, hingga tak tersisa ruang untuk bernafas. Waktu seakan terhenti sejenak dan kemudian dunia berjalan melambat, semua mengikuti irama alam senja itu. Gerimis selayaknya tirai rakasasa mengantar bumi menuju satu sisi waktu, perlahan menuju temaramnya malam. Denting air yang menabuh dedaunan, bau tanah basah dan kemudian lampu-lampu jalanan mulai menyala, cahayanya yang terbias tetesan air seperti ratusan kunang-kunang, beriring mendekatiku menambah keindahan simphony alam senja itu, yang seakan ikut mengantarku memasuki sebuah dunia baru, yang selama ini bahkan tak berani aku impikan.
Dan begitulah, setiap hari hidupku penuh dengan puisi. Aku begitu “mabuk” dengan segala tentang dirimu, kau adalah pengembara yang telah menyelamatkan dunia mimpiku yang perlahan mulai pudar dengan desakan realita. Kau ajarkan aku tentang CINTA.

Tatapanmu adalah embun di langit subuh. Mawar berkaca-kaca mengembun rindumu yang teduh. Pagi pun tak tahu, berapa butir embun kutitipkan pada kuntum, sebab rindu aku pun tak mampu menghitungnya. Kelak ada pagi, tanpa embun, tanpa kuntum, hanya mata kita saling peluk, dengan sinar cinta yang lebih hangat dari matahari.
Namun tak ada merpati untuk kutitipkan rindu, maka jantungku kuberi sayap, berdegup sendiri terbang menuju kamu. Rinduku kerap hinggap di reranting bulu matamu, ingin menikmati senja dan matahari yang tenggelam di sudut matamu.

Aku menangis membaca puisi ini. Diantara puluhan puisi yang menghujani hari-hariku, ini salah satu yang membuatku akhirnya memutuskan untuk “menerimamu”. Disamping kata-katamu yang kau katakan sambil menatap tajam kedalam kedua mataku, “bila kemustahilan itu mahal harganya, mengapa kita tidak mencoba kemungkinan?” dan aku mengangguk sebagai tanda menyetujui hal itu. Entah apa yang membuatku berani menjalaninya, karena aku sangat tahu segala konsekuensinya.

Tahukah kau? Setelah hari itu, aku benar-benar menjalani sebuah kehidupan dalam dua dunia, antara dunia mimpi dan dunia nyata. Tak bisa kupungkiri bahwa dirimu adalah “pelengkapku” aku baru benar-benar memahami arti “soulmate” yang sesungguhnya setelah mengenalmu. Kita benar-benar seperti potongan hati yang saling menemukan pasangannya. Seni, filosofi, pandanganmu tentang dunia, begitu banyak hal yang bahkan aku tak perlu jelaskan padamu, tapi kau begitu memahaminya. Kau adalah aku dan aku adalah kau.


“aku mencintaimu…” hampir setiap saat kau ingatkan aku tentang hal itu. Segala perasaan bercampur aduk menyatu dalam diriku. Bahkan rasa marah yang meluap atas kehadiranmu dalam kehidupanku. Kau yang telah menawarkan dunia itu padaku, dan anehnya aku merasa menjadi lebih baik. Aku kembali menemukan ke-aku-an ku yang sebenarnya melalui dirimu. Tak bisa kupungkiri, hari-hari saat bersamamu adalah hal terindah dalam hidupku.
Perlahan seiring waktu aku berusaha menemukan sendiri teori tentang kita, yang mungkin tak lebih dari sekedar pembenaran atas apa yang telah kita lalui. Mungkin telah kutemukan keseimbangan dalam hidup. Tentang hitam putih, benar-salah, Yin dan Yang, bahwa memang harus selalu ada dua sisi yang bertentangan untuk merasakan sebuah “kelengkapan”, seperti sebuah koin dengan dua sisinya, seperti laut dan pantai, siang dan malam. Dan memang tidak seharusnya yang satu ingin menguasai atas yang lain. Biarlah mereka ada pada peran dan tempatnya masing-masing karena itulah kehidupan.

Namun banyak hal yang menjadi rahasia alam. Manusia boleh angkuh dan sombong menyusun rencana. Tapi Tuhan yang maha memiliki atas apa yang ada di dunia. Begitu juga dengan hidupku. Dari sesosok wanita sehat jasmani dengan begitu banyak harapan dan impian, tiba-tiba harus menerima kenyataan atas takdir yang tak mungkin aku pungkiri.
Tubuhku kini tak lebih dari sebatang pohon jati yang sedang meranggas, hitam, kering tanpa daun. Kanker itu telah merampas semuanya dari diriku, kecuali cintamu (mungkin).
Aku sekarat. Kata-kata itu begitu menyakitkan untuk dipahami. Tapi itulah kenyataannya sekarang. Saat aku berkaca yang tampak di bayangan cermin adalah sosok wanita pasangan frankenstein, sama buruknya seperti itu. Kulit muka dan beberapa bagian tubuhku tampak gosong, kering dan seakan bila disentuh akan meluruh, sungguh mengerikan. Aku tak berani menyisir rambutku, karena bahkan saat aku memegangnya dengan sangat pelan dan hati-hati, puluhan atau bahkan ratusan helai akan tertinggal di telapak tanganku, meninggalkan botak di kepala yang tak pernah berani kupikirkan apakah helai-helai itu akan tumbuh kembali. Beginilah hidupku, tak pernah terbayang aku akan berakhir tragis seperti ini, menyerah pada rasa sakit.

