Wanita itu memandangi foto-foto
yang terserak di atas meja. Hatinya terasa sakit. Dadanya naik turun menahan
emosi. Nafasnya kadang tersengal, karena detak jantungnya yang berdentam-dentam
seakan memaksa keluar. Dipandanginya lekat dua sosok yang ada di foto-foto
tersebut. Seorang wanita muda dan sesosok laki-laki yang sangat dikenalnya.
Laki-laki yang masih menyandang status sebagai suaminya, ayah dari dua anak
laki-lakinya yang sekarang telah beranjak remaja. Sebuah luka harus
dirasakannya lagi, entahlah.. apa mungkin luka-luka yang dulu telah mampu mengering seiring waktu. Sejenak
dipejamkan matanya, lalu bersandar ke sofa. Berbagai peristiwa kembali
berkelebat di benaknya. Mengantarkan kembali rasa sakit yang baru. Mana yang
lebih baik; mengetahui sesuatu yang pasti terasa menyakiti hati, atau
berlindung dalam ketidaktahuan? Benarkah kejujuran atas sebuah kenyataan akan
selalu membawa kebaikan? Atau justru kepura-puraan untuk menjaga kesempurnaan adalah
yang terbaik? Airmata mulai membanjiri pipinya, tubuhnya terasa begitu lelah
dan lemah.
Tahun depan pernikahannya sampai
pada titik dua puluh tahun, sungguh bukan angka yang sedikit untuk menyimpan
begitu banyak peristiwa. Si sulung baru saja menjadi mahasiswa sebuah
universitas di luar kota, dan si bungsu telah memasuki tahun kedua Sekolah
Menengah Atas. Tak lama lagi rumah akan semakin sepi tanpa kehadiran keduanya,
bila si bungsu memilih untuk mengikuti jejak kakaknya, keluar kota untuk
mencari ilmu. Sungguh hidup ini begitu indah seandainya segala hal berjalan
seperti yang dipercayai banyak orang saat menilai keluarga kecilnya. Tiga tahun
pertama pernikahan, dia harus mendapati kenyataan bahwa suaminya dekat dengan
seorang rekan kerjanya. Tanpa sengaja dia menemukan beberapa pesan mesra yang
saling dikirim oleh keduanya. Dia marah sejadi-jadinya, tak ada hal lain yang
dipikirkannya selain, bercerai... sebulan dia meninggalkan rumah, pulang ke
rumah orang tuanya sambil membawa si sulung yang masih berusia dua tahun. Lalu
suaminya datang menjemput, meminta maaf, berjanji tak akan mengulang lagi.
Hatinya masih sakit, teramat sakit sampai tak lagi bisa merasa dan mengingat
apa yang menyebabkan dia akhirnya sudi kembali ke rumah. Satu hal yang lekat
dalam ingatannya hanyalah sepasang mata si sulung yang mampu menenangkannya.
Lalu dunia mulai kembali berputar
seperti adanya. Dua tahun kemudian dia hamil si bungsu. Hidupnya cukup sempurna
untuk beberapa saat. Suaminya kembali menjadi laki-laki yang dikenalnya
beberapa tahun yang lalu saat mereka masih berpacaran. Karirnya sendiri juga
semakin menanjak. Apa yang lebih indah dari sebuah keluarga yang cukup materi
dan cinta? Semua pada tempatnya, baginya tak ada yang lebih sempurna menjadi
seorang istri, ibu sekaligus wanita karir. Tapi, dunia seringkali tak sesederhana
dongeng pengantar tidur yang selalu berakhir dengan kalimat “akhirnya mereka
bahagia selama-lamanya”. Mimpi keluarga sempurnanya berakhir saat kembali dia
mendapati suaminya dekat dengan wanita lain. Dunianya kembali kehilangan
keseimbangan. Kata “cerai” terbersit lagi dalam benaknya. Tapi entah, emosi tak
lagi menguasai seperti saat pertama badai itu datang. Butuh waktu
berbulan-bulan untuk kemudian dia memutuskan, setiap kali rasa sakit itu
menderanya, dia akan pergi ke kamar anak-anaknya, memandangi wajah mereka saat
tertidur, lalu melepaskan rasa sakit itu melalui deraian airmata, sambil
menahan isak khawatir hal itu akan membangunkan anak-anaknya, dia tak akan
membiarkan mereka tahu kesedihannya.
Setiap kali ego-nya menuntut
keberanian memilih untuk sendiri setiap kali itu pula pertanyaan tentang arti
“bahagia” menghantuinya. Secara financial dia cukup bisa menghidupi dirinya
sendiri dan kedua anaknya, tapi benarkah bahagia bisa begitu sederhana dengan
kecukupan materi? Bagaimanapun anak-anaknya masih butuh sosok seorang ayah,
sebisa mungkin dia akan menjaga itu, berapapun “harga” yang harus dibayarnya.
Lalu bagaimana dengan rasa sakit hatinya? Tanyanya pada diri sendiri; rasa
sakit akan terkikis seiring waktu, kalimat itu yang diulang-ulangnya untuk meyakinkan
diri sendiri. Wanita itu memilih untuk berhenti dari pekerjaan, melupakan
karirnya, dan mengatakan pada sang suami, mungkin kau butuh lebih banyak
waktuku agar tak lagi mencari wanita lain. Itu sebuah pilihan, hal itu sangat
dipahaminya, bukan benar salah atau baik buruk, ini lebih tentang keberaniannya
menghadapi konsekuensi atas piilihannya sendiri.
Sebuah lubang besar menganga
dalam hatinya, berisikan kekosongan, itu yang dirasakannya kemudian. Sungguh
ternyata kehampaan jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit itu sendiri.
Tahun-tahun berlalu dengan cepatnya, mengajarinya cara bertahan dan belajar
untuk jadi lebih kuat. Cinta? Dia bahkan lupa tentang apa itu, selain rasa yang
mampu membuatnya berani mengambil resiko apapun demi kebahagiaan anak-anaknya.
Menjadi ibu rumah tangga tak membuatnya buta dan tuli atas sepak terjang
suaminya diluar sana, dia tak lagi berusaha pura-pura tak tahu atau tak mau
tahu, dia memilih untuk menghadapi itu, toh suaminya juga tak punya cukup
alasan untuk menceraikannya. Pernah dia bertanya: apakah kau masih mencintaiku?
suaminya tersenyum lalu mengangguk, dia tak tahu apakah benar ini tentang rasa
cinta atau kasihan atau sekedar tak punya pilihan, karena dia adalah ibu
terbaik bagi anak-anaknya? Tapi, masih pentingkah hal itu? Bukankah kenyataan
bahwa mereka masih saling terikatkan dalam pernikahan cukup membuktikan mereka
masih saling membutuhkan satu sama lain?
Seiring waktu dia tahu, bahwa ini
bukan lagi tentang dirinya sendiri, bukan tentang hati dan perasaannya, bukan tentang
keinginan dan hasratnya, ini lebih tentang keikhlasannya menerima kenyataan
tentang suaminya yang tak pernah merasa
cukup dengan seorang wanita; sekuat apapun dia berusaha mengikatnya, sebesar
apapun rasa cintanya.
Dentang jam mengusiknya, sudah
jam sembilan malam, tergesa dia memberesi serakan foto-foto di atas meja,
dihapusnya airmata yang masih tersisa disudut mata, sebentar lagi si bungsu
sampai rumah dari les gitar nya, dia tak ingin kekacauan ini diketahui anaknya.
Tak lama terdengar suara motor si bungsu memasuki garasi. Wanita itu berusaha
berdiri, tapi entah mengapa tubuhnya terasa begitu lemah. Lalu dia pun segera
meraih remote televisi untuk berpura-pura asyik menikmati sebuah film drama.
“Belum tidur, Ma?” suara si
bungsu terasa begitu menetramkannya.
Wanita itu hanya menggeleng.
“Mama habis nangis?” sepasang
mata itu memandanginya lekat.
“Ini gara-gara nonton film,
ceritanya sedih banget...”
Dia berharap jawabannya cukup
membuat si bungsu puas lalu beranjak ke kamar, tapi ternyata si bungsu malah
duduk bersandar ke sofa sambil memegangi tangannya erat.
“Aku tadi liat papa, ma..” suara
si bungsu terdengar semacam bisikan.
“...dengan seorang wanita..”
kembali lirih.
Dia hanya diam, menunggu kalimat
selanjutnya, tapi hanya suara-suara dari televisi yang terdengar.
Si bungsu menghela nafas,
terdengar berat.
“Mama sudah tau tentang ini
kan?”..
Mereka saling memandang, berusaha
mencari kebenaran yang tersimpan.
Wanita itu mengangguk, tak tau
harus mengatakan apa.
Lalu sebulir airmata meleleh tanpa
bisa ditahannya lagi, seakan dia sedang dihakimi atas ketegarannya oleh anaknya
sendiri.
“kenapa mama diam aja? Papa sudah
mengkhianati mama...” suara si bungsu tercekat.
“pernikahan bukan hanya sekedar
tentang kesetiaan..” suara wanita itu terdengar begitu jauh dan dalam, seakan
kalimat itu ingin ditelannya sendiri.
“kita tak bisa mengikat perasaan
seseorang hanya karena sebuah surat pernikahan, itu yang mama pelajari selama
ini..”
“selama papa mu masih bertanggung
jawab atas kehidupan kalian sebagai anak-anaknya, itu sudah lebih dari cukup,
bukan waktunya untuk mempertanyakan tentang kesetiaan setelah sekian tahun kita
hidup bahagia seperti ini..”
“apa yang kamu ingin mama
lakukan? Melabrak wanita itu? Berteriak-teriak marah pada papa mu,
menghancurkan kebahagiaan kita selama ini hanya karena emosi sesaat? Yang mama
tahu pada akhirnya papa mu akan kembali kesini, ke rumahnya..”
“Bagaimana kalau papa memilih
untuk tak kembali..?”
Suara-suara dari televisi kembali
menguasai.
“itu saatnya kita saling
menguatkan...” suara wanita itu terdengar begitu yakin.
Tiba-tiba si bungsu memeluknya,
terdengar isak yang tertahan.
“anak laki-laki ga boleh nangis..”
pelan dilepasnya pelukan si bungsu, lalu memandang lekat wajah anaknya itu. Dirasakannya
sebuah kekuatan baru mengaliri jiwanya. Entah bagaimana cinta selalu bisa
menjadi penawar atas sakit yang disebabkan oleh cinta itu sendiri.
“Tidur sana...” wanita itu
tersenyum lembut.
“semua akan baik-baik saja,
percayalah...” dibelainya lembut rambut si bungsu.
Dentang jam kembali mengisi jeda
diantara keduanya. Waktu akan mengajari banyak hal. Tentang rasa sakit,
kesembuhan, ketegaran, keikhlasan, segala rasa yang tak terdefinisikan. Tentang
kehilangan dan penemuan. Tentang harapan dan kenyataan. Tentang belajar menjadi
“benar”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar