Selasa, 02 Oktober 2012

Mimpi


MIMPI


“Aku mencintai orang lain...” suaraku terdengar menggantung di udara.
Kutatap wajahnya, menunggu reaksi.
Dia masih diam, alisnya bertaut, bibirnya mengatup rapat, lalu dia meraih segelas air di depannya dan langsung menyiramkannya ke mukaku.
Aku tergagap dari mimpi...badanku basah oleh keringat. Napasku tersengal-sengal. Degup jantungku terasa tak beraturan. Tubuhku masih bergetar.
Mimpi lain yang sama mengerikannya dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Walaupun tampaknya berbeda-beda, tapi selalu bermuara pada kenyataan yang sama...aku tidak pernah berani mengatakan yang sebenarnya pada sosok disampingku.
Kulihat dia, nafasnya terdengar teratur. Tenang. Posisinya membelakangiku. Seperti biasa, malam-malam yang lalu. Dan aku selalu berusaha “menikmati” ah, bukan..menjalani hari demi hari itu, entah sampai kapan berusaha membohongi diri sendiri.
Perlahan aku turun dari tempat tidur. Meraih telepon selular yang tergeletak di meja kecil yang menempel dengan tempat tidur.
Kucari nama itu. Tertegun sejenak, haruskah aku menghubunginya? Malam-malam begini. Seperti biasa kita berdua sama-sama tahu, kapan kita seharusnya “bicara”.
Kuhela nafas, dan mengurungkan niat untuk menghubunginya. Aku tahu, aku tidak seharusnya melakukan hal ini. Dan kemudian kuletakkan lagi telepon selular itu, kembali merebahkan diri dan berusaha memejamkan mata, walaupun rasa kantukku telah hilang entah kemana.