.“apakah ini hukuman untukku…?” aku meluncurkan kalimat yang telah sekian lama kusimpan sendiri di sudut-sudut hatiku.
Dan kau menggeleng kuat-kuat, memandangku dengan tatapanmu yang selalu mampu membawa rasa hangat dalam hatiku.
“cinta tak pernah salah” tegasnya.
“tidak untuk cinta kita…” aku mengatakan dengan suara lemah seperti bisikan.
“cinta diatas penghianatan..” aku mengatakannya dengan begitu kejam dan hal itu sungguh-sungguh menyakitkan terutama untuk diriku sendiri.
“Aku takut..sangat takut..., tolong jangan tinggalkan aku”
Kulihat mata teduh itu mulai berkaca-kaca. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menggigit bibir bawahnya, tertunduk, dan sebulir air bening jatuh dari matanya. Dia menggenggam tanganku erat. Entah mengapa seakan aku bisa mendengar degup jantungnya yang berdetak begitu kencang. Kutarik tangannya menempelkanya pada pipiku yang terasa kering. Tangannya begitu hangat, kehangatan yang menjalar keseluruh tubuh, hati dan jiwaku, menggetarkan semua syarafku. Aku butuh kekuatan itu, tapi sampai kapan aku akan bertahan? Tanganku gemetar. Tak mampu menggenggam tangannya lebih erat.
Perlahan dia mendorong kursi rodaku menuju sisi paling dekat  dengan pemandangan yang terhampar. Kurapatkan sweaterku, udara dingin terasa menusuk syaraf dan tulang-tulangku.
“Apakah kau kedinginan..” dia berlutut dihadapanku, tatapannya tampak penuh kecemasan.
Aku tak mampu mengatakan apa-apa selain menatapnya dengan pandangan yang perlahan mengabur karena genangan air mata.
“Aku mencintaimu…” kukatakan itu dengan sepenuh hatiku.
Dia hanya diam, menghela nafas, tampak sekuat tenaga menahan perasaannya.
“Kuambilkan jaket di mobil ya..?” tanyanya seraya berdiri.
“Jangan….! Tolong jangan pergi…” nafasku terasa berat.
“Tolong peluk aku saja…aku mohon…” mungkin ini untuk terakhir kalinya, kalimat itu kusimpan sendiri.
Dia menatapku, bisa kulihat jelas matanya yang basah oleh air mata. Perlahan dia mendekat, merengkuhkan kedua tangannya untuk memelukku. Membenamkan kepalaku ke dadanya, seperti dulu saat kita saling berbagi duka tentang dunia dan kehidupan nyata. Kaulah penyelamatku, yang selalu bisa mendengar segala keluh kesahku, mengalirkan kekuatan padaku dengan cintamu. Cinta yang dengan ikhlas dan sabar menerima, cinta seorang teman dan sahabat, cinta seorang kekasih tanpa hasrat, karena dirimu selalu mampu menjagaku dari hal-hal diluar batas itu. Kau selalu bilang aku begitu berharga buatmu dan dirimu tak akan pernah sanggup merusaknya.
“aku mencintaimu, Rena…dulu, sekarang, nanti dan sampai kapan pun, tolong jangan pergi. Kau telah memberi kekuatan padaku untuk menjalani hari dengan senyumanmu. Percayalah, aku tak mengharapkan apa-apa selain senyuman di wajahmu. Senyum itu yang telah menampung hidupku…” kata-katanya bercampur dengan isakan.
Aku samar-samar mendengarnya, seiring gelap yang tiba-tiba melingkupi. Badanku menggigil kedinginan dan perlahan aku merasa semakin ringan, seperti kapas yang diterbangkan angin, melayang di udara. Aku melihat tubuhku yang terduduk di kursi roda, dipeluk erat oleh Dewangga dengan isak tangis yang tertahan.
Dan disana beberapa meter dari tempat Dewangga, kulihat Aldo, suamiku dan Sinta, istri Dewangga, menatap dengan pandangan yang tak mampu kujelaskan.
Cinta telah mengajariku tentang banyak hal, dari dua sisinya yang hitam dan putih, tentang kesetiaan dan penghianatan, tentang dosa dan kesucian.

-         Tamat  -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar