Minggu, 01 November 2015

E L E G I




Wanita itu memandangi foto-foto yang terserak di atas meja. Hatinya terasa sakit. Dadanya naik turun menahan emosi. Nafasnya kadang tersengal, karena detak jantungnya yang berdentam-dentam seakan memaksa keluar. Dipandanginya lekat dua sosok yang ada di foto-foto tersebut. Seorang wanita muda dan sesosok laki-laki yang sangat dikenalnya. Laki-laki yang masih menyandang status sebagai suaminya, ayah dari dua anak laki-lakinya yang sekarang telah beranjak remaja. Sebuah luka harus dirasakannya lagi, entahlah.. apa mungkin luka-luka yang dulu telah  mampu mengering seiring waktu. Sejenak dipejamkan matanya, lalu bersandar ke sofa. Berbagai peristiwa kembali berkelebat di benaknya. Mengantarkan kembali rasa sakit yang baru. Mana yang lebih baik; mengetahui sesuatu yang pasti terasa menyakiti hati, atau berlindung dalam ketidaktahuan? Benarkah kejujuran atas sebuah kenyataan akan selalu membawa kebaikan? Atau justru kepura-puraan untuk menjaga kesempurnaan adalah yang terbaik? Airmata mulai membanjiri pipinya, tubuhnya terasa begitu lelah dan lemah.
Tahun depan pernikahannya sampai pada titik dua puluh tahun, sungguh bukan angka yang sedikit untuk menyimpan begitu banyak peristiwa. Si sulung baru saja menjadi mahasiswa sebuah universitas di luar kota, dan si bungsu telah memasuki tahun kedua Sekolah Menengah Atas. Tak lama lagi rumah akan semakin sepi tanpa kehadiran keduanya, bila si bungsu memilih untuk mengikuti jejak kakaknya, keluar kota untuk mencari ilmu. Sungguh hidup ini begitu indah seandainya segala hal berjalan seperti yang dipercayai banyak orang saat menilai keluarga kecilnya. Tiga tahun pertama pernikahan, dia harus mendapati kenyataan bahwa suaminya dekat dengan seorang rekan kerjanya. Tanpa sengaja dia menemukan beberapa pesan mesra yang saling dikirim oleh keduanya. Dia marah sejadi-jadinya, tak ada hal lain yang dipikirkannya selain, bercerai... sebulan dia meninggalkan rumah, pulang ke rumah orang tuanya sambil membawa si sulung yang masih berusia dua tahun. Lalu suaminya datang menjemput, meminta maaf, berjanji tak akan mengulang lagi. Hatinya masih sakit, teramat sakit sampai tak lagi bisa merasa dan mengingat apa yang menyebabkan dia akhirnya sudi kembali ke rumah. Satu hal yang lekat dalam ingatannya hanyalah sepasang mata si sulung yang mampu menenangkannya.
Lalu dunia mulai kembali berputar seperti adanya. Dua tahun kemudian dia hamil si bungsu. Hidupnya cukup sempurna untuk beberapa saat. Suaminya kembali menjadi laki-laki yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu saat mereka masih berpacaran. Karirnya sendiri juga semakin menanjak. Apa yang lebih indah dari sebuah keluarga yang cukup materi dan cinta? Semua pada tempatnya, baginya tak ada yang lebih sempurna menjadi seorang istri, ibu sekaligus wanita karir. Tapi, dunia seringkali tak sesederhana dongeng pengantar tidur yang selalu berakhir dengan kalimat “akhirnya mereka bahagia selama-lamanya”. Mimpi keluarga sempurnanya berakhir saat kembali dia mendapati suaminya dekat dengan wanita lain. Dunianya kembali kehilangan keseimbangan. Kata “cerai” terbersit lagi dalam benaknya. Tapi entah, emosi tak lagi menguasai seperti saat pertama badai itu datang. Butuh waktu berbulan-bulan untuk kemudian dia memutuskan, setiap kali rasa sakit itu menderanya, dia akan pergi ke kamar anak-anaknya, memandangi wajah mereka saat tertidur, lalu melepaskan rasa sakit itu melalui deraian airmata, sambil menahan isak khawatir hal itu akan membangunkan anak-anaknya, dia tak akan membiarkan mereka tahu kesedihannya.
Setiap kali ego-nya menuntut keberanian memilih untuk sendiri setiap kali itu pula pertanyaan tentang arti “bahagia” menghantuinya. Secara financial dia cukup bisa menghidupi dirinya sendiri dan kedua anaknya, tapi benarkah bahagia bisa begitu sederhana dengan kecukupan materi? Bagaimanapun anak-anaknya masih butuh sosok seorang ayah, sebisa mungkin dia akan menjaga itu, berapapun “harga” yang harus dibayarnya. Lalu bagaimana dengan rasa sakit hatinya? Tanyanya pada diri sendiri; rasa sakit akan terkikis seiring waktu, kalimat itu yang diulang-ulangnya untuk meyakinkan diri sendiri. Wanita itu memilih untuk berhenti dari pekerjaan, melupakan karirnya, dan mengatakan pada sang suami, mungkin kau butuh lebih banyak waktuku agar tak lagi mencari wanita lain. Itu sebuah pilihan, hal itu sangat dipahaminya, bukan benar salah atau baik buruk, ini lebih tentang keberaniannya menghadapi konsekuensi atas piilihannya sendiri.