Hidupku sempurna. Semua orang yang mengenalku selalu mengatakan hal itu. Aku memiliki semua yang diinginkan para wanita. Suami yang mapan secara materi, sepasang anak laki-laki dan perempuan. Dan hampir tak pernah ada pertengkaran berarti selama hampir delapan tahun pernikahan. Tapi entah mengapa, aku masih saja merasakan ada ruang “kosong” dalam bathinku. Aku seringkali menangis tersedu-sedu di malam hari tanpa tahu apa penyebabnya. Dan “rahasia” itu selalu kusimpan sendiri, jauh dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku seringkali merasa kesepian.
Hingga suatu saat aku bertemu dengan “dia”. Secara kebetulan saat  sedang mengantri untuk membayar di sebuah supermarket, aku tahu beberapa kali dia tampak melirik ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Dari penampilannya aku tahu dia seorang pegawai kantoran. Bajunya rapi, kemeja lengan panjang dan berdasi. Dia sempat membantuku memasukkan belanjaan  dan kemudian berlalu. Namun takdir tampaknya sudah mengatur semuanya. Saat berada di pelataran parkir tanpa sengaja aku telah menabrak sebuah mobil sedan berwarna hitam. Bagian samping mobil itu tampak “tergores” cukup dalam oleh mobilku. Aku benar-benar panik. Walaupun kejadian ini bukanlah yang pertama kali aku alami, karena keteledoran yang selalu melekat pada diriku.
Aku sudah mempersiapkan diri untuk menerima caci  maki akibat kesalahanku ini tapi, saat si pemilik mobil keluar, aku baru menyadari bahwa “dirimu” lah pemiliknya (apakah ini suatu kebetulan atau sesuatu yang sudah terencana untuk kita?). Kau keluar dari mobil, tampak sedikit terkejut sambil meneliti kerusakan yang telah aku buat. Tapi saat melihatku entah mengapa kau justru tersenyum. Aku minta maaf  beberapa puluh kali dan memastikan akan mengganti biaya perbaikannya. Tapi kemudian kau mengatakan bahwa aku harus membayarnya “hanya” dengan menemani minum kopi. Aku benar-benar terkejut, melebihi keterkejutanku atas keteledoran yang telah aku buat sebelumnya. Aku menatapmu dan kulihat kamu masih menunggu jawabanku yang pada akhirnya kubalas dengan sebuah anggukan lemah, seakan-akan aku tak punya pilihan lain untuk tidak melakukannya.
Dan dari sanalah semuanya berawal. Entah siapa yang memulai tapi kita semakin sering bertemu. Hanya sekedar untuk minum kopi dan ngobrol. Kemudian telpon dan sms semakin sering, seakan kita tak mampu melewati waktu tanpa saling “menyapa”. Awalnya kita sama-sama memposisikan sebagai seorang teman dan lebih dalam mungkin sebagai seorang sahabat, tak lebih dari itu. Kita berdua sama-sama tahu atas posisi dan peran masing-masing. Aku dengan kehidupanku demikian pula dengan dirimu. Tak ada yang boleh “keluar” dari kenyataan itu dan justru itu yang membuat kita sama-sama “nyaman”. Kau memberi warna dalam hidupku. Dan entah mengapa aku merasa menemukan “diriku” yang sesungguhnya saat bersamamu. Aku bisa bercerita tentang apa saja dan kamu seakan selalu bisa mengerti, memahami dan bahkan menilai dengan cukup bijaksana atas segala sesuatu yana aku ceritakan. Seiring waktu berjalan, rasa saling ketergantungan itu semakin mengikat kita berdua. Seharusnya perasaan itu begitu indah, suatu rasa yang mampu membangunkan aku dari tidur panjang dan kejenuhanku  atas kehidupan dan keseharianku. Tapi benarkah ini? Mungkin dalam dunia mimpi dan angan aku boleh “merasakannya” karena dalam dunia nyata apa yang terjadi diantara kita tak lebih dari sebuah kata “penghianatan”. Yah, penghianatan atas kesucian ikatan dan peran kita dalam dunia nyata yang sebenarnya. Kita lepas dari segala norma, nilai-nilai dan agama. Kita benar-benar telah terjerembab dalam lumpur dosa yang kita ciptakan sendiri.
Terkadang saat sendiri aku berusaha memahami atas apa yang kurasakan. Apa yang salah dengan kehidupanku selama ini, hingga perlahan aku merasa kehilangan jati diri. Dan bersamamu aku benar-benar bisa lepas dari belenggu kepalsuan itu. Tapi benarkah yang kurasakan ini cinta?
Tidak, sisi bathinku yang lain selalu mengatakan itu. Apa yang ada saat ini tak lebih dari sekedar kebutuhan, keadaan, kesempatan dan aku mengambilnya. Awalnya aku tak tahu apakah benar yang kulakukan ini? Tapi bukankah kita tak akan pernah tahu bila kita tak mencobanya? Bukankah hidup untuk mengambil resiko? Sudah lama aku tak berani melakukan itu dan mungkin itu yang menyebabkan aku merasa seperti kepompong yang diam, pasif, menunggu musim, terombang-ambing dan kehilangan “diri sendiri”.
Mungkin ini bukan sekedar tentang “dia” tapi sebenarnya lebih dalam tentang diriku, tentang ego ku tentang harapan dan keinginanku sendiri atas nama “kebebasan”, walaupun seringkali aku tidak yakin dengan kata itu.
Dan setelah semua berjalan seiring waktu, aku sampai pada satu titik. Tempat dimana aku harus menyerahkan hidupku pada mimpi atau kenyataan. Karena rasa bersalah itu semakin lama semakin membebaniku.

“Aku mencintai orang lain”. Kali ini kukatakan itu sambil menatap tajam kedalam matanya. Dia balas memandangku tapi aku tidak melihat kebencian disana. Justru tatapannya berubah menjadi lembut, sayu dan matanya semakin lama semakin bening seperti kaca. Oh bukan, aku bukan melihat kaca disana tapi aku melihat genangan air, air mata. Dia masih membisu dan entah mengapa aku merasa ada ngilu yang menikam hati. Kutatap wajahnya. Wajah yang selama ini selalu tampak beku di mataku, yang tak pernah menunjukkan ekspresi yang berlebihan, karena dia selalu mampu mengendalikan emosinya. Seringkali aku tidak tahu kapan dia marah atau kapan dia sedih, wajah itu lebih sering tanpa ekspresi. Bibirnya yang tak pernah bisa merangkai kata-kata indah untukku, karena dia selalu menyimpan kata-katanya sendiri (dan apakah itu merupakan kesalahan besar bagimu? Bisik suara dalam bathinku, sebilah pisau terasa menyayat hatiku lagi) dan kemudian padanganku beralih kembali pada sepasang matanya yang tak pernah kurasa kutemukan cinta disana. Seringkali yang kulihat adalah kekosongan. Tanpa hasrat ataukah aku yang “buta” selama ini?
Jantungku berdebar semakin kencang, darahku terasa berdesir-desir, pandanganku berkunang-kunang, melihatnya seperti ini terasa melemparkanku ke sebuah dunia yang sepi, sunyi dan dingin. Aku menggigil, gigiku gemeletuk, rasa dingin menelusup sampai hati dan tiba-tiba aku merasa tak bisa menggerakkan tubuhku lagi. Aku beku menjadi sebuah patung es.
Aku tersentak, saat kesadaran kembali menguasai aku mendapati diriku terduduk di tempat tidur dengan nafas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat. Mimpi itu lagi. Dan yang ini terasa lebih menakutkan daripada mimpi-mimpi yang sebelumnya.

Hari ini kuputuskan untuk berterus terang padanya. Mengungkapkan apa yang kupendam selama ini, kehampaan dan kesunyian yang sering kurasakan saat bersamanya. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat. Anak-anak sedang berlibur di rumah neneknya. Tinggal kami berdua di rumah besar ini. Kami duduk berhadapan di meja makan. Kesunyian yang menyergap seperti biasa, terasa semakin menghimpitku. Hanya terdengar denting senduk dan garpu saat bersentuhan dengan piring.
“Aku ingin bicara...” suaraku seakan tersekat di ujung kerongkongan.
Dia mendongakkan kepalanya menatapku (mirip dengan beberapa mimpiku yang lalu).
“Mmmmhh....bicaralah..” dia kembali menekuri piringnya.
Kutelan ludah, membasahi tenggorokan yang terasa sangat kering.
Aku baru bersiap mengeluarkan kalimat yang telah kuulang-ulang entah berapa kali, dan setiap kali terasa menggema di kepalaku, terbawa sampai mimpi-mimpiku, saat kemudian dia menatapku.
“Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu...” hening sejenak menguasai.
“Aku minta maaf...” kepalanya tertunduk.
Serasa ada sengatan listrik mengaliri tubuhku. Baru kali ini setelah bertahun-tahun aku hidup bersamanya, aku merasa dia terlihat begitu “rapuh”. Minta maaf? Satu kata yang teramat sangat jarang aku dengar. Hatiku tergetar.
Sesaat aku merasa bimbang. Haruskah kuteruskan apa yang sempat tertahan sebelumnya. Benarkah apa yang kurasakan ini? Mengapa tiba-tiba aku merasa tidak yakin atas apa yang telah aku pikirkan selama ini? Apakah benar aku mencintai orang lain? Bagaimana kalau hal itu hanya perasaan sesaat? Apakah aku siap dengan segala perubahan drastis yang mungkin akan aku alami? Terlepas dari seseorang yang telah menjadi pendampingku selama bertahun-tahun untuk memulai sebuah kehidupan baru yang lekat dengan kata-kata “kebebasan”? Semuanya menimbulkan suara yang seakan simpang siur di kepalaku.
Kuhela nafas, mencoba mengatur detak jantungku lagi.

“Aku mencintai orang lain” akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku. Aku mengatakan itu tanpa berani menatapnya. Diam, keheningan kembali menyelimuti, hanya kudengar hembusan nafasnya yang terasa berat. Aku tahu, baru saja aku memberinya sebuah beban, seperti sebuah batu besar menghimpit dadanya, dan entah mengapa aku juga merasakan beban itu? Bukankah seharusnya aku merasakan kelegaan yang luar biasa setelah sekian lama hal ini kupendam sendiri?
Sepi lagi. Perlahan aku mendongakkan wajah, memberanikan diri menatap wajahnya. Kulihat dia masih memandangiku dan entah mengapa tiba-tiba wajah itu berubah menjadi pucat, sangat pucat. Dia menggigit bibir bawahnya dan tangannya memegangi dada, menahan sakit. Sekejap aku merasa kosong, benar-benar kosong dan hampa. Aku berharap ini hanya mimpi, dan sebentar lagi aku akan terbangun. Tapi saat kukerjapkan mata, aku masih melihatnya terus memegangi dada, pasti ada rasa sakit yang luar biasa mendera tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal.
Aku segera berdiri dari tempat dudukku, setengah berlari mendekatinya yang mulai merosot jatuh dari tempat duduknya. Kuraih kepalanya, meletakkannya di atas pangkuanku, dan entah mengapa ada sesuatu yang terasa menyesakkan di sudut hatiku saat melihatnya seperti ini, sebulir bening mengalir dari mataku. Dia menggumamkan sesuatu. Kudekatkan telingaku ke mulutnya, berusaha menangkap gumaman-gumamannya. “Aku...men..cin...tai...ka..mu....” beberapa potong kata yang sempat kudengar, dan tiba-tiba dunia seakan runtuh menimpaku.


-        Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar