MIMPI
“Aku mencintai orang
lain...” suaraku terdengar menggantung di udara.
Kutatap wajahnya,
menunggu reaksi.
Dia masih diam, alisnya
bertaut, bibirnya mengatup rapat, lalu dia meraih segelas air di depannya dan
langsung menyiramkannya ke mukaku.
Aku tergagap dari
mimpi...badanku basah oleh keringat. Napasku tersengal-sengal. Degup jantungku
terasa tak beraturan. Tubuhku masih bergetar.
Mimpi lain yang sama
mengerikannya dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Walaupun tampaknya berbeda-beda,
tapi selalu bermuara pada kenyataan yang sama...aku tidak pernah berani
mengatakan yang sebenarnya pada sosok disampingku.
Kulihat dia, nafasnya
terdengar teratur. Tenang. Posisinya membelakangiku. Seperti biasa, malam-malam
yang lalu. Dan aku selalu berusaha “menikmati” ah, bukan..menjalani hari demi
hari itu, entah sampai kapan berusaha membohongi diri sendiri.
Perlahan aku turun dari
tempat tidur. Meraih telepon selular yang tergeletak di meja kecil yang
menempel dengan tempat tidur.
Kucari nama itu. Tertegun
sejenak, haruskah aku menghubunginya? Malam-malam begini. Seperti biasa kita
berdua sama-sama tahu, kapan kita seharusnya “bicara”.
Kuhela nafas, dan
mengurungkan niat untuk menghubunginya. Aku tahu, aku tidak seharusnya
melakukan hal ini. Dan kemudian kuletakkan lagi telepon selular itu, kembali
merebahkan diri dan berusaha memejamkan mata, walaupun rasa kantukku telah
hilang entah kemana.
Hidupku sempurna. Semua
orang yang mengenalku selalu mengatakan hal itu. Aku memiliki semua yang
diinginkan para wanita. Suami yang mapan secara materi, sepasang anak laki-laki
dan perempuan. Dan hampir tak pernah ada pertengkaran berarti selama hampir
delapan tahun pernikahan. Tapi entah mengapa, aku masih saja merasakan ada
ruang “kosong” dalam bathinku. Aku seringkali menangis tersedu-sedu di malam
hari tanpa tahu apa penyebabnya. Dan “rahasia” itu selalu kusimpan sendiri,
jauh dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku seringkali merasa kesepian.
Hingga suatu saat aku
bertemu dengan “dia”. Secara kebetulan saat
sedang mengantri untuk membayar di sebuah supermarket, aku tahu beberapa
kali dia tampak melirik ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Dari
penampilannya aku tahu dia seorang pegawai kantoran. Bajunya rapi, kemeja
lengan panjang dan berdasi. Dia sempat membantuku memasukkan belanjaan dan kemudian berlalu. Namun takdir tampaknya
sudah mengatur semuanya. Saat berada di pelataran parkir tanpa sengaja aku
telah menabrak sebuah mobil sedan berwarna hitam. Bagian samping mobil itu tampak
“tergores” cukup dalam oleh mobilku. Aku benar-benar panik. Walaupun kejadian
ini bukanlah yang pertama kali aku alami, karena keteledoran yang selalu
melekat pada diriku.
Aku sudah mempersiapkan
diri untuk menerima caci maki akibat
kesalahanku ini tapi, saat si pemilik mobil keluar, aku baru menyadari bahwa
“dirimu” lah pemiliknya (apakah ini suatu kebetulan atau sesuatu yang sudah
terencana untuk kita?). Kau keluar dari mobil, tampak sedikit terkejut sambil
meneliti kerusakan yang telah aku buat. Tapi saat melihatku entah mengapa kau justru
tersenyum. Aku minta maaf beberapa puluh
kali dan memastikan akan mengganti biaya perbaikannya. Tapi kemudian kau
mengatakan bahwa aku harus membayarnya “hanya” dengan menemani minum kopi. Aku
benar-benar terkejut, melebihi keterkejutanku atas keteledoran yang telah aku
buat sebelumnya. Aku menatapmu dan kulihat kamu masih menunggu jawabanku yang
pada akhirnya kubalas dengan sebuah anggukan lemah, seakan-akan aku tak punya
pilihan lain untuk tidak melakukannya.
Dan dari sanalah semuanya
berawal. Entah siapa yang memulai tapi kita semakin sering bertemu. Hanya
sekedar untuk minum kopi dan ngobrol. Kemudian telpon dan sms semakin sering,
seakan kita tak mampu melewati waktu tanpa saling “menyapa”. Awalnya kita
sama-sama memposisikan sebagai seorang teman dan lebih dalam mungkin sebagai
seorang sahabat, tak lebih dari itu. Kita berdua sama-sama tahu atas posisi dan
peran masing-masing. Aku dengan kehidupanku demikian pula dengan dirimu. Tak
ada yang boleh “keluar” dari kenyataan itu dan justru itu yang membuat kita
sama-sama “nyaman”. Kau memberi warna dalam hidupku. Dan entah mengapa aku
merasa menemukan “diriku” yang sesungguhnya saat bersamamu. Aku bisa bercerita
tentang apa saja dan kamu seakan selalu bisa mengerti, memahami dan bahkan
menilai dengan cukup bijaksana atas segala sesuatu yana aku ceritakan. Seiring
waktu berjalan, rasa saling ketergantungan itu semakin mengikat kita berdua.
Seharusnya perasaan itu begitu indah, suatu rasa yang mampu membangunkan aku
dari tidur panjang dan kejenuhanku atas
kehidupan dan keseharianku. Tapi benarkah ini? Mungkin dalam dunia mimpi dan
angan aku boleh “merasakannya” karena dalam dunia nyata apa yang terjadi
diantara kita tak lebih dari sebuah kata “penghianatan”. Yah, penghianatan atas
kesucian ikatan dan peran kita dalam dunia nyata yang sebenarnya. Kita lepas
dari segala norma, nilai-nilai dan agama. Kita benar-benar telah terjerembab
dalam lumpur dosa yang kita ciptakan sendiri.
Terkadang saat sendiri
aku berusaha memahami atas apa yang kurasakan. Apa yang salah dengan
kehidupanku selama ini, hingga perlahan aku merasa kehilangan jati diri. Dan
bersamamu aku benar-benar bisa lepas dari belenggu kepalsuan itu. Tapi benarkah
yang kurasakan ini cinta?
Tidak, sisi bathinku yang
lain selalu mengatakan itu. Apa yang ada saat ini tak lebih dari sekedar
kebutuhan, keadaan, kesempatan dan aku mengambilnya. Awalnya aku tak tahu
apakah benar yang kulakukan ini? Tapi bukankah kita tak akan pernah tahu bila
kita tak mencobanya? Bukankah hidup untuk mengambil resiko? Sudah lama aku tak
berani melakukan itu dan mungkin itu yang menyebabkan aku merasa seperti
kepompong yang diam, pasif, menunggu musim, terombang-ambing dan kehilangan
“diri sendiri”.
Mungkin ini bukan sekedar
tentang “dia” tapi sebenarnya lebih dalam tentang diriku, tentang ego ku
tentang harapan dan keinginanku sendiri atas nama “kebebasan”, walaupun
seringkali aku tidak yakin dengan kata itu.
Dan setelah semua
berjalan seiring waktu, aku sampai pada satu titik. Tempat dimana aku harus
menyerahkan hidupku pada mimpi atau kenyataan. Karena rasa bersalah itu semakin
lama semakin membebaniku.
“Aku mencintai orang
lain”. Kali ini kukatakan itu sambil menatap tajam kedalam matanya. Dia balas
memandangku tapi aku tidak melihat kebencian disana. Justru tatapannya berubah
menjadi lembut, sayu dan matanya semakin lama semakin bening seperti kaca. Oh
bukan, aku bukan melihat kaca disana tapi aku melihat genangan air, air mata.
Dia masih membisu dan entah mengapa aku merasa ada ngilu yang menikam hati.
Kutatap wajahnya. Wajah yang selama ini selalu tampak beku di mataku, yang tak
pernah menunjukkan ekspresi yang berlebihan, karena dia selalu mampu
mengendalikan emosinya. Seringkali aku tidak tahu kapan dia marah atau kapan
dia sedih, wajah itu lebih sering tanpa ekspresi. Bibirnya yang tak pernah bisa
merangkai kata-kata indah untukku, karena dia selalu menyimpan kata-katanya
sendiri (dan apakah itu merupakan kesalahan besar bagimu? Bisik suara dalam
bathinku, sebilah pisau terasa menyayat hatiku lagi) dan kemudian padanganku
beralih kembali pada sepasang matanya yang tak pernah kurasa kutemukan cinta
disana. Seringkali yang kulihat adalah kekosongan. Tanpa hasrat ataukah aku
yang “buta” selama ini?
Jantungku berdebar
semakin kencang, darahku terasa berdesir-desir, pandanganku berkunang-kunang,
melihatnya seperti ini terasa melemparkanku ke sebuah dunia yang sepi, sunyi
dan dingin. Aku menggigil, gigiku gemeletuk, rasa dingin menelusup sampai hati
dan tiba-tiba aku merasa tak bisa menggerakkan tubuhku lagi. Aku beku menjadi sebuah
patung es.
Aku tersentak, saat
kesadaran kembali menguasai aku mendapati diriku terduduk di tempat tidur
dengan nafas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat. Mimpi itu lagi. Dan
yang ini terasa lebih menakutkan daripada mimpi-mimpi yang sebelumnya.
Hari ini kuputuskan untuk
berterus terang padanya. Mengungkapkan apa yang kupendam selama ini, kehampaan
dan kesunyian yang sering kurasakan saat bersamanya. Mungkin sekarang adalah
saat yang tepat. Anak-anak sedang berlibur di rumah neneknya. Tinggal kami
berdua di rumah besar ini. Kami duduk berhadapan di meja makan. Kesunyian yang
menyergap seperti biasa, terasa semakin menghimpitku. Hanya terdengar denting
senduk dan garpu saat bersentuhan dengan piring.
“Aku ingin bicara...”
suaraku seakan tersekat di ujung kerongkongan.
Dia mendongakkan
kepalanya menatapku (mirip dengan beberapa mimpiku yang lalu).
“Mmmmhh....bicaralah..”
dia kembali menekuri piringnya.
Kutelan ludah, membasahi
tenggorokan yang terasa sangat kering.
Aku baru bersiap
mengeluarkan kalimat yang telah kuulang-ulang entah berapa kali, dan setiap
kali terasa menggema di kepalaku, terbawa sampai mimpi-mimpiku, saat kemudian
dia menatapku.
“Aku juga ingin
mengatakan sesuatu padamu...” hening sejenak menguasai.
“Aku minta maaf...”
kepalanya tertunduk.
Serasa ada sengatan
listrik mengaliri tubuhku. Baru kali ini setelah bertahun-tahun aku hidup
bersamanya, aku merasa dia terlihat begitu “rapuh”. Minta maaf? Satu kata yang
teramat sangat jarang aku dengar. Hatiku tergetar.
Sesaat aku merasa
bimbang. Haruskah kuteruskan apa yang sempat tertahan sebelumnya. Benarkah apa
yang kurasakan ini? Mengapa tiba-tiba aku merasa tidak yakin atas apa yang
telah aku pikirkan selama ini? Apakah benar aku mencintai orang lain? Bagaimana
kalau hal itu hanya perasaan sesaat? Apakah aku siap dengan segala perubahan
drastis yang mungkin akan aku alami? Terlepas dari seseorang yang telah menjadi
pendampingku selama bertahun-tahun untuk memulai sebuah kehidupan baru yang
lekat dengan kata-kata “kebebasan”? Semuanya menimbulkan suara yang seakan
simpang siur di kepalaku.
Kuhela nafas, mencoba
mengatur detak jantungku lagi.
“Aku mencintai orang
lain” akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku. Aku mengatakan itu tanpa berani
menatapnya. Diam, keheningan kembali menyelimuti, hanya kudengar hembusan
nafasnya yang terasa berat. Aku tahu, baru saja aku memberinya sebuah beban,
seperti sebuah batu besar menghimpit dadanya, dan entah mengapa aku juga
merasakan beban itu? Bukankah seharusnya aku merasakan kelegaan yang luar biasa
setelah sekian lama hal ini kupendam sendiri?
Sepi lagi. Perlahan aku
mendongakkan wajah, memberanikan diri menatap wajahnya. Kulihat dia masih
memandangiku dan entah mengapa tiba-tiba wajah itu berubah menjadi pucat,
sangat pucat. Dia menggigit bibir bawahnya dan tangannya memegangi dada,
menahan sakit. Sekejap aku merasa kosong, benar-benar kosong dan hampa. Aku
berharap ini hanya mimpi, dan sebentar lagi aku akan terbangun. Tapi saat
kukerjapkan mata, aku masih melihatnya terus memegangi dada, pasti ada rasa
sakit yang luar biasa mendera tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal.
Aku segera berdiri dari
tempat dudukku, setengah berlari mendekatinya yang mulai merosot jatuh dari
tempat duduknya. Kuraih kepalanya, meletakkannya di atas pangkuanku, dan entah mengapa
ada sesuatu yang terasa menyesakkan di sudut hatiku saat melihatnya seperti
ini, sebulir bening mengalir dari mataku. Dia menggumamkan sesuatu. Kudekatkan
telingaku ke mulutnya, berusaha menangkap gumaman-gumamannya.
“Aku...men..cin...tai...ka..mu....” beberapa potong kata yang sempat kudengar,
dan tiba-tiba dunia seakan runtuh menimpaku.
-
Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar