Rabu, 22 April 2015

Eu Te Amo




Rua Finte Quatro Horas. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. 16.00 waktu di Curitiba, Brazil. Udara tidak terlalu dingin, hanya sekitar empat belas derajat celcius. Aku cukup mengenakan sweater dan celana jeans legging untuk menahan dingin. Inverno kali ini tidak terlalu menggigit, Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Deretan toko-toko kecil dan cafe yang berderet rapi di sepanjang jalan ini selalu membuatku ingin menikmatinya, setiap saat. Sesuai dengan namanya Rua Finte Quatro Horas, jalan kecil ini tak pernah mati, buka selama dua puluh empat jam.
Aku memilih sebuah cafe yang letaknya bersebelahan dengan toko kecil yang menjual suvenir. Memesan secangkir cafe de latte, sambil mengamati para pejalan kaki yang berlalu lalang. Mereka selalu tampak modis dalam balutan baju hangat.
Kusesap minumanku, rasa hangat menjalari tenggorokan. Berusaha meredakan debar jantungku sendiri, mencoba menganalisa kembali rencanaku disini, menimbang dalam kegamangan, melalui potongan-potongan memori yang terangkai dalam sekian waktu.
Yah, waktu mungkin akan mampu mengajari kita akan banyak hal terutama tentang perasaan, itu yang selalu aku pahami. Bahwa seperti segala kebendaan yang memiliki “masa berlaku” demikian juga tentang rasa “cinta” pada seseorang lawan jenis, ada pada saatnya memudar seiring waktu, karena terkikis oleh logika dan keadaan yang tak mendukungnya untuk dijaga dan dipelihara. Berbeda dengan “pernikahan” yang telah diikatkan dalam sebuah janji sakral, perasaan yang ada didalamnya akan terkondisikan untuk selalu ada pada “tempatnya”.

“Oi tudo bem?” sebuah suara berat dari arah belakang, cukup mengejutkanku.

Aku menoleh cepat, dan kini kulihat sosoknya dengan jelas, rambut ikalnya sedikit lebih panjang dari yang ada dalam ingatanku, sepasang mata coklatnya terbingkai dalam kacamata. Dia masih tampak selalu mempesona, seperti terakhir aku bertemu lima tahun yang lalu. Fernando, seseorang dari masa laluku yang kini harus kuhadapi kembali keberadaannya.
Aku berdiri, dan dia langsung memelukku erat, lalu mendaratkan ciuman hangat ke pipiku, darahku berdesir. Kulepaskan pelukannya dengan sedikit jengah, ini bukan saatnya tenggelam dalam romantisme, ingatku pada diri sendiri.

“Kamu tampak kurus...” dia mengatakan itu sambil menatapku lekat-lekat.

Aku berusaha tersenyum, pura-pura sibuk mengatur kembali dudukku sekedar menghindari tatapannya, degup jantung yang tak beraturan sedikit membuat dadaku sesak. Kutarik nafas panjang untuk menenangkan diri.

“Are you ok?” tanyanya lagi,

Aku terpaku untuk beberapa saat, berusaha menimbang kembali rencana awalku, tapi sudah terlambat untuk membatalkan semua dan menutupi lagi rahasia besarku selama ini. Fernando masih menunggu reaksiku. Dia bersiap mengatakan sesuatu saat kukeluarkan sebuah foto dari dalam tas, kusodorkan begitu saja ke hadapannya.
Dia menatapku tak mengerti, lalu pandangannya beralih pada foto yang tergeletak di meja.

“Namanya Angela, umurnya empat tahun....” kuatur nafasku, sebelum mengucapkan ini, berusaha mencari rangkaian kalimat awal yang seharusnya aku susun sebelum mengatakan kata-kata yang mungkin akan merubah banyak hal antara aku dan Fernando. Kutarik nafas panjng.

“...Dia anakmu..” suaraku terdengar lirih, hanya semacam bisikan diantara keramaian cafe. Tapi aku yakin, Fernando cukup jelas mendengarnya.

Sesaat sepi menyelimuti. Fernando tampak tertegun, lalu tertawa terbahak-bahak. Tawanya cukup keras sampai mampu menarik perhatian beberapa pejalan kaki yang melewati kami. Aku hanya diam, menunggu reaksi selanjutnya. Ini pasti akan menyakitinya.
Tawanya terhenti, diraihnya foto itu, lalu memandangnya lekat2.

“It’s just a joke, right...?” tanyanya masih tak percaya.

Aku menggeleng kuat-kuat, kepalaku terasa berdenyut, lalu buliran air mata mulai meleleh, mengalir dengan derasnya, ketegaran yang berusaha kubangun dari awal aku menginjakkan kaki ke kota ini telah runtuh, aku sudah tak mampu menahan beban rahasia yang selama bertahun-tahun ini berhasil aku simpan sendiri.

*******

Kami saling jatuh cinta.

Itu kalimat sederhana yang mungkin bisa merangkum cerita panjang antara aku dan Fernando. Kami bertemu pertama kali saat aku menjadi salah satu mahasiswa yang mendapat bea siswa belajar keluar negri, tidak lama hanya beberapa bulan. Fernando adalah seorang pendamping, yang banyak membantu dalam prosesku belajar memahami Brazil. Dia pernah dikirim ke Thailand beberapa lama, sehingga sedikit banyak paham adat budaya bangsa-bangsa Asia.
Dua tahun setelah aku kembali ke Indonesia, ternyata Fernando menyusulku ke Indonesia dan memutuskan untuk tinggal setahun disini. Alasannya dia jatuh cinta pada budaya Timur, dan ingin belajar bahasa Indonesia. Itulah saat kami menjadi semakin dekat.
Awalnya aku tidak pernah mau menganggap serius hubungan ini. Aku termasuk tipe konvensional yang tidak suka berpikir rumit mengenai sebuah hubungan. Fernando bagiku tak lebih dari seorang sahabat, seseorang yang selalu enak diajak ngobrol dan aku merasa nyaman di dekatnya. Ungkapannya berkali-kali “Eu te amo...” bagiku saat itu hanyalah bentuk dari keter-obesi-annya pada Indonesia. Aku selalu menganggap bahwa cinta hanyalah salah satu efek hormon dalam tubuh yang membuat kita jadi irrasional lalu setelah beberapa tahun akan hilang dengan sendirinya.

Setelah setahun berlalu Fernando tinggal di Indonesia, ternyata dia masih merasa belum puas. Beberapa kali dia mengungkapkan ingin tinggal dan bekerja di negri yang rumit ini. Dan aku hanya tertawa mendengarnya, pasti kelogisannya mulai mengalami pergeseran akibat nasi padang yang jadi menu favoritnya, itu yang selalu aku katakan setiap kali dia menyampaikan hal itu. Lalu dia tertawa keras sambil memelukku, tak peduli kalaupun kita sedang berada di keramaian dan tempat umum, walaupun sudah kukatakan berulang kali padanya bahwa pelukan-pelukan semacam itu bukanlah hal yang bisa dianggap wajar di Indonesia, tapi seringkali dia malah menggodaku dengan memelukku lebih erat.

Aku mulai menyukainya.
Mulai merasa tergantung atas keberadaannya. Mulai sering merasa rindu saat tak bertemu. Mulai merasa takut kehilangan. Mulai sering bertanya-tanya kapan dia akan kembali ke Brazil. Cinta selalu memiliki sisi “tidak nyaman” itu yang aku pelajari.
Hatiku mulai terasa berdebar saat dia mengatakan “Eu te amo...” aku memiliki harapan besar pada kalimat itu, harapan bahwa Fernando tidak akan pernah kembali ke negaranya.

Senja itu kami duduk berdampingan di sisi sebuah pantai, menikmati desir angin laut sambil memainkan pasir disela-sela jari kaki. Langit mulai gelap, rona merah jingga telah lenyap sesaat yang lalu.

“Aku harus pulang..” Fernando tiba-tiba mengatakan itu, kalimat pendek yang terasa menyesakkan.
Akhirnya saat ini tiba, bathinku.

Eu te amo.. apakah kita terlalu muda untuk menikah?” dia mengatakan itu sambil memandang lekat pada mataku.

Kuhela nafas, mencoba tetap bisa berpikir rasional dengan apa yang baru dikatakannya.
Usiaku belum genap dua puluh satu tahun, dan dia hanya dua tahun lebih tua dariku. Ada banyak mimpi yang masih ingin kuraih, dan aku tidak siap dengan segala kerumitan hubungan beda agama, antar negara dan jarak yang terbentang jauh diantara kita. Jika pun memang cinta kita berdua nyata, itu belum cukup mampu meyakinkan diriku mengambil keputusan besar menyangkut pernikahan. Aku takut apa yang aku dan Fernando rasakan hanyalah perasaan sesaat, yang membuat kita mabuk sementara waktu dan tidak mampu berpikir rasional. Mungkin cinta ini memang benar adanya, tapi belum saatnya mengikatkan pada sebuah hubungan sakral yang bernama pernikahan, dengan segala hal yang harus kita tanggung dan selesaikan. Aku ragu... dan merasa “takut”.

“Aku mencintaimu, Nadya...apa itu belum cukup?”

“Hidup seringkali tidak cukup hanya dengan sekedar cinta...ada banyak hal dan orang-orang disekitar kita, kamu tahu itu kan? Aku merasa belum siap...”

“Butuh waktu berapa lama lagi agar kamu yakin dan siap?”

Aku hanya diam. Karena memang tak tahu harus menjawab apa.
Lalu dia merengkuhku dalam pelukannya, dan aku mulai menangis, entah karena apa, mungkin karena cinta terkadang terasa menyakitkan.

Dan begitulah akhirnya, Fernando kembali ke negaranya, kami masih sangat sering berkomunikasi, dia masih sering menanyakan kesiapan akan pernikahan, tapi aku masih saja belum menemukan jawaban yang tepat. Sampai beberapa tahun kemudian, dia mengatakan sedang dekat dengan seseorang, Alexandra, seorang gadis rekan kerjanya. Ibunya orang Filipina dan ayahnya orang Brazil, bisa dibayangkan kecantikan yang dimiliki gadis blasteran itu. Tak lama kemudian mereka menikah. Aku tak tahu tentang perasaanku sendiri saat Fernando mengabarkan pernikahannya, yang aku ingat selama dua hari aku hanya ingin mengurung diri dalam kamar, membasahi bantalku dengan air mata.

Tahun-tahun berlalu dengan cepatnya, karirku disebuah majalah wanita yang lumayan terkenal melesat cepat. Aku sering melakukan perjalanan-perjalanan keluar kota dan keluar negri, sampai aku lupa tentang cinta dan pernikahan, aku merasa begitu nyaman dengan kesendirian. Cukup bahagia menjani hari-hariku dengan jadwal yang padat dan agenda pertemuan disana-sini, bertemu dan mengenal banyak orang sebatas pekerjaan. Hubunganku dengan Fernando masih cukup baik, walapun hanya sekedar saling kirim email dan sewaktu-waktu menelepon. Pernikahannya tampak bahagia itu yang kulihat dari foto-fotonya di facebook, hanya saja mereka belum dikaruniai anak sampai sekian tahun pernikahan.


**********

Tanpa terasa usiaku telah sampai pada titik tiga puluh dua. Aku ingat tepat di hari ulang tahunku saat itu, sebuah pesan masuk ke ponselku.

“Happy B’day...bisa kita ketemu? Aku di Indonesia..Fernando”

Aku tertegun sejenak, lalu melompat kegirangan. Sesaat berusaha meyakinkan diri bahwa ini bukan sekedar mimpi.
Akhirnya setelah sekian tahun terpisah, kami bertemu kembali. Kurasakan kerinduan yang selama ini kusimpan rapat-rapat dalam hati. Fernando terlihat semakin mempesona dalam kedewasaan. Senyumnya, cara bicaranya, tatapan sepasang mata teduhnya, masih sama seperti yang terangkum dalam ingatanku. Tak dapat kupungkiri, bahwa ternyata cinta tak bisa dikubur begitu saja oleh waktu.
Kami menghabiskan banyak waktu berdua. Aku sengaja mengambil cuti selama beberapa hari, tak ingin melepaskan kesempatan untuk menikmati hari bersama Fernando, mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan nostalgia; pantai, warung makan padang langganan, taman kota, dan toko buku. Kami seperti terlempar kembali ke masa lalu, menjadi sepasang kekasih yang baru mabuk asmara.
Lalu hal itu terjadi...begitu saja. Mungkin karena kerinduan yang tak terbendung, mungkin aku terbius oleh pesonanya, atau mungkin itu hanyalah sekedar nafsu belaka. Aku tak mau semua terdengar sebagai pembenaran, tapi aku meyakini apa yang aku lakukan sepenuhnya karena “cinta”.

“Kenapa kita tidak menikah?’
Tanyanya tiba-tiba setelah beberapa malam kita habiskan bersama.

Aku pura-pura tidak memperhatikan apa yang dia katakan, sambil tetap menekuri nasi goreng yang menjadi sarapan kami pagi itu.

“Kenapa kita tidak menikah?’ ulangnya lagi, memastikan bahwa aku mendengarkan.

Kugenggam erat sendok dan garpu , berusaha menenangkan diri.

“Kamu tau kalau itu pertanyaan konyol?” aku balik bertanya.

“Aku mencintaimu, Nadya” kalimatnya terdengar jelas.

“Lalu apa? Kamu sadar apa yang sedang kamu jalani? Kenapa harus memperumit semua ini? Tak bisakah kita menyederhanakan semua yang sudah kita lalui kemarin sebatas interaksi fisik semata? Kebutuhan atas nafsu?”
Nada suaraku mulai meninggi. Kubanting sendok dan garpu yang kupegang, menimbulkan suara nyaring saat membentur piring dan meja makan.

Fernando tampak terkejut dengan reaksiku. Dia berdiri, berjalan ke arahku berusaha memeluk, tapi aku menghindar dan berjalan cepat ke kamar mandi, menguncinya dari dalam, lalu mulai menangis. Aku tahu airmata tak pernah menyelesaikan apapun, tapi aku butuh melegakan sesak yang terasa memenuhi dada.
Entah berapa lama aku mengunci diri, setelah merasa cukup tenang, aku keluar dan mendapati Fernando duduk di lantai persis di depan kamar mandi. Saat menyadari pintunya terbuka, dia langsung berdiri dan memelukku, aku tak mampu menghindar lagi, merasa begitu lelah dan tak punya tenaga untuk menolaknya.

“Ma’af...” bisiknya.

Lalu aku mulai terisak lagi di dadanya.

“Aku tak ingin melukai siapapun atas keberadaanku..” kataku disela sedu sedan.

“Aku tau...” kata Fernando, sambil mengelus pelan punggungku.
Kulepas perlahan pelukannya, saat kami berhadapan, kutatap lekat sepasang matanya.

“Eu Te Amo...” kataku dengan penuh keyakinan.

“Tak ada yang akan berubah diantara kita, kembalilah ke Brazil..tapi, lusa saat dirimu berangkat, aku tak akan sanggup mengantarmu ke bandara..” Kuusap airmata yang kembali meleleh di pipi.
“Aku akan baik-baik saja..” suaraku terdengar bergetar saat mengatakan kalimat itu, menunjukkan ketidakyakinanku.

Setelah Fernando kembali ke negaranya, tak pernah sekalipun kujawab telepon darinya, semua e-mail yang dikirimkannya langsung kuhapus tanpa membacanya terlebih dahulu, aku berusaha mengakhiri siksaan atas perasaan cinta dan rindu yang menjeratku kembali, cukup sudah... tapi ternyata hidup seringkali tak sesederhana itu. Dua bulan setelah kepergian Fernando, aku mendapati dua garis merah tercetak jelas pada testpack yang iseng aku beli karena merasakan perubahan pada tubuhku. Sesaat dunia terasa berhenti berputar, aku merasa begitu gamang, mungkin ini sebuah hukuman dari Tuhan atas hubungan terlarang, atau mungkin sebuah anugrah untuk mengingatkan betapa cinta bisa mewujudkan benih yang harus aku terima sebagai pertanggungjawaban.

Sebuah babak baru dalam hidupku harus kumulai. Tekadku bulat untuk terus menjaga sesuatu yang tumbuh dalam perutku. Kuawali dengan pengunduran diri dari majalah tempatku bekerja, tabunganku cukup untuk membeli sebuah rumah kecil di pinggir kota, dan menyambung hidup sebagai penulis lepas. Tapi yang terberat adalah saat harus menceritakan niatku pada kedua orangtuaku. Aib adalah tetap aib. Kami bangsa Timur yang sangat menjunjung norma dan tata krama, orangtua mana yang sanggup menerima anak gadisnya hamil tanpa suami?
Masih kuingat wajah ayah yang mengeras saat kukatakan aku hamil dan tak punya niatan sama sekali untuk menggugurkannya. Aku bahkan tak menangis, saat kukatakan aku tak butuh laki-laki untuk menjadi ayahnya, aku ingin membesarkannya sendiri.

“Terserah...itu pilihanmu, tapi jangan pernah kembali ke rumah ini, kamu harus tau besarnya tanggung jawab atas kesalahan yang telah kau buat...” kalimat ayah terasa menusuk, lalu dia pergi meninggalkanku di ruang tamu, bersama ibu yang berderai airmata.

“Dia sudah cukup angkuh untuk mengatasi hidupnya, tinggalkan dia sendiri, Bu...!” teriaknya kemudian dari dalam kamar.

Lalu aku mulai menangis, saat ibu meninggalkanku sendiri di ruangan itu. Rumah besar dengan pilar-pilar kayu jati tempatku menghabiskan masa kecil, menjadi saksi tekad bulatku untuk menghimpun keberanian atas segala yang akan aku hadapi ke depannya nanti.


******


Kembali aku terlempar ke masa kini, menemukan Fernando yang tampak diam terpekur menatap foto Angela – anaknya.
“Apa yang kau harapkan dari semua ini…” kalimatnya terasa menyakiti hatiku.

Kuhela nafas, berusaha kembali meredakan kegaduhan dalam dadaku sendiri. Entah..aku juga tak tau harus menjawab apa. Setelah segala kekuatan yang kumiliki untuk menjalani semua ini –sendiri - mengapa tiba-tiba saja aku merasa begitu lemah saat berhadapan dengannya.

“Aku menginap disekitaran Centro, pikirkan dulu masalah ini…” kuambil jeda untuk menghirup banyak oksigen karena kepalaku mulai terasa berdenyut hebat. Kukeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari tas lalu menuliskan nama sebuah hotel. Kuserahkan pada Fernando, sambil mulai beranjak untuk pergi.

“Kamu pikir bisa datang dan pergi, sambil meninggalkan beban begitu saja?” Fernando mengatakan itu sambil memegang erat tanganku. Sepasang matanya menunjukkan kemarahan.

“Aku tak pernah pergi darimu, aku hanya memintamu untuk meninggalkan aku… itu dua hal yang berbeda.  Semua yang harus kujalani adalah pilihanku dan aku siap dengan segala konsekuensinya, aku tidak sedang menuntut perasaan bersalahmu atas sebuah tanggung jawab…” aku tak mampu meneruskan kalimat, sekelilingku tiba-tiba terasa berputar, terpaksa aku kembali duduk, kulepas tangannya lalu meraih coffee de latte yang masih tersisa separuh.

“Apa yang kau inginkan Nadya?” matanya menatapku tajam.

Aku terdiam, berharap bisa melalui fase ini, tapi inilah saatnya..kalimat yang telah kuulang berkali-kali dalam benak, menatanya sedemikian rupa agar tak terdengar tragis dan menimbulkan rasa iba dari orang lain. Ya, aku tak perlu belas kasihan dari orang lain, aku ingin selalu merasa kuat , menghadapi banyak hal sendiri, mengatasi setiap permasalahan dan menyembunyikan sakit ini.

“Bulan depan aku harus mulai menjalani  khemotherapy... aku tak tahu pada siapa aku harus menitipkan Angela, kalau seandainya…” Kutahan kalimatku, berusaha sekuat tenaga agar luapan airmata tak jatuh.

Fernando tampak terkesiap. Mulutnya seakan mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar dari sana. Untuk beberapa saat, keheningan menggantung diantara kami.

“Aku tak pernah berniat untuk mengacaukan keadaan… aku ingin semua tetap pada tempatnya dan merahasiakan semua, tapi keadaan ini yang mendorongku untuk memberitahukanmu. Aku tak ingin menyakiti siapapun atas keberadaanku dan Angela. Wanita mana yang bisa menerima anak dari suaminya dengan wanita lain? Aku sudah mempertimbangkan hal itu, berusaha mencari jalan keluar yang bisa cukup bijak menyelesaikan ini, tapi tiba-tiba aku merasa begitu takut… bagaimana dengan Angela seandainya aku tak cukup kuat menghadapi sakit ini..?” aku mulai menangis, kuseka air mataku dengan punggung tangan.

“Tolong pikirkan saja dulu…hubungi aku kalau kau sudah merasa siap..” aku segera berdiri dan berjalan cepat meninggalkan Fernando yang diam memandangi foto Angela sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.

********
Aku turun dari onibus yang mengantarku ke Centro,  masih harus berjalan beberapa meter menuju hotel, melewati café-café  yang menata kursinya  sepanjang sisi jalan, museum dan toko-toko bunga. Kunikmati sepanjang perjalanan, lalu memutuskan berhenti sejenak, saat kulihat seseorang berkulit hitam sedang memainkan saxophone dengan indah,  tak jauh dari sebuah bangku taman. Kukeluarkan selembar Real melemparkannya kedalam kotak kecil didepan sang pengamen lalu duduk menikmati alunan musik jalanan.

Beberapa  orang wanita Gypsi  tiba-tiba lewat, sejenak mengalihkan perhatianku .  Mereka sedang tertawa-tawa bahagia, dengan pakaian menyolok dan gemerincing perhiasan, tampak begitu cantik dengan aura kebebasannya. Mungkinkah seperti itu definisi “kebahagiaan”? melekat pada makna “kebebasan”? sungguh alangkah sederhananya .. tak terasa airmata menetes ke pipiku. Aku sudah terlalu banyak menangis hari ini, bathinku. Dan ternyata itu tak membuatku merasa lebih baik.

Senja mulai menyergap, titik-titik air langit jatuh perlahan, lampu kuning menyala sepanjang jalan, aku berdiri lalu berjalan pelan, ingin menikmati setiap tetes hujan, tak peduli kepala dan tubuhku yang mulai basah. Kubiarkan airmata yang deras mengalir seiring air hujan yang membasahi wajah. Mengapa ini mulai terasa semakin berat? Seandainya aku tahu bahwa segala hal akan berjalan begitu rumit, mungkin aku akan berusaha mencegah perasaan “cinta” itu menguasai. Tapi bisakah kita menghindar? Pertanyaan yang sampai kini bergema di benakku.  Aku percaya bahwa Tuhan selalu punya rencana-rencana, aku sadar akan keterbatasanku sebagai manusia, bahwa setiap detail dalam kehidupan sebenarnya telah digariskan, dan tugas kita di dunia memaknai setiap prosesnya, belajar menjadi kuat, sabar dan ikhlas.
Aku terus berjalan, hujan semakin deras… kepalaku mulai terasa berdenyut hebat, dunia seakan berputar, aku masih memaksakan berjalan, lalu kegelapan menyergap…

-Tamat-

Translate:
Eu Te Amo          : aku mencintaimu
Rua Finte Quatro horas : jalan dua puluh empat jam
Inverno                                : musim dingin
Coffe de latte    : sejenis kopi yang dicampur susu
Oi tudo bem       : hai, apa kabar
Centro                  : pusat kota

Note : cerita ini hanya fiktif belaka. Beberapa tempat memang benar adanya di sebuah kota bernama Curitiba, Brazil. Pemilihan tempat  untuk memperkuat sisi cerita bahwa cinta seringkali tak mengenal tempat dan waktu.
Terimakasih buat yang telah menyempatkan membaca, soal ending..mohon maaf bila tak sesusai dengan harapan, silahkan berimajinasi untuk penyelesaian cerita.

Backsound : “Inspiration” (Gypsi King) dan “Gagal Bersembunyi” (The Rain)


6 komentar:

  1. Yaaaa....endingnya mengewakan penonton cyiiinnnn....

    BalasHapus
  2. Yaaaa....endingnya mengewakan penonton cyiiinnnn....

    BalasHapus
  3. Yaaaa....endingnya mengewakan penonton cyiiinnnn....

    BalasHapus
  4. Hahhaa... seringkali hidup tdk seperti yg kita harapkan , cyiiiinnn...

    BalasHapus