Sebuah lubang besar menganga dalam hatinya, berisikan kekosongan, itu yang dirasakannya kemudian. Sungguh ternyata kehampaan jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit itu sendiri. Tahun-tahun berlalu dengan cepatnya, mengajarinya cara bertahan dan belajar untuk jadi lebih kuat. Cinta? Dia bahkan lupa tentang apa itu, selain rasa yang mampu membuatnya berani mengambil resiko apapun demi kebahagiaan anak-anaknya. Menjadi ibu rumah tangga tak membuatnya buta dan tuli atas sepak terjang suaminya diluar sana, dia tak lagi berusaha pura-pura tak tahu atau tak mau tahu, dia memilih untuk menghadapi itu, toh suaminya juga tak punya cukup alasan untuk menceraikannya. Pernah dia bertanya: apakah kau masih mencintaiku? suaminya tersenyum lalu mengangguk, dia tak tahu apakah benar ini tentang rasa cinta atau kasihan atau sekedar tak punya pilihan, karena dia adalah ibu terbaik bagi anak-anaknya? Tapi, masih pentingkah hal itu? Bukankah kenyataan bahwa mereka masih saling terikatkan dalam pernikahan cukup membuktikan mereka masih saling membutuhkan satu sama lain?
Seiring waktu dia tahu, bahwa ini bukan lagi tentang dirinya sendiri, bukan tentang hati dan perasaannya, bukan tentang keinginan dan hasratnya, ini lebih tentang keikhlasannya menerima kenyataan tentang suaminya yang  tak pernah merasa cukup dengan seorang wanita; sekuat apapun dia berusaha mengikatnya, sebesar apapun rasa cintanya.
Dentang jam mengusiknya, sudah jam sembilan malam, tergesa dia memberesi serakan foto-foto di atas meja, dihapusnya airmata yang masih tersisa disudut mata, sebentar lagi si bungsu sampai rumah dari les gitar nya, dia tak ingin kekacauan ini diketahui anaknya. Tak lama terdengar suara motor si bungsu memasuki garasi. Wanita itu berusaha berdiri, tapi entah mengapa tubuhnya terasa begitu lemah. Lalu dia pun segera meraih remote televisi untuk berpura-pura asyik menikmati sebuah film drama.
“Belum tidur, Ma?” suara si bungsu terasa begitu menetramkannya.
Wanita itu hanya menggeleng.
“Mama habis nangis?” sepasang mata itu memandanginya lekat.
“Ini gara-gara nonton film, ceritanya sedih banget...”
Dia berharap jawabannya cukup membuat si bungsu puas lalu beranjak ke kamar, tapi ternyata si bungsu malah duduk bersandar ke sofa sambil memegangi tangannya erat.
“Aku tadi liat papa, ma..” suara si bungsu terdengar semacam bisikan.
“...dengan seorang wanita..” kembali lirih.
Dia hanya diam, menunggu kalimat selanjutnya, tapi hanya suara-suara dari televisi yang terdengar.
Si bungsu menghela nafas, terdengar berat.
“Mama sudah tau tentang ini kan?”..
Mereka saling memandang, berusaha mencari kebenaran yang tersimpan.
Wanita itu mengangguk, tak tau harus mengatakan apa.
Lalu sebulir airmata meleleh tanpa bisa ditahannya lagi, seakan dia sedang dihakimi atas ketegarannya oleh anaknya sendiri.
“kenapa mama diam aja? Papa sudah mengkhianati mama...” suara si bungsu tercekat.
“pernikahan bukan hanya sekedar tentang kesetiaan..” suara wanita itu terdengar begitu jauh dan dalam, seakan kalimat itu ingin ditelannya sendiri.
“kita tak bisa mengikat perasaan seseorang hanya karena sebuah surat pernikahan, itu yang mama pelajari selama ini..”
“selama papa mu masih bertanggung jawab atas kehidupan kalian sebagai anak-anaknya, itu sudah lebih dari cukup, bukan waktunya untuk mempertanyakan tentang kesetiaan setelah sekian tahun kita hidup bahagia seperti ini..”
“apa yang kamu ingin mama lakukan? Melabrak wanita itu? Berteriak-teriak marah pada papa mu, menghancurkan kebahagiaan kita selama ini hanya karena emosi sesaat? Yang mama tahu pada akhirnya papa mu akan kembali kesini, ke rumahnya..”
“Bagaimana kalau papa memilih untuk tak kembali..?”
Suara-suara dari televisi kembali menguasai.
“itu saatnya kita saling menguatkan...” suara wanita itu terdengar begitu yakin.
Tiba-tiba si bungsu memeluknya, terdengar isak yang tertahan.
“anak laki-laki ga boleh nangis..” pelan dilepasnya pelukan si bungsu, lalu memandang lekat wajah anaknya itu. Dirasakannya sebuah kekuatan baru mengaliri jiwanya. Entah bagaimana cinta selalu bisa menjadi penawar atas sakit yang disebabkan oleh cinta itu sendiri.
“Tidur sana...” wanita itu tersenyum lembut.
“semua akan baik-baik saja, percayalah...” dibelainya lembut rambut si bungsu.
Dentang jam kembali mengisi jeda diantara keduanya. Waktu akan mengajari banyak hal. Tentang rasa sakit, kesembuhan, ketegaran, keikhlasan, segala rasa yang tak terdefinisikan. Tentang kehilangan dan penemuan. Tentang harapan dan kenyataan. Tentang belajar menjadi “benar”

-Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar